Sunday, March 29, 2020

Lastri 25

LASTRI  25
(Tien Kumalasari)
Mardi menatap ibunya tajam. Tak mengerti, atau mungkin mengerti tapi tidak setuju.
"Apa maksud ibu ?"
"Mardi, Lastri itu gadis yaang berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Ibu Punya harapan atas dia, agar bisa menjadi menantu ibu, jadi jangan sampai dia kembali kekota lagi."
"Ibu, ini tidak benar. Ada yang kehilangan disana, dan kehilangan itu kan menyedihkan."
"Ibu tau, tapi berapa lamanya orang sedih karena kehilangan? Dengan berjalannya waktu, dari hari ke hari, kesedihan itu pasti akan hilang dengan sendirinya."
"Tapi bu, tampaknya Lastri juga menderita. Mungkin salah satu dari lelaki ganteng yang pernah datang kemari adalah kekasihnya."
"Jnngan menduga yang tidak-tidak. Kebanyakan orang kota tidak suka gadis-gadis desa yang dianggapnya bodoh, dan terlalu lugu. "
"Tidak semua bu"
"Kebanyakan begitu, percayalah pada ibu."
Sore mulai temaram sa'at itu, pembicaraan terhenti karena melihat Lastri mendekati rumah bu lurah. Bu Lurah segera mengambil koran yang tadi dibaca anaknya  dan membawanya masuk kedalam kamarnya.
"Kok sampai sore Tri?" sapa Mardi ketika Lastri sudah masuk kedalam rumah.
"Iya, mbah Kliwon bercerita banyak tentang masa kecilku, kang. Menyenangkan sekali," jawab Lastri sambil tersenyum.
"Kamu juga membicarakan tentang kebun milih mbah Surip?"
"Ya, itu yang terpenting, aku sudah menyerahkan sejumpah uang pada mbah Kliwon. Besok dia akan mulai membabati tanaman sayuran yang ada di bekas rumah simbah, dan akan membeli apa-apa yang diperlukannya. Katanya tidak banyak, tapi aku bilang kalau kurang harus ngomong sama aku."
"Kamu punya uang banyak?"
"Ada tabungan, nggak seberapa sih, sisa dari pembelian barang keperluan untuk gubug itu, kalau masih ada, akan aku pergunakan untuk sesuatu yang entah apa, untuk menyambung hidupku kang."
"Lastri, aku akan membantu kamu."
"Terimakasih kang, tapi aku nggak mau merepotkan siapapun. Dengan tinggal disini saja aku sudah merasa merepotkan."
"Lastri, kamu itu sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, jangankan tinggal disini untuk beberapa hari, biar selamanya juga boleh," kata bu lurah yang tiba-tiba muncul.
"Ah, bu lurah, mana mungkin saya bisa melakukannya. Saya berharap mbah Kliwon bisa segera menyelesaikan gubug itu, sehingga saya tidak terlalu lama menyusahkan bu lurah."
"Siapa bulang merepotkan, aku tuh hanya punya satu anak, laki-laki, aku ingin anak perempuan, jadilah anakku," kata bu lurah sambil menepuk bahu Lastri.
"Terimakasih banyak bu, senang sekali bisa menjadi anak bu lurah," lawab Lastri sambil masuk kebelakang.
"Saya mau mandi dulu, seharian belum mandi." lanjutnya.
"Tri, didapur ada satu ceret berisi air panas, mandilah dengan air panas, udara sudah dingin."
"Ya bu, nanti saya pergunakan kalau merasa kedinginan.."
Bu Kurah tersenyum. Ia senang memandangi Mardi memperhatikan Lastri tanpa berkedip.
"Bukankah dia cantik? Belum mandi juga tetap saja dia cantik." ujar bu Lurah.
"Ah ibu," Mardi hanya tersenyum. Sedikit tergugah, tapi dia lebih menyadari perasaan Lastri itu seperti apa. Bukankah kalau Lastri menolak maka dia akan patah hati? Karenanya Mardi tak terlalu hanyut pada wajah sempurna yang juga menarik hati ibunya itu.
*** 
 "Bayu, besok kan ibumu ulang tahun?" kata pak Marsudi pada suatu malam, ketika bu Marsudi sudah berada dikamarnya.
"Iya, Bayu hampir lupa. Besok Bayu akan membelikan sesuatu buat ibu," jawab Bayu.
"Maksud bapak, kita akan mengadakan pesta kecil-kecilan disebuah rumah makan, bapak akan memesankan tempat dan menunya untuk besok malam."
"Itu bagus pak, terserah bapak saja."
"Bapak juga akan mengundang semua karyawan dikantor, agar membawa keluarganya untuk ikut merayakannya."
"Mengapa harus mengundang orang lain sih pak?" protes Bayu yang tidak suka suasana ramai dan yang hingar bingar.
"Sudah lama kita tidak melakukannya untuk ibumu. Ini kejutan yang semoga bisa menyenangkan hati ibumu."
"Kalau begitu Bayu tidak usah ikut ya pak, cukup akan memberi hadiah untuk ibu dihari istimewa itu."
"Ya harus ikut dong Yu, anak buah bapak akan bapak suruh membawa keluarhanya, masa bapak yang hanya punya kamu dan ibumu saja lalu kamu tidak mau hadir."
"Bayu nggak suka suasana ramai begitu."
"Justru suasana menyenangkan itu yang akan membuat kamu terhibur."
"Tapi...."
"Bayu, sudah bertahun-tahun kita tidak membuat kejutan buat ibumu, yang memang selalu menolak kalau hari ulang tahunnya dirayakan. Kali ini kita akan memaksa ibumu tertawa bersama banyak orang."
Bayu akhirnya menyerah. Dia berjanji tak akan berbaur dengan tamu-tamu ayahnya. 
"Baiklah, terserah bapak saja. Tapi bolehkah Bayu mengundang juga Sapto dan mas Timan?"
"Timan.. yang penjual buah itu?"
"Iya, Timan siapa lagi?"
Pak Marsudi menampakkan wajah tak suka, tapi ia juga tak ingin Bayu kecewa.
"Ya, terserah kamu saja."
"Bayu akan mengundangnya sekarang ya pak."
"Ya, terserah kamu saja."
Tapi Timan menolak untuk datang karena merasa minder/
"Nggak mas Bayu, saya mana pantas duduk bersama dengan para pejabat, para pengusaha.."
"Ini yang mengundang aku mas, jangan merasa rendah, mas Timan kan sahabatku," Bayu memaksa.
"Gimana ya, pasti nanti saya merasa kikuk."
"Nggak, nanti kita akan duduk menjauh dari mereka. Pokoknya tidak usah memperdulikan mereka," kata Bayu yang ketika menelpon itu menjauh dari ayahnya, sehingga pak Marsudi tidak mendengar kata-kata Bayu yang pasti akan membuat pak Marsudi marah.
"Begitu ya mas?"
"Iya, nanti mas Timan aku jemput, dan aku antarkan pulang."
"Oh, jangan mas, nggak usah. Baiklah, besok saya akan mencoba datang/"
"Ini bener lho, awas ya, kalau nggak datang aku pasti akan menjemput kerumah mas Timan."
Timan tertawa.
"Iya, saya janji."
***
Pak Marsudi memesan tempat disebuah restoran mewah, ia juga meminta agar ruangan yang dipesannya berhiaskan  bunga-bunga segar yang cantik. Aroma bunga memenuhi ruangan yang sudah ditata dengan apik. Anak buahnya yang rata-rata sudah setengah tua datang dengan membawa keluarganya. Ada yang namanya pak Dirman, datang membawa anak gadisnya yang cantik.
"Tuh kan, aku tau maksud bapak," kata hati Bayu ketika melihat anak pak Dirman. Ia menoleh kearah pintu, Sapto dan Timan yang diundangnya belum tampak datang. Bayu mengeluarkan ponselnya untuk menelpon mereka ketika tiba-tiba pak Marsudi memanggilnya.
"Bayu, kesini dulu, bapak ingin kamu berdiri disamping bapak dan ibumu, untuk mengucapkan selamat datang kepada tamu-tamu kita."
"Aduuh, Bayu sungkan pak," jawab Bayu dengan wajah muram.
"Bayu, menurutlah apa kata bapak," bujuk bu Marsudi karena merasa apa yang dikatakan suaminya itu benar.
Bayu menghela nafas, urung menarik ponselnya karena bapaknya sudah berdiri dan menggandeng tangan ibunya.
Bayu melangkah perlahan lalu berdiri disebelah kiri ibunya, tapi ayahnya menariknya agar Bayu berdiri ditengah tengah, diantara ayah ibunya.
Hadirin yang kira-kira berjumlah limapuluhan itu memperhatikan keluarga berbahagia itu dengan penuh perhatian. Tak sengaja Bayu melirik kearah gadis bergaun hijau muda  yang juga sedang memperhatikannya. Gadis itu cantik. Matanya bening hidungnya mancung, wajahnya tirus, kulitnya keputihan, Tapi kemudian Bayu memalingkan mukanya kearah lain.
Pak Marsudi mengucapkan salam, dan mengucapkan terimakasih atas kehadiran tamu-tamunya.
"Hari ini isteri saya berulang tahun. Hal yang jarang sekali saya lakukan dengan mengundang saudara-saudara sekalian, tapi kali ini saya ingin melakukannya," lanjutnya.
Pak Marsudi bertepuk tangan tiga kali, dan tiba-tiba seorang pelayan mendorong sebuah meja dengan kue tart diatasnya. Kue tart yang menawan, dan membangkitkan selera. Meja dorong dengan kue itu diletakkanya ditengah-tengah tamu-tamunya. Bu Marsudi menyalakan lilin dengan angka 60 . Hampir semua berdecak kagum melihat wanita berusia 60 itu masih tampak muda dan cantik.
Lalu seorang anak muda yang duduk didepan sebuah orgen, mengalunkan denting-denting lagu ulang tahun. Serentak semua tamu undangan berdiri dan bersama menyanyikan  lagu yang sudah sangat populer itu dengan bersemangat. Tepuk tangan yang meriah mengiringi berkumandangnya lagu itu sampai selesai, kemudian pak Marsudi menyuruh isterinya  meniup lilin dan memotong kuenya.Tepuk tangan kembali bergema diruangan itu.
Bu Marsudi memotng seiris kue, diberikan kepada pak Marsudi, dan pak Marsudi mencium kedua pipi isterinya dengan mesra. Demikian juga ketika bu Marsudi menyerahkan sepotong lagi untuk Bayu, Bayupun mencium ibunya, dan memeluknya erat. Tepuk tangan tak henti-hentinya bergema melihat adegan mesra ketiganya. Lalu para tamu bergerak menyalami bu Marsudi dan memberikan ucapan-ucapan yang manis.Bayu ingin mundur, tapi pak Marsudi menarik lengannya, karena para tamu juga menyalami pak Marsudi dan tentu saja Bayu juga harus tetap berdiri disitu dan menerima salam dari semuanya.
Ketika giliran gadis bergaun hijau muda itu, Bayu merasaa bahwa gadis itu mnggenggam tangan lebih erat dari lainnya. Atau boleh dikata meremasnya. Bayu tak bergeming, perlahan ia melepaskan genggaman itu karena dibelakangnya ada tamu lain yang menunggu.
Begitu acara salam menyalami itu selesai, tamu undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang sudah disediakan. Bayu tiba-tiba menghilang dari samping orang tuanya. Ia melihat kedua tamunya sendiri yaitu Sapto dan Timan  memasuki ruangan. Bayu menyambutnya dengan ramah, lalu mengajaknya duduk ditempat yang terpisah.
"Saya ingat, mas ini yang dulu hampir menghajar saya kan?" kata Sapto begitu mengenali Timan."
"Ma'af mas, saya hanya ingin menjaga Lastri."
"Dia hampir menghajar kamu, tapi aku sudah terlanjur menghajarnya," lalu ketiganya tertawa. Mereka sudah saling cerita tentang kejadian itu.
Bayu mengajak mereka makan, tapi Sapto mengajak menemui bu Marsudi dulu untuk memberi ucapan selamat.
Bu Marsudi senang melihat keduanya datang.
"Terimakasih nak, ibu senang kalian datang, ayo sekarang silahkan menikmati hidangan. Bayu, ajak mereka makan," katanya kemudian kepada Bayu.
Ketika ketiganya sedang makan disebuah meja terpencil, tiba-tiba pak Marsudi datang dengan menggandeng gadis bergaun hijau muda itu. Bayu langsung menampakkan wajah muram.
"Bayu, kenalkan, ini anaknya rekan kerja bapak dikantor, namanya Anggraeni, bapaknya memanggilnya Reni."
"Oh, iya, tadi sudah salaman." kata Bayu singkat.
"Biarkan dia ikut semeja disini, kasihan dia nggak ada teman, semuanya tua-tua."
"Oh, tapi kami akan segera pergi."
"Lho, pergi kemana ?"
"Ada teman sekolah kami juga yang ulang tahun, kami mau kesana setelah makan ini, ya kan Sap?" 
Sapto terkejut, Bayu mengarang cerita, pasti untuk menghindari si cantik ini. Tapi rupanya sifat iseng Sapto masih tersisa.
"Nggak apa-apa Yu, biar adik ini duduk sebentar bersama kita."
Bayu menyepak kaki Sapto, seperti yang sering dilakukannya ketika Sapto mengganggu Lastri. Sapto memelototi Bayu dengan marah. Bayu menyibukkan dirinya menyendok makanan yang sudah diambilnya. Timan hanya terdiam, dia tak seberani Sapto dalam menghadapi gadis-gadis.
"Nah, tuh nak Sapto mau kok. Reni, duduklah disini sebentar saja."
Dan celakanya Reni menurut apa kata pak Marsudi. Jadi dimeja itu mereka kemudian duduk berempat. Bayu kesal bukan alang kepalang. Tapi ia bersyukur karena Sapto lah yang lebih aktif berbicara, bahkan tukar menukar nomor kontak segala.
***
Pagi hari itu Lastri pergi kerumah mbah Kliwon, ada beberapa orang kampung yang membantu membersihkan kebun. 
"mBah, Lastri mau memasak untuk mereka-mereka yang bekerja, membuatkan minum dan makan."
"Iya Tri, aku sudah belanja beras, sayuran bisa mencari dikebun, dan juga bumbu-bumbunya."
"Oh, terimakasih mbah, Lastri tinggal memasak saja."
mBak Kliwon sudah lama hidup menduda. Ia sudah biasa menanak nasi sendiri dan juga memasak sayur, jadi dia tau apa yang harus dibeli untuk keperluan itu.
Lastri senang melakukannya. Orang-orang desa dengan suka rela membantu apabila ada warga yang membutuhkannya.. Mbah Kliwon bilang, besok sudah bisa mulai membuat rumah untuk Lastri. Lastri bersemangat sekali. Tidak lama lagi ia akan tinggal digubugnya sendiri, dan tidak akan merepotkan bu lurah lagi.
Sore harinya  kebun itu sudah bersih. Lastri pulang kerumah bu lurah dengan wajah berseri. Ia yakin akan pulang dan benar-benar pulang untuk meninggalkan kenangan yang membuat batinnya teriris. Setiap kali ingatannya melayang kewajah Bayu, segera ditepisnya. Tapi alangkah susah melupakannya. Wajah ganteng dengan senyuman menawan, ya Tuhan, hilangkan dia dari ingatan hamba. Selalu pintanya, tapi tak pernah ia bisa melakukannya. Hanya linangan air mata yang selalu mengiringinya, setiap menjelang tidur ketika mengingatnya.
***
Pagi hari itu Lastri sudah memasak dirumah mbah Kliwon. Hari itu barang yang dipesan mbah Kliwon akan datang.  Ketika menyiapkan makan bagi orang-orang yang membantunya, didengarnya suara mobil mendekat, Lastri keluar untuk melihat, apa saja pesanan mbah Kliwon. Itu sebuah colt terbuka, membawa pasir dan batu bata. Oh tidak, dibelakangnya masih ada lagi sebuah colt lain, berisi keramik semen dan genting. Lastr terkejut bukan alang kepalang. Ia berteriak memanggil mbah Kliwon, ia yakin mbah Kliwon salah memesan.
"mBah... mbah..."
Lastri tak perlu mengulang teriakannya karena mbah Kliwon telah berada didekat colt itu.
"mBah, ini pesanan kita? Mana atap rumbai.. anyaman bambu.. "
"Tidak nduk, simbah nggak memesan anyaman bambu dan atap rumbai."
"Apa maksud mbah Kliwon?"
Lastri terkejut ketika pasir tiba-tiba sudah diturunkan didepan rumah mbah Kliwon, dan batu bata, dan genting, dan....
"mBah..!" Lastri berteriak.
"Lastri tak akan bisa membayar semua ini mbah, ini mahal." Lanjutnya seperti orag kebingungan.
"Tri, kamu tidak usah membayar semua ini,"
"Apa maksudnya mbah?"
"Ini semua bu lurah yang memesannya."
"Apa?"
"Kamu jangan marah sama simbah. Ini semua kemauan bu lurah, tadi malam dia datang kemari dan memberikan sejumlah uang, jadi kamu tidak usah membayarnya. Ini sudah lunas nduk."
"Tidaaaaak..." Lastri berteriak.
***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER