CINTA TIGA HATI - Part 3
Jika ada orang paling gelisah saat ini, itu adalah Ronald. Pemilik pabrik mur baut yang sedang berkembang dan menyuplai barang hampir ke seluruh Indonesia.
Pikirannya sedang ruwet.
Perusahaan sedang membangun pabrik baru, banyak yang harus diperhatikan. Sementara memikirkan masalah keluarga membuat otaknya hampir tercekik.
Setelah sengaja membuka jendela kantor.
Tangannya sibuk dengan rokok yang menyala. Mulut tak berhenti menghisap.
Gumpalan asap menari-nari di wajah dan aroma rokok yang menyengat menguar tidak hanya dari baju yang dia pakai tapi juga ke seluruh ruangan.
Meski dia sudah membuka jendela lebar-lebar.
Ruangan kantornya ada di lantai dua. Menghadap langsung ke arah jalan raya yang tidak terlalu padat. Dari tempatnya berdiri dia bisa memandang area parkiran.
Dulunya, ruangan ini adalah tempat papanya mengantor.
Sudah hampir enam tahun ini Ronald yang menempati.
Setelah papanya memutuskan untuk pensiun dari perusahaan dan membuka usaha toko bangunan.
Perusahaan ini bukan hanya sekedar warisan tapi wujud kerja keras dari papanya.
Dia menghisap rokok kuat-kuat beserta pikiran buruk yang berkecamuk di otaknya.
Tadi malam orang tuanya datang untuk menegaskan tanggal pernikahannya dengan Vanesa, tidak peduli bagaimana dia mencoba menolak. Keputusan tidak dapat diganggu gugat.
“Bukannya ini kemauanmu juga, Ronald? Kenapa sekarang mencoba menolak?” jerit sang mama padanya.
Jika mamanya sudah berkata apalagi dengan nada histeris saat mendengar keberataannya, dia memutuskan untuk diam.
Vanesa yang cantik dan periang. Ronald masih ingat betul pertemuan pertamanya dengan Vanesa.
Saat itu, dia sedang bekerja magang di toko roti ternama.
Dia membantu Ronald mencari kue yang tepat untuk ulang tahun papanya.
Cinta pandangan pertama, itulah yang dialami Ronald.
Karena semenjak kali pertama dia memandang wajah Vanesa dengan senyum yang merekah. Hatinya seperti terpaut pergi dan tidak ingin kembali bersarang di tubuhnya.
Vanesa lima tahun lalu dengan Vanesa sekarang, wanita yang ingin dia nikahi tidak lagi sama.
“Pernikahan tanpa cinta, tanpa kontak fisik dan berlaku hanya dua tahun.” Ucapan Vanesa yang dingin masih terngiang sampai sekarang.
“Cintaku selesai di hari pernikahanmu!” Satu lagi ucapan Vanesa yang membuatnya sadar untuk tidak berharap terlalu banyak.
Suara ketukan di pintu menyadarkannya. Muncul Jery dengan dokumen di lengan yang kemudian dia letakkan di atas meja.
Jery dulu adalah sahabatnya saat kuliah, sekarang mereka bekerja di bawah naungan perusahaan yang sama. Jery selalu bisa diandalkan.
“Bro, mesin CNC nomor tiga perlu perbaikan, sepertinya harus ganti suku cadang. Hari ini macet lagi.”
Ronald mematikan rokok dan membuang putung dalam asbak yang penuh. Membuka dokumen dari Jery.
“Aku sudah panggil mekanik, mereka akan memeriksa perlu ganti suku cadang atau nggak.”
Jery mengangguk. “Kamu kenapa masih di kantor? Bukannya hari ini harusnya ke Cikarang?”
Ronald mengangkat bahu. Tidak menjawab pertanyaan Jery.
Perusahaan mereka sedang membangun pabrik baru di Cikarang. Itu adalah usul dari papanya juga jika lokasi pabrik di Cikarang akan lebih hemat.
“Ada urusan bentar lagi, bisa nggak kamu yang ke sana?”
Jerry menaikkan sebelah alisnya. “Mau kemana? Fitting baju pengantin.”
Ronald duduk di kursinya dan sibuk menandatangani dokumen yang dibawa Jerry.
