Sunday, March 29, 2020

Lastri 24

LASTRI  24
(Tien Kumalasari)
Lastri menoleh dan terkejut sekali. Seorang laki-laki tua berdiri dibelakangnya. Rambutnya putih seperti kapas, kulitnya keriput, tapi mata itu menatapnya tajam. Ia masih tampak kekar dan belum tampak renta. Lastri berdiri dan menatapnya penuh tanda tanya. Yang membuatnya takut adalah laki-laki tua itu membawa sebilah arit. Mau apa dia?  Apakah dia pernah mengenal laki-laki ini ? Lastri agak mundur kebelakang/
"Kamu Lastri kan ?" tanya laki-laki tua itu.
"Ya.. kakek. Bagaimana kakek tau bahwa saya Lastri ?"
"Kamu sedang berjongkok didepan kuburan yu Surip, pasti kamu Lastri, karena dia tidak punya siapa-siapa kecuali cucunya."
"Oh, ya.. benar. Kakek siapakah? Barangkali saya lupa, karena saya pergi dari sini sejak masih kecil."
"Aku tinggal bersebelahan dengan rumah yu Surip. Kamu lupa ya? Waktu kecil aku sering menggendong kamu. Ketika itu bapak sama mbokmu masih hidup."
"Oh, mbah Kliwon ?"
"Kamu benar Lastri. Sebenarnya aku datang kemari mau membersihkan kuburan mbahmu ini, karena sudah setahun nggak pernah menyambangi.Aku sering melakukannya, karena aku merasa berhutang budi."
Rasa takut Lastri hilang seketika. Rupanya arit yang dibawanya akan diperguunakan untuk membersihkan kuburan neneknya. Dia sudah melakukannya, tapi hanya sebisanya karen dia tidak membawa alat. Tapi ia ingin tau dulu, mengapa mbah Kliwon mengatakan bahwa dirinya berhutang budi sama neneknya.
"Berhutang budi apa mbah?"
"Setelah kamu pergi, rumah mbahmu tidak ada yang merawat. Selang dua atau tiga bulan, ambruk. Akhirnya bekas berdirinya rumah dan sedikit pekarangan punya mbahmu aku gunakan untuk menanam sayuran, daripada nggak terpakai."
"Oh, itu mbah.."
"Itu sebabnya aku sering menyambangi kuburan mbahmu ini."
"Baiklah mbah, mana aritnya, biar Lastri bantu membersihkan."
"Jangan, biar aku yang membabat semua rumput, bahkan dari akar-akarnya, kamu nanti yang membuang rumputnya kearah sana, kalau sudah kering dibakar saja."
"Baiklah mbah, ayo kita mulai."
Keduanya kemudian mulai membersihkan makam mbah Surip dan orang tua Lastri. mBah Kliwon memasang batu-batu agak besar yang dipakainya sebagai tanda, setelah membuat gundukan tanah di ketiga makam itu lebih tinggi. Lastri berjanji akan memasang tulisan pada batu basar itu, agar suatu sa'at dia tidak susah mencarinya. 
Udara sangat panas, beruntung ada pohon kersen yang rimbun dan melindungi keduanya yang sedang bekerja. Lastri menyesal tidak membawa air minum untuk bekal. Pasti mbah Kliwon juga haus, atau bahkan lapar.
"Panas sekali ya mbah?" ujar Lastri sambil duduk begitu saja diatas tanah berumput.
"Iya, memang panas, kamu haus?"
"Adakah warung didekat-dekat sini ?"
"Ya ada sih, tapi setelah keluar dari area kuburan ini. Tapi kan ini sudah selesai, kita boleh pulang sekarang. Tapi.. oh ya, kamu kesini hanya karena ingin ziarah ke makam ini, atau ada perlu lain?"
"Saya ingin pulang kemari."
"Oh Ya? Lalu kamu sekarang tinggal dimana? Nanti aku akan membabat kebun yang bekas rumah mbahmu itu, aku akan buat lagi gubug yang barangkali kamu mau tinggal."
Wajah Lastri berseri. Ia tak usah mengurusnya sama Mardi dan mbah Kliwon sudah bersedia mengembalikan gubug dan kebun kecil milik mbahnya.
"Benarkah ?"
"Iya benar. Tapi ya gubug asal-asalan, pokoknya bisa ditinggali. tidak kepanasan dan kehujanan."
"Menyenangkan sekali mbah. Saya akan membelikan apa saja yang diperlukan, berapa harus membayar tenaga yang akan membantu?"
"O, disini tidak ada bayar-bayaran, kami bekerja sama satu kampung. Kamu cukup menyediakan makan dan minum saja."
"Baguslah, apa yang harus saya beli mbah? Tidak usah yang besar, dengan satu bilik, dapur, kamar mandi, itu cukup."
"Ayo kita pulang, dan bicara banyak. Oh ya, kamu kapan datang, baru saja? Tidak membawa barang-barang?"
"Saya datang kemarin sore mbah, kebetulan bertemu bu lurah, lalu menginap disana. Semoga saya bisa segera pindah ke gubug itu ya mbah."
"Oh, baguslah kalau dirumah bu lurah. Tapi kamu harus hati-hati, bu lurah punya seorang anak laki-laki yang sekarang juga jadi lurah," kata mbah Kliwon sambil berjalan.
"Mengapa saya harus berhati-hati?"
"Siapa tau bu lurah mau mengambil kamu sebagai menantu," kata mbah Kliwon sambil tertawa.
"Oh, saya tidak memikirkan itu mbah, saya baru akan membenahi hidup saya," kata Lastri sendu. Ingatannya kepada Bayu kembali menyergapnya.
"Duhai cinta...  mengapa harus begini.." jerit batin Lastri.
"Tapi Mardi itu kan ganteng. Atau kamu sudah punya calon dikota? Tadi aku sudah lama berdiri dibelakangmu, menunggui kamu menangis, mendengarkan semua keluh kesahmu."
Lastri terkejut. Tadi ia tenggelam dalam kesedihan, mengeluhkan apa yang menjadi beban hidupnya dihadapan makan mbah Surip, dan kakek tua itu mendengar semuanya? Aduh, Lastri malu sekali.
"Tapi kamu tidak usah sungkan. Simbah ini sudah tua. Terkadang hidup tidak seperti yang kita inginkan, semuanya ada ditangan Yang Maha Kuasa. Jadi yang harus kita lakukan  adalah berserah dan selalu memohon yang terbaik."
"Lastri mengangguk, mbah Kliwon merengkuh bahunya, membuat Lastri merasa tenang. Seperti ada seseorang yang ikut memikul beban batinnya, menguatkannya. Lastri terharu.
Ketika keluar dari jalanan berbatu itu dilihatnya seseorang sedang menunggu.
"Itu kan lurah Mardi," kata mbah Kliwon.
"Iya,"
"Kayaknya menunggu kamu, sekali lagi hati-hati. Pegang erat cintamu."
Lhoh, mbah Kliwon kok berkata begitu? Apakah karena sudah matang lalu memiliki rasa yang lebih peka? Pegang erat cintamu. Itu kata-kata yang indah. Lastri tersenyum.
"Lastri !!" teriak Mardi.
Lastri dan mbah Kliwon mendekat.
"Lama sekali, ke kuburan. Malah sudah ketemu mbah Kliwon ?"
"Iya nak lurah, kebetulan tadi kami membersihkan kuburan yu Surip dan anak serta menantunya. Sekarang sudah rapi dan bersih," kata mbah Kliwon.
"Oh, syukurlah. Saya menjemput Lastri karen ibu menunggu dirumah, dikiranya nyasar atau apa, so'alnya dia pergi dari pagi."
"Ya nak, silahkan, simbah mau langsung pulang. Ayo Lastri, simbah pulang dulu. Nanti kalau mau bicara datang saja kerumah."
"Terimakasih banyak ya mbah," kata Lastri sambil mengikuti Mardi.
"Ibu khawatir, lalu menyuruh aku menyusul kamu."
"Lastri bukan anak kecil lagi kan?"
"Tapi kan kamu lama sekali nggak ke dusun ini, siapa tau nyasar."
"Enggak, Lastri masih ingat kok.Jadi nggak enak aku, ngerepotin terus."
"Kamu itu kayak lupa aja, kita kan dulu berteman? Sekarang juga berteman kan, jangan sungkan."
"Ya sudah, kang Mardi langsung ke kelurahan saja, aku tak langsung menemui ibu," kata Lastri yang merasa bahwa banyak orang memperhatikan mereka yang tampak berjalan berduaan. Dipanas terik pula.
"Lho aku juga mau pulang dulu, sa'atnya makan, aku lapar nih."
"Oh.. " Lastri tak bisa menolak.
***
Tiga hari lamanya Bayu opname dirumah sakit. Ia diperbolehkan pulang karena tak ditemukan penyakit apapun. Tapi Bayu sekarang menjadi Bayu yang berbeda. Pendiam dan tak bersemangat. Pak Marsudi sangat prihatin mengetahui keadaan anaknya. Ada sesal yang menggumpal, tapi pak Marsudi sebenarnya merasa bahwa itu demi kebaikan anaknya. Hanya saja ternyata hal itu justru membuat Bayu menderita.
"Bayu anak kita satu-satunya, biarkanlah dia mencari kebahagiaannya sendiri. Lastri gadis yang baik, walau dia adalah gadis desa yang tak sepadan dengan kita. Tapi apalah artinya semua perbedaan itu pak, nyatanya anak kita menderita, dan kita juga ikutan susah melihat keadaannya seperti itu.
"Ya.. bapak tau.. memang bapak yang salah. Tapi sekarang kan bapak sudah mengijinkan dia kalau ingin menikah sama Lastri."
"Begitu mengijinkan, Lastrinya sudah kabur entah kemana."
"Mengapa nggak dicari ke desanya lagi, siapa tau dia pulangnya tidak langsung."
"Kemungkiannya kecil pak, kan Lastri nggak punya siapa-siapa didesa."
"Bapak kan juga sudah membantu, pasang iklan segara di koran-koran.. Intinya mencari Lastri, tapi kan ya belum ada beritanya."
"Mungkin dia mendapat pekerjaan disuatu rumah, atau toko, atau pabrik apa.. gitu."
"Mudah-mudahan iklan itu terbaca oleh dia, dan dia bersedia kembali. Kan disitu bapak sebutkan juga bahwa bapak minta ma'af, jadi dia pasti bersedia kembali."
"Bagus kalau begitu, mudah-mudahan Lastri membacanya, atau orang lain membacanya kemudian memberitau kepada Lastri."
"Mudah-mudahan bu. Sekarang mana dia ?"
"Tadi pamit keluar sebentar, mungkin kerumah Sapto, atau ke tukang buah itu."
"Ia juga berusaha mencari Lastri."
"Semoga semuanya segera berakhir."
***
Ternyata Bayu ada dirumah Timan. Ia merasa bersalah telah memukulnya, dan sejak dia sakit belum sempat menyambanginya.
"Saya sudah baik kok mas Bayu, mas Bayu nggak usah repot-repot lagi. Besok saya sudah mulai jualan dipasar."
"Aku minta ma'af mas Timan, so'alnya aku juga baru keluar dari rumah sakit." 
"Lho, mas Bayu sakit apa? "
"Kecapean barangkali," lalu Bayu tertunduk lesu.
"Bagaimana kabarnya Lastri?"
"Belum ketemu, dia tidak kemari kan?"
"Tidak mas, kalau dia memang berniat pergi, saya kira nggak bakalan datang kemari.So'alnya  Mas Bayu pasti mencarinya kemari."
"Benar, dan aku juga sudah mencari ke desanya."
"Tidak pulang kesana?"
"Benar. Tidak pulang ke desanya. Mungkin dia masih ada dikota ini, entahlah. Tapi aku akan terus berusaha."
"Ya mas, saya juga akan membantu mencoba mencari berita tentang dia. Ponselnya juga nggak pernah aktif."
"Bapak malah sudah memasang iklan segala, dan meminta ma'af di iklan itu. Semoga kalau Lastri membacanya hatinya akan tergugah."
"Oh ya? Saya tidak berlangganan koran, jadi belum baca. Korannya apa mas?"
"Disemua koran mas."
"Hm, Lastri... Lastri.. mengapa juga harus pergi segala."
"Kasihan, dia tidak punya siapa-siapa."
"Jangan sedih mas, saya akan membantu mencarinya."
"Terimakasih mas Timan. Terus sekarang saya mau tanya, apa mas Timan butuh kerumah sakit lagi, tampaknya masih kelihatan tuh, lebam-lebamnya."
"Nggak mas, sudah sekali kerumah sakit, dikasih obat oles dan yang diminum. Saya sudah benar-benar sehat. Besok saya mulai jualan lagi mas, nanti buah-buahnya keburu busuk."
"Banyak rugi ya jadinya?"
"Nggak mas, jangan khawatir. Nggak ada yang rugi, hanya keuntungannya tertunda. Tapi itu tidak apa-apa, rejeki tidak harus mengalir setiap hari."
Bayu kagum pada Timan. Ia memiliki kesabaran dan tidak pernah mengeluh. 
"Kalau saya ingin ada teman ngobrol, main-main kesini boleh ya mas Timan?"
"Sangat boleh dong mas, senang ada yang menemani, so'alnya saya hidup sendiri, kedua orang tua sudah meninggal."
"Mengapa mas Timan tidak segera mencari isteri, biar tidak kesepian?"
Timan terdiam. Harapan untuk menjadikan Lastri sebagai teman hidup pernah terlintas dikepalanya. Tapi dia tau bahwa Lastri hanya menganggapnya sebagai kakak. Timan ikhlas, dan merasa bahwa Lastri bukan jodohnya. 
"Hayo.. kok diam? Sudah ada calon belum?"
"Belum mas, masih ingin sendiri. Mungkin belum ketemu jodoh saya," jawab Timan sendu.
"Semoga segera ketemu ya mas."
Timan tersenyum. Ada do'a yang selalu dipanjatkannya, yaitu kebahagiaan Lastri dan Bayu. Ia ikhlas melihat gadis yang pernah didambakannya menemukan pria yang dicintainya.
*** 
Siang itu setelah makan, Lastri pamit mau pergi kerumah mbah Kliwon.
"Memangnya kamu sudah bicara tentang rumah itu sama mbah Kliwon?"
"Sudah kang, dan mbah Kliwon bersedia membantu, bahkan ia mengatakannya sebelum aku menanyakannya. Dia juga akan membantu mendirikan rumah simbah lagi." kata Lastri bersemangat.
"Itu memerlukan banyak uang. Memangnya kamu punya uang? "
"Ada sedikit, tapi aku hanya ingin rumah sederhana saja kok. Atap rumbai, dinding anyaman bambu, itu cukup. Aku kira tidak begitu mahal. Itu sebabnya aku mau kesana sekarang."
"Mau menunggu aku pulang dari kelurahan? Nanti aku antar."
"Nggak usah kang, aku bisa sendiri. Nanti malah mengganggu kang Mardi.
"Nggak apa-apa, hanya barangkali aku bisa membantu."
"Lebih-lebih itu kang, jangan, aku sudah banyak merepotkan. Sudahlah, biar Lastri memikirkannya sendiri. Aku sekarang mau pamit bu lurah dulu, mau berangkat sekarang, pasti mbah Kliwon sudah menunggu."
***
Tapi sampai sore Lastri belum kembali. Pasti banyak yang dibicarakan.
"Lastri hanya akan membuat rumah dengan atap rumbai dan dinding anyaman bambu. Kasihan kan Di?" kata bu lurah ketika sedang duduk didepan rumah menunggu Lastri.
"Iya, tapi Mardi sudah menawarkan bantuan, dia menolak," kata Mardi sambil membaca koran yang baru saja dibawanya dari kelurahan.
"Jangan menawarkan, langsung saja temui mbah Kliwon, bilang kalau kamulah yang akan membangun rumahnya Lastri."
"Ya, nanti Mardi akan menemui mbah Kliwon juga, tanpa sepengetahuan Lastri."
"Kamu itu kalau sudah membaca koran, ibunya ngomong apa juga nggak didengerin," omel bu lurah.
"Ini koran baru, sebentar bu, biarkan Mardi membacanya dulu. Mardi mendengarkan kok."
"Dan ingat, bantuin Lastri, jangan sampai Lastri membangun rumahnya sendiri dengan bangunan seadanya."
"Iya, sebentar bu, ini ada iklan yang menyebut nama Lastri." kata Mardi tiba-tiba.
"Menyebut nama Lastri bagaimana ta Di?"
"Ini, kayaknya majikannya Lastri itu, mencari Lastri, meminta ma'af dan menyuruh Lastri segera kembali. Jadi Lastri pergi karena majikannya melakukan kesalah yang melukai Lastri."
"Waduh le, gwat itu."
"Gawat bagaimana bu, kita harus segera memberitahukannya pada Lastri."
"Tidak le, Lastri tidak boleh tau. Mana koran itu, biar ibu bakar yang ada iklannya Lastri."
***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER