LASTRI 29
(Tien Kumalasari)
Lastri benar-benar terpana. Mobil itu tampak meriah dengan gambar bunga-bunga cantik, tapi mengapa ada namanya disitu ? Besar lagi..
"Yu Marni, apa-apaan ini???"
"Kamu suka?"
"Yu, mengapa ada namaku, jadi nggak enak." Lastri protes sambil mencubit lengan Marni.
"Adduh, ini kenapa sih, jadi orang sukanya nyubit," teriak Marni sambil mengelus lengannya yang terasa sakit.
"Itu yu... mengapa LASTRI ? Harusnya MARNI, ganti dong yu."
"Enak aja, bikinnya mahal, tau?!"
"Tapi mengapa Lastri? Bagusan MARNI dong.."
"Wuih, MARNI.... jelek banget... kurang manis. Kalau namamu kan manis, indah, diantara bunga-bunga karena kamu adalah bunga."
"Aaah... yu Marni.... gitu banget deh.."
mBah Kliwon yang ikutan keluar melihat mobil itu dan berdecak kagum.
"Indah sekali Marni.... "
"Tuh kan, mbah Kliwon saja bilang indah... sudah.. nggak boleh protes."
Marni langsung menarik Lastri kedalam rumah yang hampir jadi.
"Bagus sekali Lastri, itu kamar buat kamu, nanti kita taruh dagangan kita disini. Itu pintunya sudah dipasang, besok di cat dan selesai deh."
"Besok aku sudah mau tidur disini, nggak enak numpang terus."
"Oh iya, baguslah, ayo sekarang ikut aku."
"Kemanaaa?"
"Ayo.. ikut saja, kamu kan kenek, jadi harus nurut ama sopirnya," kata Marni sambil menarik tangan Lastri, dibukakannya pintu sebelah kiri, dan dipaksanya Lastri masuk, sementara dia sendiri kemudian duduk didepan kemudi.
"mBah, pergi dulu sebentar yaaa," teriak Marni yang kemudian menstarter mobilnya.
"Hati-hati!!" pesan mbah Kliwon yang juga berteriak.
Mobil Marni terus berjalan keluar dusun, dijalanan banyak orang memandangi mobil itu dan kagum karena memang tampak cantik.
"Ini sopirnya tukang maksa deh."
"Kamu tuh kalau nggak dipaksa nggak bakalan mau."
Mobil itu berhenti disebuah toko yang menjual aneka perabot rumah tangga.
Marni mengajak Lastri turun.
"Apa nih? Kamu mau borong almari?"
"Satu almari, satu kasur,"
"Kamu nggak punya almari atau kasur?"
"Buat kamu Lastri."
"Oh tidaaak... aku nggak bawa uang, nggak bawa apa-apa.. tolong," teriak Lastri yang melihat Marni nyelonong masuk kedalam dan memilih-milih.
"Yu Marni, tolong, jangan begitu, aku bisa tidur diatas tikar. Atau, ijinkan aku kembali dulu untuk mengambil uangku."
"Tidak Lastri, kelamaan. Yang mana? Ini ya, oh ya, sama bantal satu, guling satu,"katanya kepada pelayan toko.
"Yu, aduuh... nekat sekali kamu yu," Lastri tak bisa berkutik. Marni memilih dan memilih, tak perduli Lastri berteriak-teriak.
"Almari nggak usah yang terlalu besar ya, ini saja cukup?"
Lastri hanya garuk-garuk kepala.
"Nanti semua ini aku ganti," kata Lastri pelan, takut keributan itu menarik perhatian para pelayan toko.
"Nggak bisa, Ini impentaris perusahaan yang harus kamu pakai."
"Inventaris...?" kata Lastri membetulkan.
"Ya, apalah itu namanya, ini milik usaha kita."
"Aduuuh..." keluh Lastri tak berdaya.
Pelayan sudah menaikkan sebuah almari, sebuah kasur busa, satu bantal dan satu guling ke jok belakang mobil Marni, diikat dengan rapi agar jangan roboh.
"Astaga, ada yang terlupa, ada tikar?"
Pelayan itu mengangguk. Marni masuk lagi kedalam, memilih sebuah tikar dan membayarnya sekaligus.
"Kalau ada tamu datang, suruh duduk di tikar. Besok-besok kita beli kursi tamu," kata Marni yang tampak sibuk.
"Nanti pulangnya mampir kerumahku dulu, ambil kompor," kata Marni sambil naik keatas mobil.
"Aduuuh..."Lastri geleng-geleng kepala.
***
Memandangi orang-orng menata rumahnya, ada rasa miris dihati Lastri. Lebih-lebih ketika didalam kamar yang sudah dibersihkan, lalu dimasukkannya almari, dan lincak mbah Kliwon diberikan untuk alas kasur yang tadi dibeli, Lastri merasa menjadi beban banyak orang. Bukannya senang tapi sedih jadinya.
"Mengapa hidupku selalu menjadi beban banyak orang?" keluhnya lirih ketika duduk ditepi kasur yang empuk, dan yang sudah berseprei cantik karena Marni sudah mempersiapkan semuanya.
Tak terasa berlinang air mata Lastri. Tiba-tiba ia merasa tak berdaya. Ia merasa hidupnya hanya karena orang lain. Karena belas kasihan orang lain, dan itu membuatnya tak punya arti. Tiba-tiba juga Lastri ingin pergi. Menjauh dari orang-orang yang telah menanam kebaikan. Menjauh dari orang-orang yang membuatnya tak berguna. Itu benar bukan? Bisik hati Lastri. Tapi mau pergi kemana lagi ? Mengapa tiba-tiba rumah ini tidak membuatnya bahagia?
Hari sudah sore. Marni sudah pulang dan Lastri masih ada dirumahnya. Ia harus berpamit pada bu lurah, karena akan tidur dirumahnya sendiri. Ahaaa.. rumahnya sendiri? Bukan, ini rumah buatan bu lurah. Ia hanya punya tanah tak seberapa, yang seharusnya akan didirikannya dengan atap rumbai, lantai tanah dan dinding dari anyaman bambu. Rumah ini sangat mewah baginya. Dengan tembok bercat kuning muda, ada kamar yang bersih dan hangat, ada dapur, ada kamar mandi yang bisa dengan mudah dibersihkan karena semuanya berlapis keramik, seperti seluruh lantai dirumah itu.
mBah Kliwon membuatkan bangku dari bambu yang diletakkannya didapur. Ada kompor gas yang dibawakan Marni ketika mereka pulang dari membeli kasur.
"Ini masih baru dan tak pernah terpakai karena sudah ada satu yang aku gunakan, dan itu cukup," kata Marni siang tadi. Lalu apa lagi? Semua atas bantuan orang lain. Yang tidak terbantu hanyalah ketika dia mandi dan menyuapkan makan dan minum kemulutnya.
Lastri duduk di bangku yang ada didapur. Besok ia akan membeli alat-alat yang diperlukan. Harus berangkat pagi-pagi sebelum Marni datang dan membelikan semuanya.
Lastri masih duduk termangu, sampai senja tampak temaram. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah, bukan hanya satu orang. Salah satunya adalah mbah Kliwon, membawa lampu minyak yang sudah dinyalakan. Dari bayang-bayang diantara lampu yang berkebit itu dilihatnya bu lurah. Bu lurah datang kemari? Lastri berdiri dan mengambil lampu minyak yang dibawa mbah Kliwon. lalu diletakkannya disebuah bangku kayu mulik para pekerja yang dipergunakan untuk memanjat-manjat.
"Hari sudah semakin gelap, mengapa kamu tidak mengambil lampu minyak dari rumah simbah?" tegur mbah Kliwon sambil melangkah keluar. Mungkin akan mengambil satu atau dua lagi lampu minyak untuk rumahnya.
"Lastri.. , tadi aku menunggu kamu pulang, tapi karena tidak segera pulang lalu aku menyusul kemari." kata bu lurah sambil duduk diatas bangku, dan Lastri kemudian mengikutinya.
"Saya masih membersihkan kamar," jawab Lastri sambil duduk disamping bu lurah.
"Itu kamar kamu?" lanjutnya.
"Iya bu, sedianya saya mau pamit sama ibu, bahwa malam ini saya tidak akan menumpang lagi dirumah bu lurah." kata Lastri pelan.
"Aku tau, ketika rumah ini jadi maka kamu pasti akan segera pergi dari rumahku."
"Saya minta ma'af dan sangat berterimakasih karena bu lurah telah memberi kebaikan yang tak terhingga untuk saya, dan tentu saja tak akan terbayar oleh apapun juga."
"Tidak usah berterimakasih, aku senang bisa membantu."
"Saya sudah berjanji akan mengganti semua uang yang ibu keluarkan untuk saya,"
"Ya, terserah kamu saja Lastri. tidak usah tergesa-gesa. Aku mendengar kamu akan mendirikan sebuah usaha sama Mardi."
"Ya, baru rencana bu."
"Semoga berhasil, aku senang ide-ide kalian. Sudah sa'atnya lurah Mardi ikut membangun desanya. Dan kamu membantunya."
Lastri hanya mengangguk.
"Besok pagi saya akan mengambil barang-barang saya ya bu."
"Kamu akan tidur disini malam ini juga?"
"Maksud saya begitu bu, karena yu Marni sudah menata rumah ini sehingga saya bisa tinggal kapan saya mau."
"Marni ? Dia mau membantu kamu, setelah peristiwa malam itu?"
"Oh, itu bu, itu hanya karena salah paham. Kami bersahabat baik, hamir tiap hari dia disini membantu saya memasak dan bersih-bersih rumah ini sejak kemarin.
"Lastri, apa kamu tau bahwa sesungguhnya aku berharap lebih?"
"Apa maksud ibu ?"
"Aku melihat kamu gadis yang baik, cantik, dan aku belum pernah bertemu gadis sepertimu. Aku berharap kamu bisa menjadi menantuku."
Lastri terdiam. Ia sudah tau bahwa bu lurah punya maksud seperti itu. Dipandanginya lampu minyak yang berkebat kebit ditiup angin dari arah pintu depan. Begitu juga hatinya. Segala macam bantuan tak terhingga diguyurkan untuk hidupnya, untuk semua kebutuhannya, tapi hatinya tidak bahagia menerima semua itu. Ada rasa berkebat kebit kalau-kalau ia tiak bisa membalas semua itu.
"Ma'af kalau ini mengganggu perasaan kamu Lastri."
"Ma'af juga bu, apakah ibu melakukan semua karena ibu menginginkan saya menjadi isterinya kang Mardi?"
Bu lurah terdiam.
"Saya sungguh menyesal kalau itu yang terjadi. Apakah saya harus memberikan rumah ini kepada ibu agar saya tak berhutang?"
"Tidak Lastri, jangan begitu," kata bu lurah yang tak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Dengan berdirinya rumah ini, saya sama sekali tidak bahagia. Sungguh bu, menelan kebaikan dari orang lain itu sungguh berat bagi saya. Sejak siang tadi saya memikirkannya, mengapa hidup saya ini selalu menjadi beban bagi orang lain?"
Tiba-tiba mbah Kliwon datang lagi dengan membawa satu lampu minyak, yang kemudian diletakkannya di lincak depan.
"Duduk disini saja bu, ini.. ada lincak dan sudah saya taruh lampu didepannya. Barangkali lebih enak bicara disini saja," kata mbah Kliwon.
"Sudah mbah, aku sudah mau pulang kok," kata bu lurah sambil berdiri.
"Lastri, aku mau pulang dulu, silahkan kalau kamu mau tidur disini malam ini, besok barang-barang mu bisa kamu ambil."
"Terimakasih bu."
"Kamu jangan memikirkan semua yang aku berikan, pamrih itu sekarang tidak ada. Aku kagum pada pendirianmu. Aku kira kamu suka pad Mardi," katanya sambil berjalan.
"Ma'af bu, kang Mardi cukup menjadi kakak saya saja, saya tidak lagi memiliki cinta yang tersisa," kata Lastri pelan.
Bu lurah melangkah keluar rumah.
"Bu, yu Marni gadis yang sangat baik. Saya percaya dia akan menjadi pendampung kang Mardi yang membanggakan. Bukankah kang Mardi juga mencintainya?"
Bu lurah hanya mengangguk, lalu mempercepat langkahnya pergi dari rumah Lastri. Harapan akan Lastri pupus sudah, benarkah Marni gadis yang terbaik untuk Mardi ? Bu lurah akan mempertimbangkannya kembali.
***
Lastri masih duduk dilincak depan rumah yang tadi diletakkan oleh mbah Kliwon. Lampu minyak masih berkebat kebit, dan ini lebih kencang karena letaknya diluar ruang. Ketika ditebarkannya pandangan mata keluar rumah, hanya kegelapan yang nampak. Dusun terpencil yang senyap ini, apakah bisa Lastri menghidupkannya sehingga menjadi dusun yang penuh gairah? Angannya membubung tinggi kelangit sana. Gemerlap bintang yang menemaninya, berkedip manja seperti kedipan seorang pecinta.
Dilangit yang sama, ada sebuah bayangan bintang yang lain. Ia tak hanya mengerdipkan matanya, tapi juga menyunggingkan senyumnya yang menawan. Lalu rindupun kembali menyesak adanya.
"Wahai cinta, mengapa sekejam ini kamu memperlakukan aku?"
Angin berhembus sedikit keras, Lastri menggigil, dan lampu minyak bergoyang semakin kencang.
"Kudekap rinduku, kubawa dalam mimpiku. Mas Bayu, mengapa aku tak bisa melupakanmu? "
Lastri berdiri, melambaikan tangannya kearah bintang.
"Kalau kamu bintang yang sama, sampaikan rinduku untuknya," bisiknya lalu masuk kedalam rumah, menutupkan pintunya.
Lastri masuk kekamar, setelah meletakkan lampu minyak ditengah ruang. Dibiarkannya pintu kamarnya terbuka, agar kamar itu tak terlalu gulita. Lalu dibaringkannya tubuhnya di kasur. Ia tak perduli hawa dingin yang menyergap masuk kekamarnya. Ia memeluk guling dan berusaha terlelap.
Matanya hampir terpejam ketika tiba-tiba didengarnya ketukan pintu.
Lastri bangkit dan mendengarkan lebih seksama. Betulkah itu ketukan dipintu rumahnya?
Tapi kemudian ketukan itu diiringi panggilan dengan suara serak.
"Tri, sudah tidur?"
Oh, itu suara mbah Kliwon. Ada apa mbah Kliwon mengertuk pintu?
Lastri keluar dari kamar.
"Lastri." suara memanggil terdengar lagi.
"Ya, ini aku."
Lastri membuka pintu . Dilihatnya mbah Kliwon berdiri sambil membawa dua bugkusan.
"Ada apa mbah?"
Lastri membuka pintunya lebih lebar. mBah Kliwon masuk kedalam.
"Ini ada kiriman dari bu lurah. Ini selimut, katanya udara sangat dingin jadi kamu pasti membutuhkannya. Yang ini nasi dan lauk pauknya, untuk kamu makan malam," katanya sambil mengulurkan kedua bungkusan.
"Ya ampun, Lastri tidak lapar mbah."
"Nggak apa-apa, terima saja. Ayo sini, simbah temani,ini kan ada tikar, duduklah dan nikmati," kata mbah Kliwon sambil duduk diatas tikar. Lastri mengambil lampu minyak agar pemandangan diruang itu lebih terang.
"Ini membuat saya merasa tak berdaya mbah," kata Lastri pelan sambil membuka bungkusan, lalu disodorkannya kehadapan mbah Kliwon.
"Apa maksudmu Lastri?"
"Sejak siang tadi, ketika saya mengamati rumah ini, dan semua kebaikan Marni dan semua kebaikan simbah, saya merasa bahwa hidup saya ternyata membebani banyak orang."
"Ketika saya ingin membuat rumah, ada orang yang memberikan bahan-bahan dan sebua kebutuhannya, ketika saya ingin memiliki usaha, Marni menyiapkan mobil yang bahkan bertuliskan nama saya, ketika saya kedinginan, ada yang memberikan saya selimut, ketika saya lapar, ada yang memberi saya makanan. Bukankah saya ini tak berdaya? Saya sedih mbah, berdirinya rumah ini dan semuanya, tidak membuat saya bahagia, justru membuat saya merasa tak punya makna."
"Itu pendapat yang keliru Lastri, tapi tunggu dulu, mengapa nasinya kamu berikan untuk aku?"
"Simbah saja yang makan, Lastri tidak lapar."
"Jangan begitu, nasinya sangat banyak, kalau sampai besok pasti basi, jadi ayo kita makan berdua."
Lastri membuka bungkusan, dan merobek daun pembungkusnya menjadi dua. Dia mengambil sedikit nasi, dan sedikit lauk. Rupanya bu lurah gemar menggoreng nila. Maklumlah, tinggal mengambil dikolam belakang rumahnya.
Ternyata Lastri memang lapar, dia menyuapkannya dengan nikmat.
"Betul kan mbah, kata saya?" tanya Lastri sambil memasukkan suapan ke mulutnya.
"Tidak Lastri, kamu salah."
"Saya salah? Bukankah semua yang saya ketakan itu benar? Siang tadi saya memutuskan untuk lari dari semua ini. Pergi jauh entah kemana."
"Tidak benar.Kamu bukannya tak punya makna. Kamu, karena kebaikan kamu, ketulusan kamu, maka dimanapun kamu berada pasti ada yang menolongnya. Apa yang kamu terima itu adalah anugerah, adalah jalan yang diberikan Yang Maha Kuasa agar kamu bisa mencapai apa yang kamu inginkan. Syukurilah itu, jangan kamu sesali nduk."
Lastri terdiam. Tapi bahwa dimanapun pasti ada pertolongan untuk dirinya, itu benar. Itu bukan karena dia tak berdaya? Bukan karena dia tak punya makna? Dan itu adalah anugerah? Lastri mencoba meresapinya. Ia meneluusuri hari-hari setelah kepergiannya. Ketika ingin pulang, tak tau harus kemana, ia bertemu dengan nenek penjual sayur yang memberinya tumpangan. Ketika ingin melanjutkan perjalanan, ia bertemu bu lurah yang kemudian menawarkannya untuk tinggal, ketika ingin ketemu mbah Kliwon dan menanyakan tentang tanah milik simbahnya, tiba-tiba ia bertemu mbah Kliwon yang kemudian bersama-sama membersihkan makan kedua orang tua dan neneknya, ketika ingin membangun rumah, ketika..ketika.. dan ketika.... Lastri menghela nafas, itu adalah anugerah.
"Ayo ambil lagi nasinya, tampaknya kamu lapar."
"Sudah mbah, benar-benar kenyang."
"Sekali lagi simbah ingatkan, jangan sampai kamu merasa tak berguna. Kamu itu justru manusia terpilih yang dimanapun kamu berada pasti ada yang mengasihi kamu. Ketika kamu kesulitan, ketika kamu menginginkan sesuatu, begitu mudah kamu mendapatkannya. Ayo nduk, kejar cita-citamu, dan jangan lupa, kejar cintamu."
Lastri terdiam, tapi kata-kata terakhir dari mbah Kliwon tadi sungguh menggetarkan hatinya. Bisakah aku mengejarnya? Kata batin Lastri. Namun ketika terlelap, Lastri merasa batinnya sudah lebih kuat.
***
Pagi hari itu Lastri membenahi barang-barangnya, ia sudah memasukkan semuanya kedalam sebuah tas besar. Tapi ia belum membungkus sepatunya. Lastri mencari koran, tapi tak ada.
"Sedang mencari apa Tri?"
"Bu, punya koran yang sudah tidak dipakai?" kata Lastri sambil mendekati bu lurah yang sibuk didapur.
"Ada, Tri, tanganku kotor, coba kamu cari dikamarku Tri."\
"Dikamar bu?"
"Iya, didekat almari kan ada kardus berisi koran-koran bekas, ambil saja disana."
"Baik bu."
Lastri menuju ke kamar bu lurah, membuka pintunya, dan menemukan dus berisi koran-koran bekas. Ia mengambil tumpukan yang agak dibawah, karena yang diatas pasti masih termasuk baru, barangkali masih akan dicari.
***
No comments:
Post a Comment