“Nggak nyangka, kamu menikahi dua kakak beradik sekaligus.
Menang banyaaak, ya?”
Suara tawa Jery terhenti saat menangkap raut wajah Ronald yang menggelap.
“Sorry, aku nggak ada maksud menyinggung.
Anggap aku iri karena aku yang jomlo saja belum menikah dan kamu!” tunjuk Jerry pada Ronald. “akan menikah untuk ke dua kalinya.
Apalagi ini dengan Vanesa. Wanita yang pernah kamu cintai.”
Menutup dokumen, Ronlad bangkit dari duduknya.Menyambar jas dan tas.
Bicara sama Jery jika tidak dihentikan akan menjadi panjang tanpa bisa dihentikan. Sudah cukup dia merasa gundah hari ini tanpa mendengar ocehan Jerry.
“Eih, mau kemana?” tanya Jery heran saat melihat Ronald beranjak ke pintu.
“Ada urusan. Kamu ke Cikarang gantiin aku jangan lupa.”
Jerry menyambar dokumen di atas meja dan menjajari langkah sahabatnya.
“Bro, bisa nggak aku minta tolong satu hal,” gumam Jery pelan saat mereka meliwati ruangan karyawan dan melihat semua wanita yang ada di situ memandang Ronald dengan senyum terkembang dan anggukan hormat.
“Apa?”
“Tolonglah kamu potong rambutmu biar rapi. Udah tinggi, tampan, rambut gondrong, nyaris semua cewek di sini naksir kamu.
Aku kapaaan?” rintih Jery.
Ronald mendengkus, sungguh buang-buang waktu mendengar ocehan Jery yang nggak perlu.
Melangkah lebih cepat, Ronald mengabaikan Jery. Di luar panas menyengat dan dia berharap urusan hari ini akan selesai sebelum senja. Saat dia kembali ke rumah.
***
“Balikan tubuhmu, pejamkan mata.”
Perintah halus diiringi dengan luluran cairan harus di tubuhnya membuat Vanesa nyaris mengerang nikmat. Pijatan yang menangkan di seluruh tubuh membuatnya rileks.
Hah, luluran dan maskeran adalah rutinitas wanita yang menyenangkan.
Vanesa sengaja memanggil Santi datang ke rumah Ronald untuk membantunya maskeran dan luluran.
Dengan adanya Sean, dia tidak bisa pergi meninggalkan rumah begitu saja.
“Aku sama sekali nggak nyangka kamu akan menikah minggu ini.
Tanpa kabar sebelumnya. Ibarat ada badai datang tanpa mendung tanpa hujan.
Buum! Memorak-porandakan keyakinanku jika kamu akan menikah dengan Vico minimal tiga tahun lagi. Ada apa, Vanesa?”
Pertanyaan heran yang sama yang dia dengar entah keberapa ratus kali dari teman-temannya, rekan kerja atau orang yang mendengar rencana pernikahannya yang mendadak.
Sekarang Santi yang mengutarakan keheranannya.
Mereka saling mengenal nyaris lima tahun ini, Santi adalah pemilik salon langganannya yang kini menjadi dari sedikit orang yang dia anggap sahabat.
“Nggak ada? Cuma ingin menikah saja,” ucap Vanesa pelan.
Suaranya terdengan sangat pelan karena masker di wajahnya membuat dia kesulitan bicara.
Sementara tangan Santi sibuk melulur dan memijit lengan dan kakinya.
“Ya Tuhan, jawaban model apa itu? Nggak ada orang yang ingin menikah karena pingin!” kecam Santi dengan suara keras tanpa sadar.
“lalu bagaimana Vico? Kamu ninggalin dia gitu aja demi orang yang sudah menyakiti kamu. Vanes, kamu bukan wanita masokis kan?”
“Diih, apaan! Ada banyak hal yang nggak bisa aku ucapkan.
Banyak sebab yang bikin aku nggak serta merta menerima tawaran menikah dari Ronald.”
Vanesa mendesah, memendam sakit hati saat mengingat tentang Vico. Lelaki tampan yang penuh perhatian dan sangat manis. Ada kalanya Vico sangat kekanak-kanakan.
Mungkin karena dia anak tunggal dan raut wajahnya saat mendengar dia akan menikah membuat Vanesa dihantui rasa bersalah. Semoga kelak Vico mengerti dan mau memaafkannya.
Suara rintihan bayi membuatnya menoleh.
Mereka berdebat tanpa sadar dengan suara nyaring dan membangunkan Sean yang tertidur.
“Santi, tolong kerjakan agak cepat. Kasihan Sean nangis.”
Memenuhi permintaannya, Santi bergerak cepat membasuh wajah dan tubuhnya dengan air hangat.
Saat dia membersihkan tubuh di kamar mandi dan berganti baju, Santi membantunya menenangkan Sean yang menangis.
“Anak ini sudah bau tangan, lebih tepatnya bau tanganmu,” ucap Santi pelan saat Sean terdiam di gendongannya.
Vanesa memeluk bayi mungil di tangannya. Mulutnya berdendang menenangkan.
“Baju pengantinmu aku bawa sekarang, aku rapikan di rumah.
Dan aku datang hari minggu jam enam.”
Vanesa mengangguk, mengamati Santi yang sibuk merapikan barang-barangnya.
“Aku masih berharap kamu memikirkan kembali keputusanmu untuk menikah dengan Ronald. Kasihan Vico dan dirimu sendiri.”
Vanesa tidak menjawab.
Membiarkan Santi meninggalkan rumahnya dengan barang-barang di tangannya. Banyak hal yang harus dia pikirkan tanpa ucapan dari Santi tentang Vico yang akan menambah rasa bersalahnya.
Sementara di rumahnya mama dan papanya sedang sibuk menyiapkan pesta pernikahan.
Dia hanya meminta pernikahan sederhana tanpa pesta mewah.
Hanya ijab kabul yang diteruskan dengan makan-makan bagi keluarga dan kerabat, itu saja.
Mamanya sempat menolak dengan mengatakan jika mereka mampu membiayai pesta pernikahan tapi dia bergeming dengan pendiriannya.
Suara pintu dibuka menyadarkan Vanes dari lamunannya. Dia sedang menemani Sean bermain di lantai ruang tamu.
Dia mendongak dan melihat Ronald menatapnya.
“Aku kaget saat Mama mengatakan Sean ada di rumah dengan kamu. Bukankah harusnya kamu bekerja hari ini?” tanya Ronald.
Dia berjalan pelan menghampiri anaknya yang sedang merangkak-rangkak di atas karpet dan menggendongnya.
“Ada urusan tadi,” jawab Vanesa sambil bangkit dari duduknya.
“kamu udah pulang jadi aku bisa pergi sekarang.”
“Vanesa,” panggilan dari Ronald membuatnya menghentikan langkah dan menoleh.
“Kamu masih bisa menghentikan pernikah—,”
“---Jangan bicara hal yang tak perlu!” sanggahnya. Dia meneruskan langkah menuju kamar kecil di samping kamar Ronald yang selalu dia tempati saat dia kemari. Mengambil tas dan berniat untuk pergi secepat mungkin.
“Terima kasih sudah mengasuh, Sean.”
“Tak perlu berterima kasih, dia anakku juga.”
“Satu lagi, Vanes. Kamu harum dan tampak cantik bersinar, apa kamu baru saja luluran?”
Vanesa terkaget-kaget mendengar rayuan Ronald. Merasa heran, apa yang merasukinya untuk berkata manis seperti itu.
“Aku nggak akan datang sampai hari minggu. Jadi kita bertemu di rumahku saat pernikahan. Sean tolong antarkan ke rumah jika kamu sibuk.”
Tanpa menunggu jawaban Ronald, Vanesa mengganti sandal rumah dengan sepatu yang dia letakkan di rak samping pintu.
“Perlu kuantar?”
“Jangan bersikap terlalu manis, Kak. Nanti aku muntah karena eneg.”
Vanesa meninggalkan Ronald yang sedang menggendong Sean di belakangnya. Menutup pintu lebih keras dari yang seharusnya.
Matanya menerawang menatap matahari senja yang kemerahan. Tidak peduli apa pun yang terjadi, bahkan saat dia memutuskan akan menikah atau tidak, matahari akan selalu bersinar sama panasnya seperti biasa.
Malam akan selalu datang menggantikan siang. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Dia akan tetap menikah dengan Ronald sesuai hari yang ditentukan.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment