Sunday, March 15, 2020

Tada 11

*TADA AISHITERU*
❤🙍‍♂❤
nomor 11


Tina menyerahkan nampan berisi pesanan ke depan Renata. Perempuan itu menatapnya bingung. 

“Apa?”

“Seorang tamu VIP meminta agar kau mengantarkan pesanan ini ke sana. Dia mau, kau,” jawab Tina. 

Renata melongo. Eh?

“Aku tadi sudah ke sana. Tapi ia menolak dan memintaku kembali membawa pesanannya. Ia bilang bahwa ia ingin agar pesanannya di antarkan olehmu.”

Renata mengusap tengkuknya dengan bingung. Perasaannya tiba-tiba saja tak enak.

“Dia tampan sekali,” ujar Tina lagi.

Renata kembali melongo.
“Siapa?”

“Itu, yang sekarang ada di ruang VIP. Oh, dia tampan sekali. Antarkan saja ke sana kalau kau penasaran. Dijamin, kau pasti terpesona olehnya.” Tina mendorong bahu Renata dengan pelan.

“Jika dia menunjukkan ketertarikan padamu, goda saja dia, Ren. Ini kesempatan bagus bagimu untuk mendapat kenalan pria muda kaya raya. Syukur-syukur kalau kau bisa menjerat hatinya.” Sahabatnya itu terkikik.

Renata kembali mengusap tengkuknya, hal yang selalu ia lakukan ketika sedang gusar, sebelum akhirnya ia bergerak, meraih nampan tersebut, lalu melenggang ke ruang VIP.

Dan apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi.

Ketika sampai di sana, tampak olehnya seorang pria tampan tengah duduk sendirian dengan santai seraya menikmati pemandangan di luar jendela. Shinji. 

Tanpa menyapa, Renata meletakkan pesanan makanan itu lalu menghidangkannya di meja. Ia baru akan meninggalkan tempat itu ketika pria itu bersuara. “Duduklah. Temani aku makan siang,” titahnya.

“Maaf, saya tidak bisa. Di sini pelayan restoran tidak diperkenankan makan bersama dengan tamu.” Renata berusaha menjawab sesopan mungkin. 

“Aku bukan tamu.” Shinji berujar cepat.

Renata mematung.

“Seorang pemilik restoran berhak mengajak karyawannya makan. Tak ada larangan untuk itu. Ya, kan?”

Renata melongo. “Pemilik restoran? Maksudmu ...?”

Shinji mengangguk. Ia menatap Renata datar. “Restoran ini sudah kubeli. Kemarin. Jadi sekarang, akulah atasanmu.”

Perempuan di hadapannya ternganga.

“Restoran ini sudah nyaris bangkrut. Aku ke sini untuk membereskannya. Temanku menawarkannya padaku dan aku membelinya. Selesai.” Lagi-lagi Shinji berujar datar. 
“Sekarang, duduklah di sini dan temani aku makan siang.”

“Jika aku menolak, apa kau akan memecatku?” Renata menyahut ketus. 

“Yup.” 

Renata menggigit bibirnya kesal. Dengan bersungut-sungut ia menjatuhkan pantatnya ke kursi yang ada di depan Shinji. Lelaki itu hanya menatapnya dingin.

Kenyataannya, aksi Shinji tidak hanya terjadi hari itu saja.

Besoknya dan besoknya lagi, ia tetap melakukan hal yang sama.

Datang setiap jam makan siang, meminta Renata mengantarkan pesanannya ke ruang VIP, sekaligus menyuruhnya menemani makan.

“Aku akan mengundurkan diri jika kau terus melakukan hal seperti ini,” ucap Renata jengkel ketika siang itu lagi-lagi Shinji memintanya menemani makan siang.

Shinji terkekeh. “Mengundurkan diri? Lakukan saja, aku tak peduli,” jawabnya. 

“Toh yang rugi siapa? Kau, kan? Jika kau pikir mendapatkan pekerjaan mudah, pergi saja. Aku takkan mencegahmu,” lanjutnya enteng, sembari terus menikmati makan siangnya.

Renata menatapnya dengan mata nanar. “Sampai kapan kau akan melakukan hal seperti ini padaku? Sampai kapan kau akan melepaskanku? Aku sudah hidup damai di sini, melupakan segala tentangmu, kenapa kau harus muncul lagi di hadapanku,” perempuan itu berujar jengkel.

Shinji urung menyendok makanannya. Ia berhenti, lalu balas menatap Renata, tajam.
“Itulah yang terjadi padaku. Aku berusaha hidup damai dengan melupakanmu, melupakan perbuatan busukmu, menyembuhkan luka di hatiku. Tapi aku gagal. Kau ...” Ia mendesis. “Kau selalu hadir dalam benakku,” lanjutnya.

Keduanya berpandangan. 

“Mari kita hidup saling menyakiti, agar kita impas,” ucapnya lagi.

Kedua mata Renata berkaca-kaca. Ia menggeleng lirih. “Aku sudah tidak sanggup melakukannya lagi, Shinji. Aku sudah lelah. Tidak bisakah kau membiarkanku pergi? Tak baik hidup dengan saling menyakiti seperti ini. Kau harus memulai hidup baru yang lebih baik, begitu pula denganku. Aku ...”

Shinji bangkit. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan tajam. “Keluar,” desisnya.

“KELUAR!”

Ia menyurukkan tangannya ke atas meja dan ... Prankkk!!

Makanan-makanan itu berhamburan ke lantai. Piring-piring dan gelas pecah berserakan.

Renata duduk mematung di tempatnya. Air matanya menitik. Tapi entah mengapa, ia tidak melangkahkan kakinya dari tempat itu. Ia tak meninggalkan Shinji.

Yang ia lakukan hanyalah duduk diam sambil menunggu kemarahan Shinji reda. Setelah lelaki itu pergi terlebih dahulu, barulah Renata beranjak membersihkan makanan yang berserakan di lantai.

Ia nyaris terisak dan memaki dirinya sendiri. Memaki kebodohannya, memaki keputusannya.

Kenapa ia tak pergi? Kenapa ia tak angkat kaki dari restoran ini? Kenapa ia tak kembali berlari dari hadapan Shinji?

Lelah berpikir, akhirnya perempuan itu sadar satu hal. 

Hitam putih Shinji Okada, ia tetap mencintai lelaki itu dengan sepenuh hati.

°°°

Renata mengira itu akan jadi yang terakhir kalinya; Shinji memanggil ke ruang VIP lalu meminta ditemani makan siang.

Nyatanya, selang beberapa hari, pria itu kembali melakukannya.

Memintanya secara khusus untuk ditemani lagi pada waktu makan siang. Dan sungguh, ini membuat Renata frustrasi.

"Jadi sebenarnya ada apa dengan tamu VIP itu? Apa kau berhasil menggodanya?" Tina bertanya antusias sebelum Renata memenuhi panggilan Shinji.

"Tidak, bukan begitu." Renata menjawab bingung.

"Lalu apa? Ini mencurigakan sekali. Kalian pasti sudah saling mengenal. Atau mungkin, pasti terjadi sesuatu di antara kalian. Kalau tidak, mana mungkin tamu itu selalu ingin bertemu denganmu secara pribadi?" Tina tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Ada gosip yang mengatakan kau menjalin hubungan istimewa dengan pria kaya itu. Apa itu benar?"

Renata buru-buru menggeleng. "Tidak, itu tidak benar," jawabnya cepat.

"Lalu apa, Ren? Ayo berceritalah. Atau aku akan mati penasaran." Tina nampak sewot.

Renata menggigit bibir. Nyaris saja ia memberitahukan pada Tina bahwa Shinji adalah bos baru mereka, tapi akhirnya urung.

"Sebenarnya, ia teman semasa SMA-ku."

"Pria kaya itu? Serius?"

Renata mengangguk.

"Wow, keren. Jadi apa ini artinya kalian punya hubungan khusus?"

Renata menggeleng lagi. "Sungguh, tidak ada hal seperti itu. Kami hanya bertemu lagi setelah sekian lama. Kami bersahabat, kami mengobrol___"
Kalimat Renata tertahan ketika salah satu rekannya yang lain kembali berteriak, "Ren, ayo cepat! Tamu itu sudah menunggumu!"

Renata menghembuskan napas besar dari hidungnya lalu berujar sebal, "Iya."

Kemudian perempuan itu beranjak.

°°°

Renata memilih untuk berdiri di dekat kusen pintu sementara Shinji menyantap hidangannya dengan santai. Sudah beberapa kali pria itu memintanya duduk, tapi ia tolak.

"Duduklah." Shinji kembali memberi titah tanpa menatap yang diajak bicara.

"Tidak." Renata menjawab ketus.

"Kenapa tidak?"

"Yang kulakukan hanya menemanimu dan melihatmu makan. Duduk atau berdiri tak ada bedanya bagiku," jawab perempuan itu.

"Lalu apa aku harus menyuapimu agar kau mau duduk bersamaku?" Kali ini Shinji menatap Renata sekilas.

Renata menggigit bibir, jengkel. 
"Kau tak bisa melakukan ini padaku, Shinji!"

Shinji tak menggubris teriakan Renata. Ia tetap bersantap dengan tenang, lalu baru berujar, "Kenapa tidak? Kau bisa bermain-main dengan hatiku, kenapa aku tak boleh bermain-main dengan dirimu?"

"Kau sudah melakukannya. Kau ingin balas dendam? Sudah kau lakukan. Kau ingin hatiku hancur? Sudah. Kau ingin rumah tanggaku berantakan? Kau berhasil melakukannya. Tidak bisakah kau lupakan semua dan kita bisa berhenti saling menyakiti seperti ini? Aku lelah."

Bibir Shinji berdecih. Ia meraih lap mulut dan membersihkan sudut-sudut bibirnya yang sebenarnya tak kotor. Kemudian ia tatap Renata dengan dalam. 

"Ren, pernahkah kau berpikir bahwa rumah tanggamu dengan Hasan memang takkan bertahan lama? Pernahkah kau berpikir bahwa, tanpa ada Anggi hadir di tengah-tengah kalian, kau dan Hasan tetap akan berpisah?"

"Faktanya kau yang menyusun rencana untuk memasukkan Anggi di kehidupan kami!" Renata membalas sengit.

Keduanya saling tatap, dalam.

Shinji tersenyum sinis dan menggeleng lirih. "Tidak. Faktanya Hasan-lah yang tak setia. Jika ia mencintaimu apa adanya, ia takkan tergoda."

"Kau tak berhak bicara seperti itu tentang mantan suamiku!"

"Faktanya memang begitu. Lambat laun ia pasti tergoda dengan perempuan lain. Karena dia menginginkan anak, dan kau tak bisa memberikannya."

Hawa panas menyerang diri Renata. Perempuan itu bergerak ke arah Shinji dan... Plakkkk!!

Ia menampar pipinya keras.

Shinji menatap Renata tajam. Lelaki itu bangkit seketika hingga menyebabkan kursi yang tadi ia duduki terguling.

Ia mencengkeram pinggang Renata erat dan menariknya lebih dekat. 
Dan ia mempertemukan bibir mereka dengan amarah. Melumat bibirnya dengan kasar.

Renata meronta. Memukul dada Shinji berkali-kali dan mendorong tubuhnya keras hingga ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.

Tindakan itu makin menyulut api amarah di wajah Shinji. Tangannya bergerak asal dan ia menarik salah satu kerah baju Renata hingga terdengar kancing bertebaran. 

Baju itu terkoyak lebar hingga ke pinggang. 

Tak ayal, bahu dan dada Renata terbuka sempurna. Menunjukkan payudara yang tertutup bra warna pastel.

Raut wajah Renata merah padam menahan amarah. 

Perempuan itu buru-buru menarik bajunya yang terkoyak dan berusaha menutupi kembali tubuhnya yang terlanjur terbuka.

Shinji tertegun. Dan ketika dilihatnya kedua mata Renata berkaca-kaca, hatinya remuk.

Perlahan ia melepas jas-nya sendiri lalu menutupkannya ke tubuh Renata.
Melihat air mata perempuan itu jatuh titik demi titik, Shinji meraih sosoknya dan mendekapnya erat.

Entah karena sudah terlampau putus asa, entah karena terlalu rapuh, Renata tak memberi perlawanan. Yang ia lakukan hanya menangis, di dada Shinji.

Shinji menarik napas lelah.

Hanya Renata.

Hanya perempuan itu yang mampu melakukannya.

Membuat perasaannya jungkir balik.

Di suatu waktu ia bisa membencinya setengah mati, lalu di kemudian hari ia akan mencintainya sampai tulang rusuk.

Selalu begitu.

°°°

Sudah beberapa hari Shinji tak ke restoran. Renata tak tahu alasannya. Ia sempat menduga kalau lelaki itu kembali ke Jakarta atau mungkin malah kembali ke Jepang. 

Atau mungkin karena insiden beberapa waktu lalu?

Yang jelas, tiba-tiba Renata merasa hampa.

Mungkin ini terdengar konyol. Tapi Renata akan mengakui ini dengan lantang.

Shinji memang lelaki yang telah menghancurkan hidupnya, tapi, cinta yang selama ini ia rasakan padanya nyata. Ia takkan sanggup membencinya, apapun yang telah diperbuat lelaki itu padanya. Dan tanpa dirinya, ia merasa ... tak berarti.

°°°

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Renata dan rekan-rekannya sedang bersiap-siap untuk menutup rumah makan. 

Tina menyapu lantai sementara Renata melap meja dengan kain dan cairan pembersih.

“Setelah ini aku dan teman-temanku akan mengadakan pesta kecil-kecilan di kafe. Kami merayakan pesta ulang tahun salah satu teman kami. Kau mau ikut?” Tina menawarkan hal itu pada Renata. 

Dan perempuan itu segera menggeleng.

“Aku ingin segera pulang untuk istirahat,” jawabnya.

Tina mencibir.
“Ayolah, Ren. Kau masih muda. Jangan tertalu terjebak dengan masa lalu, dengan perceraianmu. Bukalah hatimu untuk orang lain dan mulailah hidup baru,” ucap perempuan itu.

Renata memang menceritakan pada Tina perihal perceraiannya. Ia ingin berbagi pada sahabat barunya itu untuk mengurangi beban di hatinya. Hanya saja ia tak pernah cerita bahwa kedatangannya ke sini bukanlah karena lari dari mantan suaminya, tapi dari Shinji. Lelaki yang telah merubah kehidupannya.

Selama ini, Tina selalu bersemangat untuk membantunya. 
Menghiburnya, termasuk berusaha memperkenalkannya pada beberapa pria agar ia bisa melupakan luka di hatinya. 
Dan Renata benar-benar menghargai usahanya itu. Meskipun ia sungguh tak menyukainya.

Jadi pasti sudah bisa dipastikan, pesta itu pastilah hanya kamuflase karena Tina ingin memperkenalkannya pada seorang laki-laki.

“Lain kali saja jika liburan. Hari ini aku benar-benar lelah,” jawab Renata lagi. Dan Tina hanya mendesah.

Obrolan mereka terhenti ketika mereka mendengar ribut-ribut di depan. Sontak kedua perempuan itu menoleh. Tampak oleh mereka seorang lelaki jangkung menyeruak masuk ke dalam restoran ketika pintu masuk nyaris saja ditutup. 
Lelaki itu nampak kacau. Ia berjalan dengan sedikit sempoyongan. 
Renata membelalak. Shinji!

Pria tampan itu berhenti sesaat di depan pintu dan melihat ke arah sekeliling. Hingga akhirnya, tatapan matanya beradu dengan tatapan mata Renata. 

Dan Renata hanya berdiri mematung dan belum bisa berpikir dengan jernih tentang apa yang terjadi pada lelaki itu ketika Shinji melangkah mendekatinya, menelangkupkan kedua tangannya di wajah perempuan tersebut lalu mencium bibirnya dengan dalam dan buru-buru.

“Aku tak bisa.” Ia mendesis lirih. “Aku takkan pernah bisa hidup tanpamu, Ren,” ucapnya serak. 
Selanjutnya, tubuhnya yang jangkung ambruk begitu saja ke lantai.

Orang-orang berteriak panik. Tadinya Renata juga. Tapi akhirnya kekhawatirannya terhenti ketika ia mencium aroma alkohol dari mulut Shinji – yang baru saja mencium bibirnya. 

Rupanya lelaki itu pingsan karena mabuk.

“Kau tak apa-apa? Apa dia melecehkanmu?” Tina berlari ke arah Renata dengan cemas. 
Perempuan itu menggeleng. Ia berlutut dan menyentuh wajah Shinji. 

“Aku tak apa-apa. Jangan cemaskan aku. Ini hanya --- masalah pribadi,” ucapnya seraya mendongak dan melihat ke arah teman-temannya yang berdiri mengerubunginya dengan cemas. Mereka pasti telah mengira ada tindakan kriminal atau pelecehan seksual yang menimpanya.

“Kami sudah saling mengenal satu sama lain. Bisa bantu aku memanggilkan taksi? Aku akan mengantarkannya pulang,” ucapnya lagi. Seseorang mengangguk dan segera berlari keluar memanggil taksi. Dan atas bantuan teman-temannya, mereka membantu membopong Shinji ke dalam taksi tersebut.

°°°

Renata pulang terlebih dahulu dengan naik taksi, beserta Shinji di dalamnya. 

Kebingungan sempat melanda karena ia tak tahu harus mengantar lelaki itu ke mana. Ia tak tahu lelaki itu tinggal di hotel mana selama berada di sini. 

Hingga akhirnya, ia membawa lelaki itu ke rumah kontrakannya.

Pak sopir taksi-lah yang membantu Renata membopong Shinji dan membawanya ke dalam rumah.

Ia menempatkannya di kamar Renata, karena itu adalah satu-satunya kamar di dalam rumah tersebut.

“Terima kasih atas bantuannya, Pak,” ucap Renata sebelum sopir itu meninggalkan rumahnya.

Renata menatap Shinji yang terbaring pulas di ranjangnya. Matanya terpejam dan ia tertidur bagaikan malaikat.

“Kau bisa mendengarku?” tanya Renata seraya menyentuh pipi Shinji dengan lembut. Tak ada jawaban.

“Shinji?” ia kembali memanggil. Dan tetap tak ada jawaban.

Akhirnya, Renata bangkit. Ia memilih untuk tidur di ruang tamu. Ketika ia berniat mematikan lampu kamar, ia mendengar Shinji memanggilnya dengan lirih hingga niatnya terurung. 

Perempuan itu menoleh ke arah Shinji kembali. Dan tampak olehnya lelaki itu sudah membuka mata.

Perlahan ia bangkit untuk duduk lalu menyandarkan punggungnya di bantalan tempat tidur. Ia menekuk kedua lututnya lalu meletakkan kedua lengan tangannya di atas dua lututnya tersebut.

“Maaf jika tadi aku sempat membuatmu kaget,” ia kembali membuka suara seraya kembali menatap Renata.

“Kau mabuk? Sebaiknya istirahatlah. Jangan khawatir, ada kursi panjang di ruang tamu dan aku bisa tidur di sana. Jadi, kau bisa beristirahat dengan nyaman di sini,” jawab Renata. 

Shinji menggeleng pelan.
“Aku memang sedikit mabuk. Tapi otakku masih waras,” balasnya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari Renata.

Renata merasakan dadanya berdesir. Ia tak lagi menemukan tatapan tajam Shinji yang penuh kemarahan dan dendam, yang beberapa bulan ini sempat menghantuinya. 

Tapi, tatapan mata itu begitu hangat dan penuh cinta. Tatapan mata yang beberapa waktu lalu membuatnya merasakan cinta kembali dan membuatnya begitu bahagia.

“Aku membatalkan pernikahanku karena kau. Dan itu benar. Aku sadar dengan betul bahwa sejak dulu, kaulah satu-satunya wanita yang kuinginkan, bukan yang lainnya. Aku memang telah berbuat jahat padamu. Aku merancang semua rencana balas dendam demi bisa menghancurkan hidupmu. Tapi ketahuilah, alasanku melakukan semua itu bukan karena aku membencimu, Ren. Tapi karena aku terlampau mencintaimu.” Kedua mata Shinji tampak berkaca-kaca.

“Aku memang berusaha membencimu setelah apa yang kau lakukan padaku, setelah kau mempermainkanku, melukai hatiku. Tapi kenyataannya, aku tak bisa. Aku tak pernah bisa membencimu. Aku ingin tega, tapi hati kecilku selalu ingin memelukmu, menyayangimu. Memikirkan bahwa kau telah menjadi milik orang lain, aku benar-benar seperti hidup di neraka. 

"Aku memang telah berhasil menghancurkan hidupmu, menghancurkan rumah tanggamu. Tapi jika kau mau tahu, akulah yang hancur. Aku seperti menghancurkan hidupku sendiri. Kau tak tahu betapa sakitnya hatiku menyaksikanmu terluka seperti itu. Menyaksikanmu menangis di depanku...” Bibir Shinji bergetar. Suaranya parau.

Renata menelan ludah. Ia hanya berdiri mematung, menatap lelaki yang duduk dengan tak berdaya di hadapannya.

“Aishiteru (Aku mencintaimu)," ucap Shinji lirih. "Tada aishiteru. (Aku hanya mencintaimu).”
Dan air mata lelaki itu menitik. 

Renata merasakan dadanya sakit menyaksikan adegan itu.

“Dan aku benar-benar tak bisa hidup tanpamu. Takkan pernah bisa.” Lelaki itu menyembunyikan wajahnya di antara lengannya yang terlipat di atas lutut. Bahunya terguncang. Dan ia terisak. 

Renata menggigit bibirnya kuat. Ia juga merasakan air matanya menitik. 

Perlahan perempuan itu melangkahkan kakinya mendekati Shinji, duduk di sampingnya lalu membelai kepalanya dengan lembut. 

Shinji mendongak, menatap Renata dengan air mata berderaian. Keduanya berpandangan. Dan segera lelaki itu menghambur ke arahnya dan menangis dalam pelukannya. 

Tanpa membuka suara, Renata membiarkannya. 

Membiarkan Shinji terisak dalam pelukan hingga akhirnya lelaki itu tertidur dalam pangkuannya.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER