LASTRI 28
(Tien Kumalasari)
Lastri dan Mardi terkejut setengah mati. Didepannya berdiri seorang gadis dengan amarah yang meluap luap. Jari telunjuknya mengarah kewajah Lastri yang kemudian mundur beberapa langkah kebelakang.
"Yu, sabar yu... sabar.." kata Lastri sambul berusaha menurunkan tangan Marni.
"Sabar.. sabar ! Kamu itu manusia berbulu domba, tau. Kelihatannya baik, ternyata kamu culas. Kamu membohongi aku!!" ucapan Marni masih disertai darah yang mendidih.
Mardi maju, menghalangi Marni menghujat Lastri dengan kata-kata pedas.
"Sabar Marni, sabar dulu.. Lastri tidak punya salah apa-apa."
"Iya mas, aku tau, pasti kamu akan membela dia. Sikap manismu hanya pura-pura. Setelah kedatangan perempuan ini semuanya jadi berubah. Kamu, ibumu, semua tidak seperti dulu."
"Kamu salah Marni, Dengar dulu penjelasanku. Sini, duduklah dulu aku mau bicara."
Marni mengibaskan tangan Mardi yang menggamit lengannya dan mengajaknya duduk. Ia tetap berdiri dan menuding-nuding wajah Lastri. Lastri menjauh, dalam keadaan seperti itu sangat susah mengajaknya bicara.
"Baiklah, kalau nggak mau duduk dan biccara, ayo aku antar pulang. Nanti sambil jalan aku akan jelaskan."
"Tidak ada penjelasan apapun. Sikap kaliyan tadi sudah jelas bagiku, sudah jelas sejekas-jelasnya."
"Ada apa ribut-ribut ini?"
Tiba-tiba bu lurah turun kehalaman dan mendekati mereka. Melihat kedatangan bu lurah, Marni kemudian membalikkan tubuhnya dan keluar dari halaman, sambil menangis terisak-isak.
"Kang, kejar dia kang !!"kata Lastri.
Mardi segera berlari mengejar.
"Ada apa ini? tanya bu lurah setelah dekat dengan Lastri.yang masih terbengong-bengong.
"Itu... tadi..." sesungguhnya Lastri ragu untuk bicara.
"Itu tadi Marni bukan ? Kenapa dia? Seperti marah-marah, begitu?"
"Anu bu, dia.. mungkin.. salah faham.."
"O, aku tau, dia marah karena kamu duduk berduaan dengan Mardi bukan?"
"Itu... tadi.. hanya.. salah faham, nggak apa-apa kok bu."
"Terus kenapa Mardi mengejar dia?"
"Mung.. mungkin untuk menjelaskan, tapi nggak apa=apa kok bu," jawab Lastri seakan menutupi kejadian yang sesungguhnya.Tapi dia bingung akan berkata apa, karena ia tau bu lurah melihat sekilas adegan itu. Harapannya adalah agar bu lurah tidak marah pada Lastri. Tapi...
"Memang Marni itu begitu. Kalau ngomong suka seenaknya. Dia itu mengejar-kejar Mardi terus, padahal Mardi tidak suka sama dia," omelnya.
Lastri tak menjawab, dia kemudian melangkah masuk kedalam rumah, diikuti bu lurah dari belakang.
"Mengapa juga tadi Mardi mengejarnya? Gadis yang tak tau malu dia itu,"omel bu lurah.
Lastri tak menjawab. Kalau dia menjawab pasti omelannya akan bertambah panjang.
***
"Marni, tunggu Marni. Kamu terburu nafsu. Kamu salah sangka."
"Mengapa kamu mengikuti aku mas? Aku kira kamu tak usah lagi memperdulikan aku, toh aku bukan gadis cantik yang pintar.. Marni gadis desa, tidak punya pendidikan seperti layaknya gadis kota. Lastri itu berbeda."
"Kamu ngomongnya ngelantur Marni."
Mereka sudah sampai didepan rumah Marni. Mardi memaksa masuk karena belum bisa berbicara dengan Marni.
"Mau apa kamu ini mas?"
"Marni, tadi itu Lastri baru membicarakan kamu. Kamu dan aku. Jangan mengira kami sedang pacaran."
"Oh ya? Baik hati benar dia?" katanya sinis.
"Dia memprihatinkan hubungan kita, dia juga mengatakan bahwa tadi pagi ibu menyakiti kamu. Aku terkejut. Sedianya besok pagi aku akan menemui kamu dan menjelaskan semuanya.Tapi keburu kamu marah-marah."
"Oh ya, kalau memang bicara tentang hubungan kita, mengapa pake cubit-cubitan segala?"
"Ya ampun, itu tadi karena aku menggodanya tentang pacar yang ditinggalkannya dikota. Dia kesal karena aku meledeknya."
"Benarkah ?"
Marni terdiam. Mardi merasa lega karena nada suara Marni mulai menurun.
"Besok kita akan bicara banyak. Intinya hatiku tak akan berubah. Sekarang sudah malam, nggak enak dilihat orang kita berduaan disini."
Marni mengangguk. Pak lurah muda tak boleh tercemar gara-gara menyambangi rumah seorang gadis. Dia lega karena Mardi mengatakan bahwa hatinya tak berubah. Senyum yang tersungging dihatinya tak terbaca dibibirnya karena malu dan sungkan. Masa tadi marah-marah lalu tiba-tiba tersenyum? Tapi ketika Mardi pulang, Marni bersenandungkan lagu cinta sambil masuk kedalam kamarnya.
***
Malam itu bu lurah duduk menunggu kembalinya Mardi. Kemarahannya memuncak melihat Mardi mengejar Marni. Bu lurah harus mengatakan bahwa dia tak rela bermenantukan Marni.
Mardi naik kerumah dari halaman, dan dilihatnya ibunya masih menunggu di lincak diteras rumah.
"Ibu kok belum tidur?" sapanya pelan. Ia sudah tau bahwa ibunya pasti akan menegurnya, dan kali ini lebih keras.
"Dari mana kamu?" tegur bu lurah dengan nada kaku.
"Dari...."
"Dari rumah Marni kan?" tanya bu lurah memotong jawaban Mardi yang belum tersampaikan.
"Iya bu."
"Apa sebenarnya maksudmu ?"
"Ibu, Mardi mengantarkan Marni pulang."
"Dia datang sendiri kemari, mencari keributan, mengapa kamu harus mengantarnya?"
"Ada yang harus Mardi katakan. Mengapa ibu seakan benci saama dia? Dia tidak bersalah, hanya salah faham."
"Dengar Mardi, walau kamu membelanya ibu tetap saja tidak suka.. Ada yang lebih baik, maka pilihlah yang lebih baik itu." tajam kata bu lurah.
Mardi terdiam beberapa sa'at.
"Kamu sudah dekat sama Lastri, lanjutkan saja, dia itu yang terbaik untuk kamu kok."
"Ibu, biarkan Mardi bicara. sebuah hubungan itu akan baik, apabila disertai rasa saling suka. Kalau ibu suka, Mardi suka tapi Lastri tidak suka, bagaimana?Bisakah terjadi?"
"Tentu saja bisa, habisnya kamu tidak berusaha, kamu sudah tergila-gila sama Marni."
"Tidak bu, ada sebuah cerita yang disembunyikan Lastri.Yaitu tentang kisah cintanya dengan seseorang dikota sana."
"Iya, ibu sudah menduga, dia cinta sama juragan kaya, atau pejabat tinggi, dan ditolak tentu saja, memangnya dia itu siapa?"
"Ibu jangan begitu.Lastri justru menghindari kekasihnya karena merasa dirinya rendah. Dia sangat menderita bu, dia tak bisa melupakan kekasihnya, dia tak akan berpaling, walau ibu memberikan banyak iming-iming."
"Mardi, kamu tidak mau berusaha?"
"Lastri seorang gadis yang keras. Mardi maupun ibu tak akan bisa meluluhkannya, apalagi tentang cintanya."
"Ibu sudah habis berpuluh-puluh juta.." kata bu lurah agak keras.
"Ibu, pelankan suara ibu," kata Mardi khawatir.
"Itu benar kan?"
"Itu kemauan ibu, dan membuat Lastri tersinggung kan?"
Bu lurah mendengus kesal.
"Tolong mengertilah ibu, Mardi suka sama Marni, dia gadis yang baik," pinta Mardi.
Bu lurah tidak menjawab, ia langsung berdiri, masuk kedalam dan langsung kekamarnya.
Mardi menghela nafas, sedikit lega karena sudah mengutarakan semuanya. Ia berharap, ibunya akan menyadari kesalahannya.
***
Sa'at istirahat siang Mardi kerumah Marni untuk memenuhi janjinya. Kemarahan Marni sudah mereda, hanya karena ucapan 'hatiku masih seperti dulu'. Lalu disambutnya Mardi dengan suguhan makan siang yang katanya dimasaknya sendiri.
Dipandanginya Marni yang sibuk melayani dia makan. Marni sendirian karena bapak ibunya berjualan dipasar. Mereka berangkat pagi dan pulang ketika sore harinya. Benar kata bu lurah bahwa Marni memang anak orang kaya. Orang tuanya adalah satu-satunya penjual barang-barang kelontong, semua kebutuhan rumah tangga.
"Kok memandangi Marni terus sih mas, ada angus di wajah Marni?"
"Tidak, kamu manis."
Marni tersipu. Ia hanya tersenyum malu sambil mengemasi sisa-sisa makan setelah acara makan siang itu selesai.
Selama kedekatan mereka memang tak pernah ada kata cinta. Sikap mereka sudah mengatakan semuanya. Bukankah cinta adalah rasa yang tak perlu didengar dari sebuah lisan? Bagi Mardi dan Marni semua itu sudah cukup. Tapi sekarang ini Marni ragu-ragu karena bu lurah lebih memilih Lastri sebagai menantunya.
Keduanya kemudian duduk diteras depan. Pohon mangga yang sedang berbuah tampak mengundang selera. Sayang mangga itu belum masak.
"Itu mangga muda, kok dipandangi terus? Mas Mardi pengin? Tapi itu belum sa'atnya, mungkin sebulan lagi."
"Nggak, cuma seneng aja, buahnya sangat lebat. Besok kalau kamu ngidam pasti suka mangga muda. Tak usah membeli kalau berbarengan pohon itu berbuah kan?"
Marni tertawa. Ia merasa lucu karena tiba-tiba Mardi bicara so'al ngidam."
"Kok tertawa sih?"
"Kamu itu lho mas, Marni ini dilamar saja belum kok sudah bicara so'al ngidam." kata Marni yang tiba-tiba wajahnya menjadi muram.
"Marni, suatu hari nanti kamu pasti aku lamar."
Marni hampir melonjak kegirangan, tapi ingatannya akan sikap bu lurah membuat kegembiraan itu surut.
"Kapan mas? Bu lurah nggak suka sama aku.. mana bisa kesampaian? Padahal bapak sama simbok sudah bertanya terus tentang kita. Bagi orang-orang dusun, aku ini sudah dibilang perawan tua."
"Iya aku tau, nanti aku pasti bicara sama ibu."
"Semoga bu lurah bisa mengerti."
"Oh ya, kemarin aku sama Lastri juga bicara tentang sebuah usaha."
"Usaha apa mas ?"
Kemudian Mardi menceriterakan tentang rencananya bersama Lasti tadi malam. Marni mendengarnya dengan penuh perhatian.
"Wah, aku tertarik mas. Biar Marni akan bantu. Apa yang bisa Marni lakukan?"
"Kita menunggu rumah Lastri jadi, rumah itu akan digunakan sebagai tempat pengumpulan sayur dan buah dari para petani. Tapi kita butuh mobil untuk mengangkut barang-barang itu kekota."
"Haa.. mobil, itu aku punya mas, pakai mobilku saja, mobil colt terbuka yang biasanya dipakai bapak mengusung barang dagangannya."
"Ya jangan mengganggu bapak, nggak enak dong."
"Bapak masih punya satu lagi mobil. Itu gampang, nanti aku bicara sama bapak, pasti diijinkan."
"Terimakasih banyak Marni, ya sudah, sudah sa'atnya aku kembali ke kantor, terimakasih atas makan siangnya. Masakanmu enak," puji Mardi sambil tersenyum.
"Datanglah setiap hari kemari mas, aku akan masak apa saja yang menjadi kesukaan kamu."
"Bukan sekarang, nanti akan tiba waktunya. Kalau aku nggak pernah pulang makan, nanti ibu marah."
"Baiklah, semoga waktu itu akan tiba. Sebentar mas, aku juga mau kerumah mbah Kliwon, aku harus ketemu Lastri dan minta ma'af, aku merasa bersalah tadi malam."
***
Lastri gembira menerima kedatangan Marni. Gadis yang suka ceplas ceplos itu juga terang-terangan minta ma'af. Begitu gampang dia marah, tapi begitu ikhlas dia meminta ma'af. Kata-kata sederhana yang terkadang sulit diucapkan. Seperti sulitnya mengakui kesalahan.
Lastri juga gembira mendengar Marni bersedia membantu menyediakan mobil untuk mengangkut barang kekota.
"Dengar Lastri, aku nanti yang akan membawa mobil itu."
"Kamu? Berani membawa mobil kekota?"
"Lho, aku sering mengambil dagangan bapak kekota, aku sendiri yang membawa mobilnya lho."
"Wah, hebat kamu yu. Baiklah, nanti aku yang menjadi keneknya."
Kedua gadis cantik dan manis itu tertawa-tawa gembira, sambil mengemasi sisa makan para pekerja bangunan.
"Kapan ya kira-kira rumah kamu ini jadi?"
"Kata mbah Kliwon kira-kira sebulan. Cuma rumah sederhana saja. Sebenarnya aku sungkan menerima pemberian bu lurah ini, tapi aku berjanji akan mengembalikannya. Padahal kan bukan uang yang sedikit ya yu."
"Kita akan punya usaha, aku akan bantu kamu mengembalikannya."
"Terimakasih banyak ya yu, aku jadi merasa lebih kuat karena disekitarku banyak orang-orang yang mau membantu."
"Pasti kita akan berhasil. Rencana kamu dan mas Mardi itu benar-benar hebat, bisa aku bayangkan para petani akan merasa lebih senang dengan penjualan hasil kebun mereka."
"Kang Mardi lurah yang hebat ya yu."
"Aku juga merasa begitu."
"Bahagianya kamu besok kalau sudah menjadi isterinya."
Marni tersenyum, ada pilu yang masih disimpannya, karena bukankah bu lurah tidak suka padanya?
"Kamu jangan berkecil hati yu, kang Mardi akan berbicara sama ibunya. Aku do'akan kamu akan bahagia bersamanya."
"Terimakasih Lastri. Pada suatu hari nanti aku akan minta agar kamu menceriterakan kekasih kamu yang kamu tinggalkan itu. Seperti apa dia? Lebih ganteng mana dia sama mas Mardi?"
Lastri tersenyum tapi ia merasa ada rasa teriris dihatinya. Marni menangkap kesedihan itu. Ia merangkul Lastri erat.
"Aku juga akan mendo'akan agar kamu bertemu lagi sama sang arjunamu itu."
"Nggak mungkin yu, itu hanyalah mimpiku."
"Mengapa kamu berkecil hati?"
"Karena aku memang kecil yu, tak sepadan dengan dia."
"Lastri.." Marni kembali memeluk sahabatnya.
***
Sore hari ketika Mardi pulang, Bu lurah menegur Mardi karena tidak pulang makan siang.
"Mardi agak kurang enak badan, tadi hanya makan cemilan yang dihidangkan bu carik."
"Ibu sudah masak enak, kamu malah nggak makan."
"Nanti malam Mardi habiskan bu."
"Baiklah, tapi nanti ibu akan bicara dulu sama Lastri. Sebentar lagi pasti dia pulang."
"Bicara so'al apa lagi bu?"
"So'al perjodohan itu."
"Aduh bu, sudahlah, Mardi justru merasa sungkan, sudah jelas Lastri tidak mau, Mardi sudah bicara sama dia."
"Kamu pernah melamarnya?"
"Bukan melamarnya bu, berbicara tentang masa lalunya, keinginannya. Pokoknya tidak ada ruang untuk Mardi dan Mardi sudah menerima itu."
Bu lurah menghela nafas.
"Ibu aku mohon, lamarlah Marni untuk Mardi."
"Apa?"
"Itu pilihan Mardi, Marni gadis yang baik."
Bu lurah terdiam, tampaknya memikirkan sesuatu, tapi seperti yang sudah-ssudah, bu lurah belum juga mengatakan 'ya'.
***
Waktu terus berjalan, rumah itu hampir selesai, tinggal memasang pintu-pintu, dan mengecat disana sini. Lastri senang karena dia sudah siap melakukan usahanya bersama lurah Mardi dan tentu saja Marni. Sayang rumah itu bukan dari uang yang disediakannya. Tapi Lastri berjanji akan mengembalikannya.
Lastri agak heran karena hari itu Marni tidak membantunya. Tapi tak apa, karena bukankah Lastri sudah biasa melakukannya sendiri?
Ia sedang meletakkan porong berisi air dimeja depan, barangkali para pekerja masih membutuhkan minum, ketika tiba-tiba didengarnya suara mobil mendekat.
Lastri keluar, dan melihat sebuah colt terbuka berwarna kuning telur, berdiri didepan rumah yang sedang dibangun.
Seseorang turun dari balik kemudi.
"Yu Marni !! Ya ampuun.. kamu nih!" teriak Lastri gembira.
"Ini mobil untuk kita nanti. Lihat dipintu itu !" Kata Marni sambil menutup pintunya.
Lastri terpana. Lalu Marni menarik Lastri kepintu yang sebelah kiri. Lastri tak mampu berkata-kata. Di masing-masing pintu itu ada sebuah lukisan indah, bertuliskan hurup besar LASTRI.
***
No comments:
Post a Comment