LASTRI 27
(Tien Kumlasari)
Lastri menunggu didepan rumah, supaya Marni tak menduga bahwa dia mendengar perkataan bu lurah terhadap Marni. Namun ketika tiba-tiba Marni keluar dari rumah itu, ia tak perduli pada Lastri yang sedang menunggu. Ia langsung bergegas pergi.
"Eh.. yu Marni!! Yuuu ! Tunggu yu !!" teriak Lastri yang mengejar setengah lari.
"Tunggu yu !!" teriaknya sambil terus berlari.
Terengah Lastri ketika sudah sampai didekatnya.
"Yu, kok tiba-tiba aku kamu tinggalin."
Marni tak termenjawab. Ia mempercepat langkahnya, lalu ketika tiba dirumah mbah Kliwon, ia masuk dan menangis diatas lincak didepan rumah. Lastri mengikutinya.
"Ada apa yu? "
Marni masih tetap terisak. Lastri masuk kedalam, mengambil gelas yang diisinya dengan air putih.
"Minumlah dulu yu, supaya lebih tenang. Ada apa?"
Marni meneguk sedikit air yang diberikan Lastri.
"Sekarang yu Marni harus tenang dulu. Kalau boleh, saya ingin tau, mengapa tiba-tiba yu Marni bersikap seperti ini ?"
"Ini gara-gara kamu, Lastri !" kata Marni sambil memandang tajam Lastri, sementara air mata masih berlinang disana.
"Kok gara-gara aku yu? Aku salah apa?"
"Karena ada kamu, bu lurah mau kamulah yang jadi menantunya."
"Ya ampun yu, kok bisa begitu?"
"Kamu pura-pura baik sama aku, pura-pura senang kalau aku jadian sama mas Mardi, tapi ternyata kamu menusuk aku dari belakang !! Kamu culas Lastri."
Lastri berdiri, dan merangkul pundak Marni.
"Yu, aku bersumpah, sama sekali aku tak ingin menjadi isterinya kang Mardi. Dia seperti kakakku, tak ada perasaan apa-apa dihatiku yu."
"Nyatanya bu lurah bilang begitu sama aku."
"Kalau kemauan bu lurah, entahlah, tapi aku tidak mau. Aku sudah memiliki seseorang, walau tak harus menjadi isterinya, tapi hatiku tak akan berpaling yu. Tak ada laki-laki lain dihatiku."
"Mengapa bu lurah begitu yakin?"
"Aku nggak tau yu...tapi percayalah, aku tak akan mau menjadi isterinya kang Mardi. Sungguh. Tanyakan pada kang Mardi, dia banyak mengetahui tentang aku, keadaanku, kisah cintaku dengan seseorang. Dia juga tak ingin menjadi suamiku."
"Kata-katanya sangat menyakitkan aku..." isaknya.
"Sabar yu, pasti nanti akan ada jalan keluarnya. Ya sudah, ayo bantuin aku, katanya mau ngebantuin... ," kata Lastri sambil menarik tangan Marni kedalam rumah.
Sebenarnya aku hari ini mau bikin nagasari, tapi karena kamu sudah membawakan pipis katul, nagasarinya besok saja. Nah, ini kan? Banyak sekali. Hm.. baunya sedap. Aku boleh ngincipin satu kan?"
Marni mengangguk, ia senang ternyata Lastri tak menyukai Mardi.
"Nanti aku bicara sama kang Mardi. Atau kalau nanti ketemu, kamu bisa bicara langsung, ya kan?"
"Kamu saja Tri, sungkan aku."
"Ya sudah, biasanya kalau sore kami bisa berbincang banyak hal. Nanti aku akan ngomong so'al kata-kata ibunya tadi. Sudah, sekarang letakkan makanan ini di baki dan taruh dimeja depan, aku mau buat minuman, lalu menanak nasi."
***
Siang hari itu ketika pulang kerumah untuk makan, Mardi melihat bungkusan disudut meja dapur, seperti teronggok begitu saja. Mardi tertarik pada bungkusan-bungkusan itu, ia seperti mengenali siapa pengirimnya.
"Bu, ini apa? Harum baunya, ini kan kesukaanku. Dari Marni ya?"
"Sudah, makan saja dulu, itu sudah ada ikan goreng, sayur asem, sambal terasi, lalapan."
"Ini dari Marni kan? Kasihan, mengapa ibu tak menempatkannya dipiring," kata Mardi yang kemudian mengambil piring dan menata bungkusan-bungkusan daun pisang yang sangat dikenal aromanya, lalu diletakkannya dimeja makan.
Mardi membuka satu bungkusan dan melahapnya dengan nikmat.
"Disuruh makan dulu, kok malah makan itu." omel bu lurah.
"Ibu lupa, ini kan kesukaan Mardi?"
"Kalau kamu suka, besok ibu akan buatkan. Memangnya hanya Marni yang bisa membuatnya?"
"Lho, kok ibu seperti sentimen begitu. Sudah dikasih, harusnya kita berterimakasih," kata Mardi sambil menyendokkan nasi dipiringnya.
"Siapa yang sentimen, ibu cuma nggak suka sikap Marni yang kelihatan sekali mengejar-kejar kamu."
"Marni bukan mengejar Mardi bu, dia memang baik. Mardi suka kok," katanya sambil mengiris sedikit ikan, dan mengunyah lalapan yang sudah dibubuhi samba
"Kamu bilang apa? Suka? Kamu suka sama Marni?"
"Marni itu gadis yang baik. Mardi sudah kenal lama dan mengerti hatinya."
"Mardi, kamu lupa bahwa disini ada Lastri. Lastri yang cantik, yang baik, yang tidak suka menerima sebuah pemberian. Itu sangat menarik. Dia pantas menjadi menantu ibu."
Mardi diam, ia tampak menikmati ikan goreng yang gurih ditambah sambal yang pedasnya minta ampun.
"Ibu Ingin Lastri lah yang akan menjadi isterimu."
Mardi masih mengunyah makanannya pelan, dan menambahkan lagi sesendok nasi.
"Pedasnya minta ampun bu, tapi Mardi suka sambal buatan ibu."
"Mardi, Marni itu suka sama kamu karena kamu sudah jadi lurah. Siapa yang nggak suka jadi isteri lurah yang ganteng kaya anak ibu ini?"
"Bu, bolehkah Mardi minta diambilkan minum? Kepedasan nih," kata Mardi yang pura-pura tak mendengar kata-kata ibunya. Ia sibuk menghabiskan makan siangnya yang dinikmati dengan perasaan yang mengharu biru. Dia tau apa maksud ibunya, tapi belum ingin menanggapi.
"Ah ya, ibu lupa," kata bu lurah sambil berdiri, lalu mengambilkan segelas air putih untuk Mardi.
"Kamu dengar kata-kata ibu?"
"Terimakasih bu. Hm, enak sekali makan siang kali ini."
"Kamu tidak mendengar ibu berkata-kata?"
"Oh ya, yang mana bu."
"Marni itu suka kamu karena kamu adalah lurah muda yang ganteng. Siapa sih yang nggak ingin jadi isteri pejabat?"
"Oh, ibu salah sangka. Mardi dan Marni sudah lama dekat, jauh sebelum Mardi lulus sekolah. Jadi dia suka bukan karena Mardi ini lurah."
Bu lurah tak menjawab. Sesungguhnya itu memang benar. Marni sudah lama dekat dengan Mardi, dan bu lurah juga mengakui bahwa dulu dia suka melihat kedekatan mereka. Tapi sekarang ada Lastri, gadis yang jauh lebih sempurna dari Marni. Kalau ada yang lebih baik, mengapa harus memilih yang kurang baik?
"Sudah ya bu, Mardi mau kembali ke kelurahan, siang ini ada pak Camat yang mau datang dan meninjau desa kita."
"Tapi Di, kamu harus ingat, bahwa Lastri lebih baik dari Marni, Lastri juga punya pendidikan yang lebih tinggi dari Marni. Biarpun Marni itu anak orang kaya, tapi bukankah Marni hanya lulusan SMP?" kata bu lurah sambil mengantarkan Mardi berjalan kedepan.
"Yang terbaik itu adalah apabila hati kita bisa menyatu, kalau tidak, mana mungkin bisa ketemu?"
"Lastri akan mau, karena kita baik kepadanya."
"Jadi kita menjual kebaikan kepada Lastri? Karena ada pamrih?"
Mardi mencium tangan ibunya dan turun ke halaman, meninggalkan ibunya yang menatapnya dengan kesal. Masa sih, nggak suka sama Lastri? Gadis secantik dan sepintar itu? Malah dia menuduh aku ada pamrih segala. Pikir bu lurah. Tapi bahwa itu benar, bu lurah segan mengakuinya.
***
Malam itu pak Marsudi hanya duduk berdua dengan isterinya. Baru saja Bayu pergi keluar, katanya hanya ingin jalan-jalan saja.
"Bu, aku kesal sama anakmu," keluh pak Marsudi.
"Lha kesal kenapa lagi pak? mBok ya jangan cari-cari masalah lagi."
"Bukan cari masalah. Anakmu itu, aku kenalkan sama Reni, bukannya kemudian Reni dekat sama dia, malah dekat sama Sapto. Bagaimana ini?"
"Bapak itu juga aneh. Sudah tau kalau Bayu nggak suka dijodoh-jodohin, masih saja berusaha untuk itu."
"Reni itu kan cantik. Siapa sing yang nggak suka gadis cantik?"
"Jadi bapak juga suka sama Reni?"
"Lho, ibu kok terus cemburu begitu."
"Idiih.. bapak.. kayak anak muda saja menuduh ibu cemburu. Habisnya bapak bilang semua orang pasti suka gadis cantik."
"Suka itu kan macam-macam bu, kalau bapak, suka menjadikannya menantu, bukan untuk bapak sendiri."
"Sudah pak, jangan bapak mencari-carikan gadis cantik lagi untuk Bayu, nanti dia malah marah lho."
"Bagaimana kalau Lastri tidak bisa ditemukan? Apa dia akan terus begitu ?"
"Entahlah pak, ibu hanya bisa berdo'a saja, semoga yang terbaiklah untuk anak kita."
"Bapak bingung pada selera anak kita, mengapa Lastri.. dan bukan lainnya?"
"Namanya juga cintanya sama Lastri, mau bagaimana lagi?"
"Keburu tua kita ini ya bu."
"Sabar pak, nanti juga Bayu pasti akan ketemu jodohnya. Ayo kita makan malam saja, Bayu nggak mungkin makan dirumah. Paling dia kerumah nak Sapto, atau nak Timan."
***
"Kalau aku main kesini mengganggu mas Timan nggak?" kata Bayu ketika ada dirumah Timan malam itu.
"Ya enggak, malah seneng lho mas ada yang nemenin ngobrol." jawab Timan sambil menghidangkan wedang jahe anget dimeja tamunya.
"Saya sering bingung mau main kemana. Kalau dirumah gelisah terus rasanya."
"Kalau mas Bayu sedang ingin mencari teman berbincang, datang saja kemari. Saya kan cuma sendirian, jadi kalau ada yang menemani malah senang. Itu wedang jahenya mas, mumpung masih anget."
"Terimakasih ya. Tadi sedianya mau kerumah Sapto, tapi ternyata Sapto nggak ada dirumah. Sekarang dia sibuk dengan pacar barunya."
"Oo, biar saya tebak, pacarnya pasti itu, yang ketemu ketika bu Marsudi ulang tahun itu kan?"
"Benar, tampaknya semakin dekat dia, semoga dia serius kali ini."
"Memangnya dulu sering nggak serius mas?"
"Dulu dia sering ganti-ganti pacar, nyebelin ."
"Orangnya ganteng sih pasti banyak yang suka."
"Benar mas, dia itu ganteng, royal.. tapi aku berharap kali ini dia serius. Kasihan kalau hanya untuk main-main juga."
"Semoga ya mas."
"Dia sudah berjanji akan kapok bermain-main, semoga ini adalah jodohnya."
"Aamin. Omong-omong belum ada berita tentang Lastri?"
"Belum mas, bapak sudah pasang iklan terus. Masa dia nggak membaca ya mas?"
"Mungkin tidak berlangganan koran, atau sekitarnya nggak ada yang suka baca-baca koran."
"Mungkinkah aku tak akan bisa menemukan Lastri?" kata Bayu sedih.
"Jangan patah semangat mas, kita harus tetap berharap, percayalah kalau memang Lastri itu jodohnya mas Bayu, pasti suatu hari akan ketemu."
"Aku akan terus berharap."
"Dan saya akan terus mendo'akan agar Lastri dan mas Bayu bisa bersatu."
"Terimakasih ya mas."
***
"Kang, aku mau bicara," kata Lastri sepulang kerja. Ia sengaja duduk dipelataran yang agak jauh dari rumah supaya bu lurah tak mendengar pembicaraannya. Ada sebuah pohon sawo yang dibawahnya ada lincak tempat bersantai, dekat jalanan., disitulah mereka duduk.
"Ada apa ya, penting sekali?"
"Sangat penting."
"Baiklah, ada apa? Tapi begini, biar aku dulu yang ngomong, keeburu lupa. Aku sebenarnya sedang memikirkan sebuah usaha untuk kamu. Aku akan membantu."
"Usaha apa?" Lastri menghentikan keinginannya bicara tentang Marni, karena kata-kata Mardi lebih menarik hatinya.
"Sebenarnya sudah lama aku memikirkannya, jauh sebelum kamu datang."
"Katakan apa itu kang."
"Dusun kita ini kan kaya akan sayur dan buah, tapi masih banyak petani miskin karena mereka hanya menjual kesekitar dusun ini. Kebanyakan mereka membawa pulang sisa sayur yang sudah layu dan akhirnya dibuang begitu saja."
"Iya benar kang , ketahuilah, aku juga memikirkannya."
"Jadi harus ada yang mau memborong lalu menjualnya kekota. Artinya kita akan membeli sayuran atau buah-buahan itu, lalu kita menjualnya kekota yang agak jauh dari sini."
"Ada semacam wadah untuk mengumpulkan hasil panen mereka ya kang."
"Nah, itu benar Tri."
"Tapi harus ada modal untuk membelinya."
"Kita akan punya."
"Aku punya uang sedikit."
"Ayo kita kumpulkan, uang kamu berapa, uangku berapa."
"Bagaimana kita membawanya kekota?"
"Pasti aku tidak akan menyuruh kamu menggendongnya Lastri, Nanti akan ada sebuah colt terbuka yang akan bisa dipakai untuk mengangkut harta karun dusun ini."
Wajah Lastri berseri-seri. Sebuah usaha, yang semoga menguntungkan sehingga dia bisa segera mengembalikan uang bu lurah. Sa'at ini hanya itu yaang Lastri pikirkan.
"Hei, kok malah melamun?"
"Iya mas, aku melamunkan sesuatu, karena aku punya hutang banyak."
"Hutang apa sih?"
"Mas, aku sudah bilang akan mengembalikan uang bu lurah yang dipakai untuk membangun rumah itu. Karenanya aku bersemangat untuk mengusahakan sesuatu yang menghasilkan.
"Usaha kita ini akan meringankan beban para pemilik kebun, karena mereka tidak akan susah susah menggendongnya sendiri kekota. "
Nantti dirumahku saja ngumpulinnya ya kang, mudah-mudahan segera jadi."
"Bagus Tri. Ya sudah, ini sebuah gagasan yang mudah-mudahan akan berhasil."
"Ya mas, aku tertarik, nanti kita akan memikirkan kelanjutannya. Aduh, aku bersemangat sekali kang."
"Baiklah, sekarang katakan, kamu tadi mau mengatakan sesuatu kan?"
"Oh, iya kang, ini tentang yu Marni."
"Lho,. kok tentang Marni?"
"Memang iya, tadi pagi yu Marni merasa sedih sekali kang, kasihan aku melihatnya."
"Kenapa dengan dia?"
Lalu Lastri menceritakan kedatangan Marni kerumah dengan membawa oleh-oleh, tapi malah disakiti hatinya oleh bu lurah.
"Masa kang, bu lurah bilang bahwa aku ini adalah bakal menantunya, ya sakit dong hatinya yu Marni."
Mardi menghela nafas. Dia sudah tau bahwa itu keinginan ibunya, tapi Mardi tak mengira ibunya akan mengatakan itu pada Marni.
"Apa Marni marah sama kamu?"
"Tadinya iya kang, menuduh aku menusuk dari belakang segala. Tapi kemudian aku mengatakan bahwa aku tidak cinta sama kang Mardi."
"Karena sudah ada seseorang kan?" goda Mardi.
Lastri yang tersipu kemudian mencubit lengan Mardi, yang kemudian membuat Mardi berteriak kesakitan.
"Auuww... sakit tau !"
Tapi pada sa'at itu sepasang mata memperhatikan keduanya dengan darah mendidih. Serta merta dia masuk kehalaman rumah bu lurah, langsung menuju kearah lincak yang ada dibawah pohon sawo, dan menuding Lastri dengan penuh amarah.
"Penghianat kamu Lastri !!" teriaknya.
***
No comments:
Post a Comment