Friday, March 20, 2020

Lelaki Es (11)

LELAKI ES

11

Sejak pagi tadi belum sekali pun aku melihat senyum terukir di wajah Han. Hingga saat kami berdua duduk di tepi pantai, di atas hamparan pasir putih yang dinaungi rimbun pepohonan, sambil menikmati kelapa muda.
Di hadapanku ombak kecil berkejaran di atas pasir. Suaranya bak instrumen yang dimainkan oleh alam. Begitu apik, begitu syahdu. Lembut meniup daun telinga. Pun anginnya membelai pucuk kepala seperti usapan tangan ibunda saat kecilku.
“Sayang, minum dong.” Kelapa muda kugeser ke hadapan Han. Ia menyeruputnya saat buah itu masih dalam genggaman.
“Mau daging buahnya?” Aku mencoba memecah kekakuan lagi, tanpa menunggu jawaban langsung kusuapkan padanya, biar romantis, gitu. Aku tersenyum sendiri.
Han membuka mulut sambil menatapku, lalu ia menggigit sendoknya dan tak memberikan kesempatan padaku untuk menarik benda itu. Ia sedikit mendelik dan mengambil kelapa muda dari tanganku dan meraih sendok yang digigitnya, lalu menyuap daging kelapa muda itu sendiri.
“Han! Kamu nggak romantis, deh!”
“Kamu minta romantis di saat aku lapar?” Ia terus menyuap daging buah dan sesekali menyeruput airnya. Aku memajukan bibir.
“Sana beli satu lagi,” ujarnya.
Aku bergeming.
“Mana cukup aku minum segini dibagi dua,” lanjutnya sambil menunjukkan buah kelapa yang sudah tandas air dan dagingnya. “ Porsi makanku banyak, makanya badanku tinggi.”
Hei, apa dia mulai mengoceh? Wajahnya tampak kesal tapi kelapa muda kurasa bukan alasannya.
“Porsi makanmu sedikit makanya mungil.”
“Kalau aku setinggi kamu, aku nggak akan jadi guru penjas, tapi model internasional! Dan mungkin nggak akan nikah sama kamu ...,” kilahku.
“Ooh ... oke kalau gitu makan yang banyaklah mulai sekarang! Aku rela kalo kamu bisa go internasional!” Han menekuk wajahnya.
“Nggak ngaruh lagi, kali?” Aku menyugar rambut sambil membuang muka.
Hening ....
Aku sedang berpikir ... kesalahan apa yang telah kuperbuat padanya sampai lelaki yang biasanya menggemaskan ini sedikit jutek. Ah ... sebenarnya saat jutek pun, ia tetap menggemaskan.
Tunggu, jika sejak pagi dia sudah tidak tersenyum, berarti masalahnya ada di waktu malam. Aku mengingat-ingat sambil memijat pelipis. Sesekali kulirik Han yang masih bertopang dagu memandangi laut. Rambutnya yang lembut bergoyang ditiup angin.
Apa mungkin ... karena kertas puisi yang sobek itu?
“Sayang ... kamu marah?” Kuberanikan diri bertanya.
“Nggak ...,” jawabnya tak menoleh.
“Maaf kalau kertas puisinya sobek gara-gara aku ... tapi, kamu udah dapet yang kamu mau, ‘kan?” Aku mengerling sambil menggamit lengannya.
Han menoleh sedikit sebelum membuang pandangannya lagi. Tapi, aku tahu ia menyembunyikan senyum. Ah, suamiku ini ....
“Tapi kamu membuatku memohon pada istriku sendiri,” jawabnya dengan wajah ditekuk.
Aku menunduk menyembunyikan senyum.
“Maaf ... kamu nggak suka? Nggak akan kuulangi, lagi pula itu hukuman karena kamu curang ...!”
“Curang apaan?” Mata Han tak mau menatapku.
“Kamu menyalin puisi yang sama berulang-ulang, iya, ‘kan?”
“Mana ada?”
“Aku tau ....” Aku mencubit lengannya.
Han menggaruk belakang kepalanya sambil meringis, mungkin ia kewalahan menghadapiku? Sudah tahu ia tidak pandai menulis puisi, tapi aku masih saja memaksa. Tapi ... menggodanya kini jadi sesuatu yang mengasyikkan, dan mungkin akan menjadi kebiasaan.
“Maaf ...,” ulangku sambil memandangi wajahnya.
“Suatu saat kamu yang harus memohon padaku, biar impas!” Han berbicara sambil mengangkat alisnya.
Wah, harga diri lelaki ini tinggi sekali. Aku terkekeh.
“Hmm ... aku ragu ... sebab sekarang aku sudah jadi wanita elegan,” candaku tak bisa menyembunyikan tawa.
“Oh ya?” Han mengagetkan dengan sentuhan tangannya di pinggangku.
“Hei! Hentikan, malu.” Aku berusaha melindungi pinggangku.
Bukannya diam, Han semakin menyerang, aku sampai menunduk-nunduk menahan tawa. Mau lari pun tak bisa, ia memegangiku erat. Di sela-sela rambutku yang berantakan, aku bisa melihat tawanya. Aku senang melihat wajah cerianya, tapi aku tak sanggup lagi menahan gelitikan ini.
“Han, tolong hentikan, kumohon ...,” teriakku dengan suara tertahan, malu dilihat orang-orang.
“Barusan kamu memohon?” Han bertanya dengan mata menyipit dan senyum lebar sempurna.
Aku terdiam dan berpikir sambil membetulkan rambut.
“Oke ... oke aku nggak elegan, tapi sekarang kita impas, ‘kan? Jadi kamu nggak ngambek lagi?”
Han mengulum senyum, sementara senyumku mengembang lebar sekali. Kadang seseorang bersikap dingin bukan karena tidak peduli, tapi merasa sulit menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ditemui. Suatu saat, ketika ia merasa nyaman, maka sikapnya akan berubah hangat. Di antara orang-orang itu bahkan ada yang menampakkan sisi kekanakannya. Seperti Han, dan aku tidak keberatan sama sekali. Aku malah senang jika menjadi satu-satunya orang tempatnya bermanja.
“Kita selfie, ya ...,” pintaku. Han diam saja, tapi kuanggap itu artinya ‘iya, aku mau, ayo kita selfie.’
Aku mengeluarkan gawai dari tas dan memasang kamera depan. Momen di mana Han sedang tersenyum malu-malu sangat jarang terjadi. Aku harus mengabadikannya.
“Satu ... dua ... ti ....”
Cekrek.
***
“Besok aku mau ngajak kamu ke suatu tempat yang keren. Tapi ada syaratnya,” kata Han di sela-sela makan malam kami.
“Apa?”
“Habis dari sana, kita ke rumah papa kamu.”
Aku berpikir sejenak sebelum mengangguk. Mungkin ada baiknya kami ke sana, sekedar silaturahmi. Bagaimana setelahnya? Biar kupikirkan nanti. Yang penting aku bisa ke tempat yang dikatakannya keren itu dulu.
Kami masih di meja restoran, walaupun makan malam telah selesai. Aku memilih melihat gawai dan memandangi foto kami siang hingga sore tadi. Tidak hanya di pinggir pantai, aku juga mengambil gambar berlatar belakang ramainya pengunjung saat sedang menaiki wahana banana boat, jet ski, dan kano. Beberapa foto lalu kuunggah ke media sosial.
Komentar-komentar mampir di kolom. Salah satunya dari Riko. Berondong ini sudah di unfriend, sudah kena hajar, tapi masih aja komentar di statusku. Heran, deh.
[Itu, pantai Cacorok, Padang, ‘kan, Rin?] Tulisnya.
[Iih ... sok tau, deh ....] balasku.
[Ririn asli Painan? Kampuang Ririn di situ? Kebetulan ambo urang Padang loh!]
‘Ririn ... Ririn ...’ kek dia yang lebih tua dari aku? Huh ....
[Bukan!] balasku, berbohong.
Setelah itu, Riko malah mengirim pesan lewat WA.
[Wah, kamu lagi seneng-seneng, ya, Rin? Baru dua hari kamu izin, Banyak kejadian di sekolah] Isi pesannya.
Nekat juga ini anak ngajak ngobrol, kayaknya nggak kapok aku hajar waktu itu. Mau aku cuekin, tapi penasaran juga, kejadian apa yang ia maksud?
[Kejadian apa?] Akhirnya aku balas begitu.
[Anak baru yang nempel terus sama anaknya Pak Kades itu, kemaren dikeluarin dari sekolah gara-gara berantem bawa sajam.]
[Berani amat?] Berarti memang pantas lah aku pernah menghajarnya waktu itu.
[Untung anaknya Pak Kades nggak kena juga.]
[Kita harus hati-hati nerima siswa pindahan.] balasku.
[Bener banget.]
Aku tak membalas, tapi si berondong menulis lagi.
[Minggu ini kakakku nikah, aku mau ke Padang.]
Bodo amat, pikirku, lalu segera menutup aplikasi obrolan dengannya.
“Udah? Ke kamar, yuk!” ajak Han.
Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya. Kami berjalan menapaki paving melingkar yang dikelilingi hijaunya taman. Hingga masuk ke villa dan naik ke kamar di lantai dua. Han membuka pintu.
“Malam ini walaupun kamu yang membuatkanku puisi, aku akan memilih tidur,” celetuk Han sambil mengempaskan diri ke kasur.
Aku tergelak. “Pede banget?”
Han memejamkan mata. Aku mendekat dan membelai rambut tebalnya.
“Kamu juga cepet tidur, ya, besok itu perjalanan kita jauh.”
Aku mengangguk sambil berbaring di sisinya, lalu mengusap pucuk kepalanya perlahan. Mengunjungi tiap inci wajahnya dengan ujung jari. Alis yang tebal, bulu mata yang panjang, hidung lancip dan bibir yang mengandung permen.
Ia bergeming, itu artinya sudah tidur. Tapi mata ini enggan terpejam, masih terhipnotis dengan apa yang ada di depan mata.
Sejenak aku teringat kejadian malam itu, saat tiba-tiba saja matanya terbuka dan menunjukkan senyum jenaka. Ah, seandainya saja itu terjadi lagi. Aku tertawa sendiri.
Aku terperanjat saat tanganku digenggam erat oleh lelaki es ini. Dengan mata yang masih terpejam, ia bicara.
“Jangan begitu atau kita nggak akan tidur sampai pagi.”
Aku tersenyum dan segera menarik sebelah tanganku dari wajahnya. Oke, ayo kita tidur.
***
Kami cek out dan memilih naik kendaraan umum menuju tempat yang dijanjikan Han. Duduk bersisian sambil saling menggenggam tangan. Sesekali bercanda dan pecah tawa berdua. Bukan, tepatnya aku yang lebih sering tertawa. Kurasa, aku menyesal menikah, menyesal kenapa tidak dari dulu bertemu lelaki ini.
Setelah hampir lima jam, akhirnya kami tiba. Rasa pegal terbayar dengan pemandangan yang luar biasa keren. Hamparan padang rumput menghijau seluas mata memandang. Ratusan sapi ternak bertebaran mencari makan.
“Selamat datang di New Zealand-nya Indonesia, Padang Mangateh.” Han tersenyum padaku. Ia lalu menemui petugas dan mengikuti prosedur untuk masuk ke peternakan.
Beberapa menit kemudian, kami berjalan kaki mendaki ke arah yang lebih tinggi. Niatnya mengelilingi savana ini, tapi sepertinya nggak akan sanggup, sebab luas sekali.
Udara pegunungan menyapa, sejuk, melapangkan rongga dada. Aku menghirupnya dalam-dalam. Perjalanan menanjak menghadirkan pemandangan kota di bawah sana. Sementara di atas, gunung menjulang tinggi dengan gagahnya. Lalu langit menaungi kami dengan awan-awannya yang putih bersih.
“Sayang, liat ada yang lagi foto prewed” teriakku. “Foto juga, yuk ....” Sejenak aku mengambil gambar dengan latar belakang mirip perkampungan Hobbit itu. Gawai membingkai wajah kami yang dihiasi senyum.
Hampir satu jam berjalan diselingi berfoto dan sesekali berhenti di bawah rindang pohon dan minum dari bekal, akhirnya aku kelelahan juga. Sejak menikah aku jadi guru olah raga yang jarang olah raga. Mungkin juga berat badanku kini bertambah ... dua ons.
“Capek?” Han menoleh. Aku mengangguk dengan napas lumayan cepat.
“Mau kugendong sambil jalan pulang?”
“Mau sih ... tapi takut dibilang reader KBM kek drama Korea ....”
“Apa?” Han tergelak. “Siapa peduli? Ayo naik sebelum aku berubah pikiran!” Ia sedikit membungkuk.
Kesempatan langka, nggak mau aku lewatkan. Baiklah aku naik!
Langkah kaki Han santai di jalan menurun.
“Han ....”
“Hmm ....”
“Suatu saat kalau kita ke sini lagi dengan rambut yang sudah memutih dan kulit mengeriput, apa kamu masih mau menggendongku?”
“Tergantung.”
“Maksudnya?”
“Kalau kamu sudah seberat sapi-sapi itu, aku kayaknya nggak bakal sanggup!”
Aku mengeratkan kaitan tangan di leher Han. “Maksudnya kalau aku gemuk kamu nggak mau gendong aku lagi?”
“Bukan ... aku cuma susah bedain mana sapi mana Ririn ....”
“Han!”
“Becanda ....” Masih tersisa senyumnya yang bisa kuintip dari belakang tubuhnya.
“Jadi kamu tetap mau gendong?”
“Kapan pun kamu mau,” jawabnya mantap.
Hohoho ... indahnya dunia ....
“I love you,” bisikku di telinganya.
“Kamu nggak balas?” tanyaku. “Dipikir-pikir sejak nikah kamu belum pernah bilang cinta sama aku? Ayo bilang!”
“Kamu jadi berat kalau terus-terusan bicara,” jawab Han.
Ah ... dia kumat!
***
Sebelum menempuh perjalanan ke rumah papa, kami makan di Pongek Situjuah.’ Lapar melanda. Pas sekali dengan menu pengunggah selera yang pedas membara.
Sehabis makan, aku sempat mengirim foto ke grup sahabat-sahabatku.
“Jangan suka upload foto di sosmed,” ucap Han sambil menyeruput es tehnya.
“Nggak, kok, Cuma ke Risa, Tina, dan Yeoni, aja,” jawabku.
“Foto yang di fecebook kuhapus, banyak yang komen, takutnya membahayakan kamu sendiri, aku banyak musuh di luar sana.”
Aku mengangguk mencoba menerima kekhawatirannya.
Tak lama teman-temanku menulis komentar yang menyatakan mereka sangat ingin ke sini.
[Ya ... Rin, mupeng pengen ke sana!] tulis Risa.
[Kita nyusul, yuk!] ajak Yeoni.
[Mau ... mau, ongkosin, ya, Yeon ....] ketik Tina.
[Ah ... aku nggak bisa ikut, ada pertemuan sama komunitas emak-emak gendong bayi pake kain batik.]
[Wah, keren wkwkwkwk!]
[Masih nerima anggota, nggak? Tapi gue bukan gendong bayi, diterima nggak?] tanya Tina.
[Lah ... terus siapa yang digendong?] tanya Risa.
[Gendong bapaknya bayi, boleh, nggak?]
[Wkwkwk, dasar!]
[Hayuklah kalau mau ke sini! Tapi cepetan, aku udah mau pulang.]
[Yah ... nggak seru ....]
Chat terus berlanjut tapi aku sudah melanjutkan perjalanan bersama suamiku.
***
Kami tiba di kota Padang saat hari sudah gelap. Masuk kompleks perumahan papa, aku dan Han memilih berjalan kaki. Beberapa langkah setelah melewati pintu gerbang, langkahku melambat. Ragu, kaki ini berat melangkah.
Han berhenti lalu menatapku.
“Kamu ragu?”
Aku mengangguk. “Setelah mama meninggal, aku dan papa pindah, hidup berdua saja sampai aku kelas enam SD. Lalu, wanita itu tiba-tiba datang menjadi istri papaku.”
Han mendengarkanku.
“Aku nggak suka dia, Han.” Kedua mata menatap wajah suamiku yang teduh. “Aku nggak suka ada orang baru yang berusaha menggantikan mama lalu ngatur-ngatur hidupku.”
“Aku memilih sekolah yang ada asramanya untuk menghindari istri papa, lalu saat kuliah memilih tinggal sendiri.”
Han maju selangkah dan membelai rambutku.
“Mencoba menjaga diri sendiri di saat ada orang tua yang bisa kuandalkan tapi diambil wanita lain, itu berat.” Mataku menghangat. Kurasa aku selalu cengeng bila mengingat papa.
Han menarikku ke dalam dekapan, hingga wajah ini terbenam di dadanya yang lebar.
“Kita nggak datang untuk hidup bersama mereka, hanya silaturahmi sebentar saja. Tapi kalau itu memang terasa berat untukmu, ayo kita cari hotel saja.” Han mengurai pelukannya.
Aku bergeming sambil mengelap air mata. Kupandangi sekali lagi wajah Han yang pasrah. Rasanya banyak yang ia korbankan untuk bisa sampai ke sini, menyusun rencana pertemuanku. Semua ini adalah niat baik. Dia pasti bisa mengajakku ke tempat lain jika ia tak peduli hubunganku dengan satu-satunya anggota keluarga yang aku miliki.
“Aku beli roti sebentar di toko seberang sana, papa suka banget segala macem jenis roti.”
Han memelukku sekali lagi.
“Kamu duluan aja, bilang papa siap siap menyambut kedatangan putrinya.” Aku mencoba tersenyum.
“Kita beli roti bareng aja.”
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa, sebentar aja, kok.” Aku tersenyum meyakinkannya sebelum berbalik dan keluar komplek, lalu menyebrang jalan dengan cepat.
Han benar, kami datang sebagai seorang anak, sudah sewajarnya mengunjungi orang tua. Bagaimana nanti setelah bertemu. Biarlah waktu yang akan berbicara. Kini, aku sudah punya Han. Masa depanku adalah bersamanya. Aku telah menemukan bahagia. Sebaiknya tidak terlalu sering menengok ke belakang.
Aku menatap jalanan dengan mantap, semantap langkah kaki menapaki kehidupan ini.

*SELESAI....*

Sampai di sini kisah Han dan Ririn di KBM, lelaki es-nya sudah mencair .... Mau ngintip ada konflik apa di novel? Kira-kira seperti ini:

Pov (Point' of View) Han
Rasanya tidak enak kalau tiba di rumah papa sendirian. Aku akan tunggu Ririn di taman ini. Suasana cukup terang dari sinar lampu taman. Beberapa orang masih lewat, jadi di sini belum benar-benar sepi. Aku memilih duduk di bangku taman dengan koper di sisi.
Sambil menunggu Ririn, aku mengecek ponsel. Tapi wallpaper di layar membuat ingatanku terlempar ke masa itu. Saat semalaman tidak tidur karena mencari informasi perampok toko emas itu, paginya aku tiba di rumah dengan jantung yang berlompatan di rongga dada.
Istriku ... pagi itu cantik sekali, penampilannya sangat berbeda dari biasa. Dan ia ... sedang menyiram bunga di rumah mama. Ia dan taman bunga, perpaduan yang sangat sempurna.
Lucunya, bibirku malah berkata lumayan. Lalu diam-diam mencuri foto dari balik jendela. Dan inilah hasilnya, foto yang kucuri waktu itu, entah kenapa malam ini menjadi teman saat menunggunya. Ia baru saja pergi, tapi rasanya sudah sangat lama.
Menit berlalu tapi Ririn belum juga tiba. Ini sudah terlalu lama. Salahku, kenapa membiarkannya sendiri. Aku protektif dengan media sosialnya, tapi malah abai dengan dunia nyatanya.
Aku bersiap menyusul Ririn saat ponselku berdering. AKBP Bambang menghubungi. Satu-satunya orang yang tahu aku di kota ini.
“Han?”
“Siap, ‘Dan?” Entah kenapa perasaanku tidak enak.
“Maaf mengganggu cutimu. Tapi kau harus tau, buronan narkoba yang kau kejar waktu itu kini ketemu jejaknya di kota tempat kamu ada sekarang.”
Aku berdiri dengan jantung berdegup kencang. Langsung ingat pada keselamatan istriku. Semoga saja dugaanku salah.
“Kami sudah koordinasi dengan teman-teman di sana, Han. Tapi kamu tetap harus hati-hati, karena sepertinya dia dendam padamu!”
“Baik, Dan!” Saat mengatakan itu, aku sudah berlari ke arah toko roti dan sangat berharap menemukan istriku di sana.
***
Ke mana Ririn?
Bagaimana ia berdamai dengan masa lalunya dan berubah jadi wanita lembut?
Aksi apa yang akan dihadapi Han? Yang jelas penulis nggak akan mengambil tokoh dengan latar pekerjaan seperti Han jika tidak ada actionnya.
Berhasilkah Han menulis puisi untuk Ririn?
Nggak hanya bikin ketawa aja, di novel bakalan ada haru birunya. So ... tunggu open POnya ya ....

_masih ada bonus part 12....._

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER