LASTRI 01
(Tien Kumalasari)
Dia sangat lugu, wajah manisnya tertutup oleh kesederhanaan penampilan yang dimilikinya. Ia masih terhitung bocah. Usianya baru kira-kira sebelasan tahun. Baru dua hari ini dia bekerja dikota, sebagai pembantu rumah tangga. Rambut panjang selutut tak dibiarkannya tergerai, tapi digelungnya dengan apik. Lastri namanya, gadis yatim piatu yang tak memiliki siaapa-siapa didesa. Bapak ibunya sudah meninggal, dan dia anak tunggal. Marsudi, keluarga itu melihatnya letika sedang ber rekreasi kesebuah tempat wisata. Mereka melihat Lastri berjualan sayuran, dan tiba-tiba runtuhlah belas kasihannya ktika Lastri bertutur bahwa ia hidup seorang diri. Ayah ibunya sudah meninggal, lalu dia dirawat neneknya yang sudah tua, dan baru sebulan lalu neneknya juga meninggal. Keluarga Marsudi menawarkan apakah Lastri mau ikut bersama mereka, Lastri menyanggupinya. Keluarga Marsudi memperlakukan Lastri dengan baik Mereka senang karena walau baru dua hari dia tampak rajin dan bekerja tanpa mengeluh. Padahal dia sepertinya belum waktunya untuk mencari nafkah. Bu Marsudi merasa kasihan mendengar kisahnya yang memilukan.Tapi ia lupa menanyakan, apakah Lastri pernah sekolah.
"Lastri .." panggil bu Marsudi pada suatu pagi. Dilihatnya Lastri sudah rapi, sudah selesai bersih-bersih rumah dan sudah berpakaian bersih dan rapi.
"Ya bu.." jawab Lastri sambil membungkuk hormat.
"Kamu sudah mandi ?"
"Sudah bu," jawabnya sambil memandangi bajunya, mungkin karena lusuh lalu dikira dirinya belum mandi oleh majikannya.
"Bagus, aku suka kamu rapi dan rajin.Nanti kalau senggang aku mau membelikan baju-baju untuk kamu, supaya kamu bisa mengganti pakaian kamu dengan yang lebih baik."
Lastri hanya mengangguk sambil tetap menundukkan kepalanya.
"Kamu kan tau pasar disebelah timur rumah kita ini?
"Ya bu, saya tau."
"Pergilah belanja, semua catatannya sudah aku tuliskan disini," kata bu Marsudi sambil mengulurkan selembar kertas berisi catatan belanjaan."
"Tapi...." Lastri menerima dengan ragu-ragu.
"Ini uangnya, hati-hati membawanya ya Nanti kalau beli sayur, pilih yang segar ."
"Ttapi..."
"Kslsu sudah aku tulis begini, tak akan ada yang terlupa, beda kalau aku berpesan secara lisan, ya kan? Ya sudah, berangkatlah."
Bu Marsudi langsung masuk kekamarnya. Ia memang ingin mencoba, apakah Lasti bisa berbelanja dengan baik.Lastri memandangi kertas catatan dan uangnya dengan bingung.
"Aku mana bisa membaca?" bisik Lastri pelan, tadi ia ingin mengatakannya pada bu Marsudi, tapi sepertinya sang majikan tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Ya sudahlah. lalu diambilnya keranjang belanjaan didapur, masih dengan benak penuh pertanyaan.
"Ya sudah, nanti aku berikan saja catatannya pada penjualnya, jadi aku nggak perlu membacanya," gumamnya pelan, sambil melangkah keluar rumah.
Pasar itu tak jauh dari rumah keluarga Marsudi, kira-kira hanya berjarak duaratusan meter. Lastri melangkah sambil memegang erat kertas catatan yang diberikan majikannya. Hari sudah agak siang, pasar itu bukan alang kepalang ramainya. Iyalah, namanya juga pasar. Lastri masuk sambil menoleh kekanan dan kekiri. Tadi bu Marsudi bilang harus memilih sayur yang segar, berarti dia harus menuju ke penjual sayur. Ada ibu-ibu tua yang dihadapannya bertumpuk sayur segar. Sayur apa ya, aduh.. mana mengerti dia sayur yang dimaksud sedangkan membaca tulisannya saja tidak bisa?
"Mau beli apa nduk?" tanya penjual sayur itu.
"Ini.." bukannya menjawab tapi Lastri malah mengulurkan kertas catatan yang dibawanya.
"Ini apa?" tanya penjual sayur dengan heran.
"Catatan belanjaan ada disitu mbah, kasih aja semuanya, saya tinggal membayarnya," kata Lastri.
"Lhah, gimana ta nduk, simbah ini orang nggak ngerti tulisan.. kok suruh baca tulisan," katanya sambil mengembalikan catatan itu kepada Lastri.
"Wadhuh..."
"Coba sampeyan baca satu persatu, butuhnya apa, biar simbah tinggal mengambilkan."
"Tapi.. saya juga nggak bisa baca.."
"Owalah, jaman sekarang kok ada bocah nggak bisa mbaca. Lha kok nggak pernah sekolah ta kamu?"
Lastri menggeleng. Ia tak heran kalau neneknya tak pernah menyuruhnya sekolah. Sejak kecil ia hanya ikut neneknya ke pasar untuk berjualan sayuran yang dicarinya dikebun sendiri. Ada keinginan untuk bersekolah seperti teman sebayanya, tapi neneknya sudah tua dan sakit-sakitan dan harus dibantu mencari uang,
Sekarang Lastri merasa sedih, ia harus membaca catatan itu, tapi tak bisa, kalau ia menyodorkannya lagi kepada penjual sayur yang lain, bagaimana kalau mendapat jawaban yang sama? Tapi ia akan mencobanya. Ia melangkah ke penjual yang lain, kertas itu diamatinya terus menerus, tapi apa yang bisa terbaca? Berlinang air mata Lastri. Ia berdiri didepan seorang penjual buah.
"Ada apa dik? Uangmu hilang?" tanya penjual buah yang seorang laki-laki muda.
Lastri menggeleng. Ia mengulurkan kertas catatan itu tanpa ber-kata-kata.
"Apa ini ?"
"Catatan belanjaan.."
"Ya, lalu.. bagaimana ?"
"Saya nggak bisa membaca.." jawabnya lirih, sambil mengusap air matanya.
"Oh, ya ampun.. mari saya bacakan," kata pemuda itu yang kemudian mendekati Lastri.
"Tomat, satu kilo, yang besar dan merah, sawi putih, dua ikat, wortel setengah kilo..."
"Sebentar mase, saya ingat=ingat...tomat, sawi putih, wortel.. "
"Terus.. seledri.. ..."
Dan dengan bantuan pemuda tukang buah itu Lastri akhirnya akan berhasil membawa belanjaannya pulang.
Ia mngucapkan terimakasih kepada pemuda penjual buah itu, yang memandanginya tanpa berkedip. Barangkali agak heran bertemu gadis kecil yang tak bisa membaca.
Bu Marsudi senang semua catatan tak ada yang kelewatan, dan Lastri bisa mmilih sayuran dengan tak mengecewakan.
"Pintar kamu Lastr, tapi aku maklum, kan kamu juga sering menjual sayuran ketika didesa?"
Lastri tersipu. Ia menyerahkan uang kembalian lalu menata barang belanjaannya dimeja dapur.
"Aduh Lastri, ternyata ada satu yang terlewat," kata bu Marsudi.
"Ya bu, ada yang terlewat?"
"Ini, dibawah sendiri ada tulisan telur satu kilo," tegur bu Marsudi.
"Oh, ma'af bu, biar saya kembali."
"Nggak usah, besok lagi saja, dirumah masih ada kok. Tulisannya kecil dan paling bawah, kamu nggak membacanya ya?"
"Ss..saya.. sesungguhnya tidak bisa membaca bu." kata Lastri tersipu.
"Apa? Kamu nggak bisa membaca? Kamu belum pernah sekolah?"
Lastri tertunduk malu.
"Lalu bagaimana kamu bisa belanja sesuai dengan catatan tadi?"
"Ada orang yang membacakan bu."
"Aduh Lastri. Ya sudah, mulai besok kamu harus belajar membaca. Tahun ajaran depan kamu harus sekolah ya."
"Tapi bu.."
"Saya akan menyekolahkan kamu, tapi sebelumnya aku akan mengajari kamu membaca dan menulis.Ala kadarnya.
***
Pak Marsudi setuju isterinya mau menyekolahkan Lastri.
"Sayang kalau sampai dia keterusan buta huruf. Jaman sekarang kok masih ada yang nggak bisa membaca dan menulis."
"Iya pak, nanti menunggu ajaran baru. Didekat situ kan ada sekolah SD, nggak usah yang jauh-jauh."
"Betul, yang dekat-dekat saja, supaya dia bisa pergi pulang dengan jalan kaki. Aku kenal kepala sekolahnya, barangkali bisa membantu."
"Nanti pasti diejek oleh teman-temannya ya pak, sudah sebelasan tahun baru mau masuk sekolah."
"Nggak apa-apa bu, awalnya mungkin ya, tapi nanti kalau sudah kenal pasti enggak lagi."
"Ini mau ibu ajari dulu untuk mengenal huruf-huruf pak, supaya nantinya nggak terlalu sulit menerimanya."
"Bagus bu, nanti bapak belikan buku-buku huruf dan angka."
Begitu besar perhatian pak Marsudi dan isterinya.
***
Setelah hari itu begitu selesai memasak, bu Marsudi mengajak Lastri untuk belajar menulis. Pak Marsudi membelikannya buku tulis dan gambar huruf-huruf serta angka untuk dihafalkan.
Ternyata Lastri sangat cerdas. Ia sudah hafal huruf-huruf dari a sampai z hanya dalam waktu seminggu.
Hari itu ketika sedang menunggui Lastri belajar, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan.
"Ibuuu... "
Bu Marsudi terkejut, langsung berdiri dan memeluk siapa yang datang.
"Bayu.... mengapa pulang tiba-tiba? Biasanya ibu diberi kabar lebih dulu.."
"Memang Bayu ingin buat kejutan untuk ibu."
"Dasar anak nakal. Ayu duduk dulu disini, biar ibu buatkan minum.."
"Itu siapa bu?"tanya Bayu ketika melihat seorang gadis kecil duduk didepan meja dapur. Gadis kecil itu kemudian berdiri menghampiri bu Marsudi.
"Biar saya buatkan bu."
"Nggak usah, biar aku saja, sana lanjutkan membaca," kata bu Marsudi sambil menuang segelas jus lemon dari dalam almari es.
"Ini, minumlah dulu, hei.. duduklah, mengapa kamu memandangi Lastri tanpa berkedip?"
"Oh, namanya Lastri?"
"Iya, belum ada sebulan disini, sekarang lagi belajar membaca dan menulis."
"Haaa... buta huruf?" kata Bayu sambil mendekati Lastri.
"Ini minumnya Bayu.."
"Coba baca... yang ini apa?"
"Ba..." jawab Lastri tangkas.
"Ini ?"
"Bi...."
"Kalu digandeng bacanya apa? Ini... begini nih..."
"Babi..."
"Hei... ngomong babi jangan sambil ngliatin aku dong, lihat itu tulisannya," canda Bayu sambil tertawa.
Lastri tertunduk malu. I tau putera sang majikan sedang mengganggunya.
"Bayu, kamu tuh ada-ada saja, sudah jangan mengganggu yang lagi belajar."
Bayu mengikuti ibunya ke ruang tengah, meninggalkan Lastri melanjutkan belajarnya.
"Huh, nakal," gumamnya sambil tersenyum, ketika Bayu menyuruhnya membaca tulisan babi.
***
Bayu adalah satu-satunya putera keluarga Marsudi. Ia kuliah di Jakarta, dan hari itu pulang tiba-tiba.
"Tapi ibu senang kamu pulang, ibu sudah kangen berat sama kamu."
"Bayu juga kangen," katanya sambil menghirup jus lemonnyq sampai habis.
"Kapan kamu selesai kuliahnya? Ibu harap setelah lulus kamu bekerja disini saja, jangan pergi jauh-jauh lagi."
"Masih kira-kira tahun depan bu, sabarlah."
"Oh ya, kamu mau dimasakin apa, tadi ibu cuma masak sayur asem sama bacem tahu tempe sama goreng lele."
"Wah, itu ena sekali, apakah Lastri yang masak?"
"Kok Lastri, ibu dong yang masak, dia baru mdembantu bantu saja, mungkin lama-lama dia juga akan pintar memasak. Anak itu rajin dan pintar, juga cerdas, sayang dulu orang tuanya tidak sempat menyekolahkannya."
"Dimana ibu mendapatkan dia?"
"Ketika ibu sama bapak main ke Saeangan."
"Wah, ibu sama bapak jalan-jalan terus."
"Ada acara di kantornya bapak, disana, terus ibu ngikut saja."
"Lalu ibu ketemu Lastri?"
"Iya, dia sedang menjual sayuran. Hidup sebatang kara, lalu ibu ajak kemari dan dia mau."
"Ibu akan menyekolahkannya?"
"Iya, begiu maksud ibu. Ini dia sedang ibu suruh mengenali huruf-huruf dan angka. Cerdas dia, cepat sekali menghafalnya.
"Besok Bayu akan membantu mengajarinya."
"Memangnya kamu libur lama ?"
"Dua mingguan bu, lumayan kan?"
"Syukurlah, sekarang telephone bapak di kantornya, pasti bapak senang mendengar kamu pulang."
"Iya bu, akan saya minta bapak pulang supaya kita bisa sama-sama makan masakan ibu."
***
"Lastri.."
"Ya bu, coba lihat, aku sudah buat catatan dengan tulisan yang besar-besar, bisakah kamu membacanya? Maksudku, aku akan menyuruh kamu belanja dengan membaca tulisan ini."
"Baiklah bu," jawab Lastri sambil menerima kertas catatan yang dibuat oleh bu Marsudi.
"Sini biar Bayu bacakan," kata Bayu tiba-tiba.
"Eeeit, nggak Bayu, biar Lastri belajar.."
Lastri membaca tulisan itu dan berucap dengan terbata-bata.
"Ca..ca...sabe... Mm.. baya.. baya..mm.. "
Dan walau terbata-bata Lastri bisa membacanya.
"Bagus Lastri, ini uangnya dan pergilah kepasar."
Lastri mengangguk, sambil berjalan diaa menghafal apa-apa yang ditulis majikannya. Senang hatinya karena ia tak perlu meminta tolong agar orang lain membacana. Tapi tiba-tiba ditepuknya pundaknya dari belakang oleh seseorang.
"Dik..."
Lastri menoleh dan tersenyum. Pemuda penjual buah itu rupanya.
"Belanja apa lagi? Mari saya bacakan"
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment