Monday, March 30, 2020

Lastri 30

LASTRI  30
(Tien Kumalasari)
Lastri segera membungkus sepatunya, Ah, terlalu lebar korannya nih, lalu Lastri merobeknya separo, kemudian setelah rapi  lalu dimasukkannya sekalian kedalam tas. Memang Lastri tak membawa apa-apa ketika pergi, kecuali baju-baju ganti.  Kemudin ia menuju dapur, meletakkan tasnya dan mendekati bu lurah.
"Biar saya bantu bu," kata Lastri sambil mengambil pengaduk sayur lalu mengaduknya perlahan.
"Hm, ini sayur lodeh terong ya bu?Sedap baunya."
"Kalau kamu mau, kamu boleh membawa nanti, aku ambilkan wadahnya, kata bu lurah sambil mengambil rantang di rak piring.
"Eh, jangan bu, nanti juga Lastri kan mau memasak untuk pekerja-pekerja itu. Lastri juga akan memasak sayur lodeh sama menggoreng ikan asin."
"Waah, itu enak Lastri. Ya sudah, aku sudah selesai masaknya. Ini untuk sarapan dan makan siang sekaligus."
"Bagus bu, jadi ibu nggak kecapean. kang Mardi masih mandi ya? Nanti tolong dipamitkan ya bu, Lastri mau pergi sekarang, karena harus menyiapkan makan dan minum mereka."
"Baik Lastri, tapi sering-seringlah datang kemari. Rumah ini selalu terbuka untuk kamu."
"Terimakasih bu."
Lastri kemudian keluar dari dapur, meninggalkan bu lurah yang kemudian merenung sendirian. 
"Gadis cantik yang tak bersedia menjadi isteri lurah muda, sayang sekali Lastri," gumamnya sendirian.
Bu lurah mengentas sayur dan mematikan kompor, kemudian pergi kekamar Lastri. Seprei dan sarung bantal sudah rapi, tapi bu lurah harus mencucinya. Tiba-tiba dilihatnya koran separo yang tergeletak diatas kasur.
"Ya ampun, ini koran kapan, Sudah lama, aku lupa menyembunyikan koran beriklan itu. Bagaimana kalau Lastri membacanya? Pasti dia marah karena aku tak menyampaikan isi iklan itu. Bu lurah melipat koran itu dan meletakkannya kembali di kardus, sambil mereka-reka jawaban kalau Lastri menanyakan tentang iklan itu. Bilang apa ya, tak tau tentang iklan itu? Aduh.. mengapa sebuah kebohongan harus disusul dengan kebohongan lain? Mengapa Mardi juga melupakan tentang iklan itu? Mungkin lebih baik diam daripada mengatakan lalu Lastri menuduhnya menyembunyikan hal penting bagi hidupnya.
Bu lurah melanjutkan melepaskan sarung-sarung bantal, sambil berfikir keras. 
"Semoga Lastri tak membaca iklan itu," gumamnya perlahan.
"Bu, aku makan ya?"
Bu lurah terkejut. Ia meninggalkan kamar Lastri dan menyiapkan makan pagi untuk Mardi. Mulutnya ingin mengatakan tentang iklan itu, tapi diurungkannya. 
***
Lastri menata baju-baju didalam almari. Baju yang hanya beberapa lembar. Lalu Lastri menyesal mengapa meninggalkan koran yang tadi disobeknya padahal bisa dipergunakan untuk alas baju-bajunya.
"Ya sudahlah, ditaruh begitu saja dulu, nanti dia akan membeli koran bekas dipasar."
Lalu ketika ia menyentuh baju yang pernah dibelikan Bayu, hatinya kembali teriris. Baju yang indah, yang belum pernah dipakainya. Ia mendekap baju itu, seperti melampiaskan rindunya. Lalu kembali air matanya berlinang.
"Lastri, airnya sudah mendidih !!" teriak mbah Kliwon dari luar rumah.
Lastri terkejut, ia sampai lupa kalau tadi merebus air.
"Oh, ma'af mbah, " katanya sambil berlari-lari kedapurnya mbah Kliwon. Ia harus membuatkan minum dan membuat camilan untuk para pekerja.
"Setelah ini saya mau kepasar sebentar mbah," kata Lastri kepada mbah Kliwon.
"Mau beli apa? Kan kemarin sudah belanja?"
"Ada piranti dapur yang belum ada."
"Tapi Marni kemarin mau membawakannya hari ini."
"Saya berangkat pagi-pagi, keburu yu Marni datang.
"Walaaah nduk, kamu itu, ya sudah, terserah kamu saja," kata mbah Kliwon sambil meneguk teh hangat buatan Lastri.
***
Ada sebuah toko kelontong dipasar itu, Lastri memilih ceret, dandang kecil, wajan yang nggak terlalu besar, panci kecil dan semua kebutuhan dapur, ah ya.. piring beberapa biji, sendok dan gelas. Lastri merasa cukup, oh ya, dua bendel koran bekas,  kemudian menyuruh pelayan membungkusnya. Tapi di kasir, seorang wanita setengah tua berkata mengejutkannya.
"Ini sudah dibayar semua nak," katanya sambil mengembalikan uang ratusan yang disodorkannya.
"Apa?" Lastri terkejut. Ia menoleh kekiri dan kekanan, tak ada siapapun.
"Belanjaan sudah dibawa ke depan nak," kata wanita yang juga kasir toko itu.
Lastri kebingungan. Tak boleh membayar dan belanjaan sudah dibawa kedepan. Lastri berjalan kedepan. Dan dilihatnya colt kuning telur dengan tulisan LASTRI didepannya.
Lastri cemberut kepada pengemudi mobil itu. Marni, tersenyum manis sambil duduk dibelakang kemudi.
"Yu Marni !! Jelek deh!!" umpatnya kesal.
"Ayo, sudah... nggak boleh cemberut gitu. Ayo naik !! Kenek harus patuh pada sopirnya kan?"
Lastri hampir menangis karena kesal. Ia naik ke mobil dengan linangan air mata.
"Mengapa aku tak berguna?" tangisnya.
"Kamu bilang apa Lastri? Heiiii... cantik, mengapa menangis?"
"Aku benci kamu yu, aku benci !!"
"Mengapa Lastri?"
"Mengapa aku tak boleh melakukan apapun? Mengapa aku selalu dibantu seperti orang lumpuh dan tak berguna?"
"Lastri... jangan bilang begitu...," kata Marni yang kebingungan melihat Lastri marah-marah seperti itu. 
"Mengapa aku tak bisa melakukan sesuatu? Mengapa aku harus selalu dibantu, apa aku tak berdaya, apa aku nenek tua jompo? Aku tak berguna.." tangis Lastri semakin menjadi. Marni menghentikan mobilnya dijalan yang agak lapang, didekatnya tampak kebun jagung sedang menyembulkan buahnya. 
"Lastri, kamu jangan salah sangka.. Aku sama sekali tak ingin merendahkan kamu. Sungguh, kamu perempuan yang hebat, yang berani menempuh medan kehidupan yang berat dengan meninggalkan cinta yang begitu luar biasa. Aku kagum sama kamu Lastri, sungguh. Dan sekarang ini bukankah kamu sedang merintis sebuah usaha? Kamu butuh uang untuk membayar dagangan kamu, dan itu pasti tidak sedikit. Jadi maksudku adalah, simpan dulu uang kamu untuk usaha itu, jangan memikirkan hal lain. Lainnya biar aku yang pikul. Apa sih, hanya sekedar tempat tidur, alat dapur dan semua kebutuhan, yang nantinya aku juga akan menikmatinya. Sedangkan uangmu harus kamu pergunakan untuk usaha itu. "
Lastri masih terisak, Ia meresapi semua kata-kata Marni. Ditebarkannya pandangan kearah kiri dan kanan jalan. Kebun jagung yang sebegitu luas, cukupkah uangnya untuk memborong jagung-jagung itu? Marni benar, ia butuh cukup uang untuk usaha besar ini, untuk mensejahterakan penduduk dusun ini. Uangnya tak seberapa, ia harus berhemat. Ia hanya akan membayar sayur dan buah yang disetorkan petani, karena kebutuhan lain sudah ditanggung Marni, dan tentunya juga lurah Mardi. Ia tak akan bisa apa-apa tanpa mereka.
"Lastri, kamu mengerti aku bukan? Mengerti maksudku? Aku bantu kamu karena aku tertarik pada ide kamu dan mas Mardi. Ini tantangan yang berat, tapi angan yang hebat. Semoga kamu sukses Marni."
Lastri memeluk Marni erat-erat. Tangisnya tumpah dipundak sahabatnya, teman kecil yang puluhan tahun tidak bertemu, kemudian belum dua bulan bertemu lagi lalu menjadi sahabat.
***
Marni membantu Lastri menata kamarnya. Sudah ada koran bekas yang tadi 'dibeli' oleh Lastri tapi dibayar oleh Marni.
"Aduh, ini baju bagus banget Tri, ini pasti mahal sekali. Hm.. warnanya indah," kata Marni sambil membuka baju itu, menempelkan ditubuhnya.
"Ah, aku tak pantas, kulitku kehitaman. Beda dengan kulitmu yang putih bersih Tri."
Lastri menerima baju itu daan melipatnya kembali, tapi sebelum memasukkannya ke almari dia mendekap erat didadanya. Marni yang menyaksikan adegan itu dan segera menangkap bahwa baju itu pasti menyimpan sesuatu yang istimewa.
"Dari pacar ya?" goda Marni.
"Bukan pacar. Dari seseorang yang mencintai aku dan yang aku cintai," katanya lirih sambil menata baju lainnya.
"Apa bedanya tuh?"
"Bedanya ialah karena kami tak pernah pacaran. Tak pernah memadu cinta. Hanya saling tatap, saling memimpikan.. tapi aku tau diri yu, aku harus pergi. Hanya saja rasa ini tak pernah pergi. Aku hanya mencintai dia. Selamanya," katanya sendu.
"Wouw, kedengarannya manis."
Lastri tersenyum. Semua pakaian sudah masuk kedalam almari. Sekarang dia membuka bungkusan sepatu itu, karena akan memasukkannya ke almari bagian bawah.
"Eh, nggak usah dibuka saja, biar terbungkus koran baru dimasukkan ke almari, biar awet bersih, " kata Marni.
Lastri urung membuka koran pembungkus sepatu itu, kemudian memasukkan bungkusan sepatu itu kedalam almari.
***  
Rumah Lastri benar-benar sudah jadi. Tinggal mengecat sebagian kecil tembok, dan pintu juga. Mungkin ini hari terakhir dan pekerjaan itu selesai. Lurah Mardi memberikan sejumlah uang kepada para pekerja yang telah menyelesaikan pembuatan rumah itu. Sesungguhnya mereka menolak, tapi karena itu pemberian pak lurah, mereka menerimanya. Lastri heran karena ketika dia yang memberinya, maka mereka menolaknya.
"Mengapa ya mereka tidak mau dikasih imbalan? Bukankah mereka sudah bekerja keras selama sebulan lebih?Saya jadi nggak enak. Setiap hari hanya memberi makan 3 kali,  apakah itu cukup?" kata Lastri.
  "Kehidupan didesa tidak sepeti kota, yang setetes keringat yang terkucur harus ada imbalannya, Sudahlah, besok kalau usaha kamu itu jadi, menguntungkan, kamu boleh memberi kepada mereka, apapun yang ingin kamu berikan," hibur Marni.
"Atau, barangkali ada yang mau bekerja bersama kita? Bukankah kita tak mungkin menaikkan barang-barang lalu menurunkannya sendiri?" kata Lastri.
"Itu bagus, nanti mbah Kliwon yang akan menawarkan pada mereka. Dengan imbalan pastinya, so'alnya ini kan bisnis.
Lastri mengangguk. 
"Siap yu, nanti aku bilang sama mbah Kliwon."
***
Soreitu  lurah Mardi datang kerumahnya dan berbicara tentang usaha mereka. Lastri melarang Marni pulang agar bisa berbincang bersama.
"Yang pertama kali harus kita lakukan adalah memberitahu semua petani sayur dan buah, agar mau menjual hasil kebun mereka kekita. Mungkin kita membelinya dengan harga yang lebih muah, tapi mereka kan tidak harus rugi apabila ada sayur yang layu dan terbuang."
"Itu tugasku mas, aku akan berteriak teriak keseluruh dusun, bahwa mulau besok mereka bisa menjual hasil kebun mereka kepada kita."
"Bagus Marni, kan kamu yang suaranya paling kencang," canda Mardi.
"Tidak cukup hanya suaraku mas, harus ada mikrofon dong, biar suaranya bisa bergema."
"Bisa, di kantor kelurahan ada, nanti sore biar diantar kerumah kamu."
"Berarti aku harus mengambil uang dulu ke bank, kata Lastri.
"Besok aku antar kamu, semuanya akan beres. "
"Setelah ke bank, baru kamu teriak-teriak keseluruh dusun."
"Siap pak lurah."
"Aku titipkan uangku ke kamu Marni, karena ini usaha bersama. Kamu yang harus mengelolanya, kata Mardi kepada Marni. Mardi melakukannya, sehingga kalau ada kekurangan maka Marni yang akan mencukupinya. 
Ketika remang sore membayang, barulah lurah Mardi dan Marni meningalkan rumah Lastri. Sebelum naik keatas mobilnya, Marni menepuk tubuh mobil itu.
"Besok kamu harus bekerja !!" katanya bersemangat.
Mardi tertawa. Lastri terharu. Ada bahagia dihatinya, dan ada do'a semoga usaha ini berhasil.
***
Hari bejalan, seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan... usaha itu berhasil. Para petani, lebih-lebih petani kecil sangat terbantu dengan adanya usaha Lastri. Beberapa pekerja juga mendapatkan penghsilan. Lastri melihat semuanya berjalan lancar. Dengan manis Lastri dan Marni berhasil merayu para penjual sayur dan buah agar mengambilnya dari mereka. Langganan sudah didapat, pasokan berjalan lancar. Hari ini panen apa, itulah yang dijual. 
Lastri mulai menyisihkan uangnya untuk membayar hutang kepada bu lurah. Ini membahagiakan. Lastri semakin bersemangat.
Tengkulak bernama Lastri terkenal diseluruh pasar dikota itu. Orangnya cantik dan ramah, siapa yang tak suka? 
Pagi hari itu Lastri dan Marni sudah membawa dagangan penuh semobil. Ada bermacam sayur, mentimun, bahkan buah semangka. Dimusim panas biasanya Semangka laku keras.
Marni sering menjalankan mobilnya seperti angin. Lastri selalu mengngatkannya dan mencubit lengannya setiap kali Marni menjalankannya terlalu kencang.
"Kamu kenapa sih, seperti lagi dikejar setan," omel Lastri.
"Mumpung jalanan masih sepi, kalau agak siang sedikit nggak akan bisa cepat, sudah macet."
"Iya, tapi jangan terlalu kencang."
Tiba-tiba dari jauh seorang nenek menyeberang jalan. Marni terkejut karena nenek itu menyeberang tiba-tiba. Rem berbunyi nyaring dan Lastri sudah hampir pingsan karena ngeri. Mobil itu berhenti persis didepan nenek tua yang sedang menggendong sayuran. Nyaris menyerempetnya. Tapi tanpa menoleh, nenek itu terus melanjutkan langkahnya.
"Haduuuh... jantungku sudah jatuh tuh," kata Lastri dengan terengah-engah.
Tapi ketika melihat nenek tua itu, Lastri terkejut. Ia minta Marni meminggirkan mobilnya. Nenek tua seakan tak tau bahwa kelakuannya hampir menghilangkan nyawanya. Ia terus melangkah, menyusuri jalanan sambil terbungkuk-bungkuk.
"Ada apa?"
"Berhenti dulu, aku mengenali nenek itu," kata Lastri sambil turun dari mobil. Ia berlari mengejar karena nenek itu sudah berjalan agak jauh.
"Nenek.. nenek !!" teriak Lastri.
Nenek itu mungkin sudah sedikit tuli. Teriakan Lastri baru terdengar ketika Lastri sudah dekat.
"Neng memanggil saya?" nenek itu menoleh.
"Nenek lupa siapa saya? Saya Lastri nek !!"
"Oh, Lastri... itu.. yang dulu tidur dirumah simbah?"
"Iya nek, aduh, mau kepasar menjual sayuran ya nek?"
"Iya, apa lagi yang bisa nenek lakukan?"
"Mana sayur itu, biar Lastri beli semua."
"Ini? Semua?" tanya si nenek heran.
"Iya, semua. Berapa harganya ?"
"Itu, limabelas ribu saja," kata nenek sambil menurunkan bakulnya. Lastri menyuruh salah seorang pembantunya untuk turun dan mengambil sayuran si nenek, dan menaikkannya ke mobil.
"Syukurlah, ada yang memborong, sebenarnyaa nenek lagi kurang enak badan, tapi nenek kan harus cari makan."
Lastri membuka dompetnya dan memberikan uang seratus ribu kepada si nenek.
"Kembaliannya nggak ada nak."
"Nggak usah dikembalikan. Untuk berobat nenek saja."
"Oh, terimakasih nak, kamu selalu memberi nenek uang lebih."
"Dengar nek, mulai besok, nenek tidak usah membawa dagangan nenek kepasar. Nenek cukup menunggu dipinggir jalan situ, dan Lastri akan membelinya."
"Oh, Gusti Allah... apa nak cantik ini malaikat?"
"Nenek, saya Lastri. Ayo, Lastri seberangkan nek, kalau nyebrang hati-hati, menoleh kekiri dan kekanan dulu baru menyerbrang ya. Dan mulai besok tidak usah menyeberang. Cukup tunggu saja dipinggir jalan itu, Lastri akan membelinya," kata Lastri wanti-wanti, sambil menyeberangkan sang nenek.
Nenek itu sangat berterimakasih. Ia tak sempat bertanya, mengapa gadis cantik yang ia sebenarnya lupa namanya itu akan selalu memborong dagangannya.
"Ayo jalan," kata Lastri setelah kembali ke mobil.
"Memangnya siapa dia?" tanya Marni sambil menjalankan mobilnya.
"Seorang nenek. Pertama kali aku kabur dari rumah, dalam keadaan bingung, nenek itulah yang menolong aku, memberi aku tumpangan tidur semalam dirumahnya."
"Oh, kamu memang benar-benar disayang oleh semua mahluk dibumi ini."
"Ngomong apa sih kamu. Udah jangan ngebut lagi! Nyaris mencabut nyawa seorang nenek kamu tadi !!" tegur Lastri sambil bersungut.
***
Hari itu hati Marni berbunga-bunga. Tadi pagi dia mengatakannya pada Lastri, bahwa siang harinya bu lurah akan kerumahnya untuk melamar. Lastri sangat gembira mendengarnya.
Siang itu sepulang dari mengantarkan dagangan, Lastri langsung mandi, Marni minta agar Lastri datang untuk menyaksikan acara lamaran itu.
Setelah mandi Lastri memilih-milih pakaian untuk dikenakan. Ketika terpegang olehnya baju yang diberikan Bayu, Lastri ragu-ragu. Baru lamaran, bagusnya dipakai  besok kalau mereka menikah saja, pikir Lastri. Karenanya maka dia memilih baju yang lain. Dia mematut dirinya didepan cermin. 
"Ini cukup bagus. Baju yang diberikan bu Marsudi ketika lebaran," gumam Lastri.. Ah, kembali ingatannya melayang kearah bu Marsudi yang baik hati. Rasa rindu kembali menyeruak.
Sekarang memoles wajahnya. Lastri tak suka bersolek walau ia punya pinsil alis , gincu dan lipstik. Ia hanya berbedak dan memoleskan sedikit lipstik. Sangat tipis. Lastri memang cantik. Rambutnya tetap digelung seperti biasanya. Lalu apa lagi, ah ya... sepatu..Lastri kembali membuka almari untuk mengambil sepatu.
Dibukanya bungkus sepatu itu. Korannya masih bagus, nanti bisa digunakan lagi, pikirnya. Kemudiaan dilipatnya lagi koran itu.  Tapi tiba-tiba dilihatnya sebuah tulisan yang membuatnya berdebar. DICARI, lalu dibawahnya, LASTRI, PULANGLAH, KAMI MENUNGGU KAMU,.. aduh.. sayang bawahnya lagi telah dirobeknya ketika mau membungkusnya.
***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER