LASTRI 33
(Tien Kumalasari)
Hari itu Timan tidak berjualan. Bayangan tentang Lastri semakin tampak jelas. Tinggi semampai, kulit putih bersih, cantik, baik hati, tinggal didaerah Sarangan. Itu Lastri yang aku cari, Lastrinya mas Bayu.
Timan mengambil mobilnya lan lari kerumah sakit. Berita ini harus segera disampaikan kepada Bayu agar bisa lebih bersemangat hidup. Ini pasti membahagiakan, karena akan bertemu dengan kakasih hatinya yang hampir tiba didepan mata.
Timan tersenyum disepanjang perjalanan. Hari masih pagi tapi jalanan sudah sangat ramai. Anak-anak berangkat kesekolah, mendominasi jalanan yang masih belum begitu siang. Timan menyibak keraaian itu dengan hati penuh suka. Andai bisa tersampai, Timan ingin berteriak sekuat tenaga, agar Bayu mendengarnya. Ia tak mungkin menelpon karena Bayu sedang dirawat dan ketika ditinggalkan semalam dalam keadaan setengah sadar.
Timan sudah sampai dirumah sakit itu, ia melompat dan seperti ingin terbang ke ruang UGD. Tapi ditengah jalan dia berpapasan dengan pak Marsudi. Wajahnya pucat penuh raa khawatir.
"Pak Marsudi, mau kemana ?" tanya Timan
"Keadaan Bayu kritis, suara pak Marsudi bergetar.
"Apa ?"
"Tekanan darahnya menurun. Hb nya juga ngedrop. Aku akan mencari donor karena persediaan dirumah sakit tidak mencukupi."
"Ya Tuhan, apa golongan darahnya ?"
"O, nak.. aku sudah diambil, kemungkinan masih kurang, tapi golongan darah ibunya tidak sama. Aku harus mencari segera."
"Pak, tunggu pak, golongan darah saya sama, mari kita kesana."
"Oh, baiklah, terimakasih nak, tapi aku akan mencoba mengontak orang-oraag kantor, untuk bersiap siap apabila diperlukan."
"Ya pak, silahkan.
Timan berlari kearah ruang ICU, dilihatnya bu Mrsudi duduk di sebuah kursi, menyandarkan kepalanya, Timan mendekat.
"Bu..."
Bu Marsudi mengangkat kepalanya., tangisnya meledak ketika melihat Timan. Timan merangkulnya .
"Sabar bu, mas Bayu pasti sembuh. Ini saya akan mendonorkan darah saya, tadi ketemu pak Marsudi diluar, sedang menelpon teman-temannya."
"Sykurlah nak, ibu juga tak mengerti, mengapa tiba-tiba dia begitu."
"Nggak apa-apa bu, saya membawa kabar baik tentang Lastri, semoga bisa menjadi obat mujarab untuk mas Bayu."
Bu Marsudi memegang kedua bahu Timan. Matanya masih basah, tapi ada harapan terlukis disana.
"Benarkah, nak Timan ketemu dia ?"
"Belum bu, baru mendapat kabar yang hampir meyakinkan saya bahwa itu Lastri. "
"Dimana dia ?"
"Didesa asalnya, saya baru mau kesana, tapi maksud saya akan mengabarkan berita ini dulu pada mas Bayu."
"Dia belum sadar nak, nanti akan ibu katakan."
"Sekarang saya mau bilang ke dokternya dulu bahwa darah saya siap didonorkan, karena golongan darah kami sama."
"Baiklah nak, terimakasih banyak, semoga berita ini bisa menjadi obat bagi Bayu."
***
Pagi itu Lastri kerumah bu lurah untuk mengembalikan sebagian uang bu lurah yang telah dipergunakannya untuk membeli bahan-bahan bangunan.
Bu lurah tidak menolaknya, karena takut Lastri tersinggung. Bu lurah masih teringat ketika Lastri marah-marah ketika dia melakukan itu.
"Terimakkasih bu, baru beberapa, masih kurang banyak bukan?"
"Tidak nak, ini cukup."
"Mana mungkin bu, saya mempunyai catatannya."
"Lastri, tolong jangan memikirkan itu. Ibu tau bahwa ibu bersalah, ibu sudah minta ma'af, dan ibu sudah menerima ini, sudah cukup nak. "
"Tapi bu.."
"Kalau kamu memaksa juga, berarti kamu tidak menganggap kami sebagai keluarga."
Lastri tak berdaya. Bu lurah memeluk Lastri erat.
"Terimakasih banyak bu, kebaikan ini tak ternilai."
"Jangan menilainya sebagai kebaikan. Kita bukan orang lain."
"Baiklah bu, sekarang saya mau ke bu lurah Mardi dulu ya bu.."
"Oh, dia baru ke uskesmas , kayaknya dia ngidam. Muntah-muntah terus dari pagi."
"Aduuuh, benarkah ? Senengnya ya bu, segera punya cucu..."
"Iya, seneng sekali. Semoga Lastri segera menyusul ya?"
Lastri tersenyum, sendu. Bisakah itu terjadi?
Ketika Lastri mau beranjak pergi, bu lurah menghentikannya.
"Tunggu Lastri, aku mau nitip buat Marni.
Bu lurah mengambil bungkusan plastik dimeja. Ini manisan cerme, seger, manis-manis asem, pasti orang ngidam suka. Sebentar, aku ambil koran buat bungkus, masa kelihatan begitu. Bu lurah mengambil koran selembar dikamar lalu dibungkusnya manisan itu.
"Ini Tri, dan suruh dia hati-hati. Sebenarnya ibu pengin mereka tinggal disini, agar aku bisa menjaganya, tapi mereka ingin rumah sendiri, ya sudah, nggak apa-apa, asal selalu saling mengabarkan saja."
"Benar bu, biar belajar mandiri, tidak selalu tergantung pada ibunya."
"Semoga mereka baik-baik saja."
***
Karena penasaran Lastri menyusul ke puskesmas. Dilihatnya Marni masih ada diruang tunggu, Mardi mendampinginya. Kepala Marni terkulai diundak Mardi.
"Yu Marni.. ," panggil Lastri.
Marni dan Mardi menoleh, Lastri mengulurkan tangannya kearah Marni.
"Selamat ya yu,"
"Lastri, belum diperiksa," jawab Marni. Lastri melihat, wajah Marni pucat.
"Kata bu lurah kamu ngidam. Aku tadi mampir kesana."
"Baru perkiraan. Ini lagi mau periksa."
"Semoga benar hamil yu, sudah kepengin punya keponakan nih, kata Lastri sambil duduk didekat Marni.
"Rasanya badan ku nggak karuan Tri."
"Itu bawaan bayi yu, sabar."
"Kamu dari mana, kok tau kami ada disini?" kata Mardi.
"Lha tadi kan aku bilang mampir kerumah bu lurah, jadi bu lurah yang kasih tau bahwa kalian ada disini. Oh ya, ini, bu lurah menitipkan sesuatu untuk yu Marni," kata Lastri sambil mengulurkan bungkusan yang diberikan bu lurah.
"Apa ini?"
"Makanlah, katanya manisan cerme, rasanya manis-manis asem. Cobalah."
Marni tak sabar membuka bungkusan itu, ingin segera mencicipi manisan itu, tampaknya menarik, manis-manis asem. Kertas koran itu dilepasnya dan jatuh dilantai, lalu Marni segera membuka plastiknya dan mengambil sebutir.
"Hm, benar, enak, aku suka," katanya lalu mengambilnya lagi, sementara Lastri memungut selembar koran bungkus yang tercecer.
Tiba-tiba ada sekilas tulisan yang menarik hatinya, ada nama Lastri tertulis disana. Lastri membuka lembaran itu lebih lebar. SEGERA PULANG LASTRI, KAMI BENAR BENAR MENUNGGU KAMU. AKU MINTA MA'AF, AKU BERSALAH PADAMU LASTRI. AKU MENYESAL. MARSUDI.
Lastri terpana, ini adalah sobekan koran pembungkus sepatunya. Jadi yang memasang iklan ini bukan Bayu, tapi pak Marsudi. Gemetar tangannya. Ini sudah setahun..
Mardi yang memperhatikan Lastri membaca, lalu meminta koran itu. Tiba-tiba Mardi sadar akan kesalahannya. Ia lupa tentang iklan itu, dan juga lupa mengabarkannya pada Lastri. Ketika itu bu lurah melarangnya mengabarkannya pada Lastri karena bu lurah mengharapkan Lastri tidak kembali kekota.
"Aduh.. aku kok bisa lupa.." keluh Mardi perlahan.
"Apa mas ?" tanya Marni dan Lastri hampir bersamaan.
"Lastri.." Mardi memegang tangan Lastri erat.
Lasri yang sedang memikirkan iklan itu menatap Mardi.
"Aku minta ma'af, sungguh ma'afkanlah aku."
"Kenapa?"
"Sesungguhnya ketika koran itu terbit, aku sudah membaca iklan itu."
"Apa?" Lastri terkejut.
"Ma'af Lastri ketik itu ibu melarangnya, karena ibu ingin kamu tetap tinggal disini. Setelah itu aku lupa tentang iklan itu, baru sekarang teringat kembali."
"Ya Tuhan.." keluh Lastri.
"Kalau kamu ingin kesana, aku akan mengantarmu, kapan saja."
"Mas Mardi kok bisa lupa sih, kasihan Lastri, dia urung kembali karena mengira mereka tak bisa menerima Lastri," tegur Marni.
"Iya, sungguh aku minta ma'af."
Ketika itu Marni sudah dipanggil, ia berdiri diikuti Mardi.
"Lastri, nanti kita bicara lagi ya, sebentar." kata Mardi sambil membawa Marni masuk kedalam.
Tapi Lastri langsung meninggalkan puskesmas itu. Sobekan koran itu dibawanya serta.
***
Lastri pulang dan menangis dikamarnya. Ada sedih yang mengharu biru perasaannya. Pak Marsudi merasa bersalah dan meminta ma'af, sangat diluar dugaannya. Tapi ia merasa lega. Lebih lega lagi ketika mereka mengharap dia kembali. Tapi itu sudah setahunan lalu, apakah semuanya belum berubah? Setahun adalah wktu yang cukup lama. Barangkali Bayu sudah melupakannya dan menemukan kekasih baru, atau bahkan sudah menikah. Lagipula Lastri juga belum tau, meminta dia kembali bukan berarti akan diterima sebagai menantu. Itu hal yang mustahil meenurut Lastri. Dan kalau dia kembali, dia akan tetap memendam cinta dihatinya, dan tersiksa sepanjang hari. Apalagi setiap bertemu dan bertatap muka dengan Bayu.
Lastri mengusap air matanya, lalu mengambil koran yang kembali dipergunakan untuk membungkus sepatunya. Ia memang tidak membuangnya. Lalu ia membukanya dan menyatukannya dengan koran pembungkus manisan itu. Tuhan mengatur hidupnya sedemikian rupa. Iklan yang terpisah bersatu kembali, jelas terbaca secara lengkap.
Kembali air matanya berlinang. Apakah kalau sejak koran itu terbit, lalu dia kembali kepada keluarga Marsudi, akan bahagia hidupnya?
Lalu ia teringat kata-kata Mardi bahwa kalau ia ingin kembali maka Mardi akan mengantarkannya. Begitu mudahkah ia kembali? Bagaimana kalau dilihatnya Bayu sudah berdua, lalu dia tetap menjadi pembantu di keluarga itu, dan menangkap setiap kemesraan antara Bayu dan isterinya. Aduhai... tidak.. Lastri tidak ingin kembali.
Ini adalah hidupku, aku akan tetap disini, mengenangmu setiap sa'at adalah lebih indah daripada melihatmu sudah berdua dengan yang lain.
Lastri menghela nafas.
"Aku harus kuat. Ini pilihan hidupku," bisik Lastri pelan.
***
Timan iingin segera berangkat ke Sarangan, tapi ia harus melihat keadaan perkembangan Bayu yang tampak menghawatirkan. Setelah mendonorkan darahnya, ia mendekati Bayu dan berbisik ditelinganya.
"Mas Bayu, saya akan menjemput Lastri."
Tapi Bayu diam tak bergerak. Timan merasa takut. Mengapa tiba-tiba seperti ini?
"Apakah kehilangan Lastri membuat mas Bayu jadi begini? Sadarlah mas.. sekarang juga saya akan membawa Lastri untuk mas Bayu."
Timan menghela nafas. Sedih melihat sahabatnya tergolek tak berdaya. Selang berisi cairan darah masuk melalui urat nadinya. Entah sudah berapa flacon masuk kedalam tubuhnya.
Diluar ruang ICU bu Marsudi masih menunggu. Wajahnya sembab dan pucat.
"Bu, saya pergi dulu," katanya sambil mencium tangan bu Marsudi.
"Jadi ke Sarangan?"
"Ya bu, do'akan agar bisa bertemu Lastri ya?"
"Iya nak, barangkali hanya itu obat untuk Bayu."
"Mana bapak, bu?"
"Sedang mengambil obat nak, nanti saya pamitkan."
"Ibu harus kuat ya, mas Bayu akan sembuh, percayalah bu," hibur Timan.
Bu Marsudi hanya bisa mengangguk, air matanya kembali mengambang, yang kemudian diusapnya.
***
Timan memacu mobilnya kearah Sarangan. Bertumpuk harapan yang membakar semangatnya. Ia ingin Bayu sembuh, dan Lastri berbahagia. Alangkah mulia hati Timan, sang penjual buah.
Hari sudah menjelang sore ketika Timan tiba disana. Keterangan dimana rumah Lastri tak lama segera didapatnya karena nama Lastri tak asing lagi bagi masyarakan disana.
Timan menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah bercat kuning muda. Pintu rumah itu tertutup. Sedang tidurkah Lastri?
Timan turun dan langsung menuju rumah itu kemudian mengetuk pintunya. Tak ada jawaban.
Timan mengitari rumah itu, barangkali karena ada dibelakang maka Lastri tak mendengar ketukan pintunya.
Tapi pintu belakang juga terkunci.
Timan melihat jendela rumah juga tertutup rapat.
"Lastri, Lastri.." sekarang Timan memanggil-manggil.
Tak ada jawaban. Lalu Timan duduk diatas lincak yang ada didepan rumah itu.
"Kemana perginya Lastri? Apakah sedang ke kebun? " gumam Timan.
Timan melongok kesana kemari, pick up bertuliskan Lastri itu tak tampak. Mungkin belum kembali dari mengirim sayur. Apakah Lastri ikut bersama mereka? Atau bukan disini mobil itu diletakkan? Apakah dia mendapatkan keterangan yang salah? Ini bukan Lastri yang dicarinya?
"Aku akan menunggu disini, sampai pemilik rumah ini kembali," gumam Timan.
"Mencari siapa nak?" tiba-tiba terdengar suara serak dari arah samping, dan seorang lelaki tua muncul.
"Permisi pak, saya ingin bertemu Lastri. Benarkah dia tinggal disini ?"
"Yang tinggal disini memang namanya Lastri. Anak dari mana?"
"Saya dari Solo pak, saya sahabatnya Lastri waktu dia di Solo. Benar bukan Lastri lama tingal di Solo? Dia dibawa oleh keluarga kaya waktu masih berumur belasan tahun," kata Timan panjang lebar untuk meyakinkah apakah benar Lastri pemilik rumah ini adalah Lastri yang dicarinya.
Pak Tua yang ternyata mbah Kliwon itu mengangguk angguk.
"Saya tidak salah kan pak?"
"Tidak nak, ini memang Lastri. Tapi Lastri pergi sejak pagi dan belum kembali."\
"Saya akan menunggu."
Tapi dalam hati mbah Kliwon juga bertanya-tanya, kemana Lastri pergi sehingga sampai sekarang belum kembali?
***
No comments:
Post a Comment