*TADA AISHITERU*
oleh: Wiwin Setyobekti
❤🙍♂❤
nomor 12
Keesokan harinya, ketika Renata membuka mata, ia tak menemukan Shinji di sampingnya. Rupanya lelaki itu telah pergi diam-diam.
Yang ia temukan hanyalah secarik kertas di atas meja rias di samping tempat tidurnya yang bertuliskan: I love you.
Bukti bahwa Shinji sadar betul dengan apa yang ia ucapkan semalam.
***
"Jadi, siapa lelaki itu sebenarnya? Semalam lelaki itu menciummu dengan lembut di depan banyak orang. Kelihatan sekali kalau kalian punya hubungan dekat. Apa kalian berkencan?" tanya Tina dengan penuh selidik ketika mereka sudah bertemu lagi di tempat kerja.
Renata hanya mengangkat bahu tanpa menjawab.
"Iya, kan? Kalian pasti berkencan." Tina kembali menyimpulkan sendiri.
"Kami hanya teman." Renata menjawab pendek.
"Mana ada teman yang mencium temannya sendiri dengan begitu penuh perasaan? Ia bahkan membisikkan kata 'Aku takkan pernah bisa hidup tanpamu'. Ah, manis sekali kedengarannya. Ayolah, dia kekasihmu, kan? Kalian pasangan yang serasi. Dan jujur saja, lelaki itu tampan luar biasa." Tina menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan mata berkedip-kedip lucu.
Renata tertawa tipis.
"Percayalah, kami hanya teman." Ia kembali menegaskan.
"Bohong, kau pikir aku tak tahu kalau lelaki itu selalu datang ke sini setiap jam makan siang. Kau bahkan selalu menemani dia makan."
Renata terdiam. Asyik membersihkan permukaan meja counter dengan lap.
"Eh, itu dia! Lelaki yang semalam menciummu!" Tiba-tiba Tina berteriak seraya menunjuk ke arah pintu keluar. Renata tersentak. Perempuan itu menoleh mengikuti arah telunjuk Tina. Ia mencari-cari sosok yang baru saja mereka bicarakan. Tapi ia tak dapat menemukannya di depan pintu keluar.
Sesaat kemudian, ia mendengar gelak tawa Tina.
"Aku hanya bercanda, Rena. Kenapa kau sekaget itu? Tuh, kan? Kau pasti mencintainya. Aku bisa melihatnya dari kedua matamu," ucapnya menggoda.
Renata mendelik. Segera cubitannya bersarang di pinggang sahabatnya tersebut. Sayangnya, ia hanya sempat mengenainya sedikit karena Tina keburu kabur meninggalkannya.
"Kalau kau melakukannya lagi, habis kau!" Renata berteriak. Tina hanya tertawa penuh kemenangan karena merasa berhasil menggodanya. Ia melambaikan tangannya dan segera berlari ke arah dapur belakang.
Dan Renata segera kembali disibukkan dengan beberapa pesanan yang harus segera ia antarkan ke beberapa meja pelanggan.
Jika harus jujur, sebenarnya ia berharap Tina tak bercanda.
Ia mengharapkan kehadiran Shinji. Ia ingin melihatnya, bertemu dengannya dan mengetahui keadaannya. Semalam pria itu terlihat kacau, dan ia khawatir.
Sebenarnya Renata ingin menelpon Shinji, tapi ragu. Apa ia akan menjadi wanita murahan jika menelponnya lebih dahulu, mengingat apa yang sudah pria itu lakukan padanya?
Bukankah seharusnya ia membencinya? Menghujaninya sumpah serapah, atau mendoakan hal buruk padanya?
Sayangnya, tidak.
Renata takkan bisa melakukannya.
Mungkin ini yang disebut cinta gila. Dulu ketika Renata merasa jatuh cinta pada Hasan, ia mencintai lelaki itu dengan penuh pertimbangan beserta alasan-alasan.
Tapi dengan Shinji, ia serasa tak bisa menggunakan akal sehatnya lagi.
Mencintai Shinji begitu berbeda. Ia merasa gila, buta dan tak punya logika.
Lelaki itu telah melakukan banyak hal padanya. Merubah hidupnya dan nyaris menghancurkan dirinya - sebenarnya sudah. Tapi, ia tetap saja mencintainya, tulus, tanpa pamrih.
Dan semalam, jelas-jelas ia mendengar bahwa lelaki itu juga sangat mencintainya. Ia bahkan bilang dengan terus terang bahwa ia tak dapat hidup tanpa dirinya.
Apa ia serius?
Apa ia sedang bermain peran lagi?
Sama seperti dulu, kehadirannya begitu tiba-tiba.
Mengatakan bahwa restoran tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan?
Ia pasti bercanda. Restoran ini bahkan ramai pengunjung.
"Terkutuklah kau, Shinji Okada." Tanpa sadar Renata menggumam lirih, dibarengi dengan desahan napas berat.
"Oh, Ren. Aku lupa ingin bilang. Nanti setelah sepulang kerja, teman-teman akan pergi ke tempat karaoke. Dan kali ini, kau harus ikut. Tak boleh menolak. Titik." Tina melongokkan kepalanya dari balik pintu dapur.
"Well, sepertinya aku takkan bisa ikut lagi karena... "
"Tidak!" Tina berteriak dan menghambur ke arahnya. "Tidak ada penolakan lagi. Yang jelas, malam ini kau harus ikut. Ayo kita bersenang-senang. Kau terlihat suntuk akhir-akhir ini, oke?"
Renata terdiam sesaat.
"Dengan siapa saja?" Akhirnya ia bertanya.
"Semua ikut. Akan ada pria-pria ganteng kali ini." Perempuan itu terkikik. Renata menarik napas, mengulur waktu, lalu kemudian tersenyum. "Oke, aku ikut," jawabnya.
"Sebentar, kau ingin kemana?" Tiba-tiba Pak Robby, sang manajer, muncul dari balik pintu.
"Kami? Kami akan pergi ke karaoke. Bapak mau ikut?" Tina menyahut.
"Tidak, bukan kau. Maksudku, kau..." Ia menunjuk Renata. "Akan ke mana?"
Renata mengerjap.
"Saya akan ikut mereka ke tempat karaoke, Pak. Ada apa?" Ia bertanya bingung menyadari kalimat Pak Robby yang terlihat serius.
Lelaki setengah baya itu menyipitkan matanya. "Tidak. Kau tak boleh ikut?"
"Kenapa?"
"Ikutlah denganku. Kita harus bicara." Pak Robby memberi isyarat dengan jemari agar Renata mengikuti langkahnya.
Renata menatap sekilas ke arah Tina. Temannya itu hanya mengangkat bahu, bingung.
Toh akhirnya Ia tetap mengikuti Pak Robby ke ruangan.
"Kau tak boleh ikut. Aku sudah mendapat perintah khusus untuk mengawasimu. Agar kau tak jalan-jalan ataupun pergi ke tempat-tempat hiburan yang memberikan kesempatan padamu untuk bertemu lelaki lain," ucap Pak Robby.
Ucapan lelaki itu tak pelak membuat Renata melongo. "Hah?"
"Tuan Shinji yang memberi perintah," lanjut lelaki itu.
Renata melotot. "Shinji?!" Ia nyaris berteriak.
Pak Robby berdecih kesal.
"Hati-hati kau menyebutkan namanya. Dia itu pemilik baru restoran ini. Panggil namanya dengan sopan." Ia protes.
"Jadi anda sudah tahu kalau dia pemilik restoran ini?"
"Tentu saja. Aku manajer di sini. Aku tahu siapa atasanku." Lelaki berkaca mata itu membalas.
"Dan kenapa dia memberikan perintah seperti itu?" tanya Renata bingung.
"Beberapa hari ini beliau akan ada di Tokyo untuk mengurus pekerjaan. Sebelum ia kembali lagi ke sini, dia berpesan padaku untuk mengawasimu."
"Mengawasiku?" Renata mendelik.
Pak Robby mengangguk.
"Hanya untuk memastikan bahwa kau akan pulang ke rumah kontrakkanmu dengan aman. Dan yang yang terpenting, kau tidak keluyuran ke tempat-tempat di mana kau bisa menemui lelaki-lelaki lajang."
"Apa?" Perempuan itu mendesis.
"Dan..." Pak Robby menatap Renata mantap. "Mulai nanti, akan ada sopir khusus yang mengantarmu pulang. Dan kau tak bisa menolak. Jika kau menolak, Pak Shinji akan memecatmu."
"WHAT??"
Pak Robby hanya mengangkat bahu cuek. "Itu saja yang akan kusampaikan. Sekarang, kembali bekerja."
"Tunggu. Tolong sambungkan saya ke nomor ponselnya. Saya ingin bicara dengannya." Renata protes.
"Untuk apa kau bicara dengannya?"
"Pokoknya sambungkan saja saya dengannya! Saya harus bicara dengannya, titik!"
"No." Pak Robby menjawab tegas sembari mengibaskan tangannya.
"Dan jika kau terus menerus protes seperti ini, maka Pak Shinji akan... "
"Memecatku?"
Lelaki itu mengangguk.
Renata menggigit bibirnya kesal. Tak percaya dengan apa yang sedang ia hadapi sekarang.
Bagaimana mungkin Shinji pergi begitu saja lalu meninggalkan lelucon semacam ini padanya?
Ia berteriak dalam hati, gemas.
***
Renata menatap hamparan tempat parkir yang sepi. Ia menarik napas panjang, kecewa.
Shinji belum kembali.
Beberapa hari terakhir ini ia agak terbiasa dengan kehadiran lelaki itu di sana, di depan tempat kerjanya, bersandar di mobilnya, yang lebih sering menatapnya dengan angkuh.
Sekarang, terasa ada yang hilang.
Di mana dia?
Apa dia baik-baik saja?
Ataukah dia sedang sakit?
Renata kembali mendesah sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menuju ke arah sebuah mobil yang sedang menunggunya.
Mulai beberapa waktu yang lalu, ia setuju dengan 'lelucon' yang dibuat Shinji. Seorang sopir selalu setia mengantarnya pulang. Karena tak mau menimbulkan kecurigaan di antara karyawan lain, ia setuju diantar asalkan semua karyawan yang lain sudah pulang terlebih dahulu.
Setelah sampai di rumah, Renata mengucapkan terima kasih kepada sopir yang mengantarkannya sebelum ia turun dari mobil. Sopir itu tersenyum ramah lalu pergi.
Beberapa meter sebelum sampai di depan rumahnya, ia menangkap sesosok tubuh yang berdiri termangu di bawah remang-remang cahaya lampu. Tidak begitu jelas.
Renata sempat merasa was-was kalau itu orang jahat.
Tapi begitu sosok itu keluar dari temaramnya lampu menuju tempat yang lebih terang, tubuh Renata segera membeku.
"Mas Hasan?" Ia mendesis.
Lelaki itu menatap Renata dengan dalam. Raut mukanya datar. Tak ada senyum yang tersungging di sana.
"Renata," panggilnya lirih. Suaranya bergetar. Dan tiba-tiba saja, air mata lelaki itu menitik.
"Mas?" Renata kembali mendesis.
Dengan langkah gontai, Hasan mendekati Renata lalu menghambur ke arahnya dan memeluk wanita itu dengan erat. Bahunya terguncang, ia terisak. Renata tak bergerak, bingung.
"Maafkan aku, Ren. Maafkan aku karena membiarkan kau terluka. Maafkan aku karena aku tak mampu melindungimu. Maafkan aku karena gagal membuatmu bahagia. Aku bersalah," bisiknya serak.
"Mas, ada apa?" Renata bertanya bingung.
"Anggi sudah menceritakan segalanya. Ia menceritakan tentang Shinji. Ia menceritakan padaku kalau dulu ia mendekatiku atas perintah lelaki itu. Ia sengaja menggodaku, agar kita berpisah, agar kita bercerai. Shinji yang merencanakan semua ini, Ren. Dialah yang melakukannya, menghancurkan rumah tangga kita. Dia berbahaya, dia jahat."
Renata merasakan dadanya berdesir. Perempuan itu menelan ludah, lalu memejamkan matanya sesaat. Dan air matanya menetes.
Tidak.
Ia tak pernah berharap Hasan akan mengetahui semuanya.
***
Hasan dan Renata duduk berdampingan di sebuah kursi sempit di teras rumah. Secangkir teh yang masih hangat berada di meja, di depan mereka. Masih utuh. Mereka masih berdiam diri selama beberapa menit. Canggung.
"Dari mana kau tahu kalau aku di sini?" Renata membuka suara.
"Setelah mendengar pengakuan Anggi, aku langsung ke rumahmu. Aku berbicara banyak dengan Mas Aldi. Dan ia memberiku alamatmu yang baru," jawab Hasan.
"Aku ke sini dengan buru-buru. Aku hanya merasa marah dengan semua pengakuan Anggi yang tiba-tiba. Entahlah, aku hanya merasa seperti orang bodoh saja. Aku merasa dipecundangi. Dan jujur, itu sangat menyakitkan."
"Aku sudah tahu tentang itu, Mas. Aku sudah tahu kalau Anggi sengaja mendekatimu karena perintah Shinji. Itu... sudah kuketahui sejak lama." Renata menjawab serak.
Hasan menatap perempuan itu dengan miris.
"Kenapa kau tak bercerita padaku? Kenapa kau tak menghubungiku?"
Renata mengangkat bahu.
"Jika aku menghubungimu, lantas apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan meninggalkan Anggi lalu kembali padaku?"
"Tentu saja aku akan meninggalkannya!" Hasan berjengit, emosional.
"Kemudian?" Renata kembali bertanya. Keduanya berpandangan.
Hening.
Renata menggeleng pelan. "Bahkan jika kita tahu itu, keadaan tidak akan bisa berubah. Perkawinan kita hancur, tak terselamatkan. Kita takkan bisa bersama-sama lagi," ucapnya.
"Jujur, tadinya aku begitu marah dengan Anggi. Tapi dia perempuan yang baik. Terlepas motif awal yang dia pakai ketika mendekatimu, dia mencintaimu dengan tulus. Aku bisa melihat itu dari matanya. Bahkan jika harus jujur, rasa cintanya padamu lebih besar daripada apa yang kurasakan padamu. Selain itu, bukankah dia sudah bercerita dengan jujur padamu. Itu artinya, ia ingin menjalani hubungan yang lebih terbuka, tanpa dibayang-bayangi rasa bersalah. Jangan tinggalkan dia, Mas. Hiduplah bahagia dengan Anggi. Terlebih lagi karena ada anak di antara kalian. Pikirkanlah masa depan anakmu. Dia layak mendapatkan sebuah keluarga yang lengkap dan bahagia."
Hasan terdiam. Sesaat ia terkekeh, getir.
"Kita benar-benar diperlakukan seperti orang bodoh ya?" desisnya.
"Mungkin. Tapi aku sudah memaafkan Anggi, aku juga sudah memaafkan Shinji. Jadi kuharap kau juga bisa melakukan hal yang sama. Maafkan mereka."
"Semudah itukah kau memaafkan mereka setelah apa yang mereka lakukan pada kita? Mereka menghancurkan hidup kita, Ren. Mereka membuat pernikahan kita porak poranda." Kalimat Hasan tertekan.
"Tanpa ulah mereka pun aku tak yakin kalau perkawinan kita akan bertahan," ujar Renata hingga membuat Hasan melotot.
"Apa maksudmu?"
Renata kembali mendesah pelan, lalu menatap pria di sampingnya lekat.
"Kau menginginkan bayi dan aku tak bisa memberinya. Jadi cepat atau lambat, hubungan kita pasti akan bermasalah. Dulu kita sama-sama saling mencintai, tapi seolah masing-masing dari kita tengah menggenggam bom waktu. Tinggal tunggu waktunya saja untuk meledak."
"Renata ..." Hasan memanggil lembut.
"Sekarang kau sudah mempunyai hidup yang sempurna, Mas. Kau dianugerahi keluarga kecil yang bahagia, istri yang baik dan juga seorang anak yang lucu. Tak bisakah kita melupakan masa lalu? Mari kita sama-sama menatap masa depan yang lebih baik. Lagipula, aku sudah merelakanmu. Jadi kumohon, jangan sia-siakan Anggi dan anaknya."
Hasan menatap perempuan itu dengan putus asa. "Tetap saja aku tak bisa merelakanmu bersama Shinji. Dia tak layak mendapatkan perempuan seperti dirimu. Kau terlalu baik untuknya."
Renata mengangkat bahu.
"Aku tidak bersamanya, Mas. Tenanglah. Lagipula, aku nyaman dengan hidupku yang seperti ini," jawabnya.
"Maksudmu, kau tak akan kembali pada Shinji?"
Renata mengangkat bahu. "Aku tak tahu," ia merasa tak yakin.
"Kau tak mencintainya lagi?"
"Aku... tak tahu," jawab Renata lagi, terbata, mencoba menyembunyikan kebohongannya.
"Kau mencintainya." Hasan langsung menebak hingga membuat perempuan cantik itu tersenyum kecut.
"Aku bisa melihatnya dari matamu. Kau mencintai lelaki itu. Ya, kan?"
"Aku juga tahu kalau kau mulai mencintai Anggi. Aku bisa melihatnya dari sorot matamu ketika dulu kau berusaha menyelamatkan nyawanya dari usaha bunuh diri. Binar itu ada di matamu. Bahwa kau khawatir padanya, pada anakmu. Jadi, bisa kusimpulkan bahwa... ada cinta di hatimu untuknya," balas Renata.
Keduanya terdiam. Hening lagi.
Semilir angin menerpa diri mereka.
"Aku hanya tak percaya bahwa kau bisa jatuh cinta pada Shinji setelah apa yang dilakukan oleh pria itu." Suara Hasan yang terdengar gemas memecah keheningan. "Dia ... berengsek."
Bibir Renata mengerucut getir. Ia merasakan matanya basah.
"Aku juga tak percaya dengan diriku sendiri, Mas. Setelah apa yang Shinji lakukan padaku, aku tetap saja... " Ia menelan ludah. "Aku tetap saja tak mampu membencinya." Suaranya berat, nyaris tertelan di tenggorokan.
"Beberapa bulan ini aku hidup dengan penuh percaya diri, percaya bahwa aku baik-baik saja. Sampai akhirnya Shinji kembali muncul di hadapanku dan dari situlah aku tersadar, aku tidak bisa lepas dari bayang-bayangnya." Air mata perempuan itu tumpah.
"Dan sekarang, aku merasa tak baik-baik saja." Bibirnya bergetar.
Kembali Hasan menatap mantan istrinya itu dengan iba. Perlahan ia beranjak, berlutut di hadapannya lalu meremas tangannya dengan erat. "Maafkan aku, Ren. Maafkan aku," ia ikut meratap.
"Aku bersalah padamu. Aku tak mampu melindungimu, tak mampu membahagiakanmu." Ia beringsut, memeluk perempuan itu dan berusaha menenangkannya.
"Apa kalian akan rujuk?"
Suara itu membuat Hasan dan Renata menoleh. Tampak lelaki jangkung sudah berdiri tak jauh dari mereka dengan tatapan tak suka.
Shinji.
[3/5, 10:28 PM] Mas Djudjuk: *TADA AISHITERU*
❤🙍♂❤
nomor 13
“Apa ini? Reuni? Langkah awal untuk rujuk kembali?” Kalimat Shinji terdengar satir.
Melihat kedatangan lelaki itu, amarah Hasan seakan tersulut. Rahang kokohnya seketika kaku.
“Berengsek kau.” Ia mendesis marah seraya bangkit, berlari ke arah Shinji lalu mendaratkan pukulan telak ke wajahnya.
Renata menjerit menyaksikan adegan itu.
Tampak Hasan kembali mendaratkan sebuah pukulan ke wajah Shinji. Pukulan yang bertubi-tubi hingga Shinji tersuruk ke tanah.
Wajahnya memar, bibirnya robek dan berdarah. Tapi anehnya, lelaki itu sama sekali tak mencoba menghindar ataupun membalas semua pukulan Hasan.
“BEDEBAH KAU! SETELAH APA YANG KAU LAKUKAN PADA RENATA, BERANI-BERANINYA KAU MENAMPAKKAN WAJAHMU KE HADAPANNYA LAGI, HUH!” Hasan berteriak lantang.
Ia mencengkeram kerah baju Shinji dan menatapnya dengan mata nanar.
“KAU HARUSNYA SUDAH MEMBUSUK DI NERAKA!”
“Mas, hentikan! Jangan ribut lagi!” Renata berlari ke arah mereka dan mencoba melerai perkelahian tersebut. Mencoba menghentikan aksi Hasan yang terus menerus memukuli Shinji.
Tapi karena sudah terlanjur kalap, lelaki itu tak menggubris. Ia bahkan tanpa sengaja malah mendorong tubuh Renata hingga perempuan itu terpelanting dan ikut tersuruk ke tanah.
Melihat kejadian tersebut, Shinji membelalak. Ia bangkit dan balas mencengkeram kerah Hasan hingga keduanya terlibat saling tarik.
“Kau boleh memukulku. Sesuka hatimu, aku tak peduli! Toh aku memang pantas menerimanya. Tapi kau tak berhak mendorong Renata!” Shinji berteriak lantang, lalu memukul Hasan, tepat di hidungnya.
Dan segera hidung mancung lelaki tersebut mengeluarkan darah.
“PUKUL AKU TAPI JANGAN MENDORONG RENATA!” Shinji kembali berteriak lantang.
“Aku memang bersalah karena telah merencanakan balas dendam itu demi bisa menyaksikan rumah tangga kalian berantakan. Tapi jika saja kau tak tergoda pada Anggi, semua ini takkan terjadi. Jika saja kau lelaki setia, kau takkan termakan rayuan Anggi dan tentu saja kalian masih baik-baik saja. Tapi apa kenyataannya? Kau juga ikut andil dalam menghancurkan pernikahanmu sendiri!” Lelaki jangkung itu kembali sesumbar.
“KAU ...” Dan Hasan kembali menerjang Shinji hingga tak ayal keributan di antara mereka kembali terjadi.
Renata hanya mampu manatap kejadian itu dengan frustrasi.
“Kau dan aku sama-sama berengsek! Kita berdua sama! Kita adalah dua lelaki bajingan yang menorehkan luka pada Renata!” teriak Shinji lagi. “Bedanya adalah aku menerima dia apa adanya, sementara kau tidak!” lanjutnya.
“Omong kosong!” Hasan kembali bersungut-sungut.
“Cukup! Jika kalian masih ribut, aku akan berlari ke jalan raya dan menabrakkan diriku sendiri ke mobil yang melintas agar kalian puas! Aku serius!” Renata menjerit.
Dan ajaib, kata-katanya membuat keribuatan antara Hasan dan Shinji berhenti seketika. Kedua lelaki yang sudah babak belur itu bangkit lalu menatap bersamaan ke arah Renata.
Sementara Renata menatap mereka secara bergantian dengan marah.
“Aku tak suka keributan. Jadi kumohon, hentikan semua ini. Mas, masuklah ke dalam. Lukamu harus diobati. Dan, Shinji___" Perempuan itu menatap Shinji dengan was-was. “Kumohon, pulanglah.”
Shinji menatap wanita itu dengan tak mengerti.
“Kau menyuruh dia___" Ia menunjuk Hasan. "___masuk, sementara kau memintaku pulang?” Ia terdengar protes.
Renata menarik napas panjang.
“Hasan jauh-jauh datang ke sini. Tak mungkin baginya untuk pulang. Jadi, dia akan menginap di sini. Selain itu, ada yang harus kami bicarakan,” jelasnya.
Raut muka Shinji nampak campur aduk. Ada ekspresi kecewa, terluka, dan juga amarah. Ia manggut-manggut.
“Oke. Kalau begitu aku akan pergi jika kau yang meminta. Tapi satu hal yang harus kau ingat, jika kau dan Hasan sampai rujuk, aku yang mati,” desisnya tegas.
"Shinji..." Renata mengerang.
Shinji tak menggubris. Meninggalkan Renata dan Hasan yang berdiri bersebelahan, ia beranjak menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan.
Setelah sempat membanting pintu dengan kasar, segera mobil itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi.
Dan Renata hanya mampu menatap kepergian lelaki itu dengan perasaan tak menentu.
°°°
Renata membantu Hasan mengobati lukanya. Hidungnya mimisan dan ada luka robek di bibir bagian atas.
“Kalian bukan anak kecil lagi. Kenapa kalian harus ribut seperti ini,” ujar Renata kesal.
Hasan sempat meringis ketika Renata menekan luka di bibirnya dengan kapas.
“Maaf karena aku telah membuat keributan di rumahmu.” Lelaki itu mendesis.
Renata duduk di kursi yang berada di depan Hasan lalu menatap lelaki itu dengan dalam.
“Mas, aku memahami kemarahanmu. Tapi___" Ia mendesah lelah. “Bisakah kalian membiarkanku hidup damai?”
Hasan terdiam.
“Pulanglah, Mas. Anggi dan anakmu pasti sudah menunggu. Mereka pasti mengkhawatirkanmu. Atau, perlu kuberitahu padanya kalau kau ada di sini?”
Pertanyaan itu dijawab cepat oleh Hasan dengan gelengan. “Aku... akan segera pulang,” jawabnya, berat.
Hening lagi.
“Shinji benar, Ren,” desis lelaki tersebut.
“Hm?”
“Dia benar. Seandainya aku tak tergoda oleh Anggi, pernikahan kita pasti baik-baik saja.”
Renata memutar bola matanya dengan kesal. “Mas, itu sudah terjadi, jangan dibicarakan lagi,” gerutunya.
“Tapi dia benar. Aku tak mampu mencintaimu apa adanya, tak mampu menerima dirimu dengan segala kekuranganmu, itulah kenapa aku sampai tergoda dengan Anggi. Dan di sinilah segalanya bermula. Aku ikut andil dalam menghancurkan perkawinan kita. Aku benar-benar ... berengsek.”
“Mas...” Renata mengerang seraya beringsut, memeluk Hasan, berusaha menenangkannya.
“Tak perlu menyalahkan dirimu lagi. Anggap saja ini pelajaran hidup untuk kita semua. Aku tak lagi membencimu, aku tak lagi membenci Anggi. Aku juga tak lagi membenci Shinji. Aku ingin hidup tenang, damai,” ucapnya seraya menepuk-nepuk punggung Hasan dengan lembut.
“Tapi, Ren ...”
“Mas, please...” Renata berbisik. “Jika kau merasa bersalah, berjanjilah satu hal padaku?”
“Apa?”
“Hiduplah bahagia dengan Anggi. Dengan keluarga kecilmu. Tak ada yang lebih membahagiakan buatku selain menyaksikan kau bahagia. Jika kau tidak bahagia, kau harus sadar bahwa itu menyakitiku. Jadi ... ” Ia memperat pelukkannya. “Kumohon, hiduplah bahagia sebagaimana mestinya.”
Hasan terdiam. Tangannya bergerak dan balas memeluk Renata. “Dan kau juga harus berjanji padaku?”
“Apa?” Renata balas bertanya.
“Kau juga harus hidup bahagia. Entah kau memutuskan untuk bersama Shinji atau tidak,” ucap Hasan kemudian.
Renata tersenyum. Air matanya menitik. “Ya,” jawabnya lirih.
***
Pagi-pagi sekali, Renata dikagetkan kedatangan Anggi ke rumahnya.
Perempuan itu tampah kelelahan, pucat, dan rapuh. Bayi mungil ia peluk erat dalam gendongannya.
"Anggi?" Renata menyapa heran dengan pertanyaan.
Dan sapaan itu dijawab dengan tangis oleh perempuan di hadapannya.
"Ada apa? Ayo masuk."
Renata buru-buru menggamit bahu Anggi dan mengajaknya masuk ke rumah.
Sempat ia lihat mobil yang terparkir di halaman rumah kontrakannya.
Dan ada sopir di sana. Sepertinya ia yang mengantarkan Anggi.
"Duduklah," ucap Renata sambil membimbing perempuan itu duduk. Setelah itu ia buru-buru membuatkan segelas teh hangat.
"Kau ke sini sendiri?"
Anggi mengangguk sambil sibuk menghapus air matanya. Sementara bayi dalam gendongannya tetap tertidur pulas.
"Aku diantarkan Pak Sopir," jawabnya serak.
"Mas Hasan?"
"Dia meninggalkan rumah sejak kemarin dan... belum pulang."
Renata ternganga. "Belum pulang?"
Anggi mengangguk. "Kedatanganku kemari bukan untuk mencarinya, Ren. Melainkan untuk meminta maaf secara langsung padamu. Aku akan berkata jujur bahwa... aku mendekati Hasan atas perintah seseorang. Aku sengaja menggodanya hingga rumah tangga kalian berantakan. Aku bersalah padamu, Ren. Dosaku terlalu besar." Perempuan itu sesenggukan.
"Anggi, sudahlah..."
"Aku tak mau dibayang-bayangi lagi oleh rasa bersalah. Aku ingin hidup damai. Aku juga sudah menceritakan semua ini pada Hasan. Dan aku pasrah kalau seandainya ia menceraikanku. Tapi setidaknya, aku sudah mengungkapkan yang sebenarnya..."
Perempuan itu tampak tak berdaya.
Renata beringsut duduk di sisinya lalu mengelus punggungnya dengan lembut.
"Anggi, tenanglah..."
"Setelah menceritakan ini pada Hasan, ia meninggalkan rumah. Dan belum kembali. Aku nekat datang ke rumahmu dan bicara dengan keluargamu. Dan mereka memberitahu tempat ini. Barangkali saja Hasan datang kemari___"
"Hasan memang kemari." Renata memotong. "Kami bicara banyak, dan setelah itu dia pamit pulang."
"Apa kalian akan rujuk?"
Renata menggeleng cepat. "Tidak. Kami hanya... kembali bersahabat. Dia suamimu dan ayah dari anakmu." Tatapan Renata jatuh kembali ke arah bayi mungil di gendongan Anggi.
Kecil, mungil, dan imut. Umurnya mungkin baru tiga bulanan.
"Tapi dia tidak pulang..." ratap Anggi. "Jadi kupikir, dia benar-benar akan meninggalkan kami."
"Coba telponlah dia. Jujur aku juga khawatir, kenapa ia belum pulang."
"Aku tidak membawa ponsel. Tadi malam aku berangkat buru-buru dan aku melupakan ponselku," jawab Anggi.
Akhirnya, Renata yang beranjak menelpon Hasan dari ponselnya. Setelah terlebih dahulu meminta nomer Hasan dari Anggi.
"Halo," sapa Renata ketika terdengar seseorang menerima panggilannya.
"Ya?" jawab dari seberang sana.
"Mas, aku Renata."
"Ya, ada apa, Ren?"
"Di mana kau?"
"Mmm, aku di___"
"Datanglah ke rumahku lagi. Anggi ada di sini."
"Hah?" Terdengar suara syok dari Hasan.
Buru-buru pria itu menutup telpon tanpa mengucap apa-apa pada Renata.
Awalnya Renata mengira Hasan akan menghilang entah kemana dan menolak bertemu Anggi.
Faktanya, 30 menit kemudian lelaki itu benar-benar datang ke rumahnya.
Sosok itu menyeruak masuk ke rumah Renata dengan terburu-buru dan wajahnya cemas. Anggi yang melihat kedatangan Hasan langsung menangis. Sementara Hasan dengan sigap menggantikan Anggi menggendong bayinya.
"Jangan menangis, nanti kau membangunkannya." Ia berucap pelan.
"Lagipula kenapa kau harus jauh-jauh kemari? Dia masih terlalu kecil, kalau lelah bagaimana?"
"Karena semalaman kau tak pulang, makanya Anggi yang menyusulmu kemari." Renata menyahut sewot.
Sementara Anggi sibuk lagi menyapu air matanya.
"Aku berniat pulang, tapi ketinggalan pesawat. Jadwal penerbangan selanjutnya masih beberapa jam lagi, akhirnya aku memutuskan untuk mencari penginapan karena lelah. Aku menelponmu, tapi kau tak mengangkatnya." Pria itu menatap istrinya sekarang.
"Ponselku tertinggal di rumah," jawab Anggi pasrah.
"Apa Noah rewel? Ia tak merepotkan, kan?" Hasan menimang bayi dalam gendongannya dan Anggi menjelaskan dengan suara serak tentang keadaan anak mereka.
Melihat interaksi mereka, Renata tersenyum haru. Ia takjub menyaksikan Hasan berbicara dengan Anggi. Ia takjub melihat pria itu menggantikan Anggi yang tampak kelelahan menggendong bayinya. Dan ia terkesima menyaksikan bagaimana Hasan begitu cekatan menggendong bayi itu tanpa rikuh.
Lagi-lagi Renata tersenyum haru.
Hasan memang pernah mengkhianatinya sekali. Tapi bahwa ia sosok pria yang penyayang, penyabar dan bertanggung jawab, adalah benar adanya.
Dan Renata yakin, Hasan akan hidup bahagia dengan Anggi.
"Boleh aku menggendongnya?" Renata membuka suara tiba-tiba.
Hasan menatapnya dengan mata berbinar. "Boleh," jawabnya cepat.
"Ayo sini kubantu. Tapi hati-hati ya."
Dan atas bantuan Hasan, bayi mungil itu sekarang berada dalam gendongan Renata.
"Namanya Noah. Keren, kan? Dia imut sekali. Kelak, dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang tampan." Hasan bercerita dengan bangga.
Tatapan Renata jatuh pada bayi mungil di dekapannya. Dan tanpa sadar kedua matanya berbinar. Senyum lebar tercetak jelas bibirnya.
Hatinya berdesir. Benar, punya bayi adalah hal yang sangat luar biasa.
°°°
Renata mempercepat langkahnya kemudian menyeruak ke ruang manajer.
“Pak, apa Shinji sudah datang?” cerocosnya.
Pak Robby melotot, terlihat keberatan dengan panggilan yang dilakukan Renata.
"Pak Shinji," koreksinya.
Renata mendengus lirih. "Iya, Pak Shinji," ralatnya.
“Beliau masih di Tokyo.”
Renata mengernyit.
“Semalam aku bertemu dengannya. Apa dia kembali ke Jepang secepat itu?”
Pak Robby mengangkat bahu. “Tak tahu,” jawabnya ketus.
“Kalau begitu, tolong sambungkan saya ke nomor ponselnya,” ujar Renata lagi.
“Tidak.” Pria itu menyahut pendek.
“PAK!” Renata berteriak frustrasi. Sementara manajernya hanya menggeleng santai.
"Aku tak peduli ada hubungan apa di antara kalian. Tapi kita harus profesional, oke? Lagipula, sudah beberapa hari ini Pak Shinji menolak telepon dariku. Dia bilang, ia sedang sibuk dan tak mau diganggu. Begitu.” Ia melanjutkan.
Renata meremas kepalanya sendiri. Kesal.
Ia tak menemukan cara untuk bisa menghubungi lelaki itu. Hingga yang ia lakukan selanjutnya hanyalah menunggu.
Sehari.
Dua hari.
Tiga hari.
Hingga hampir seminggu, Shinji hilang kabar dan tak muncul di hadapannya.
°°°
Merasa putus asa karena tak ada kabar dari Shinji, Renata memutuskan menyerah.
Ia memutuskan menunggu, hingga lelaki itu muncul di hadapannya dengan sendirinya.
Dan, kelegaan luar biasa Renata rasakan ketika di suatu malam selepas bekerja, ketika menunggu sopir yang biasa mengantarkan dirinya pulang, ia melihat sosok itu di sana.
Shinji, di halaman restoran. Bersandar di mobilnya dengan canggung sembari menunggu dirinya.
Renata menahan diri untuk tidak menghambur ke arahnya, memeluknya, lalu menanyakan kabarnya.
Melihat kedatangan Renata, lelaki itu tersenyum tipis.
Shinji memang berdiri di bawah temaran lampu taman, tapi Renata bisa melihat jelas bahwa kedua matanya sayu, dan mukanya sedikit pucat. Ia terlihat kacau.
Apa ia masih marah karena kedatangan Hasan beberapa waktu lalu?
Apa ia berpikir Renata dan Hasan kembali menjalin hubungan?
Renata mempercepat langkah dan mendekati lelaki tersebut.
“Aku ingin bicara denganmu.” Shinji mendahului menyapa ketika Renata sudah berada di hadapannya.
“Kau tak sakit, kan?” Renata bertanya.
Lelaki di hadapannya terkekeh.
“Tidakkah ada pertanyaan lain selain itu? Setiap kali kita ketemu kau selalu bertanya apakah aku sakit atau tidak.”
“Aku mengkhawatirkanmu.” Renata menjawab jujur.
Shinji tertegun mendengar secara langsung bahwa perempuan itu mengkhawatirkannya.
“Aku baik-baik saja. Hanya sedikit... kacau,” jawabnya kemudian.
Ia membuka pintu mobil. “Naiklah. Aku ingin bicara sambil mengantarkanmu pulang,” ucapnya.
Renata menggeleng pelan.
“Jika ada yang ingin kau bicarakan, bicarakan saja di sini. Setelah itu, segeralah kau pulang. Kau tampak... lelah,” jawabnya.
Shinji menatap perempuan itu dengan tatapan protes. Dan ia tak berkutik ketika Renata bersikeras tak mau masuk ke mobil.
Akhirnya, Shinji mengurungkan niatnya lalu kembali menutup pintu. Pria itu menyandarkan tubuhnya di mobil sembari kembali menatap Renata.
“Aku minta maaf. Aku membuat kekacauan di rumahmu dengan Hasan,” ujarnya, tulus.
Renata hanya mengangkat bahu lalu tersenyum canggung.
“Kau tak rujuk dengannya, kan?” tanya Shinji lagi.
Renata tak segera menjawab. Perlahan ia menggeleng. “Kami hanya bersahabat lagi. Dan dia sudah punya keluarga yang bahagia,” ucapnya.
“Ren....” Shinji memanggil lembut. “Menikahlah denganku.”
Renata melongo.
Menikah?!
“Aku tak tahu apakah aku masih bisa mendapatkan kepercayaanmu setelah apa yang kulakukan padamu. Tapi percayalah, aku ingin bersamamu lagi. Kembalilah padaku, kumohon.” Suara Shinji laksana permohonan lirih, tapi tulus.
“Aku tahu aku telah berbuat salah padamu. Dan aku janji bahwa aku akan menebusnya dengan membahagiakanmu, mencintaimu seumur hidupku. Mari kita memulai segalanya dari awal lagi. Aku ingin merancang masa depan bersamamu. Jadi___menikahlah denganku, Ren.” Kedua mata Shinji tampak berkaca-kaca.
Renata merasakan tenggorokannya kering. Ia tak menduga bahwa Shinji akan melamarnya dengan tiba-tiba seperti ini.
Perempuan itu menelan ludah sebelum menjawab, “Maaf. Tapi sepertinya kembali bersamamu adalah sesuatu hal yang tidak mungkin kulakukan.”
Jawaban Renata membuat mata Shinji menyipit.
“Maksudmu?”
“Aku tak bisa.”
“Kau menolak lamaranku?” Pria itu tampak terpukul.
“Apa kau telah menemukan seseorang yang lebih baik dariku?”
“Tidak, bukan begitu,” jawab Renata.
“Lantas? Bukankah dulu kau bilang bahwa kau juga mulai mencintaiku? Kau selalu mengkhawatirkanku, kan?”
“Ya, hanya saja___” Kalimat Renata terhenti sesaat. “Intinya aku tak bisa lagi memulai hubungan denganmu,” lanjutnya.
“Alasannya?” tanya Shinji tak sabaran.
“Itu ____”
“Bukankah kau sepakat untuk tidak rujuk dengan Hasan?”
“Aku memang tidak rujuk dengannya. Tapi bukan berarti aku bisa bersamamu, kan?”
“Kau tak percaya ketulusanku? Kau pikir aku bermain drama lagi?”
Renata menatap lelaki itu dengan dalam. Perlahan perempuan itu menarik napas berat, lalu menggeleng.
“Setelah apa yang terjadi dengan rumah tanggaku dulu, setelah apa yang terjadi denganmu, aku tak berniat menikah lagi. Aku ingin sendiri."
No comments:
Post a Comment