*LELAKI ES*
10
“Kamu lagi siap-siap?” Han berdiri di belakang saat aku sibuk dengan koper.
“Iya.” Aku menjawab sambil menutupi beberapa pakaian dalam. Lagian kenapa aku menaruhnya di bagian atas, sih? Atau ... kenapa juga Han harus mengintip di saat-saat seperti ini.
Lihat, dia mengulum senyum sebelum giginya terlihat sempurna. Dia menertawakan tingkahku. Puas? Huh ....
“Sana tunggu di luar aja,” sungutku.
“Kalau aku nggak mau, gimana?”
Kututup kopernya cepat sampai-sampai memeluk benda itu seolah melindunginya dari pencuri. Han terkekeh. Mungkin dia berpikir aku aneh. Buat apa disembunyikan toh Han sudah pernah melihatnya. Duh ... tapi kan malu!
“Jadi pengen jadi koper ...,” ujar sebelum menghilang di balik pintu.
Apa? Tuh kalau orang jarang ngomong, sekalinya ngomong jadi ngaco, kan? Kenapa harus jadi koper kalau ada aku, Sayang .... Aku senyum-senyum sendiri.
Aku sudah selesai. Pakaian suami juga sudah. Waktunya berangkat! Perjalanan pertama dengan seorang cowok, dan itu adalah suamiku sendiri. Rasanya berdebar-debar seperti balik lagi ke zaman sekolah. Ah ... dasar Ririn norak! Aku mengulum senyum, lalu menarik koper keluar kamar. Di sana, Han tersenyum menatapku.
***
Di dalam pesawat, aku duduk di sisi dekat jendela. Sementara Han di sebelah, di sisi dekat lorong.
Seperti biasa, lelaki itu lebih banyak diam. Pandangannya lurus ke depan, sesekali bertopang dagu. Sesekali melirikku sambil tersenyum. Tapi di antara semua gerakannya, tidak pernah sekalipun mengajakku bicara. Tapi, itu tidak terlalu buruk, atau, tidak juga berarti ia cuek, sebab di atas tangan kursi, ia menggenggam jemariku, erat.
Ya, itulah Han, suamiku. Ia tidak akan bicara sebelum aku yang mengajaknya terlebih dulu. Sayangnya, dalam perjalanan kali ini, aku juga memilih untuk lebih banyak diam. Entah karena mengantuk atau kebanyakan berpikir ke hotel mana Han membawaku. Atau mengingat-ingat detail yang dilakukan Han semalam? Hingga sampai sekarang masih menyisakan malu di hati ini. Entahlah, semua tentang Han kini merah jambu.
Menit berlalu, mataku mulai mengantuk, tapi beberapa kali seorang pramugari lewat dengan troli dorongnya dan menawarkan makanan dan minuman, membuatku urung terlelap. Apa hanya aku yang merasa ... gadis itu menawarkannya terlalu sering? Terutama pada Han? Apa aku berlebihan berpikir seperti ini?
Sikap dingin Han kadang ada untungnya juga. Kepada seorang pramugari yang tinggi dan cantik itu, ia hanya melempar senyum sekilas. Sesekali menggeleng untuk menolak. Atau bertanya padaku terlebih dahulu apakah ingin makanan atau minuman yang ditawarkan atau tidak.
“Sayang, coba kita duduknya tuker sebentar, aku mual dekat jendela,” pintaku akhirnya.
“Hmm ....” Han mengangguk lalu berdiri. Kami bertukar tempat duduk. “Tidurlah,” katanya sambil meraih kepalaku dan memberikan pundaknya.
Sejujurnya, aku tidak mual, tapi kalau mengantuk, itu benar. Hanya ingin membuktikan dugaanku saja, apa dengan berpindah duduk di sini troli dorong dengan orang yang sama itu akan lewat sesering tadi? Atau tidak?
Menit berlalu, dan sepertinya dugaanku benar. Ia tak lewat sesering tadi. Hmm ... aku bisa tidur dengan tenang. Kamu tahu, lelaki es ini adalah suamiku. Tak kuizinkan siapa pun menggodanya. Aku mengulum senyum sambil berusaha memejamkan mata.
***
“Han!” Aku berteriak dan refleks memeluknya saat tiba di kamar hotel. Sebuah tempat dengan konsep alam dan kolam renang di dataran tinggi. Sementara di bawah sana lautan terhampar luas dengan warna biru, sebiru langit.
Villa-villa kecil bergaya bohemian mengelilingi dua kolam luas di dataran tinggi ini. Lalu dari lantai tempat kami berada, balkonnya tepat menghadap lautan. Benar kata Han.
Di sini nuansa hijau bak permadani menyelimuti bumi, di beberapa bagian paving bersusun membentuk jalanan yang melingkar indah. Sedikit pepohonan tak mengurangi hawa sejuknya. Di depan sana nuansa biru dari laut dan langit tersaji dengan sempurna memanjakan mata. Lalu ada Han di sini, membuat semuanya menjadi sempurna.
“Kamu suka?” Sebuah kejutan menyalakan percik di hati. Membuat debaran tak menentu. Tangannya melingkari pinggangku.
“Ya, thank you, Han!” Kuberanikan diri berbalik dan mengalungkan tangan di kedua pundaknya, lalu mengecup pipinya sekilas.
“Curang ah, kamu maunya dipanggil ‘sayang’, masa aku dipanggil nama?” Bibirnya bersungut-sungut merajuk, tapi aku melihatnya seperti permen. Sedikit merah jambu dan mengkilat di bawah sinar matahari sore.
“Han kan singkatan dari ‘Honey’ ..., Hon (Han) ... Honey?” ucapku.
Lalu, permennya mampir ke bibirku. Manis, lembut, dan ada sensasi mint-nya. Ah, mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi ... itulah yang kurasakan. Kini, aku seperti berada di dunia permen berwarna merah jambu.
Han menarikku ke dalam ruangan, menutup pintu dengan ujung kaki, sebab tangannya sedang sibuk dengan kemejaku. Sementara ku menyeimbangkan diri agar tak terjerembap karena sejak tadi aku telah mundur beberapa langkah ke belakang akibat dorongannya ya g disertai napas memburu. Lalu, sekarang harus apa? Haruskah mengikuti Han, sibuk dengan kemejanya juga? Apa itu tidak terlalu agresif? Lagi pula aku bisa jatuh jika melepaskan tanganku dari pundaknya.
Ingin bertanya, Han, apa ini tidak terlalu cepat? Kita baru saja sampai? Tak bisakah tunggu sebentar? Tapi ... sesuatu yang lembut dan beraroma mint selalu menghalangiku untuk berbicara hingga kemeja akhirnya luruh ke lantai.
Sedetik setelah tubuhku mendarat di kasur, ia membisikan sesuatu ke telinga, kukira ia akan mengucapkan kalimat romantis seperti aku cinta kamu atau semacamnya. Tapi ....
“Jangan berisik,” katanya sambil tersenyum.
Ternyata bukan, kalimat antimainstream itu yang keluar dari bibirnya. Benar-benar di luar ekspektasi. Dasar Han!
***
Dari balik selimut, foto yang sempat kuambil saat baru tiba tadi, segera kuupload ke sosmed. Beberapa gambar villa dan birunya laut. Tidak lama kemudian, grup WA ramai seperti biasa, sobat-sobatku, yang tergabung dalam persatuan emak-emak kepo nyobek bumbu mi instan nggak pake gunting, membanjiriku dengan berbagai pertanyaan.
“Kamu di mana, Rin?” tulis Risa.
“Iiih ... nggak ngabar-ngabarin!” balas Tina disertai emot marah.
“Semoga bersenang-senang, ya, Say!” ujar Yeoni diikuti emot peluk.
“Ririn, ih ... belah duren nggak ngasi tau! Bagi-bagi donk durennya, jangan yang udah jadi tenpoyak!”
“Ya, tempoyak juga nggak apa-apa, Rin, sedep juga asem-asem gimana gitu, aku biasa pakai buat toping donat!"
Setres! Ya ampun, kasian amat itu tempoyak dibawa-bawa. Aku tergelak.
“Cerita donk, Rin! Gimana gimana?”
“Nangis nggak, Rin?” kerik Tina disertai emat ngakak guling-guling.
“Mau tau aja, sih, kan pada udah pernah?” ketikku diikuti emot menjulurkan lidah.
“Ah ... Ririn, nggak seru ih ... pelit!”
“Iya!”
“Cerita donk, yang detil, wkwkwkw!”
Aku ikut tertawa, super kepo banget, sih.
“Cerita dengan detil?”
Eh? Itu suara Han! Dia mengintip chatku dengan teman-teman. Aku segera menyembunyikan gawai ke dalam dekapan.
Han yang berbaring di sebelahku mengambil posisi duduk.
“Temen-temen kamu mirip reader kabe’em deh, minta yang detil-detil.” Ia bergumam, sambil menurunkan kedua kaki ke lantai. “Kamu bales apa?”
“Aku bilang, beli aja novelnya, Lelaki Es!” jawabku semringah.
“Nah, pinter ....” Han mendekati meja dan menuang air minum.
Aku melewatinya menuju kamar mandi, tapi tangan Han yang kuat menahanku. Aku menoleh. Mataku membulat.
“Ikut!” katanya.
“Heh!”
“Aku juga mau mandi.”
“Aku duluan!”
“Bareng!”
“No!” Aku mempercepat langkah, Han mengikuti.
“Kamu imut kek spons sabun.”
“So?”
“Barengan ....”
“Rayuan kek gitu nggak mempan, ya, kamu harus bikin puisi dulu!” ujarku mengintip di balik pintu, lalu menutupnya. Aku terkikik, sepertinya ini sisi lain Han dan hanya aku yang tahu.
Selesai mandi kulihat Han menatap gawaiku dalam genggaman.
“Kamu upload di Facebook dan Instagram juga?” tanyanya dengan wajah serius.
“Iya, kenapa?”
“Coba lihat yang like, kenal nggak?”
Aku menyipitkan mata. “Ada beberapa, sih, yang nggak kenal.”
“Hapus aja, nanti ada yang jahat, kalau sama aku, sih, nggak apa-apa, takutnya ke kamu.”
Sedemikian hati-hatinyakah hidup Han? Tapi kan di FB nggak ada keterangan aku istrinya siapa? Kecuali ada yang kenal seperti teman-teman ngajar. Tapi apa iya membahayakan?
Aku meraih gawai dan menatapnya ragu.
“Satu lagi, jangan suka bagi-bagi duren, dosa!” Han berlalu masuk kamar mandi.
“Hah? Apa?” Mengerti arah pembicaraannya ke mana, wajahku memerah antara menahan tawa dan malu secara bersamaan. Ah ... Han! Aku menutup muka sambil menggeleng berkali-kali. Dia tahu semua apa yang aku lakukan!
***
Malamnya, kami makan malam bersama tamu yang lain di pendopo dekat kolam renang. Semua menu khas nusantara, walaupun di antara tamu juga banyak turis. Nuansa kedaerahan tampak kental dengan alunan musik daerah setempat.
Tidak banyak yang aku dan Han lakukan setelah makan malam. Mungkin karena lelah, aku hanya mengambil foto kami berdua di bawah kerlip lampu yang digantung menyerupai atap. Juga di bawah lentera yang menyala redup. Setelah itu kami kembali ke kamar karena kelelahan.
***
Pagi hari udara menusuk tulang, tapi Han memaksaku bersiap untuk pergi ke suatu tempat. Setelah sarapan, kami menyewa mobil ke tempat yang dimaksud suamiku.
“Kamu ingat jalanan dan tempat-tempat di sini?” tanya Han.
“Nggak ingat ...,” jawabku lirih sambil melihat ke arah jendela.
“Kamu lahir di kota ini,” ujar Han.
“Ya.”
“Sudah berapa lama nggak pulang?”
“Pulang?” Aku ragu dengan kata itu, selama ini tidak pernah ada tempat untuk pulang. “Terlalu sering pindah, aku nggak tau ‘pulang’ itu ke mana? Nggak ada tempat yang benar-benar berkesan buatku.”
“Tempat ini?”
“Sama saja ....”
“Kalau sekarang ... setelah ada aku?” tanya Han.
“Ya, baru sekarang aku punya tempat untuk pulang.”
“Kamu selalu punya tempat, tapi kamu sendiri yang nggak mau mendatanginya.”
Han menghentikan mobil.
“Ingat rumah itu?” tanya Han.
“Iya, ingat sedikit.”
“Halamannya?”
“Dulu nggak seperti itu.”
“Di situ, dulu aku pernah makan es krim berdua sama cewek cantik.”
“Iiih ... kamu genit! Pasti mantan kamu banyak!”
“Katanya aku nggak romantis, mana mungkin punya banyak mantan?”
Iya juga.
“Kalo kamu, pernah nggak makan es krim sama cowok?”
“Nggak inget ....”
Han menjentikkan jarinya ke keningku.
Tidak lama kemudian seseorang keluar dari rumah itu. Seorang pria di tas 50 tahun, sebagian rambutnya telah memutih. Mataku membulat, jantungku ingin melompat dari tempatnya.
“Papa ....” Ada kerinduan yang membuncah-buncah dalam dada, walau terakhir ketemu waktu akad nikah, tapi kami nggak saling bicara. Hanya sekedar basa basi. Kaku. Karena ada sosok perempuan yang berada di sampingnya.
Perempuan yang kini juga sedang membawa secangkir minuman dan menemani papa duduk di teras.
“Masuk, yuk!” ajak Han.
Aku menggeleng cepat. Air mata yang memaksa keluar cepat kuseka dengan punggung tangan.
“Ayolah ... berdamai dengan hatimu sendiri.”
“Nggak ada yang salah dengan hati aku. Papa yang salah menjatuhkan pilihan pada perempuan itu! Perempuan yang memaksa jadi pengganti mama.”
“Dia datang bahkan saat mama sudah lama pergi, Sayang.”
“Nggak, kamu nggak tau dia seperti apa.”
“Lalu mau sampai kapan? Lihatlah papa semakin menua, dan kamu anak satu-satunya.”
Aku bergeming, di antara rindu dan benci yang memenuhi rongga dada.
“Aku sayang papa.” Akhirnya bulir bening itu luruh juga. “Tapi aku nggak mau ketemu istrinya ....” Tak tahan lagi isakan itu keluar juga.
Han merengkuh pundakku.
“Tolong jangan sekarang ... tolonglah, Han, aku belum siap.” Suaraku terdengar gemetar.
Han mengeratkan pelukannya.
***
Hari sudah mulai gelap saat kami tiba di villa. Di jalan kami banyak berhenti mencicipi jajanan pasar. Kujalani hari dengan lebih banyak diam. Jujur, wajah renta papa seperti mengikutiku ke mana saja. Hingga tiba di kamar, perasaan tak enak itu tidak mau pergi.
Aku jadi malas mandi dan berdiam diri di balkon.
“Bagiku, bagaimana aku dan bagaimana kamu nggak akan merubah apa pun tentang kita, Han. Aku nggak peduli bagaimana kamu, masa lalu kamu, pekerjaan kamu, sifat jelek kamu. Karena Allah telah memilihkan kamu untukku, maka aku terima semua yang melekat padamu. Entah kalau kamu ... ingin menjadikan aku seperti apa ....” Aku mengatakannya sambil menatap langit, tapi aku tahu, di dalam Han sedang menyimak.
“Aku juga begitu,” jawabnya berdiri di sampingku.
“Lalu kenapa kamu ingin aku berubah? Ingin aku berdamai dengan hatiku sendiri? Bagaimana kalau sifat kasarku nggak ada kaitannya sama sekali dengan masa laluku? Bagaimana kalau aku akan kasar selamanya?”
Han berjongkok di depan kursi yang aku duduki.
“Kadang seseorang datang untuk mengubah kita bukan karena kita nggak mampu jadi lebih baik dengan kemampuan sendiri. Tapi, karena orang itu lebih mengenal kita dibanding kita sendiri.”
Mata kami bertemu di bawah langit yang bersih tanpa awan.
“Sejak kapan kamu mengenalku? Baru seminggu yang lalu, ‘kan?”
“Sejak kita makan es krim berdua.”
“Kapan?”
“Coba saja ingat sendiri.”
“Han ....”
Ia tersenyum menatapku dengan binar mata yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Bersambung.
Bonus
Pov Han.
Kamu nggak tau aku menyisihkan gaji berapa lama untuk bisa menyewa tempat ini jika harus ditinggal tidur begitu saja? Apa salahku mengajak ke rumah itu sangat besar sampai harus dihukum seperti ini?
Apa kamu nggak ngerasa di sini sangat dingin, dan di luar sedang hujan. Kamu nggak mau aku ada dalam selimut yang sama?
Tega kamu, Rin ....
Oke, kertas ke sepuluh, akan kubuat puisi romantis ke sepuluh. Agh ... kenapa pula syaratnya harus berima?
Baiklah, ayo gabungkan beberapa lirik lagu, lalu ubah seperlunya.
“Sayang ... tiga bait, ‘kan, ya?”
Ia menggeliat dan tampak menggemaskan seperti spons sabun.
Matanya tidak terbuka sedikit pun. Tapi aku tahu ia belum tidur.
“Lima belas, Honey ....”
Jadi aku bakal duduk di sini sampai subuh? Oke ... tiga bait kusalin tiga kali, jadi pas lima belas.
Tulisan sebaiknya dibuat sedikit abstrak, biar dia nggak bisa baca.
“Sayang, udah selesai.”
“Mana?”
Ririn mulai membaca, di bait ke tiga, aku menarik kertasnya, membolak baliknya beberapa kali.
“Udah lima belas tuh.”
“Aku mau nilai dulu, harus baca semua.” Ririn merebut kertasnya, aku menghindar, kalau ketahuan aku menyalin, bisa-bisa puisinya nambah jadi lima belas lembar! Ia berusaha lebih keras lagi merebut kertas, sampai selimutnya kacau. Aku terpaksa meninggalkan tempat tidur karena Ririn terus mengejar. Lalu rebut-rebutan kertas itu berlangsung lama. Tahu sendiri kegigihan Ririn.
Tolong ... apa harus begini sampai pagi?
_Bersambung....._
No comments:
Post a Comment