LASTRI 02
(Tien Kumalasari)
Senyum Lastri melebar, menampakkan gigi putih yang berderet rapi.
"Mana saya bacakan dik, ada catatannya kan?"
"Ada, ini, tapi saya bisa membacanya kok," kata Lastri senang.
"Haaa, masa ? Begitu cepat?"
"Sudah sebulan saya belajarnya. Sebentar.. ini.. cabe.. ya kan?"
"Hm.. pinter.... Bawahnya?
"Ba...ya...m... trus... da..di..n..g..eh.. daging kan?"
"Oh ya, benar.."
"Ken..ta...."
"He, tolong minggir dong, kalau ngomong-ngomong jangan ditengah jalan.." tiba-tiba.. seseorang yang membawa karung berisi sayuran mau lewat, dan sedikit kesal melihat Lastri dan penjual buah itu ngobrol seenaknya.
"Eeh.. iya kang, ma'af," katanya sambil menarik tangan Lastri agak ketepi.
"Sudah, aku mau ke tukang sayur itu dulu, nanti kalau ada yang susah aku mau tanya sama sampeyan," kata Lastri sambil beranjak pergi.
"Nanti dulu, eh.. namamu siapa?"
"Lastri !!" teriak Lastr sambil menjauh.
Laki-laki muda penjual buah itu kembali ketempat dagangannya digelar. Ada seorang ibu yang menunggu disitu, lalu mengomel.
"Mas Timan, jualan jangan di tinggal-tinggal dong, "
"Oh ya bu, ma'af. Ibu mau yang mana? Jeruk? Salak ? Apel ?"
"Jeruk yang ini berapa?"
"Dualima bu.."
"Mahal amat ta Timan, aku ini kan langganan, duapuluh saja ya?"
"Mas... tolong mas, yang ini tulisannya apa, tadi ingat kok sekarang lupa," tiba-tiba Lastri muncul lagi sambil mengacungkan kertas catatannya.
"Yang mana?"
"Nomer empat itu lho mas."
"Itu ketumbar bubuk, yang jual bukan di tukang sayur, tapi di toko yang diujung itu."
"Ou ya, terimakasih ya mas Timan,.. lha aku sekarang tau, namamu Timan kan? " gumamnya sambil berlalu.
"Iya, namaku Timan," kata Timan yang terus mengawasi kepergian Lastri.
"Bu, eh... mana ibu-ibu yang tadi menawar jeruk? Adhuh, menunggu sebentar saja kok nggak mau," katanya sambil melongok kesana kemari, tapi ibu-ibu yang dicarinya sudah tak tampak lagi.
***
"Pinter kamu Tri.. sudah bisa membaca tulisanku.."
"Masih terbata-bata bu.." kata Lastri terus terang.
"Tapi nyatanya bisa, dan kali ini nggak ada yang kelewatan," kata bu Marsudi sambil me milah-milah belanjaan.
"Tadi juga sambil ber tanya-tanya bu."
"Oh ya?"
"Ada penjual buah yang sangat baik, membantu saya membaca."
"Oh ya, syukurlah. Nggak apa-apa, kan kamu baru belajar, dan nyatanya kamu cepat mengerti. Sebentar lagi kamu harus sekolah lho Tri."
"Wong bisa belajar dirumah, mengapa harus sekolah?"
"Oang itu kebutuhannya bukan hanya membaca dan menulis. Banyak pengetahuan yang akan diajarkan. Seperti berhitung, mengenal hewan, tumbuh-tumbuhan, alam... pokoknya banyak. Kamu harus mengerti itu."
"Baiklah bu."
"Lastri, sini.. ayo belajar nulis lagi," kata Bayu yang tiba-tiba sudah ada didapur.
"Nanti dulu Bayu, Lastri baru mau bantuin ibu memasak. Katanya kamu mau dibuatin selat Solo?"
"Oh, ada jam belajar untuk Lastri rupanya," kata Bayu sambil tertawa.
"Sudah, kamu jangan nungguin disini, mengganggu saja."
"Bayu bantuin aja bu, biar cepet masaknya."
"Baiklah, ayo kupas kenthangnya saja kalau begitu."
Bayu begitu senang. Mungkin karena dia tak mempunyai adik, sehingga kehadiran Lastri yang pintar membuatnya seperti menemukan adik baru.
***
Tahun demi tahun berlalu, dan Lastri sudah menjadi gadis remaja.Bu Marsudi yang selalu membelikan pakaian-pakaian pantas untuk Lastri, membuat penampilan gadis lugu itu tak seperti pembantu. Namun hal itu tak membuat Lastri besar kepala. Ia tau keluarga Marsudi sangat menyayanginya, tapi ia selalu merasa hanyalah seorang gadis desa yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Bayu yang sudah bekerja disebuah perusahaan besar di Solo selalu menganggap Lastri sebagai adiknya.Ia tak perduli walau berkali-kali Lastri memprotesnya. Lastri selain cerdas juga rajin mengerjakan semua pekerjaan rumah, karena ia tau siapa sebenarnya dirinya.
Terkadang ia diajak Bayu berbelanja, tapi Lastri tak pernah bersikap sebagai teman atau saudara. Ia tetap hormat kepada Bayu, dan selalu menegur setiap kali Bayu ditanya temannya tentang siapa dirinya dan mengatakan bahwa Lastri adalah adiknya.
"Jangan begitu mas, saya jadi nggak enak," kata Lastri yang semula menolak diajak makan semeja bersama Bayu.
"Apanya yang nggak enak?"
"Mengapa mas Bayu selalu bilang bahwa saya adiknya mas Bayu? Masa mas Bayu pantas punya adik seperti saya."
"Memangnya kenapa kalau kamu aku anggap sebagai adikku? Apa menurut kamu aku tidak pantas jadi kakakmu karena umur kita terpaut sangat banyak?"
"Bukan itu.. mas Bayu kan tau saya ini siapa?"
"Ya tau lah, kamu kan Lastri," canda Bayu.
"Bukan itu, saya hanya gadis gunung yang tak memiliki derajat, jadi nggak enak kalau mas Bayu menganggap saya sebagai adik."
"Sudah, kamu itu nggak usah protes. Itu bukan hal yang penting. Ayo sekarang kamu mau pesan apa, sudah duduk disini dari tadi belum pesan apa-apa."
"Nggak mas, mas Bayu saja yang pesan, saya kan hanya mengantarkan mas Bayu belanja, dan yang lapar kan mas Bayu, bukan saya."
"Gimana kamu ini, tadi aku minta kamu menemani aku makan, jadi kamu juga harus makan," kata Bayu yang kemudian memanggil pelayan dan memesan makanan serta minuman kesukaannya."
"Mas Bayu..." protes Lastri
"Diam dan patuhlah sama kakakmu!" kata Bayu lalu menaruh jari telunjuknya dimulut, sebgai isyarat agar Lastri tak boleh mengatakan apapun lagi.
Lastri terpaksa diam. Terkadang ada perasaan tak enak ketika Bayu bersikap seperti itu. Tapi sekilas tak ada yang aneh seandainya Lastri menjadi adiknya Bayu. Dia gadis remaja yang manis, berpenampilan apik walau bukan pakaian mahal yang dikenakannya. Rambut panjangnya selalu digelung manis, seperti ketika dia masih menjadi gadis kecil dari gunung. Dan itu membuat penampilannya tampak seperti remaja berwajah keibuan.
"Heiii...! Bos Bayu rupanya ! Apa kabar?"
Bayu terkejut, didepannya berdiri seorang pemuda ganteng berkumis tipis, menepuk bahunya dengan keras.
"Ya ampun Sapto, sakit tau !!" Keluh Bayu sambil meringis.
Laki-laki muda yang dipanggil Sapto terbahak. Lalu duduk dengan santai dibangku didekat Bayu.
"Ini siapa?" tanya Sapto curiga, tapi ia menatap Lastri dengan kagum.
"Itu adikku, hentikan menatapnya, jangan buat dia ketakutan," tegur Bayu sambil memelototi Sapto.
"Oh, adik kamu. Hallo cantik, boleh kenalan dong, namaku Sapto. Sapto Wardoyo."
Lastri diam menunduk, mempermainkan jemari lentiknya.
"Lhah.. adik kamu ini pemalu. Hallo, apa kamu takut sama aku? Aku ini orang baik lho, menggigit sih kadang-kadang."
Bayu menendang kaki Sapto dari bawah meja.
"Auuw... Bayu! Sakit tau!!"
"Bicaramu norak, dia jadi takut tuh!"
"Ma'af, aku nih memang suka bercanda, kamu nggak takut kan? "
Lastri mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis.
"Katakan dong nama kamu."
"Namanya Lastri, dengar baik-baik, Sulastri."
"Yaaah.. kok kamu yang jawab sih, tapi nggak apa-apa, yang penting aku sudah tau siama nama kamu. Masih kuliah?"
"Diam Sapto, kamu seperti reserse saja."
Sementara itu minuman dan makanan pesanan Bayu sudah diletakkan dimeja.
"Kamu mau pesan apa, pesan aja sendiri," kata Bayu sambil meneguk minumannya.
"Oke, aku mau minum es kopyor dan makan nasi rawon."
Pelayan yang masih berdiri menunggu kemudian mencatat pesanan itu dan pergi.
"Aku nggak tau kalau kamu punya adik yang cantik manis," kata Sapto sambil terus menatap Lastri.
"Memang nggak aku kasih tau, soalnya kamu nggak bisa dipercaya."
"Enak aja !! Jangan buat aku mati pasaran dong !"
Sapto adalah sahabat Bayu ketika masih SMA. Karena memilih kuliah difakultas yang berbeda maka kemudian mereka berpiah. Hanya kadang-kadang kalau lagi sama-sama pulang kampung saja mereka bertemu.
Keduanya berbincang kesana kemari, kadang disertai gurauan, tapi Lastri diam saja. Ia benar-benar merasa cangggung dan tak sanggup mengikuti pembicaraan dintara kedua sahabat itu.
"Saya pamit mau ketoilet dulu," kata Lastri sambil berdiri.
"Saya antar?" kata Sapto nakal.
Lagi-lagi Bayu menendang kaki Sapto dari bawah meja, dan Sapto pun meringis kesakitan.
"Adduh.. sejak kapan kamu jadi pemain sepak kaki?"
"Habis kamu usil sih."
Lastri tak memperdulikan kedua sahabat itu, ia terus melangkah menuju toilet. Ketika keluar dari toilet itu, Lastri merasa ingin ber lama-lama meninggalkan majikannya yang asyik bercanda bersama sahabatnya tadi. Habisnya mata Sapto terkadang nakal, dan itu membuat Lastri merasa risih. Ia berjalan sangat pelan, ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahunya.
"Lastrii!! "
Lastri menoleh dan mengenal siapa yang menyapanya. Si penjual buah yang sering ditemuinya setiap kali dia belanja ke pasar.
"Mas Timan... ngapain disini?"
"Barusan nganter buah-buahan pesanan restoran ini. Kamu juga ngapain disini?"
"Nganter majikan aku mas, lagi makan didepan."
"Oh, ya sudah. Kamu sekarang jarang ke pasar ya Tri?"
"Iya, aku kan sekolah, jadi cuma kalau Minggu aku kepasar."
"Baguslah, punya majikan baik, aku ikut senang."
"Aku sungguh beruntung mas. Ya sudah, aku kesana dulu."
"Baiklah, sebenarnya aku kangen sama kamu," kata penjual buah itu lirih, sambil memandangi punggung Lastri yang kemudian menghilang dibalik pintu.
***
Malam itu Bayu sedang melihat acara film di televisi ketika pak Marsudiyang duduk sendiri diteras depan memanggilnya.
"Ada aoa bapak?" tanya Bayu sambil mendekat. Mereka duduk hanya berdua saja.
"Dengar Bayu, kamu ini kan sudah dewasa, sudah sa'atnya mencari isteri."
"Ah, bapak kok tiba-tiba bicara tentang isteri."
"Lha kamu itu apa lupa sama umur kamu? Masa harus membujang terus menerus?"
"Iya, nanti Bayu fikirkan, tapi sekarang rasanya belum ingin."
"Kemarin ibumu bilang, ada anak saudara misannya yang punya anak gadis, cantik, pintar, katanya mau dikenalin sama kamu."
"Nggak bapak, Bayu nggak mau dijodoh-jodohin. Nanti Bayu akan mencari sendiri," sergah Bayu sambil berdiri.
"Tunggu Bayu, satu lagi, bapak ingatkan kamu, jangan terlalu dekat sama Lastri."
Bayu kembai duduk. Perkataan bapaknya ini membuatnya berdebar.
"Apa maksud bapak?"
"Bapak lihat pergaulan kamu sama Lastri itu tampak berlebihan."
"Berlebihan? Bukankah bapak sendiri bilang bahwa Lastri sudah dianggap seperti keluarga kita? Apa salahnya pergaulan saya sama Lastri?"
"Dengar le, ada pepatah jawa yang mengatakan bahwa witing trisna jalaran saka kulina, kamu faham artinya kan?"
"Ya, tapi apa maksud bapak?"
"Kalau kamu keseringan dekat-dekat sama Lastri, bapak khawatir akan tumbuh perasaan yang tidak terduga dihati kamu."
"Maksud bapak rasa cinta?"
Pak Marsudi mengangguk, tapi tiba-tiba Bayu mulai menilai perasaan hatinya terhadap Lastri. Apakah benar karena terlalu dekat kemudian tumbuh rasa cinta? Ah tidak, Bayu hanya menganggapnya sebagai adik, tak lebih. Tapi Bayu tak berani membatah kata bapaknya.
Tiba-tiba ponsel Bayu berrdering. Dari Sapto. Ada apa Sapto malam-malam begini menelpon?
"Ada apa nih, aku sudah mau tidur."sapa Bayu
"Iya, sama, aku juga sudah mau tidur,"jawab Sapto dari seberang.
"Trus kenapa mau tidur pake nelpon segala?"
"Bayu, kali ini aku serius,"
"Serius apa?"
"Bolehkah aku mendekati adik kamu?"
"Apaa?" kata Bayu hampir berteriak.
"Aku jatuh cinta sama Lastri."
"Wong eddann!!"
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment