Friday, March 20, 2020

Lelaki Es (12)

LELAKI ES

12


Aku berjalan sedikit terburu-buru. Han pasti sudah lama menunggu. Sialnya buah-buahan di sebelah toko roti tadi benar-benar menggiurkan, aku tidak bisa menahan diri untuk membeli, dan gara-gara itu aku jadi mengantre di antara pembeli lain.
Tinggal beberapa rumah lagi aku sampai ke tempat papa. Sedikit mual karena memaksakan kaki melangkah ke tempat yang tidak ingin kutuju. Tapi karena janji pada satu-satunya lelaki yang mengisi seluruh hatiku dengan cinta, tangan ini berani mengetuk pintu.
Tadinya kupikir mereka tidak akan menutup pintu, tapi bisa jadi karena ini sudah malam.
Pintu dibuka ... seorang wanita paruh baya menganga. Sebelah tangannya menutup mulut yang terbuka. Tapi kedua manik mata tak bisa memungkiri betapa terkejutnya ia menyaksikan aku berdiri di sini.
Wajahku datar, sampai seorang lelaki datang dengan langkah lambat.
Aku melewati wanita di depanku dan menyalami papa, lalu, ia memelukku dengan mata berkaca-kaca.
“Anak papa,” katanya sambil mengusap rambutku pelan.
Beberapa detik aku membenamkan kepala di pundak yang dulu kekar itu. Membiarkan kenangan masa kecil menari-nari sejenak di dalam ingatan. Tentang bagaimana pundak itu jadi tumpuan saat aku naik di atasnya, berkeliling rumah sambil bernyanyi. Tentang tangan yang menggenggam jari-jariku yang kecil menuju sekolah di hari pertama. Tentang jemari kakunya mengikat rambutku yang mulai panjang, juga tentang tubuh tinggi yang melindungiku dari hujan di atas sepeda motor butut kami dahulu. Ah ... papaku.
Setelah puas aku mengurai pelukan. Dengan susah payah mengulurkan tangan pada wanita di samping papaku ini.
“Tante ...,” ucapku sambil menyalaminya. Ia tersenyum.
“Ayo masuk, Sayang, kamu udah makan?” tanya Tante Dita.
“Han, mana, Pa?” tanyaku.
“Han? Kenapa dia nggak sama kamu?” Papa tampak heran.
“Bukannya dia tiba duluan?” tanyaku.
Papa menggeleng. “Kalian bertengkar?” cecarnya.
Aku menggeleng, dan penuh tanda tanya.
“Kita duduk dulu, yuk! Tante bikinkan teh, ya,” kata Tante Dita.
Papa merangkulku menuju ruang tengah. Ruangan yang samar-samar mengantarkanku pada masa lalu. Sedikit yang kuingat, sebab tempat ini kelihatan berbeda, kecuali foto-foto yang tergantung di dinding. Sepertinya Tante Dita cukup berbesar hati membiarkan foto mendiang mama dan juga fotoku terpajang di sana.
“Sebenarnya Han menelepon papa ngasih tau mau ke sini, terus ... apa yang terjadi? Kenapa kamu sendirian?”
Lalu aku menceritakan kejadian berpisah dengan Han, tadi.
“Ya, udah, tunggu aja ... mungkin Han punya alasan sendiri,” hibur papa.
Alasan sendiri apa? Supaya aku bisa bercengkerama dengan bebas di sini? Justru kalau nggak ada Han, aku jadi mati gaya. Lagi pula ia sudah janji akan selalu ada saat aku sedang di sini. Tapi ini apa? Aku dibiarkan datang sendiri ....
Kamu ke mana, sih? Apa berantem sama penjahat? Emangnya kamu itu super hero yang tiba-tiba ngilang terus tiba-tiba muncul demi membela kebenaran? Kamu itu nyebelin, tau, nggak, sih?
“Mau makan?” tanya papa.
“Nanti aja, Pa.”
“Diminum, tehnya, Rin.” Tante Dita tiba dengan dua cangkir minuman hangat beraroma melati itu.
Aku menuruti dan menyesap tehnya. Lalu, kembali diam.
“Kamu mau istirahat di kamar sambil menunggu Nak Han?” tanya papa.
Cepat aku mengangguk. Sepertinya itu ide terbaik untuk menghindari berlama-lama dekat tante Dita.
Tante Dita mengantarku ke kamar, tidak ada jejak masa lalu di sini. Semua perabotan sudah baru. Entah kalau isinya. Aku sedang tak berminat mencari-cari kenangan lama. Aku sedang sebal dengan suamiku.
Ke mana, sih, dia?
Kuambil gawai di dalam tas untuk menghubunginya. Sial, baterainya habis. Perlu beberapa menit menunggu sampai gawaiku bisa dihidupkan kembali.
Selagi menunggu, aku membersihkan diri ke kamar mandi. Hari ini rasanya lelah sekali. Berendam air hangat sepertinya bisa melemaskan otot-otot yang tegang.
Sejenak aku melupakan Han dan menikmati busa-busa sabun yang berlimpah. Berkhayal menjadi seorang putri di kerajaan antah berantah. Mengusap pelan kulit yang lelah dan cukup sering terbakar sinar matahari akhir-akhir ini.
Setelah puas berendam, aku beranjak ke kamar dengan mengenakan kimono mandi, dan rambut yang basah tergelung handuk.
Saat aku menutup pintu kamar mandi, saat itu juga pintu kamar terbuka. Aku terkejut dan menoleh. Lalu mata kami bertemu.
Entah apa maksud dari tatapannya, rasanya ada ribuan pisau yang meluncur dari sana menembus hatiku. Sedikit pun tak ada senyum terukir di bibirnya.
Ekspresi apa itu?
“Kenapa nggak angkat telepon?” tanya Han.
“Hp-ku mati,” jawabku cuek.
“Kamu dari mana aja?”
“Kan udah pamitan tadi mau beli roti?” Pertanyaan yang aneh menurutku, karenanya bibir ini jadi maju beberapa sentimeter.
Han menyugar rambut, lalu duduk di kursi dekat meja. Ia mengembuskan napas dan menautkan jemari seraya menunduk. Tak lama kemudian ia menatapku dengan mata memerah. Aku balas menatapnya. Memangnya kenapa kalau HPku mati? Apa itu salahku? Seharian kami berada di perjalanan, lalu di mana harus kuisi daya,baterai HPku?
Han berdiri, lalu berjalan mendekatiku.
“Kamu marah?” tanyaku seraya mundur selangkah, memberi jarak pada tubuh tingginya yang kian mendekat.
Han ikut berhenti dan memandangku lekat. Aku tak bisa mengartikan tatapannya.
“Kamu ke mana?” Aku bertanya dengan nada meninggi.
Han lagi-lagi tak menjawab.
“Aku datang ke rumah ini sendirian, tanggung jawab kamu di mana? Kamu bilang mau nunggu tapi kenyataannya kamu pergi nggak tau ke mana! Ngebiarin aku ketemu papa dan tante sendirian, kamu kira mental aku sekuat itu?”
Seperti biasa lelaki di hadapanku ini tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya mendekat dan menghapus jarak lalu menarikku ke dalam pelukan.
“Kamu nyebelin tau, nggak?” Aku memukul pundaknya. “Aku marah!” Aku berusaha melepaskan pelukannya. Tapi malah semakin erat kurasa. Setelah beberapa detik aku baru bisa membebaskan diri, dan lagi, ia menunduk dengan ... mata yang masih merah, kalau aku tak salah lihat.
Hei ... serindu itukah ia padaku? Baru berpisah sekitar dua jam lho? Hmm, tapi itu nggak akan mengubah pendirianku untuk gerakan ngambek malam ini. Aku masih nggak terima dia pergi entah ke mana saat sudah berjanji akan menungguku.
Han berlalu sambil menarik handuk di rambutku menuju kamar mandi.
“Aw!” Aku menoleh sambil bersungut-sungut, bukankah ada handuk lain? Banyak orang bilang, lelaki yang sudah menikah akan semakin suka yang praktis-praktis.
Aku memilih tidur lebih cepat, rasanya sangat lelah. Sayup-sayup kudengar langkah Han di kamar, lalu keluar, kemudian entah kapan ia kembali, sepertinya aku sudah terlelap saat itu.
Pagi-pagi sekali, Han tidak ada di tempat tidur. Ah ... menyebalkan, dia nyuekin aku? Dia nggak ngerasa bersalah ngebiarin aku dateng ke rumah ini sendiri? Dia di mana, sih?
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu melakukan aktivitas pagi seperti biasa. Setelah itu ke luar kamar dan mencari sesuatu yang bisa di makan.
Wanita yang ingin kuhindari sedang sibuk di dekat kompor. Aku tidak mengacuhkannya. Sejenak mencari posisi Han dengan ekor mata. Ah ... itu dia di teras samping bersama papa.
Kalau dilihat dari isi meja makan yang masih utuh, sepertinya belum ada yang sarapan. Aku akan siapkan sarapan istimewa untuk suamiku.
“Sarapan, Rin!” sapa Tante Dita.
“Iya,” jawabku sambil menyendoki nasi goreng buatannya.
Aku akan membuat sesuatu yang ‘unforgettable’ untuk Han.
“Tante mau ke warung sebentar,” ujarnya sambil berlalu.
Kebetulan sekali, aku bisa bebas melancarkan aksi. Baiklah ... pertama-tama mari kita cetak nasi goreng ini membentuk bulatan. Kugunakan wadah bulat lalu seperti main pasir di pantai, kukeluarkan nasinya di atas piring. Selanjutnya saos ekstra pedas yang merah membara kuoleskan di permukaan agar nasinya tampak merah semerah hatiku yang diabaikan.
Kupotong mentimun berbentuk stik panjang dan menaruhnya di atas nasi dengan posisi seperti kedua alis yang sedang menukik. Sosis kugunakan sebagai mata yang melotot mewakili mataku. Lalu untuk bibinya kupotong kulit tomat dengan cara zig zag mewakili mulutku yang menahan diri untuk mengoceh di depannya. Dan ... tara ... inilah nasi goreng emot marah spesial untuk Han.
Segera kuantar ke tempat ia dan papa sedang bercengkerama.
“Selamat makan, Sayang,” kataku sambil menaruh piring nasi di meja, kemudian aku berlalu. Huh rasakan! Itu untuk mewakili isi hatiku. Aku sebal kalau sedang marah malah didiamkan ... aku lebih suka adu argumen dan mengeluarkan semua pikiran. Tapi Han membuatku mati kutu! Aku nggak bisa meledak-ledak di depannya! Ugh! Sasak tinju pun tak tersedia di sini untuk melampiaskan emosiku ... masa iya harus nyasar ke bantal-bantal di kamar ... atau nyari lawan kucing garong daerah sini buat temen berantem?
“Rin ....”
Aku menoleh. “Iya, Pa ....”
“Kamu mau papa temani makan?”
Aku menggeleng.
“Kalau begitu, temani Nak Han.”
Aku menggeleng lagi dan mengempaskan diri di sofa. Sebuah album foto tua di bawah meja menarik perhatian, lalu kuambil.
Papa duduk di sampingku, menemani melihat-lihat album foto itu.
Hanya dalam hitungan detik mataku berkaca-kaca. Semua foto kenangan masa kecilku dengan mama dan papa. Aku menoleh pada lalaki tua di sebelah. Ia tersenyum. Lalu kulanjutkan membalik tiap halaman sambil menyusun keping ingatan tentang sosok mama.
Di halaman terakhir, ada sebuah foto yang membuatku tersenyum.
“Papa juga punya foto ini?” tanyaku.
“Iya, papa dikirimi foto ini dan ada beberapa foto lain.”
“Ririn pernah liat foto ini di rumah orang tuanya Han.”
Papa tersenyum.
“Sama persis, sampai noda di pipi Ririn juga sama.” Aku mengelus foto itu perlahan.
“Itu bukan noda dari foto, memang pipi kamu waktu itu belepotan es krim.” Papa tertawa.
Aku menatap papa sambil mengingat-ingat kejadian di masa itu.
“Lihat aja tangan kamu masih megang stik es krim.”
“Ririn makan es krim sama siapa?”
“Kamu nggak ingat?” Papa mendekatkan matanya ke arah foto. “Papa nggak tau, tapi layaknya sama Han, nih, dia pegang stik es krim yang sama. Dua adiknya nggak ....”
Aku menelisik foto itu dengan teliti. Papa benar! Jadi, apa ini yang dimaksud Han waktu itu? Ayolah ingatan ... kembalilah!
“Ada apa?”
“Eh ... iya, Pa? Nggak apa-apa, kok.”
“Semalam Han tampak sangat khawatir pas nyampe rumah. Tadi dia bilang kamu nggak boleh ke mana-mana dulu hari ini.”
Kenapa, ya kira-kira?
“Ririn ke Han dulu, ya, Pa!” Aku segera mencari lelaki penuh misteri dan susah ditebak itu.
Han tidak ada di teras samping tempat terakhir aku meletakkan nasi gorengnya. Hanya piring yang tersisa, dengan irisan timun berbentuk stik, sosis disusun di atas piring membentuk alis dan mata, lalu biji nasi yang membentuk senyum. Hmm ... dia mengajak berdamai?
Di mana dia? Aku meneruskan langkah ke dalam rumah. Papa dan tante sedang minum teh di teras depan. Lalu, di mana suamiku?
Ah, itu dia, baru saja menutup kulkas. Ia duduk dengan segelas susu segar di tangan.
Tampaknya ia sangat kepedasan, tak hanya bibir, wajah pun ikut memerah. Hidungnya mengeluarkan cairan bening yang berusaha ia hapus dengan tisu. Jujur itu membuatnya terlihat seksi.
“Ehm ... sebenarnya nasi goreng tadi buat papa, dia ... hobi banget makan pedes, he he,” candaku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“Hmm ... it’s oke,” jawabnya sambil berdesis.
“Aku belikan es krim di depan, ya, dulu kamu belinya es krim apa? Waktu kita masih kecil?”
“Apa?”
“Yang kita makan bareng di depan sana?”
“Maksud kamu?”
“Waktu itu aku bilang apa? Aku nggak bisa inget semuanya, apa aku sudah cantik kayak gini? Atau cupu banyak ingusnya? Apa kamu dulu bilang sesuatu sama aku? Cerita dong ....” Aku diam sebentar mengambil ancang-ancang pergi, malu bicara sendiri.
“Tunggu,” katanya menarik tanganku ke balik dinding pembatas antara meja makan dan dapur.
“Kamu mau cerita?” Mataku berbinar. “Aku bilang apa waktu ....”
Aku tak mampu meneruskan kata-kata, sebab bibirnya yang lembut telah menghentikanku. Astaga, kini aku terkena senjata makan tuan, sebab pedasnya nasi goreng telah tertular pula ke bibirku.
“Kenapa?” tanya Han saat menjauhkan wajahnya, melihat kedua alisku bertaut.
“Sekarang aku juga butuh susu,” jawabku berdesis kepedasan.
Han tergelak sambil menatapku. “Maaf,” katanya, lalu pecah tawa kami berdua.
***

Pov Han
Bayangan penembakan di pantai bertahun lalu berkelebat. Telingaku dipenuhi suara teriakan dan kepanikan. Aku nggak mau itu terjadi pada Ririn.
Kupercepat langkah menuju toko roti. Semakin panik saat tak kutemukan dirinya. Kepalaku berdenyut. Keluar ruangan dengan menyapu pandangan ke sekitar dengan cepat. Tak kutemukan. Telepon berkali-kali diabaikan.
Aku harus ke mana?
Papa! Hubungi papa. Benar sekali.
“Ririn sudah sampai, Pa?”
“Baru saja masuk kamar, Nak Han, ada apa?”
Segera kupercepat langkah, menuju rumah papa.
Lelaki paruh baya itu heran melihat penampilanku yang dibanjiri keringat. Tanpa banyak tanya ia membiarkanku masuk kamar.
Lalu ... di sana wanitaku baru saja selesai mandi. Ia masih hidup dan cantik sekali. Bising di telingaku perlahan hilang berganti lembut suaranya. Walau tak kusimak ia berkata apa, tapi aku sangat lega tak terjadi apa-apa padanya.
"Kenapa nggak dingakat teleponnya?"
"HPku mati," jawabnya santai. Lalu dia menyalahkanku karena tak menunggunya.
Aku benar-benar lelah, rasanya hampir putus napas ini memikirkan keselamatannya. Lalu saat bertemu, ia mengomel. Baiklah, setidaknya itu lebih baik dari pada kehilangan wanita menggemaskan ini.
“Aku datang ke rumah ini sendirian, tanggung jawab kamu di mana? Kamu bilang mau nunggu tapi kenyataannya kamu pergi nggak tau ke mana! Ngebiarin aku ketemu papa dan tante sendirian, kamu kira mental aku sekuat itu?”
'Ya, bicara saja, aku rindu mendengar suaramu saat beberapa menit yang lalu kupikir akan kehilanganmu.'
Walau ia terlihat marah, itu tidak penting. Asal dia ada, itu sudah cukup. Kupeluk ia erat sekali.
***

Obat kangen sambil nungguin novelnya. Terima kasih yang masih setia dengan kisah Han dan Ririn. I love u all!

_KAYAKNYA SAMPAI PART 12....TAMAT SELANJUTNYA SILAHKAN MEMBACA VERSI BUKU NOVELNYA_

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER