LASTRI 32
(Tien Kumalasari)
Timan terus menunggu, satu mobil lagi, dan pick up bertuliskan LASTRI itu akan mendapat gilirannya. Timan terus mengawasinya dari kaca spion.
"Penasaran sekali aku. Dipasar orang berbicara Lastri, pick up lucu, tulisannya Lastri. Apakah mereka mengejek aku karena tau aku sedang mencari Lastri untuk sahabatku?" gumam Timan.
Haa... pick up kuning telur itu sudah selesai, dan berjalan hampir sampai didekatnya. Timan melongokkan kepalanya dijendela.
"Mas, mas... tunggu mas," teriaknya.
Pengemudi pick up itu menoleh sejenak, tapi tak mau berhenti. Ia langsung keluar dari arena pengisian bahan bakar itu, dan memacu mobilnya. Rupanya dia sedang tergesa-gesa dan mengira Timan salah memanggil orang, karena dia sama sekali tak mengenal Timan.
"O, wong eddan !!" Timan mengumpat karena kesal. Dia menstarter mobilnya dan mengejar pick up kuning itu.
"Mana dia? Kok tiba-tiba menghilang? Siluman barangkali," gerutu Timan sambil matanya melongok kesana kemari.
"Mungkinkah dia masuk ke gang disana tadi?"
Karena perkiraan itulah maka Timan memutar mobilnya, lalu memasuki gang masuk sepuluhan meter setelah pom itu.
Tapi mobil itu tak diketemukannya, barangkali sudah sampai dijalan besar didepan sana lalu belok entah kemana, nyatanya ketika Timan sampai dijalan besar itu, pick up kuning itu tak kelihatan lagi buntutnya. Dengan mengomel panjang pendek Timan memacu mobilnya, pulang.
***
Sore itu bu Marsudi kembali mengomel karena rambut dan cambang Bayu sudah kelewatan panjangnya. Bayu sedang duduk bersandar disofa, tampak lesu dan tak bertenaga.
"Bayu, ayo ibu antar, rambut dan cambang itu harus dirapikan."
"Males bu, biarin begini saja."
"Kamu tuh jelek, tau ?!"
"Nggak apa-apa jelek, Memangnya kalau ganteng mau ngapain?"
"Bayu, jangan gittu dong Yu, kamu bekerja, apa nggak ditegur sama atasan kamu?"
"Bayu ganti penampilan bu, biarlah begini saja. Bayu juga nggak minat bekerja lagi, jadi kalau dikeluarin gara-gara penampilan ini ya nggak apa-apa." kata Bayu yang bicaranya semakin melemah.
"Bicaramu ngelantur."
"Bayu sudah patah semangat. Semangat untuk apapun sudah tak ada lagi." tiba-tiba tubuh Bayu lunglai.
Bu Marsudi memeluk Bayu dengan sedih. Ia tak tau harus melakukan apa. Hiburan apapun untuk Bayu tak bisa membuatnya senang, apalagi bahagia.
"Kalau begini terus kamu bisa sakit Yu, kasihanilah dirimu."
"Bayu sudah lama sakit bu."
"Jangan begitu. Ibu tidak punya siapa-siapa Yu, anak ibu hanya kamu. Kamu jangan begini ya nak." bu Marssudi sedikit cemas menyaksikan anaknya tampak lemas.
"Aku ingin pergi mencari Lastri bu."
"Kemana lagi kamu akan mencarinya?"
"Kemana saja bu, asalkan Bayu bisa menemukan Lastri."
Bayu terkulai dalam pelukan ibunya. Pak Marsudi belum pulang dari kantornya. Kalaupun pulang Bayu tak begitu dekat dengan bapaknya. Bayu masih belum bisa mema'afkan perbuatan ayahnya yang membuat Lastri pergi. Sesal yang dikemukakan pak Marsudi tak bisa mengubah semuanya. Lastri sudah pergi.
"Cara Lastri pergi itu sungguh membuat Bayu sedih. Dia pergi dengan hati terluka bu, " rintih Bayu.
Ponsel Bayu berdering, tapi Bayu tak ingin mengangkatnya. Bu Marsudi meraihnya.
"Ini dari nak Sapto. Angkatlah."
Bayu menggeleng. Bu Marsudi mengalah, mengangkat panggilan itu.
"Hallo Yu, kemana saja kamu?"
"Nak Sapto, ini ibu. Bayu lagi tidur. Ada apa ya?"
"Ini bu, Sapto mau mengundang Bayu di pesta pernikahan Sapto."
"Oh, nak Sapto mau menikah ?"
Masih bulan depan sih bu, tapi Sapto mau minta Bayu untuk ikut bantu-bantu, gitu, saya mengundang Bayu sore ini dirumah. Kami sedang berbicara dengan keluarga."
"Oh, tapi sa'at ini kayaknya Bayu lagi kurang enak badan. Bagaimana kalau besok saja biar dia menemui nak Sapto?"
"Oh, sakit dia? Masih memikirkan Lastri?"
"Ah, ya itulah nak. Oh ya, nak Sapto jadi menkah dengan Reni?"
"Benar bu, Sapto sudah capek melajang. Sudah sa'atnya memikirkan rumah tangga."
"Itu benar nak, ibu ikut senang akhirnya nak Sapto sudah menemukan jodohnya. Tapi kok bapaknya Bayu belum cerita ya? Ayahya Reni kan rekan kerja pak Marsudi dikantornya.
"Mungkin belum bu."
"Baiklah nak, ma'af ya, sore ini Bayu belum bisa kemana mana, jadi biar besok saja dia menemui nak Sapto ya?"
"Nggak apa-apa bu, kalau perlu besok Sapto saja yang datang kemari."
Bayu bisa menangkap percakapan ibunya dan Sapto, tapi dia tak berreaksi. Ia tiduran di sofa dengan meletakkan kepalanya dipangkuan ibunya.
"Nak Sapto mau menikah Yu, sore ini sebenarnya kamu ditunggu dirumahnya."
"Hm..." hanya dengusan yang terdengar dari mulutnya. Bayu memejamkan matanya.
Bu Marsudi mengelus kepala Bayu dengan lembut.
Pak Marsudi tiba-tiba datang dan langsung duduk di depan isterinya, memandangi Bayu yang terbaring disana.
"Kenapa dia?"
"Nggak apa-apa, hanya ingin bermanja sama ibunya."
"Akhirnya Reni akan menikah dengan Sapto."
"Iya, ibu sudah tau, barusan nak Sapto menelpon."
"Harusnya dia menjadi isteri Bayu," kata pak Marsudi.
"Sssssh...!" Bu Marsudi meletakkan jari telunjuknya di bibir, pertanda melarang suaminya melanjutkn kata-katanya.
Pak Marsudi berdiri dan pergi kebelakang dengan bersungut-sungut.
"Teh hangat sudah ada dimeja pak," kata bu Marsudi agak keras tanpa beranjak dari tempat duduknya, karena Bayu masih terbaring dipangkuannya dan enggan ditinggalkannya.
***
Malam baru saja turun, temaram senja telah hilang, meninggalkan kegelapan yang senyap. Timan duduk diteras rumhahnya. Didepannya tampak gelas kosong bekas wedang jahe yang habis diminumnya. Rengginang setoples juga tinggal separo. Demikianlah malam demi malam dilalui Timan dengan sepi yang terkadang menyengat, sejak kedua orang tuanya meninggal tuga tahun silam. Timan menyesal tak bisa memenuhi keinginan mereka untuk memberikan seorang cucupun ketika mereka masih bersamanya. Tapi bagaimana lagi, jodoh itu belum juga ditemukan. Ketika cinta hampir kuncup, tiba-tiba disadarinya bahwa mimpinya terbatas hanyalah mimpi, karena gadis yang dicintainya ternyata mencintai laki-laki lain. Tapi Timan tak pernah merasa sakit hati. Kedewasaan membuatnya lebih bisa mengendapkan rasa dan gejolak yang terkadang memprakpandakan hatinya. Timan bahagia ketika Lastri mencintai laki-laki yang baik, yang mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga.
Timan teringat ketika pada suatu hari bertemu Bayu, didepan sebuah toko. Entah belanja apa, Bayu tampak letih dan tak bersemangat. Timan hampir tak mengenalinya kalau Bayu tidak menyapanya. Rambutnya sedikit gondrong, cambang hampir memenuhi seluruh wajahnya.
"Mas Bayu, apa-apaan mas Bayu ini?"
"Apa kabar mas Timan?" sapa Bayu tanpa memperdulikan reaksi Timan ketika memandangi wajahnya.
"Baik mas Bayu, tapi.. saya hampir tak mengenali mas Bayu. Mengapa berpenampilan seperti ini?"
"Bukankah saya ganteng?" canda Bayu sambil tertawa.
"Iya sih, gantengnya tetap, tapi...."
"Tapi apa mas ?"
"Sedikit serem."
Lalu keduanya terbahak bahak.
Sekarang Tiamn melamun sendirian didepan rumah. Akhir-akhir ini Bayu jarang datang. Barangkali karena dirumah ini tak juga ditemukannya berita tentang Lastri.
Tiba-tiba Timan teringat pick up kuning itu.
"Mengapa aku tertarik pada colt kuning itu? Apa karena ada tulisan Lastri dipintunya? Tapi pengemudi pick up itu sungguh keterlaluan. Aku memintanya berhenti,mengapa tidak mau, malah menghilang entah kemana, gumam Timan kesal.
Tiba-tiba juga Timan ingin menelpon Bayu, dan ingin berbincang tentang colt kuning itu. Mungkinkah Bayu akan tertarik? Diputarnya nomor Bayu.
***
Ketika ponselnya berdering itu, Bayu masih berbaring dipangkuan ibunya, barangkali juga ketiduraan karena sudah lama dia berbaring dan posisinya tidak juga berubah. Bu Marsudi mengambil ponsel itu dan membaca pengirimnya.
"Dari nak Timan .. Bayu, apa kamu mau menerimanya?"
Bayu menggeleng lemah. Bu Marsudi terpaksa menerimanya.
"Hallo,"
"Lho, ini ibu? Mas Bayu ada bu?"
"Ada sih nak, tapi sepertinya agak kurang enak badan. Dari tadi maunya tidur melulu."
"Sakit bu? Kalau begitu biar saya kesitu ya bu."
"Bayu, nak Timan mau kesini. Kamu tidur dikamar saja yuk, biar lebih enak. Ibu mau melayani bapak dulu.
Bayu tak mnjawab. Bu Marsudi mengambil bantal sofa dan meletakkan kepala Bayu disitu.
Bu Marsudi mendekati suaminya yang sudah menghabiskan tehnya dan makan beberapa cemilan yang dihidangkannya.
"Pak, ibu kok khawatir pada keadaan Bayu."
"Memangnya dia kenapa?"
"Sejak pulang dari bekerja tadi kok langsung tiduran disana dan kelihatannya badannya lemas. Ibu suruh pindah kekamarnya dia menggeleng."
"Apa dia sakit? Badannya panas?"
"Nggak panas pak, keringatan malah. Tapi kok kayak lemas begitu."
"Dibawa kerumah sakit saja apa gimana?" tanya pak Marsudi khawatir.
"Coba bapak tanya, apa yang dirasakannya."
Pak Marsudi mendekati Bayu yang masih berbaring dan memejamkan mata. Ia memegang kening anaknya.
"Bayu, kamu sakit?"
Bayu tak menjawab.
"Sudah makan kamu?"
"Tadi siang malah nggak makan dirumah, jangan-jangan dikantor juga nggak makan dia," ujar bu Marsudi.
"Makan ya le?"
Bayu menggeleng.
"Panggil Darmo bu, supaya dia bisa membantu membawa Bayu kerumah sakit," kata pak Marsudi.
Bu Marsudi mengambil ponselnya. Tapi tiba-tiba didengarnya ketukan di pintu.
"Itu pasti nak Timan," kata bu Marsudi yang langsung melangkah kedepan.
"Selamat malam bu," sapa tamu itu yang memang Timan adanya.
"Malam nak. Itu Bayu tiduran disitu. Badannya kok lemas begitu, seperti tak bertenaga," kata bu Marsudi sambil mengajak Timan masuk.
Timan mengikuti bu Marsudi, dan meletakkan sebuah bungkusan berisi jeruk segar dimeja didekat Bayu berbaring.
"Mas Bayu, sakit apa ?"
"Kita mau membawanya ke rumah sakit saja. Baru mau memanggil Darmo untuk membantu. Badan segede itu mana bapak sama ibunya kuat menggendong, orang dianya lemas begitu," kata pak Marsudi."
"Biar saya saja yang menggendong pak," kata Timan mendekati Bayu.
Pak Marsudi kedepan mempersiapkan mobil, sedangkan bu Marsudi kekamar untuk berganti baju.
"Mas Bayu, kita kerumah sakit ya?" bisik Timan.
Bayu membuka matanya begitu mendengar suara Timan.
"Kerumah sakit ya, mari saya bantu."
Tapi Bayu menggelengkan kepalanya.
"Jangan, biar begini saja," kata Bayu lemah.
"Jangan begitu mas Bayu, bapak dan ibu sangat khawatir. Ayo semangat mas, nanti kalau Lastri kembali pasti sedih melihat mas Bayu seperti ini," buuk Timan.
"Lastri.. tak akan kembali.." lemah Bayu berujar.
"Jangan patah semangat, Oh ya, dengar mas, tadi saya melihat sebuah colt kuning, yang pintunya bertuliskan LASTRI."
Bayu membuka matanya.
"Mana Lastri?"
"Saya belum berhasil bertemu pemilik mobil ibu. Tapi besok saya akan memburunya. Siapa tau ada hubungannya dengan Lastri."
"Benarkah?"
"Nggak tau mas, saya kok merasa bahwa Lastri sudah dekat dengan kita," kata Timan memberi semangat.
Bu Marsudi sudah selesai berganti pakaian.
"Bagaimana Yu, ayo kerumah sakit, bapak sudah menunggu didepan," kata bu Marsudi.
"Aku hanya mau Lastri," bisiknya pelan sambil bangkit.
"Aku berjanji akan memburu Lastri. Tapi mas Bayu harus tetap semangat dan sembuh," kata Timan lagi.
"Saya gendong?" kata Timan sambil membungkuk.
Bayu menggeleng. Ia mencoba berdiri tapi badannya terhuyung. Timan menangkapnya kemudian memapahnya ke mobil.
Disepanjang perjalanan kerumah sakit itu Timan berfikir, bagaimana kalau Lastri si pemilik pick up itu bukan Lastri yang dicarinya? Timan menghela nafas, yang penting Bayu mau dibawa kerumah sakit.
***
Pagi itu Timan berdiri didepan pasar. Ia tau bahwa pemasok sayur dan buah itu akan datang setiap hari. Ia harus bertanya, siapakah Lastri sang pengirim sayur, adakah hubungannya dengan pick up kuning telur yang dilihatnya?
Bayu terbaring dirumah sakit, dokter mengatakan bahwa penyakitnya lumayan parah. Tekanan darah rendah sekali, hb nya juga sangat rendah.
Timan tak memperdulikan dagangan buahnya. LASTRI yang terkenal dipasar itu siapa, dan pemilik pick up kiuninh telur itu juga siapa. Keterangannya ditunggu Bayu, dan itu adalah janjinya. Bagaimana kalau itu Lastri yang lain?
Timan tak beranjak dari depan pasar, berdiri diantara lalu lalang pedagang yang baru datang dan para pembelanja yang mulai berdatangan.
Mana pengirim sayur itu? Apakah perempuan yang pernah dilihatnya sedikit gemuk tapi manis? Apakah dia bernama Lastri ? Dari tak perduli akan nama itu, kemudian Timan menjadi sangat bersemangat untuk bertanya-tanya. Mudah-mudahan perempuan itu datang. Tapi tiba-tiba...
"Haa.. itu pick up yang kemarin !!" seru Timan sambil berjalan mendekat.Pick up kuning itu berhenti, seorang laki-laki menurunlkan keranjang keranjang berisi kubis dan bayam.
Laki-laki itu segera mengusung keranjang kedalam. Timan mencari sopirnya. Sopir, mana sopir? Aduh, baru saja datang sudah menghilang? Ya ampun, ternyata sang pengemudi pick up itu sedang duduk didepan penjual wedang.
Timan mendekat.
"Mas, kemarin kita ketemu di POM kan ?"
Pengemudi itu menatap Timan, seperti meng ingat-ingat.
"Saya panggil sampeyan, tapi nggak mau berhenti."
"Oh, itu ? Iya ma'af mas, kemarin saya mendapat tugas menagih, orang itu bilang harus segera datang karena keburu mau pergi. Jadi saya terburu-buru,"
"Oh, gitu ya?"
"Ada apa ya mas ?"
"Mau tanya mas, pengusaha sayur ini siapa ya?"
"Ini? Pak lurah mas."
"Pak lurah ?"
"Iya, tapi yang mengatur semuanya mbak Lastri."
Timan berdebar-debar.
"Lastri itu yang suka mengirim kemari ya?"
"Iya mas, dulu, waktu mobilnya masih satu, dan saya belum bekerja disana."
"Orangnya hitam manis, sedikit gemuk tapi manis?"
"Oh, bukan mas, itu sekarang menjadi isteri pak lurah. Lastri itu orangnya cantik, kulitnya putih, tinggi semampai, baik hati. Pokoknya gini mas," katanya sambil mengacungkan jempolnya.
"Dari mana sayur ini dikirim?"
"Dari Sarangan mas."
Timan hampir melonjak kegirangan.
***
No comments:
Post a Comment