CINTA TIGA HATI - Part 2
Rumah sunyi tanpa percakapan, hanya terdengar denting peralatan minum. Itu pun sangat pelan. Seorang bayi tergolek nyaman di peraduannya.
Pintu kamar sengaja dibuka agar mereka yang berada di luar bisa mendengar saat bayi menangis.
Vanesaa berdiri membelakangi Ronald.
Tangannya sibuk menuang air panas dalam teko teh dan mencampur dengan sesendok daunt eh lalu menghidangkannya di atas meja.
Ronald sudah pulang dari kantor setengah jam lalu tapi Vanesa sengaja menghindarinya, setelah memastikan Sean tertidur dia beranjak ke ruang makan untuk membuat teh.
Masalah diantara mereka tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
“Kamu sudah makan, Vanesa?”
Vanesa mengangguk. “Maaf, aku nggak menyiapkan makan malam untukmu.”
Ronald mengendurkan dasi, menarik kursi dan duduk di seberang Vanesa yang sedang menuang teh ke dalam cangkir.
“Apa kita bisa bicara langsung ke pokok masalah? Melewati basa basi?” kata Vanesa pelan.
“Aku sama sekali nggak menyangka kalau kamu setuju untuk menikah denganku, Vanes. Sungguh aku bahagia.”
Vanesa tersenyum tipis, menatap Ronald yang terlihat letih. Tangannya merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkannya di hadapan Ronald.
“Apa ini?” tanya Ronald bingung.
“Bacalah, itu perjanjian yang aku minta saat kita menikah.”
Ronald membaca tulisan yang tertera di atas kertas, makan lama wajahnya makin menggelap.
Sampai baris terakhir dia meletakkan kertas dan menghela napas panjang.
“Apa ini, Vanesa?
Perjanjian macam apa ini?” Tangan Ronald mengetuk meja dengan tidak puas.
Vanesa mengangkat bahu.
“Itu saja yang aku minta.”
“Itu saja katamu?
Satu : tidak boleh saling mengikat secara perasaan.
Dua : tidak boleh ada kontak fisik, okelah aku paham soal ini tapi yang terakhir ini?
Kita menikah hanya dua tahun? Why?”
“Memang itulah yang aku mau, Kak. Aku bersedia menikah denganmu dengan syarat tertentu,” jawab Vanesa kalem.
Ronald membuka dasi dan menyampirkannya di sandaran kursi. Menatap Vanesa yang minum teh dengan anggun.
Ronald mengamati dalam-dalam wanita di depannya, seakan ingin mencari celah untuk menembus pikiran Vanesa yang dia anggap aneh.
“Bagaimana jika aku tidak mau menandatangani ini?
Menepati syarat-syarat yang kamu minta?”
“Harus, tanpa itu tidak ada yang namanya rumah tangga harmonis di antara kita.”
Ronald tertawa mendengar kata harmonis.
“Kamu sungguh lucu, Vanes. Kamu bicara soal rumah tangga harmonis dengan syarat yang tertera? Kita menikah bukan sedang mengadakan kontrak!”
Suara Ronald yang meninggi membuat Vanesa mengerutkan kening. Dia menatap dalam-dalam wajah Ronald yang terlihat frustrasi.
“Aku hanya ingin melindungi diriku sendiri, demi kita, demia Sean!” tukasnya pelan.
“Demi kita katamu? Ini jelas melukai perasaanku,” ujar Ronald.
Dia bangkit dari duduknya, melangkah menuju jendela dan berdiam diri di sana.
“Kenapa jadi seperti ini Vanes, kamu bisa menolak lamaranku kalau memang kamu nggak mau menikah denganku?”
“Semua sudah terlambat, tanggal pernikahan sudah disiapkan oleh orang tua kita.”
Ronald menoleh, memandang Vanesa yang masih duduk tenang di kursinya dengan heran.
“Bagaimana jika aku yang menolak?”
Vanesa tidak menjawab. Menyeruput tehnya hingga habis. Mengelap bibir dengan tisu di atas meja lalu bangkit dari kursinya.
“Kamu udah nggak bisa menolak, Kak. Surat-suratku sudah kuberikan pada orang tuamu tadi siang.
Sepertinya mereka sudah mendaftarkan pernikahan kita ke KUA. Jalani saja.
Maaf, aku ada janji. Harus pergi sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban dari Ronald, Vanesa meninggalkan tempatnya dan melangkah menuju pintu.
“Vanes, tunggu!”
Dia menoleh dan melihat Ronald berjalan menghampiri.
“Kenapa jadi seperti ini? Tidak bisakah kita mengulang perasaan kita seperti waktu dulu?
Mencoba untuk kembali saling mencintai seperti dulu? Menikah tanpa perjanjian-perjanjian aneh itu?”
Vanesa memandang Ronald dengan tatapan menyeluruh. Berusaha mencari binar mata yang menangkan yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta.
Tinggi, berambut hitam panjang melewati leher, bertubuh kekar dengan alis hitam yang nyaris menyatu di di dahi. Luar biasa tampan.
“Perasaanku mati di hari pernikahanmu dan Kak Mili.”
Mengabaikan wajah Ronald yang terpukul, Vanesa menutup pintu di belakangnya.
Berjalan tergesa menuruni tangga teras dan menghampiri mobilnya yang terparkir di halaman.
Sepanjang jalan perasaan Vanesa bagaikan dicampur aduk. Bercampur antara rasa marah dan sedih di sana.
Dia sudah membuat keputusan dan akan menjalaninya. Demi almarhum Mili, demi sang ibu dan demi bayi kecil, Sean.
Aku bisa, aku pasti bisa melewati semua ini.
Mengulang-ulang mantra untuk menguatkan hatinya. Vanesa mengarahkan mobilnya menuju kafe tempat dia membuat janji.
Untunglah lalu lintas tidak macet, saat memasuki kafe dia tiba lebih awal sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan.
Sebuah kafe yang menyediakan kopi lokal yang enak.Lantai dua adalah tempat kesukaannya karena tidak banyak orang.
Pengunjung rata-rata lebih suka duduk di lantai satu yang ber-AC lebih dingin dari pada di lantai dua.
Vanesa mengamati pemandangan kota yang tampak temaram dari kaca yang menutup ruangan kafe. Tenggelam dalam pikirannya hingga sebuah sentuhan hangat di bahu menyadarkannya.
“Sudah lama menunggu, Sayang? Maaf, aku terjebak macet.”
Dia mendongak dan mendapati seorang laki-laki berwajah tirus memandangnya.
“Hai, Vico. Baru juga nyampai.”
Vico mendekat dan mengecup pipinya. Duduk di sebelah Vanesa dengan tangan menggenggam jari Vanesa.
“Tanganmu dingin, kenapa?” tanya heran.
“Nggak ada apa-apa, mungkin karena tadi habis dari kamar mandi.”
Vico tersenyum, membelai wajah Vanesa. “Aku senang kamu mengajakku ketemuan. Rasanya sulit sekali menemuimu setelah kematian Kakakmu.”
Vanesa tersenyum, membiarkan jari-jarinya bertautan dengan Vico. Pelayan datang mengantarkan pesanan mereka.
Vico dari dulu tidak berubah, selalu memesan minuman kesukaan Vanesa. Sikapnya yang penuh perhatian selalu meluluhkan hati Vanesa.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tolong dengarkan baik-baik, setelah itu kamu boleh marah dan mengomeliku.”
Vico tergelak, matanya menyipit menahan geli.
“Ada apa ini? Masa iya aku mengomeli kekasihku?”
Vanesa menghela napas panjang, meraih wajah Vico dan mengelusnya perlahan.
Tampan, manis dan perhatian.
Vico adalah teman sekaligus kekasih yang baik.
“Aku ingin putus, Vico.”
Sesaat hening tidak ada jawaban. “Jangan becanda, Sayang. Ini bukan April mop atau momen ulang tahun jadi kamu mengejutkan aku untuk memberiku surprise.”
Vanesa menggeleng.
“Ini serius, aku ingin putus dengan kamu. Minggu depan aku akan menikah.”
Wajah Vico memucat kaget. “Kamu serius?”
Vanesa mengangguk pelan.
“Siapa dia?” tanya Vico pelan.
“Ronald.”
“Apa? Kamu akan menikah dengan Ronald?” teriak Vico tanpa sadar.
“Iya, demi Sean.”
“Omong kosong!” sergah Vico kasar.
Dia bangkit dari tempat duduknya dan menatap Vanesa dengan tatapan tidak percaya.
“Kalau memang Ronald menginginkan pengasuh, dia bisa menyewa pembantu.
Atau kalau dia ingin pengasuh yang permanen untuk bayinya, dia bisa menikah lagi.
Lalu, kenapa harus kamu Vanesa?”
“Maafkan aku, Vico. Ada banyak alasan, ada banyak hal yang aku nggak bisa bilang.” Vanesa berkata dengan gemetar.
Hatinya terasa sakit melihat Vico terluka.
“Maaf katamu?
Berapa kali aku mengajukan lamaran dan kamu menolak.
Sekarang tiba-tiba mengatakan ingin menikah dengan Ronald. WHAT GOIN’ ON!”
Teriakan Vico membuat beberapan pengunjung menoleh ingin tahu.
Nampaknya dia tidak peduli, wajahnya pucat dan tangannya gemetar meremas rambutnya. Vanesa bangkit dari duduknya untuk menenangkan Vico yang marah.
“Tolong, tenanglah Vico. Aku benar-benar minta maaf. Ini semua demi keluargaku.”
“Bullshit! Kamu bisa menolak, kamu wanita modern dan ini bukan jaman Siti Nurbaya. Kecuali kamu memang masih mencintai Ronald.”
“Tidak, bukan seperti itu!” sanggah Vanesa cepat. “Kalau aku masih mencintai dia, aku tidak akan menjalin hubungan denganmu.
Tolong Vico, demi aku, demi Sean.”
Vanesa memohon, tangannya berusaha meraih Vico namun ditepiskan. Air mata meleleh di pipinya.
Vico memandang Vanesa yang berdiri dengan air mata berlinang. Lalu berucap pelan tanpa diduga.
“Baiklah, pergilah Vanesa. Menikahlah dengan Ronald tapi jangan harap aku akan pergi dari hidupmu.”
“Please, Vico?”
Vico menepis tangan Vanesa yang terulur, memandang dengan garang.
“Aku akan tetap di sisimu, membayangi kehidupanmu.
Saat menemukan waktu yang tepat, aku akan menarikmu kembali.
Selamat tinggal, Sayang. Aku tunggu undangan pernikahaanmu.”
Mengabaikan Vanesa yang menangis dan memanggil namanya dengan pelan, Vico berjalan pergi.
Vanesa menatap kepergian Vico dengan air mata di pipi dan hati yang berdarah.
Jiwa merasa sakit karena sudah melukai Vico, lelaki yang sudah setahun ini berada di sisinya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment