TADA AISHITERU (13)
----------
Keesokan harinya, ketika Renata membuka mata, ia tak menemukan Shinji di sampingnya. Rupanya lelaki itu telah pergi diam-diam.
Yang ia temukan hanyalah secarik kertas di atas meja rias di samping tempat tidurnya yang bertuliskan: I love you.
Bukti bahwa Shinji sadar betul dengan apa yang ia ucapkan semalam.
***
"Jadi, siapa lelaki itu sebenarnya? Semalam lelaki itu menciummu dengan lembut di depan banyak orang. Kelihatan sekali kalau kalian punya hubungan dekat. Apa kalian berkencan?" tanya Tina dengan penuh selidik ketika mereka sudah bertemu lagi di tempat kerja.
Renata hanya mengangkat bahu tanpa menjawab.
"Iya, kan? Kalian pasti berkencan." Tina kembali menyimpulkan sendiri.
"Kami hanya teman." Renata menjawab pendek.
"Mana ada teman yang mencium temannya sendiri dengan begitu penuh perasaan? Ia bahkan membisikkan kata 'Aku takkan pernah bisa hidup tanpamu'. Ah, manis sekali kedengarannya. Ayolah, dia kekasihmu, kan? Kalian pasangan yang serasi. Dan jujur saja, lelaki itu tampan luar biasa." Tina menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan mata berkedip-kedip lucu.
Renata tertawa tipis.
"Percayalah, kami hanya teman." Ia kembali menegaskan.
"Bohong, kau pikir aku tak tahu kalau lelaki itu selalu datang ke sini setiap jam makan siang. Kau bahkan selalu menemani dia makan."
Renata terdiam. Asyik membersihkan permukaan meja counter dengan lap.
"Eh, itu dia! Lelaki yang semalam menciummu!" Tiba-tiba Tina berteriak seraya menunjuk ke arah pintu keluar. Renata tersentak. Perempuan itu menoleh mengikuti arah telunjuk Tina. Ia mencari-cari sosok yang baru saja mereka bicarakan. Tapi ia tak dapat menemukannya di depan pintu keluar.
Sesaat kemudian, ia mendengar gelak tawa Tina.
"Aku hanya bercanda, Rena. Kenapa kau sekaget itu? Tuh, kan? Kau pasti mencintainya. Aku bisa melihatnya dari kedua matamu," ucapnya menggoda.
Renata mendelik. Segera cubitannya bersarang di pinggang sahabatnya tersebut. Sayangnya, ia hanya sempat mengenainya sedikit karena Tina keburu kabur meninggalkannya.
"Kalau kau melakukannya lagi, habis kau!" Renata berteriak. Tina hanya tertawa penuh kemenangan karena merasa berhasil menggodanya. Ia melambaikan tangannya dan segera berlari ke arah dapur belakang.
Dan Renata segera kembali disibukkan dengan beberapa pesanan yang harus segera ia antarkan ke beberapa meja pelanggan.
Jika harus jujur, sebenarnya ia berharap Tina tak bercanda.
Ia mengharapkan kehadiran Shinji. Ia ingin melihatnya, bertemu dengannya dan mengetahui keadaannya. Semalam pria itu terlihat kacau, dan ia khawatir.
Sebenarnya Renata ingin menelpon Shinji, tapi ragu. Apa ia akan menjadi wanita murahan jika menelponnya lebih dahulu, mengingat apa yang sudah pria itu lakukan padanya?
Bukankah seharusnya ia membencinya? Menghujaninya sumpah serapah, atau mendoakan hal buruk padanya?
Sayangnya, tidak.
Renata takkan bisa melakukannya.
Mungkin ini yang disebut cinta gila. Dulu ketika Renata merasa jatuh cinta pada Hasan, ia mencintai lelaki itu dengan penuh pertimbangan beserta alasan-alasan.
Tapi dengan Shinji, ia serasa tak bisa menggunakan akal sehatnya lagi.
Mencintai Shinji begitu berbeda. Ia merasa gila, buta dan tak punya logika.
Lelaki itu telah melakukan banyak hal padanya. Merubah hidupnya dan nyaris menghancurkan dirinya - sebenarnya sudah. Tapi, ia tetap saja mencintainya, tulus, tanpa pamrih.
Dan semalam, jelas-jelas ia mendengar bahwa lelaki itu juga sangat mencintainya. Ia bahkan bilang dengan terus terang bahwa ia tak dapat hidup tanpa dirinya.
Apa ia serius?
Ia tak mempermainkannya lagi, kan?
"Terkutuk kau, Shinji Okada." Tanpa sadar Renata menggumam lirih, dibarengi dengan desahan napas berat.
"Oh, Ren. Aku lupa ingin bilang. Nanti setelah sepulang kerja, teman-teman akan pergi ke tempat karaoke. Dan kali ini, kau harus ikut. Tak boleh menolak. Titik." Tina melongokkan kepalanya dari balik pintu dapur.
"Well, sepertinya aku takkan bisa ikut lagi karena... "
"Tidak!" Tina berteriak dan menghambur ke arahnya. "Tidak ada penolakan lagi. Yang jelas, malam ini kau harus ikut. Ayo kita bersenang-senang. Kau terlihat suntuk akhir-akhir ini, oke?"
Renata terdiam sesaat.
"Dengan siapa saja?" Akhirnya ia bertanya.
"Semua ikut. Akan ada pria-pria ganteng kali ini." Perempuan itu terkikik. Renata menarik napas, mengulur waktu, lalu kemudian tersenyum. "Oke, aku ikut," jawabnya.
"Sebentar, kau ingin kemana?" Tiba-tiba Pak Robby, sang manajer, muncul dari balik pintu.
"Kami? Kami akan pergi ke karaoke. Bapak mau ikut?" Tina menyahut.
"Tidak, bukan kau. Maksudku, kau..." Ia menunjuk Renata. "Akan ke mana?"
Renata mengerjap.
"Saya akan ikut mereka ke tempat karaoke, Pak. Ada apa?" Ia bertanya bingung menyadari kalimat Pak Robby yang terlihat serius.
Lelaki setengah baya itu menyipitkan matanya. "Tidak. Kau tak boleh ikut?"
"Kenapa?"
"Ikutlah denganku. Kita harus bicara." Pak Robby memberi isyarat dengan jemari agar Renata mengikuti langkahnya.
Renata menatap sekilas ke arah Tina. Temannya itu hanya mengangkat bahu, bingung.
Toh akhirnya Ia tetap mengikuti Pak Robby ke ruangan.
"Kau tak boleh ikut. Aku sudah mendapat perintah khusus untuk mengawasimu. Agar kau tak jalan-jalan ataupun pergi ke tempat-tempat hiburan yang memberikan kesempatan padamu untuk bertemu lelaki lain," ucap Pak Robby.
Ucapan lelaki itu tak pelak membuat Renata melongo. "Hah?"
"Tuan Shinji yang memberi perintah," lanjut lelaki itu.
Renata melotot. "Shinji?!" Ia nyaris berteriak.
Pak Robby berdecih kesal.
"Hati-hati kau menyebutkan namanya. Dia itu pemilik baru restoran ini. Panggil namanya dengan sopan." Ia protes.
"Jadi anda sudah tahu kalau dia pemilik restoran ini?"
"Tentu saja. Aku manajer di sini. Aku tahu siapa atasanku." Lelaki berkaca mata itu membalas.
"Dan kenapa dia memberikan perintah seperti itu?" tanya Renata bingung.
"Beberapa hari ini beliau akan ada di Tokyo untuk mengurus pekerjaan. Sebelum ia kembali lagi ke sini, dia berpesan padaku untuk mengawasimu."
"Mengawasiku?" Renata mendelik.
Pak Robby mengangguk.
"Hanya untuk memastikan bahwa kau akan pulang ke rumah kontrakkanmu dengan aman. Dan yang yang terpenting, kau tidak keluyuran ke tempat-tempat di mana kau bisa menemui lelaki-lelaki lajang."
"Apa?" Perempuan itu mendesis.
"Dan..." Pak Robby menatap Renata mantap. "Mulai nanti, akan ada sopir khusus yang mengantarmu pulang. Dan kau tak bisa menolak. Jika kau menolak, Pak Shinji akan memecatmu."
"WHAT??"
Pak Robby hanya mengangkat bahu cuek. "Itu saja yang akan kusampaikan. Sekarang, kembali bekerja."
"Tunggu. Tolong sambungkan saya ke nomor ponselnya. Saya ingin bicara dengannya." Renata protes.
"Untuk apa kau bicara dengannya?"
"Pokoknya sambungkan saja saya dengannya! Saya harus bicara dengannya, titik!"
"No." Pak Robby menjawab tegas sembari mengibaskan tangannya.
"Dan jika kau terus menerus protes seperti ini, maka Pak Shinji akan... "
"Memecatku?"
Lelaki itu mengangguk.
Renata menggigit bibirnya kesal. Tak percaya dengan apa yang sedang ia hadapi sekarang.
Bagaimana mungkin Shinji pergi begitu saja lalu meninggalkan lelucon semacam ini padanya?
Ia berteriak dalam hati, gemas.
***
Renata menatap hamparan tempat parkir yang sepi. Ia menarik napas panjang, kecewa.
Shinji belum kembali.
Beberapa hari terakhir ini ia agak terbiasa dengan kehadiran lelaki itu di sana, di depan tempat kerjanya, bersandar di mobilnya, yang lebih sering menatapnya dengan angkuh.
Sekarang, terasa ada yang hilang.
Di mana dia?
Apa dia baik-baik saja?
Ataukah dia sedang sakit?
Renata kembali mendesah sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menuju ke arah sebuah mobil yang sedang menunggunya.
Mulai beberapa waktu yang lalu, ia setuju dengan 'lelucon' yang dibuat Shinji. Seorang sopir selalu setia mengantarnya pulang. Karena tak mau menimbulkan kecurigaan di antara karyawan lain, ia setuju diantar asalkan semua karyawan yang lain sudah pulang terlebih dahulu.
Setelah sampai di rumah, Renata mengucapkan terima kasih kepada sopir yang mengantarkannya sebelum ia turun dari mobil. Sopir itu tersenyum ramah lalu pergi.
Beberapa meter sebelum sampai di depan rumahnya, ia menangkap sesosok tubuh yang berdiri termangu di bawah remang-remang cahaya lampu. Tidak begitu jelas.
Renata sempat merasa was-was kalau itu orang jahat.
Tapi begitu sosok itu keluar dari temaramnya lampu menuju tempat yang lebih terang, tubuh Renata segera membeku.
"Mas Hasan?" Ia mendesis.
Lelaki itu menatap Renata dengan dalam. Raut mukanya datar. Tak ada senyum yang tersungging di sana.
"Renata," panggilnya lirih. Suaranya bergetar. Dan tiba-tiba saja, air mata lelaki itu menitik.
"Mas?" Renata kembali mendesis.
Dengan langkah gontai, Hasan mendekati Renata lalu menghambur ke arahnya dan memeluk wanita itu dengan erat. Bahunya terguncang, ia terisak. Renata tak bergerak, bingung.
"Maafkan aku, Ren. Maafkan aku karena membiarkan kau terluka. Maafkan aku karena aku tak mampu melindungimu. Maafkan aku karena gagal membuatmu bahagia. Aku bersalah," bisiknya serak.
"Mas, ada apa?" Renata bertanya bingung.
"Anggi sudah menceritakan segalanya. Ia menceritakan tentang Shinji. Ia menceritakan padaku kalau dulu ia mendekatiku atas perintah lelaki itu. Ia sengaja menggodaku, agar kita berpisah, agar kita bercerai. Shinji yang merencanakan semua ini, Ren. Dialah yang melakukannya, menghancurkan rumah tangga kita. Dia berbahaya, dia jahat."
Renata merasakan dadanya berdesir. Perempuan itu menelan ludah, lalu memejamkan matanya sesaat. Dan air matanya menetes.
Tidak.
Ia tak pernah berharap Hasan akan mengetahui semuanya.
***
Hasan dan Renata duduk berdampingan di sebuah kursi sempit di teras rumah. Secangkir teh yang masih hangat berada di meja, di depan mereka. Masih utuh. Mereka masih berdiam diri selama beberapa menit. Canggung.
"Dari mana kau tahu kalau aku di sini?" Renata membuka suara.
"Setelah mendengar pengakuan Anggi, aku langsung ke rumahmu. Aku berbicara banyak dengan Mas Aldi. Dan ia memberiku alamatmu yang baru," jawab Hasan.
"Aku ke sini dengan buru-buru. Aku hanya merasa marah dengan semua pengakuan Anggi yang tiba-tiba. Entahlah, aku hanya merasa seperti orang bodoh saja. Aku merasa dipecundangi. Dan jujur, itu sangat menyakitkan."
"Aku sudah tahu tentang itu, Mas. Aku sudah tahu kalau Anggi sengaja mendekatimu karena perintah Shinji. Itu... sudah kuketahui sejak lama." Renata menjawab serak.
Hasan menatap perempuan itu dengan miris.
"Kenapa kau tak bercerita padaku? Kenapa kau tak menghubungiku?"
Renata mengangkat bahu.
"Jika aku menghubungimu, lantas apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan meninggalkan Anggi lalu kembali padaku?"
"Tentu saja aku akan meninggalkannya!" Hasan berjengit, emosional.
"Kemudian?" Renata kembali bertanya. Keduanya berpandangan.
Hening.
Renata menggeleng pelan. "Bahkan jika kita tahu itu, keadaan tidak akan bisa berubah. Perkawinan kita hancur, tak terselamatkan. Kita takkan bisa bersama-sama lagi," ucapnya.
"Jujur, tadinya aku begitu marah dengan Anggi. Tapi dia perempuan yang baik. Terlepas motif awal yang dia pakai ketika mendekatimu, dia mencintaimu dengan tulus. Aku bisa melihat itu dari matanya. Bahkan jika harus jujur, rasa cintanya padamu lebih besar daripada apa yang kurasakan padamu. Selain itu, bukankah dia sudah bercerita dengan jujur padamu. Itu artinya, ia ingin menjalani hubungan yang lebih terbuka, tanpa dibayang-bayangi rasa bersalah. Jangan tinggalkan dia, Mas. Hiduplah bahagia dengan Anggi. Terlebih lagi karena ada anak di antara kalian. Pikirkanlah masa depan anakmu. Dia layak mendapatkan sebuah keluarga yang lengkap dan bahagia."
Hasan terdiam. Sesaat ia terkekeh, getir.
"Kita benar-benar diperlakukan seperti orang bodoh ya?" desisnya.
"Mungkin. Tapi aku sudah memaafkan Anggi, aku juga sudah memaafkan Shinji. Jadi kuharap kau juga bisa melakukan hal yang sama. Maafkan mereka."
"Semudah itukah kau memaafkan mereka setelah apa yang mereka lakukan pada kita? Mereka menghancurkan hidup kita, Ren. Mereka membuat pernikahan kita porak poranda." Kalimat Hasan tertekan.
"Tanpa ulah mereka pun aku tak yakin kalau perkawinan kita akan bertahan," ujar Renata hingga membuat Hasan melotot.
"Apa maksudmu?"
Renata kembali mendesah pelan, lalu menatap pria di sampingnya lekat.
"Kau menginginkan bayi dan aku tak bisa memberinya. Jadi cepat atau lambat, hubungan kita pasti akan bermasalah. Dulu kita sama-sama saling mencintai, tapi seolah masing-masing dari kita tengah menggenggam bom waktu. Tinggal tunggu waktunya saja untuk meledak."
"Renata ..." Hasan memanggil lembut.
"Sekarang kau sudah mempunyai hidup yang sempurna, Mas. Kau dianugerahi keluarga kecil yang bahagia, istri yang baik dan juga seorang anak yang lucu. Tak bisakah kita melupakan masa lalu? Mari kita sama-sama menatap masa depan yang lebih baik. Lagipula, aku sudah merelakanmu. Jadi kumohon, jangan sia-siakan Anggi dan anaknya."
Hasan menatap perempuan itu dengan putus asa. "Tetap saja aku tak bisa merelakanmu bersama Shinji. Dia tak layak mendapatkan perempuan seperti dirimu. Kau terlalu baik untuknya."
Renata mengangkat bahu.
"Aku tidak bersamanya, Mas. Tenanglah. Lagipula, aku nyaman dengan hidupku yang seperti ini," jawabnya.
"Maksudmu, kau tak akan kembali pada Shinji?"
Renata mengangkat bahu. "Aku tak tahu," ia merasa tak yakin.
"Kau tak mencintainya lagi?"
"Aku... tak tahu," jawab Renata lagi, terbata, mencoba menyembunyikan kebohongannya.
"Kau mencintainya." Hasan langsung menebak hingga membuat perempuan cantik itu tersenyum kecut.
"Aku bisa melihatnya dari matamu. Kau mencintai lelaki itu. Ya, kan?"
"Aku juga tahu kalau kau mulai mencintai Anggi. Aku bisa melihatnya dari sorot matamu ketika dulu kau berusaha menyelamatkan nyawanya dari usaha bunuh diri. Binar itu ada di matamu. Bahwa kau khawatir padanya, pada anakmu. Jadi, bisa kusimpulkan bahwa... ada cinta di hatimu untuknya," balas Renata.
Keduanya terdiam. Hening lagi.
Semilir angin menerpa diri mereka.
"Aku hanya tak percaya bahwa kau bisa jatuh cinta pada Shinji setelah apa yang dilakukan oleh pria itu." Suara Hasan yang terdengar gemas memecah keheningan. "Dia ... berengsek."
Bibir Renata mengerucut getir. Ia merasakan matanya basah.
"Aku juga tak percaya dengan diriku sendiri, Mas. Setelah apa yang Shinji lakukan padaku, aku tetap saja... " Ia menelan ludah. "Aku tetap saja tak mampu membencinya." Suaranya berat, nyaris tertelan di tenggorokan.
"Beberapa bulan ini aku hidup dengan penuh percaya diri, percaya bahwa aku baik-baik saja. Sampai akhirnya Shinji kembali muncul di hadapanku dan dari situlah aku tersadar, aku tidak bisa lepas dari bayang-bayangnya." Air mata perempuan itu tumpah.
"Dan sekarang, aku merasa tak baik-baik saja." Bibirnya bergetar.
Kembali Hasan menatap mantan istrinya itu dengan iba. Perlahan ia beranjak, berlutut di hadapannya lalu meremas tangannya dengan erat. "Maafkan aku, Ren. Maafkan aku," ia ikut meratap.
"Aku bersalah padamu. Aku tak mampu melindungimu, tak mampu membahagiakanmu." Ia beringsut, memeluk perempuan itu dan berusaha menenangkannya.
"Apa kalian akan rujuk?"
Suara itu membuat Hasan dan Renata menoleh. Tampak oleh mereka lelaki jangkung sudah berdiri tak jauh dari mereka dengan tatapan tak suka. Shinji.
***
To be continued
No comments:
Post a Comment