LASTRI 26
(Tien Kumalasari)
"Apa maksudmu Latri.. ini anugerah, jangan menampik rejeki.Ini uangmu juga aku kembalikan, bu lurah yang menyuruhnya," kata mbah Kliwon sambil mengulurkan amplop yang semula diberikan Lastri untuk membeli semua bahan-bahan yang diperlukan.
"Tidak mbah, saya tidak mau berhutang terlalu banyak. Bu lurah sudah memberi saya tumpangan, dan sekarang membuatkan saya rumah? Tidak mbah..." kata Lastri sedikit keras, sambil matanya berkaca-kaca. Lalu ia berjalan pergi menuju rumah bu lurah.
Dalam perjalanan itu ia melihat seorang gadis berjalan berlawanan dengan arahnya. Gadis itu menatapnya tajam, tapi Lastri tidak memperdulikannya. Ia harus segera tiba dirumah bu lurah dan mendapatkan penjelasan darinya.
"Lastri !!" ada suara memanggilnya, rupanya setelah bersimpangan gadis itu mengingat siapa dirinya. Lastri menoleh sejenak, lalu melambaikan tangannya, tanpa ingin tau siapa dia. Lastri terus melangkah.
Ketika tiba dirumah bu lurah, dilihatnya bu lurah sedang menggoreng ikan. Bau gurih menyergap hidungnya, tapi Lastri tak bereaksi apapun tentang aroma gurih itu .
"Bu, mengapa ibu melakukannya?" katanya dengan wajah kusam.
"Eh, Lastri, kamu mau makan dirumah saja? Ibu sedang menggoreng ikan, tadi Mardi menangkapnya dari kolam dibelakang," ujar bu lurah masih dengan kesibukannya menggoreng dan hanya menoleh sekilas pada Lastri.
"Bu, mohon dijelaskan, mengapa ibu melakukannya?" kata Lastri lagi.
Gorengan ikan itu sudah matang dan kering, bu lurah mengentasnya, lalu mematikan kompornya. Dipandanginya Lastri yang menatapnya tajam.
"Lastri, ada apa kamu ini?"
"Bu.. tadi ada barang-barang datang.."
"Oh, sudah datang ya, syukurlah, biarlah mbah Kliwon mengaturnya." kata bu lurah yang kemudian mencari sebuah piring untuk wadah ikan gorengnya.
Lastri mengambil piring itu dan membantu meletakkan ikan diatasnya, kemudian meletakkannya dimeja.
"Itu bukan barang-barang yang Lastri pesan bu," kata Lastri masih dengan posisi berdiri. Bu lurah heran melihat Lastri tidak tampak gembira.
"Lastri, nanti rumahmu tidak akan beratapkan rumbai dan berdinding anyaman bambu, juga bukan beralaskan tanah kering. Aku sudah mengurus semuanya Kamu tidak usah memikirkannya."
"Lastri tidak mengharapkan rumah bagus bu, Lastri ingin melakukan sendiri semampu Lastri."
"Mengapa kamu berkata begitu Lastri, bukankah lebih nyaman tinggal dirumah yang bagus?"
"Tidak bu, ini diluar kemampuan Lastri. Bukan itu yang Lastri inginkan..Itu terlalu mewah buat Lastri. Bisakah barang-barang itu dikembalikan?"
Bu lurah menatap Lastri tak percaya. Diberi kebaikan sebesar itu, diberi kenikmatan untuk tinggal dirumah bagus, dan dia menolak?
"Lastri, aku tak mengerti.."
"Bu, bisakah barang-barang itu dikembalikan?"
"Mana mungkin Lastri, itu sudah dibayar lunas. Engkoh penjual itu bia marah sama ibu."
Lastri terdiam. Dia juga tak ingin bu lurah kena marah. Tapi dia juga tak bisa menerima kebaikan sebesar itu. Berhutang budi itu sangat berat. Tak ada gambaran dia akan bisa membalasnya. Dia hanya memiliki sedikit uang, tapi ia akan mempergunakan uang itu sebagai modal usaha. Dia belum memikirkan usaha apa, tapi hidupnya harus terus berlanjut dan usaha itu harus ada.
"Tri, ibu tau, hatimu begitu keras. Ibu juga tau kamu tak ingin berhutang budi. Bagaiman kalau biarkan saja barang-barang itu, dan biarkan pembangunan rumah itu dilnjutkan, tapi nanti, kamu bisa membayarnya dengan mencicil sekuat kamu bisa," kata bu lurah sambil menggenggam kedua telapak tangan Lastri erat-erat. Kekagumannya pada Lastri bertambah, dan keinginannya untuk mengambil menantu juga semakin kuat. Jarang ada gadis seperti Lastri.
"Sampai kapan bu? Lastri tak punya apa-apa," katanya sedih.
"Kamu kan ingin berusaha, mungkin berjualan, Atau apalah yang kamu pernah utarakan itu, sedikit-sedikit pasti kamu bisa dan akan aku terima. Sungguh, jangan semua yang aku lakukan kemudian membebani diri kamu, Lastri." kata bu lurah yang ingin mengendapkan ketersinggungan Lastri atas apa yang dilakukannya.
Lastri terdiam, semuanya memang sudah terlanjur, Kalau kemudian menolak mentah-mentah juga akan membuat bu lurah tersinggung.
"Lastri, ma'afkan aku ya, aku telah melakukan semuanya tanpa memberi tau kamu dulu, Sebenarnya aku ingin membuat kejutan yang semoga bisa menyenangkan kamu. Aku tak menyangka bahwa ini justru membuat kamu tersinggung. Ma'af ya Tri," kata bu lurah penuh sesal.
Tak urung hati penuh kasih itu luluh. Tak bisa menolak, tapi dengan janji akan mengganti semuanya. Lalu ia bertanya pada mbah Kliwon, berapa habisnya, kemudian dia mencatatnya.
***
Tumpukan matrial itu tetap dikerjakan. mBah Kliwon juga mengembalikan semua uang yang telah Lastri berikan.
Dalam memasak makanan untuk orang-orang yang mengerjakan pekerjaan itu, Lastri berfikir keras, apa yang akan dilakukannya agar bisa mengembalikan uang bu lurah yang telah dikeluarkannya demi membangun rumah untuknya.
Ketika Lastri sibuk mengentas nasi, tiba-tiba seseorang masuk begitu saja kedapur mbah Kliwon.
"Lastri, kamu sombong ya, mentang-mentang dikasih rumah sama bu lurah, terus nggak mau kenal sama aku," kata orang yang baru masuk itu tadi.
Lastri menoleh, dilihatnya seorang gadis, berdiri sambil menatapnya tajam. Lastri mengingat-ingat. Ah ya, bukankah gadis itu yang ketemu ketika dia sedang terburu-buru kerumah bu lurah? Lastri mengulurkan tangannya, dia lupa siapa yang sudah mengetahui namanya itu.
"Ma'af aku lupa, mbak siapa ya?"
"Nggak usah mbak mbek, dulu kamu kan manggil aku yu, ya sudah yu saja lebih enak," kata gadis itu.
Lastri tersenyum, gadis itu kalau ngomong ceplas ceplos. Lastri mengoba meng ingat-ingat. Oh ya, ada tahi lalat dibibir gadis itu. Lastri menggenggam erat tangannya.
"Kamu yu Marni kan?"
"Tuh kamu ingat. Waktu kecil kamu cengeng. Dikit-dikit menangis, diganggu sedikit bawaannya menangis, lalu kami dijewer sama mbah Surip." kata gadis yang memang Marni itu.
"Anakmu sudah berapa yu?" tanya Lastri sambil tertawa.
"Anakku? Aku belum menikah, tau? Baru menunggu kalau ada yang ngelamar."
"Oh ya? Tampaknya sudah ada ya yu?"
"Sudah ada sih, tapi nggak tau kapan aku dilamar. Orang tuaku juga sudah bertanya terus."
"Wah, ikut seneng yu, siapa calonmu itu?"
"Ya itu, dia... si lurah muda," katanya sambil tersipu.
"O, kang Mardi? Ya ampun, seneng aku yu... kapan nikahnya?" tanya Lastri dengan wajah berseri. Ia tak menduga Marni adalah calonnya Mardi. Nanti pasti dia akan menggodanya. Pikir Lastri.
"Nggak tau aku Tri, sudah pacaran lama, nggak ada ujungnya. Ibunya itu sekarang sama aku malah kelihatan acuh tak acuh." sungut Marni.
"Masa sih yu ?"
"Iya, aku kan ya punya perasaan. Kalau mas Mardi sih tetep baik."
"Pacaran sudah lama ?"
"Kami sudah lama dekat, kalau pacaran, atau cinta-cintan sih belum, tapi mas Mardi selalu bersikap manis sama aku."
"Memang yu Marni kan manis," canda Lastri.
"Ih, kamu. Aku justru takut kalau mas Mardi jatuh cinta sama kamu."
"Lhoooo..." Lastri melootot.
"Habisnya, kamu sekarang cantik, aku iri sama kamu."
"Biasa saja yu, perempuan itu semua juga cantik, mana ada perempuan ganteng."
"Tapi kamu memang cantik lho. Terus bu lurah kok baik banget sama kamu? Itu rumah kan bu lurah yang kasih uangnya," kata Marni dengan nada cemburu.
"Aku juga nggak tau yu, tadi kan aku sempat menolaknya." Kemudian Lastri berfikir. Apa yang dilakukan bu lurah untuknya rupanya telah tersebar keseluruh desa.
"Jangan-jangan kamu mau diambil menantu Tri," kata Marni sambil menatap tajam Lastri, mencari kebenaran atas tebakannya.
"Waduh, nggak lah yu.. aku nggak mikir begitu. Aku masih ingin sendiri."
"Kamu sudah punya pacar dikota?"
Lastri terdiam, wajah Bayu melintas dibenaknya, senyum itu, aduhai, wajah Lastri langsung menjadi sendu.
"Kamu pulang karena patah hati?"
"Sudah yu, jangan banyak tanya, ayo bantuin aku mengaduk sayurnya itu. Sebentar lagi waktunya makan siang." kata Lastri sambil melanjutkan mengentas nasi kedalam ceting bambu.
"Baiklah, hm... sayur bobor daun lembayung ya Tri, enaknya.. aku mau lho."
"Boleh dong, nanti kita makan bersama-sama."
***
Malam itu Lastri sedang melamun sendirian didepan rumah. Udara dusun yang sejuk lembut mengelus tubuhnya. Lastri memandangi bintang-bintang bertabutan dilangit sana,
"Wahai bintang, apakah kau bintang yang sama yang bisa dipandangi kekasih hatiku? Kalau ya, sampaikan salamku, katakan, jangan bersedih karena kepergianku, Temukan gadis yang lebih baik dari aku," bisiknya perlahan sambil memandangi bintang-bintang yang seakan berkedip manja.
"Alangkah rindunya aku," bisiknya lagi lalu ia keluar kehalaman agar puas memandangi langit indah malam itu.
Setitik air matanya menetes, lalu segera dihapusnya.
"Jangan lagi ada tangis, jangan lagi ada duka karena kepergian ini," bisiknya lagi.
Lastri tak sadar, sepasang mata mengawasi gerak geriknya, mengawasi ketika ia mengusap air matanya. Lalu pemilik sepasang mata itu ikut turun kehalaman, dan berbisik ditelinganya.
"Rindu sama siapa?"
Lastri terkejut setengah mati. Rupanya kang Mardi mendengar apa yang dibisikkannya.
"Kamu kelihatan sedih Tri, sebenarnya ada apa? Bisakan aku membantumu?"
"Kang Mardi, kamu sudah banyak membantu aku, termasuk ibumu juga."
"Ibu menyesal melakukan itu tanpa sepengetahuanmu."
"Ya, sudahlah, mau bagaimana lagi."
"Kamu sedang merindukan seseorang? Alangkah bahagianya orang itu," kata Mardi sambil tersenyum.
"Ayo duduk diteras, lama-lama dingin," kata Lastri yang sebenarnya ingin mengalihkan pembicaraan."
Keduanya duduk diteras rumah.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku." kata Mardi ketika mereka sudah duduk berdua.
"Pertanyaan yang mana sih kang?"
"Kamu rindu pada seseorang bukan?"
Lastri menghela nafas.
"Aku hanya gadis dusun, siapa yang mau aku rindukan? Oh ya, bagaimana dengan yu Marni?" tanya Lastri menglihkan pembicaraan.
"Kamu ketemu sama Marni?"
"Ya, manis ya kang, tahi lalat dibibirnya itu yang membuat dia bertambah manis."
"Masa?"
"Jangan pura-pura kang. Kamu itu sudah pantas punya isteri, masa pak lurah kok bujangan? Lamar dong dia."
"Kamu ini ada-ada saja."
"Yu Marni bilang, sedang menunggu dilamar kamu."
"Dia bilang begitu?"
"Iya benar, masa aku bohong. Tadi siang kami bicara banyak. Yu Marni cinta banget sama kang Mardi."
Mardi menghelaa nafas panjang.
"Mas Mardi juga cinta kan sama dia?"
"Dia gadis yang baik, cuma agak sedikit kecentilan. Kadang-kadang berlebihan. Ibu kurang suka sama dia."
"Memang dia itu kalau ngomong ceplas ceplos, tapi aku suka, dia itu polos. Lamarlah kang, kasihan, dia kan sudah lebih tua dari aku, dibawah kamu sedikit. Pas lho kang."
"Benarkah?"
"Benar, percaya deh sama aku."
"Nanti aku mau bicara sama ibu."
"Ya kang, bicara dan katakan apa yang menjadi kelebihan dia. Pasti bu lurah akan suka."
Mardi terdiam, kalau saja Lastri tau, bahwa Lastri lah yang diharapkan menjadi menantunya..
"Kok terus ngelamun mas."
"Pertanyaanku tadi jawab dulu dong Tri."
"Lhah, kok kembali lagi kesitu."
"Sebenarnya aku tau, bahwa kamu pulang kemari karena ada masalah, dan masalah itu adalah cinta. Benar kan?"
Lastri menghela nafas panjang, dipandanginya lagi langit, dan matanya berkejap, seakan membalas kerdipan bintang yang sedang ditatapnya.
"Kamu sangat mencintainya?"
"Dia tak ada duanya," bisiknya lirih, masih dengan menatap bintang diatas sana.
Jawaban itu membuat Mardi membunuh semua angan-angan yang pernah terlintas dihatinya. Beruntung Mardi sangat berhati-hati dalam bersikap. Sekarang dia tau, Lastri tak akan pernah menerima keinginan ibunya. Tapi Mardi tidak sakit hati, juga tidak merasa patah hati. Cukuplah Lastri sebagai sahabat, atau saudara.
"Kejarlah cinta itu," bisik Mardi perlahan. Lastri menoleh, menatap laki-laki muda disampingnya, lalu saling melemparkan senyum. Tiba-tiba Lastri juga teringat kata-kata mbah Kliwon. Mirip apa yang dikatakan Mardi. Pegang erat cintamu, dan mata Lastri kembali berkaca-kaca.
***
Pagi itu Lastri bersiap akan berangkat ke rumah mbah Kliwon. Ia harus membuatkan minuman para tetangga yang membantunya. Kemarin mbah Kliwon mengunduh pisang di kebun. Pisang kepok yang sudah matang pohon. Lastri akan membuat nagasari. Ia sudah membeli tepung beras dan memetik daun pandan dikebun.
Ia berpamit pada bu lurah, lalu melangkah keluar. dirumah itu ia berpapasan dengan Marni yang membawa bungkusan.
"Tunggu Tri, aku akan membantu kamu. Aku sudah membuat pipis katul yang legit, dan sudah aku tinggalkan dirumah mbah Kliwon, bisa untuk camilan yang pada bekerja kan? Tapi sebentar aku menemui bu lurah dulu. Tungguin aku ya." pesan Marni.
"Ya yu, cepatlah."
"Bu lurah..." teriak Marni didapur.
"Eh kamu itu kalau datang selalu membuat aku terkejut. Ada apa?" tanya bu lurah yang oleh Lastri dinilai kurang ramah.
"Ma'af bu. Mas Mardi mana?"
"Baru mandi, ada apa sih?"
"Nggak apa-apa, cuma nanya aja. Ini bu, pipis katul buatan Marni, kan mas Mardi suka."
"Walah, sudah to Ni, jangan suka repot-repot untuk Mardi. Dengar ya, Mardi itu sudah punya calon isteri."
"Apa bu?" tanya Marni pelan, karena diliputi hati yang sakit.
"Iya, dia sudah punya calon. Kamu tau Lastri kan? Dia itu calon menantuku."
Marni terdiam, Lastri yang menunggu diruang tengah terkejut. Ia buru-buru keluar dari rumah, agar Marni mengira dia tak mendengar kata-kata bu lurah yang menyakitkan itu.
***
No comments:
Post a Comment