Sunday, March 15, 2020

Tada 10

*TADA AISHITERU*
❤🙍‍♂❤
nomor 10 

Ketika Renata membuka mata, ia sadar bahwa ia sudah berada di kamar Rumah Sakit. Mas Aldi duduk di sampingnya dengan muka cemas.

Dari cerita yang lelaki itu kemukakan, Renata pingsan di pinggir jalan dan beberapa pejalan kaki yang baik hati membantu membawanya ke Rumah Sakit. 
Mereka jugalah yang menghubungi keluarga Renata dari ponselnya.

Mendengar cerita Kakaknya,  Renata sempat tersenyum getir. Ini semacam Deja Vu. 

Ia ingat dulu sempat jatuh pingsan di jalanan, dan Shinji-lah yang menolong dirinya dan membawanya ke Rumah Sakit.

“Kau tak apa-apa?” Mas Aldi membelai rambut Renata dengan lembut. Perempuan itu hanya mengangguk samar.

“Jangan terlalu dipikirkan, Ren. Ikhlaskan saja semua. Berpikirlah positif, anggap saja bahwa perjodohanmu dengan Hasan cukup sampai di sini. Jangan pernah menyesali perceraianmu karena semua sudah ditentukan Tuhan. Aku tak mau kau sakit lagi. Kau harus sabar, kau harus kuat.” Mas Aldi berucap cemas.

Renata terdiam. Tidak, ia tak perlu menceritakan kisah tentang Shinji. Kakaknya tak perlu tahu. Biarlah ia mengira bahwa Renata tertekan karena perceraiannya. Begitu saja.

Mengingat Shinji, kembali air mata Renata menitik. Dan segera tubuhnya terguncang, ia terisak.

“Mas...” panggilnya lirih. 

Mas Aldi menatap perempuan itu dengan iba. Ia beranjak dan memeluknya erat. Mencoba menenangkannya.

Dan isak tangis Renata kian menjadi. “Mas, aku tak kuat. Aku tak bisa menghadapi ini,” ratapnya.

Mas Aldi merasakan kedua matanya berkaca-kaca. 

“Kau kuat, Ren. Kau pasti bisa menghadapinya. Kau perempuan yang baik dan Tuhan akan membuatmu mampu melewati ini semua,” ucapnya lirih di telinga adiknya.

Dan Renata kembali menumpahkan tangisnya di pelukan lelaki tersebut.

Tidak.

Ia tidak merasa menjadi manusia yang baik.

Bertahun-tahun yang lalu ia menyakiti Shinji, melukai perasaannya. Dan sekarang, ia telah menerima balasannya.

***

Sudah tiga hari Renata mengurung diri di kamar. Yang ia lakukan hanya duduk termenung meratapi nasib hingga sempat membuat seluruh keluarganya khawatir.

“Mas, bisakah kau membantuku?” tanya Renata tiba-tiba ketika sore itu Mas Aldi datang ke kamar untuk mengetahui keadaannya.

Lelaki itu menatap Renata dengan heran.
“Bilang saja. Akan aku usahakan untuk membantumu, apapun itu,” jawabnya.

Renata menatap Kakaknya dengan penuh harap.

“Mas, bantu aku. Aku perlu pekerjaan baru, tempat baru, suasana baru. Aku tak bisa seperti ini terus,” rintihnya.

Mas Aldi mendekati perempuan itu, merengkuh pundaknya lalu menepuk kepalanya dengan lembut.

“Aku harus memulai hidup baru. Aku ingin suasana baru. Tempat kerja baru, tempat tingggal baru, lingkungan yang baru. Aku ingin menenangkan diri. Jika aku tetap di sini, aku tidak akan bisa lepas dari masa lalu yang membuatku tertekan dan stres,” lanjut Renata.

Mas Aldi terdiam sesaat. Tentu berat baginya untuk membiarkan adiknya berkelana sendirian ke luar kota. Tapi, Renata benar. Dia butuh suasana baru.

Jika tetap di sini, akan sulit melupakan semua kenangan buruk tentang rumah tangganya. 

"Batam. Ada temanku di sana. Aku akan mencoba menghubunginya agar bisa mencarikanmu pekerjaan,” ucapnya kemudian.

***

Dan akhirnya, Renata mantap berangkat ke Batam ketika beberapa hari kemudian Mas Aldi mengatakan salah satu temannya di sana berhasil mencarikan pekerjaan. Sebagai seorang waitress di sebuah restoran. 

Tak masalah, pikir perempuan tersebut. 

Yang terpenting baginya adalah ia bisa segera pergi dari kota ini. Menemukan suasana baru dan memulai hidup yang baru.

Ia tahu ini takkan mudah. Tapi yang terpenting ia akan mencoba menjalani hidup baru dengan baik-baik saja. Itu tekadnya.

***

Teman Mas Aldi dan keluarganya menyambut kedatangan Renata dengan sangat baik. Mereka bahkan memintanya untuk tinggal bersama di rumah mereka. Tapi perempuan itu menolak. Ia lebih memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil yang tak terlalu jauh dengan tempat ia bekerja.

Meskipun sekarang kehidupannya serba terbatas dan jauh dari kehidupannya yang dulu, tapi Renata yakin, ia akan baik-baik saja.

Sudah berjalan beberapa bulan sejak kedatangannya di Batam dan perempuan itu masih berusaha menjalani kehidupannya dengan baik. 

Luka di hatinya memang belum sembuh, sedikitpun.
Terkadang ia harus menangis sendirian, setiap malam.
Terkadang ia harus dihinggapi perasaan hampa manakala bangun tidur keesokan paginya.

Tapi, ia yakin dengan berjalannya waktu, ia akan baik-baik saja.

Perempuan itu tak pernah lagi mendengar kabar tentang Shinji. Ia juga tak berhubungan lagi dengan Hasan. Ia sengaja mengganti nomor ponselnya, menutup akun jejaring sosialnya, tak pernah lagi mengecek email.

Hanya Mas Aldi dan beberapa keluarga dekatnya yang masih sering berkirim pesan singkat dan telepon. Bukan karena Renata berniat menenggelamkan diri atau menghilang di telan bumi. Ia hanya ingin tenang menjalani kehidupannya yang baru. Setidaknya, sampai luka di hatinya sedikit berkurang.

Entah sampai kapan.

***

“Ah, sebenarnya ini hari apa sih? Kenapa restoran begitu ramai. Kakiku sampai mau copot karena harus mengantarkan pesanan ke sana kemari.” Tina menggerutu seraya meletakkan nampan berisi makanan ke atas meja counter, lalu memijit lututnya yang pegal.

Tina adalah rekan kerja Renata. Mereka seumuran. Perempuan yang masih betah melajang itu sangat ramah dan baik hati. Pertama kali datang ke sini, dialah yang membantu Renata dalam banyak hal. Termasuk membantunya mencarikan tempat kontrakan yang murah dan tak terlalu jauh dengan restoran tersebut.

“Weekend. Tiap kali weekend ‘kan memang seperti ini,” sahut Renata seraya meletakkan nampan yang telah kosong ke meja. Ia baru saja mengantarkan pesanan di meja no.14.

Tapi Tina memang sepenuhnya benar. Hari ini restoran memang sedang ramai dan ini benar-benar melelahkan sekali.

“Iya, tapi tetap saja ini melelahkan luar biasa,” jawab Tina. Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tanda bahwa lehernya juga terasa pegal.

“Yang ini meja nomor berapa?” tanya Renata seraya menunjuk nampan berisi pesanan di depan Tina.

“Mau bantu mengantarkan?” Kedua bola mata perempuan tinggi semampai itu membesar dengan indah.

Renata mengangguk.

“Pesanan khusus di ruang VIP,” jawab Tina girang.

“Oke, biar aku yang mengantarkan ke sana,” sahut Renata.

“Kau sudah selesai dengan tugasmu tadi?”

Renata kembali mengangguk seraya meraih nampan tersebut.

“Terima kasih, Ren,” ucap Tina dengan mata berbinar lega.

“It’s okay. Kau istirahatlah sebentar,” jawab Renata seraya melangkahkan kakinya menuju ruang VIP.

Ketika sampai di sana, tampak dua orang tamu laki-laki sedang terlibat pembicaraan serius. Renata hanya sempat melihatnya sekilas lalu segera meletakkan pesanan di meja dengan sopan.

“Selamat menikmati hidangan dari kami. Jika ada yang bisa saya bantu lagi___” Kalimat Perempuan itu menggantung  manakala tatapan matanya singgah pada salah satu tamu yang duduk di hadapannya.

Lelaki tersebut juga tampak kaget melihat Renata. Tatapan matanya  singgah selama beberapa waktu.
Pandangan mereka terkunci satu sama lain. 

Renata merasakan dadanya berdebar dengan hebat. 
Shinji Okada. 

“Renata?” Lelaki itu menggumam.

Renata menelan ludah tanpa mampu bersuara. Tatapannya tetap tak lepas dari lelaki yang membuat jantungnya berdebar dengan hebat tersebut. Lelaki berwajah aristokrat itu masih saja tampan luar biasa. Hanya saja ia terlihat sedikit pucat. Gurat-gurat kelelahan tampak terlihat di wajahnya. Ia juga sempat melihat ada cekungan samar di sekitar matanya. Ia seperti orang yang kurang tidur.

“Apa anda baik-baik saja?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Renata. Sebenarnya ia ingin segera berbalik badan dan meninggalkan tempat tersebut. Tapi melihat Shinji yang sedikit pucat, entah kenapa ia merasa khawatir.

“Anda terlihat tidak sehat?” Ia bertanya lagi. 

Shinji tak menjawab. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan sedikit kesal. 
“Apakah itu urusan anda?” tanyanya sinis.

“Oh, maaf. Saya hanya ___ sekedar bertanya. Silahkan menikmati hidangan anda.” Renata beranjak meninggalkan tempat tersebut tanpa melihat kembali ke arah Shinji.

Ketika ia sampai kembali di dapur, Tina menatapnya dengan keheranan.

“Ren? Kau sakit? Kenapa wajahmu jadi pucat begini?” Ia bertanya dengan cemas. 

Renata duduk di depan meja counter lalu menggeleng lemah.
“Tidak, aku hanya sedikit kelelahan,” jawabnya lirih.

Tina segera mengambilkan segelas air minum dan menyodorkan ke arahnya. Perempuan itu segera menenggaknya habis. 

“Aku baikan sekarang,” jawabnya.

“Oke, oke, kau istirahat dulu saja. Biar aku yang mengantarkan pesanan,” ucap Tina lagi. Renata mengangguk pelan.

Sesaat setelah Tina pergi mengantarkan pesanan, Renata kembali terduduk lemas.

Ia benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi. Ia tahu Shinji seorang pebisnis. Pastinya ia akan sering bepergian ke pelosok kota. Tapi, dunia begitu luas, kenapa mereka bisa bertemu lagi?

Bukankah dia sudah menikah? 
Kenapa ia tak tinggal saja di Jepang! 

Astaga, jauh-jauh Renata melarikan diri ke sini dan sekarang Tuhan mempertemukannya lagi dengan lelaki itu?

Ada apa dengan takdir mereka?

***

Renata baru saja keluar dari pintu restoran dan bersiap-bersiap pulang ke rumah kontrakan ketika melihat sosok itu di sana. 
Berdiri dengan punggung tersandar pada mobil yang tengah ia parkir. 

Lelaki itu menatap Renata lekat manakala melihat kedatangannya.
Dan perempuan itu hanya mampu berdiri mematung ketika sosok itu berjalan pelan mendekatinya.

“Kau bekerja di sini?” Shinji langsung menyapa dengan pertanyaan. 

Renata mengangguk.

“Sudah lama?”

Renata kembali mengangguk. 

“Sejak kapan?” 

Perempuan itu tak segera menjawab. 
“Beberapa bulan yang lalu,” jawabnya kemudian dengan suara lirih. “Untuk apa kau di sini?” Ia balik bertanya.

“Bisnis. Aku bertemu dengan salah satu rekan kerjaku. Dan pemilik restoran ini adalah temanku,” jawab Shinji. Sesekali ia membuang pandangannya ke tempat lain.

“Kau ___ tak sakit, kan?” Renata bertanya dengan ragu. Shinji tertawa sinis. 

“Kau khawatir padaku?” Ia bertanya.

Renata tak menjawab.

“Jika aku sakit, aku takkan ada di sini mengurusi bisnis.” Lelaki itu menjawab dengan nada ketus.

“Di mana kau tinggal?” Shinji mengalihkan pembicaraan. Kalimatnya datar.

“Di rumah kontrakan, tak jauh dari sini,” jawab Renata.

“Naiklah ke mobil, akan kuantarkan.” Lelaki itu beranjak ke mobil dan membukakan pintu.

Renata menggeleng cepat. “Tidak, aku akan pulang dengan kendaraan umum.”

“Ini sudah malam. Naiklah, akan kuantarkan,” ucapan Shinji terdengar seperti sebuah perintah.

“Aku sudah terbiasa.” Renata membalas.

“Naiklah.”

“Tidak ___”

“Naik!” Lelaki itu membentak. “Naiklah, atau aku akan memasukkanmu ke mobil dengan paksa,” ia mengancam.

Nyali Renata ciut. Dengan malas-malasan ia melangkahkan kakinya dan masuk ke mobil Shinji. Setelah menutup pintu dengan kasar, segera lelaki itu menjalankan mobilnya menuju rumah kontrakan Renata.

Sesampainya di sana, lelaki itu ikut masuk ke dalam rumah kontrakan  meskipun belum dipersilakan.

“Ingin kubuatkan minum?” tanya Renata.

“Aku ke sini bukan untuk bertamu. Jadi kau tak perlu membuatkan minuman untukku,” jawab Shinji tanpa melihat ke arah perempuan tersebut.

Renata terkekeh.
“Kau bahkan sudah masuk ke dalam rumahku dan kau bilang kau tak bertamu? Lantas untuk apa kau ke sini?”

Shinji menatap perempuan itu sekilas.
“Hanya melihat-lihat,” jawabnya kemudian seraya melangkahkan kakinya menyusuri rumah kecil itu dengan perlahan. 

Renata hanya menatap kelakuan lelaki itu dengan tatapan kesal.

“Jadi kau tinggal di sini?” Shinji bertanya dengan nada angkuh seraya menatap sekelilingnya.

“Hm,” Renata menyahut pendek.

“Wah, ini benar-benar sulit dipercaya.” Kalimat Shinji kembali mengejek.

Renata mendesis. “Tertawakanlah aku jika kau ingin tertawa. Kau bahkan bisa menghinaku. Yang jelas, beginilah keadaanku sekarang. Aku tinggal di rumah kontrakan, gajiku kecil, dan aku hidup pas-pasan sekarang. Aku miskin, jika kau mau tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku baik-baik saja,” ia melanjutkan dengan kalimat yang bernada marah.

Shinji kembali tersenyum sinis.
“Apa kemisikinan membuatmu sensitif seperti ini?”

Renata mengernyit. “Siapa yang sensitif? Aku tidak sensitif.” Ia nyaris berteriak.

“Kau sensitif. Kau gampang marah sekarang,” ujar Shinji, tetap dengan nada mengejek.

Renata mengangkat tangan putus asa. “Dan itu bukan urusanmu, kan?”

“Memang bukan,” sahut Shinji ketus.

“Kalau begitu untuk apa kau kesini?” Kalimat Renata setengah tertahan karena jengkel. 

Shinji menatapnya dengan dalam hingga membuat perempuan itu jengah dan salah tingkah.

“Kenapa kau mengganti nomor telponmu?” Lelaki itu seperti mengalihkan pembicaraan.

Renata menaikkan alisnya, kaget dan heran.
“Bagaimana kau tahu? Apa kau berusaha menghubungiku?”

“Ya.” Shinji menjawab cepat. Dan Renata terhenyak. Ia membalas tatapan pria itu dengan jengkel.

“Untuk apa? Kau belum puas bermain-main denganku? Belum puas dengan apa yang telah kau lakukan padaku? Belum puas melihat keadaanku seperti ini? Apa kau sengaja datang ke sini mengikutiku demi melanjutkan aksi balas dendammu?!” Nada suara Renata meninggi.

Bibir Shinji berdecak sinis. “Woa, selain sensitif, ternyata kemiskinan membuatmu menjadi galak ya?” sindirnya.

Dengan tangan tetap berada di saku celana, lelaki itu melangkahkan kakinya mendekati Renata. Ia mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan mukanya ke muka perempuan tersebut. 

Renata hanya mampu merapatkan punggungnya ke tembok.

“Aku belum puas bermain-main denganmu. Bukankah aku sudah bilang, aku akan membalas dendam padamu sampai kau hancur lebur tak terbentuk,” ucap Shinji dengan gigi terkatup menahan amarah. 

Matanya tajam menghujam mata Renata. 

Perempuan itu menelan ludah. Reflek ia mendorong tubuh Shinji dengan kedua tangannya. Tapi karena posturnya yang tinggi tegap, lelaki itu hanya bergeser beberapa inchi saja.

Ia kembali mendorong lelaki itu untuk kedua kalinya kemudian beranjak menjauh. Lalu menatap lelaki itu dengan sebal.

“Ya, aku tidak ragu kau akan melakukannya. Kau pasti melakukannya. Dan untuk apa? Bukankah kau sudah membuatku hancur? Berhentilah berurusan denganku. Kau sudah punya kehidupan lain, kan? Urusi saja keluargamu, istrimu. Untuk apa kau harus membuang-buang waktu denganku?!” Renata berteriak.  Napasnya menderu.

Shinji tertawa. “Istri? Jadi kau belum tahu? Kau tak pernah membaca koran? Tak pernah membuka internet?” Ia bertanya sinis.

“Apa?” Renata mengangkat bahu.

“Pernikahanku batal. Aku membatalkan pernikahanku beberapa jam sebelum pesta dimulai. Apa kau benar-benar tak tahu? Berita ini bahkan berkali-kali dimuat di surat kabar dan juga di internet. Seorang pengusaha sukses membuat keributan di pesta pernikahannya sendiri hingga pernikahan itu batal. 

"Seorang pengusaha sukses mabuk di pesta pernikahan sendiri dan meracau dengan mengatakan bahwa ia tak pernah bisa mencintai mempelai wanitanya. Kau tak tahu headline berita itu?” Shinji menatap langsung ke manik mata Renata.

“Astaga, apa kau benar-benar terisolir dari dunia luar sekarang?” Nada mengejek dan menghina kembali ia arahkan pada perempuan itu.

Renata balas menatap lelaki itu dengan penuh tanda tanya. 

“Kenapa kau membatalkannya?” Akhirnya ia bertanya.

“Apakah aku harus menjelaskannya padamu?”

“Tentu saja tidak. Kau tak perlu menjelaskan apapun padaku. Itu bukan urusanku dan aku tak ada hubungan apapun dengan masalahmu,” jawab Renata ketus.

“AKU MEMBATALKAN PERNIKAHANKU KARENA KAU!” Shinji berteriak.

Renata membeliak.

“Sebenarnya apa lagi rencanamu, Tuan Shinji? Apa kau berniat bermain drama lagi denganku? Mencoba merayuku kembali, menjebakku ke dalam perangkapmu lalu mencampakkanku lagi!? Kau sudah menghancurkan hatiku! Apa kau belum puas?!” Ia ikut berteriak.

“Pergilah! Jangan pernah menemuiku lagi! Kau sudah cukup menghancurkanku!” lanjutnya.

Shinji mengatupkan giginya. 
“Kau takkan bisa menyuruhku pergi, Renata. Belasan tahun aku hidup di bawah bayang-bayangmu, memikirkan dirimu seperti orang gila. Aku menjerumuskan diriku sendiri ke neraka karena kau. Jadi kau takkan bisa menyuruhku pergi. Kau takkan pernah bisa melakukannya. Karena aku pun menolak untuk pergi dari hidupmu,” desisnya. Ia beranjak. 

Sesaat sebelum ia keluar dari pintu rumah Renata, langkahnya terhenti.

Ia mengangkat tangannya dengan putus asa. “Ah, persetan denganmu, Renata,” desisnya.

Ia berbalik, melangkah mendekati Renata kembali lalu meraih pinggangnya erat.
“Aku merindukanmu,” bisiknya.

Dan ia menyambar bibir perempuan itu lalu melumatnya kasar.

Setelah itu ia melepaskan pelukkannya lalu beranjak keluar. Menuju mobilnya, membanting pintu dengan kasar, kemudian menjalankan kendaraan itu dengan cepat.

Kedua mata Renata mengerjap, seakan baru saja pulih dari syok.

“SHINJI!!” Ia berteriak pada jalanan yang lengang.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER