Friday, March 20, 2020

Lelaki Es (9)

*LELAKI ES*

9


Sore ini langit mendung. Beruntung aku tiba di rumah sebelum hujan. Setelah mandi dan membersihkan diri, aku mencari sesuatu di lemari pendingin untuk di masak. Lalu ... pilihan jatuh pada mi instan, yang letaknya tidak dalam lemari pendingin. Hanya sayuran dan telurnya yang kuambil dari sana sebagai pelengkap. Oh, ya, cabai yang banyak tentu saja. Hmm, ini bakal menjadi santapan yang sempurna di suasana dingin.
Han tiba tepat saat masakanku matang. Ia kehujanan dan ... terlihat kedinginan.
“Kamu mau mandi air hangat?” tanyaku.
“Hmm,” jawabnya mengangguk.
Aku ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat dan handuk kering untuknya, lalu kembali ke dapur.
“Silakan mandi, Tuan.” Aku tersenyum.
Ia berdiri dari kursi di sisi meja makan dan berlalu, meninggalkan mangkuk yang sudah kosong. Itu ... mangkuk mi instanku. Hmm, cekatan sekali dia makan? Apa dalam hal lain juga begitu? Aku terkikik sendiri sambil memasak satu bungkus mi lagi.
Han selesai mandi saat aku selonjoran di depan tv sambil makan. Ia duduk di sisi sambil sesekali bersin. Tepat saat aku selesai minum dan meletakkan mangkuk di samping, tubuh Han rebah di depanku, kepalanya tepat berada di atas pangkuan. Tangannya bersedekap di depan dada dan sepasang mata yang biasa menatap tajam itu sedang mencoba untuk terpejam.
Sedikit terkejut, aku menarik napas dalam. Lalu berpikir sebaiknya apa yang harus dilakukan? Tapi tampaknya aku terlalu lama berpikir, jemari Han lebih dulu menarik tanganku dan meletakkan dengan lembut di pucuk kepalanya.
Sejenak aku terdiam, rambutnya yang hitam dan tebal masih menyisakan sedikit sisa air mandi. Aroma segar dari sampo menguar menggelitik indra penciuman, lalu tanpa bisa kucegah, jemari ini memainkan ujung-ujung rambutnya yang masih basah. Mencoba menularkan hangat dari dalam diriku. Lalu kulihat sepasang mata lelah itu perlahan mengatup.
Imajinasi melangit tanpa bisa dicegah saat melihat tengkuknya yang bersih dan ditumbuhi rambut-rambut halus. Andai diri ini sedikit berani, ingin sekali menyentuhnya. Aku tertawa sambil memukul kening sendiri, lalu menggeleng berkali-kali. Ini faktor usia atau akibat berdua saja di tengah hujan yang mengguyur bumi di luar sana, ya? Seandainya karena faktor umur ... berarti tambah tua aku bisa tambah genit dong sama suamiku? Hahaha, lagi-lagi aku terkikik sendiri.
Acara di televisi tidak cukup menarik perhatian. Ada sesosok makhluk yang lebih indah untuk dinikmati mata saat ini. Hingga hampir magrib, akhirnya aku berani membangunkannya.
“Bangun, Han, udah mau magrib,” bisikku di telinganya.
Mata Han terbuka perlahan, lalu ia menengadah ke wajahku. Kenapa? Aku cantik, ya?
“Aku lapar ...,” ucap Han.
“Kita masih punya banyak nasi,” jawabku sambil menertawakan kenyataan yang di luar ekspektasi.
“Syukurlah, kukira kamu bakal bilang masih banyak stok mi.” Han tersenyum.
“Tenanglah, nanti kita bikin nasi goreng habis solat magrib,” hiburku.
Han mengangguk, lalu beringsut dengan malas ke posisi duduk. Ia kembali terkulai dalam pelukan. Tapi aku tahu itu hanya pura-pura.
“Ayo, bangunlah, bayi besar!” Aku terkekeh.
***
Han tak mengizinkanku memasak untuknya.
“Aku yakin buatanmu nggak seenak masakanku,” katanya.
Hmm ... kok dia tau, sih, aku nggak bisa masak? Baiklah, setidaknya bikin bawang goreng, aku bisa.
“Selamat makan,” kataku saat Han duduk menyajikan dua piring nasi. “Dari hiasan lalapannya nasi goreng ini pasti enak,” ucapku memuji hasil kerja sendiri. Yah, menghias selada dan timun serta menabur bawang goreng adalah satu-satunya yang kulakukan.
“Ngaruh, ya?” selidik Han.
Aku tertawa sambil melahap nasi goreng buatannya. Dan ini sangat enak. Mataku membulat di setiap suapan. Lalu, setiap mataku membesar, Han akan tersenyum. Begitu terus sampai nasi di piring habis tak tersisa.
Malam mulai meninggi, hujan belum juga reda, waktu isya sudah lewat. Saatnya bersantai sambil membaca novel. Namun, Han menarik bukuku.
“Mau main kartu?” tanyanya.
Aku mengernyit.
“Yang kalah dapat hukuman!” Seringai mencurigakan menghiasi wajahnya yang tiba-tiba terlihat nakal.
“Oke!” jawabku seraya beranjak dari sofa dan turun ke karpet, lalu duduk bersila hadapan Han.
Ia mulai membagikan kartunya.
“Hei, sepakati dulu, apa hukumannya,” kataku.
“Yang kalah nyium yang menang!”
“Iiih ... kamu menang banyak, donk!”
“Kamu nggak suka dicium?” Han memajukan wajahnya. Aku terkekeh.
“Yang kalah jawab dua pertanyaan dengan jujur!” Aku sedikit memaksa, ada pertanyaan yang malu kuutarakan sejak tadi.
“Oke, nggak masalah, ayo mulai!” Han mengambil satu kartu.
Permainan pun dimulai, tampaknya lelaki di depanku ini cukup serius ....
“Kamu kalah!” Aku terlonjak.
Han mulai memunguti kartu-kartunya.
“Pertanyaan pertama.”
“Siap!”
“Udah beli tiket buat honeymoon, belum?” tanyaku.
“Siap, sudah!”
“Ke mana?” Mataku berbinar penasaran.
“Pokonya ke tempat yang indah dan alami,” jawab Han.
“Pegunungan atau pantai?” cecarku.
“Dua pertanyaan doang, jangan curang!” Han menjentikkan jarinya di keningku.
“Pelit.”
“Kalau mau tanya lagi harus menang lagi!” jawabnya.
Baiklah, setidaknya Han nggak lupa janjinya, ah ... aku senang sekali. Gara-gara ini jadi kurang konsentrasi bermain kartu. Aku jadi kalah, deh.
“Pertanyaan pertama.”
“Silakan, Tuan.”
“Adakah orang yang paling kamu benci?”
“Ada.” Ah, kenapa Han bertanya seperti ini? Tapi nggak dijawab, ini tantanganku sendiri ....
“Siapa?”
“Istri papaku yang sekarang.” Kurasakan raut wajah ini berubah. Apa Han menyadarinya?
“Oke kita lanjut!” Ia tersenyum seolah ingin mencairkan suasana. Tapi, itu berat buatku. Walau selintas bayangan wanita itu lewat di kepala, tapi sudah mampu membuat moodku turun seperti ini.
“Aku kalah,” ujar Han, sepertinya dia pura-pura supaya aku semangat lagi. “Mau tanya tentang honeymoon lagi?” Ia tampak melebarkan senyum.
Aku mengangguk. “Pegunungan atau pantai?” Aku mengulangi pertanyaan tadi.
“Keduanya!” jawab Han yakin. “Aku memesan tempat di atas bukit di mana kamu bisa memandangi lautan dari jendela.”
“Benarkah?”
Han memgangguk.
Oke, cukup, hanya dua pertanyaan. Kami lanjut main. Hatiku mulai menghangat lagi. Kali ini cukup alot, tampaknya Han sedang serius. Mungkin ada sesuatu yang sangat ingin ia tanyakan padaku. Benar saja ... aku kalah.
Aku melihat matanya sangat tajam menatapku. Senyumnya pun terlihat aneh. Ia memajukan tubuhnya sedikit.
“Siapa orang yang paling kamu cintai?”
“Ehm ... ehm ..., kamu ....” Pasti wajahku sekarang semerah kepiting rebus.
Gawat, Han merangkak maju, senyumnya makin terlihat aneh. Tapi, aku lebih aneh lagi karena mundur teratur seiring gerakan majunya. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih cepat, berpacu dengan derasnya air hujan yang berlomba mencapai atap rumah. Sesekali suara guntur menggelegar. Tapi Han tak gentar, ia datang. Ada hangat yang menjalari pipi saat wajah Han kini begitu dekat. Apa yang akan dilakukannya?
“Aku mau kamu malam ini, kamu mau?”
Buk.
Tubuhku jatuh di karpet, sementara Han kini menatapku dari atas. Aku memejamkan mata sambil menggeleng sekuat tenaga.
“Kenapa?” Wajah Han terlihat serius. “Waktu itu kayaknya kamu coba merayuku?” Han mengunci tubuhku dengan tatapannya.
“Aku nggak mau sekarang sebab nanti kamu bakal batalin honeymoonnya!” jawabku sambil menatapnya.
Han tergelak. Ia kembali ke posisi duduk.
Selagi dia lengah, aku berlari ke dapur dan mencari air, tiba-tiba aku merasa sangat haus. Aku menenggak habis air sampai lupa duduk. Tiba-tiba lelaki itu sudah ada di belakangku. Bahkan saat aku menoleh, mataku tepat bertemu ujung dagunya. Ah ... bikin aku semakin berdebar.
“Mau apa?”
“Mau ambil minum juga,” jawabnya sambil tersenyum. Aku cepat-cepat menyingkir dari sana. Kalau lebih lama bisa-bisa aku jadi patung es.
Aih ... kenapa aku ini? Kenapa saat berhadapan langsung dengannya jadi keringet dingin begini, sih? Giliran lagi sendiri kayak kemaren, udah pede bener ... dandan abis-abisan. Lah giliran orangnya udah mau, akunya jadi kayak orang-orangan sawah kesiram aer, kaku, keringetan! Payah ... payaaah ... aku menagacak rambut sendiri. Pengen ngacak rambut suami nggak berani.
‘Plis’ deh, Rin, umur udah 27 tahun, kelakuan masih kayak anak kecil. Bukannya ini yang kamu tunggu-tunggu? Iya, tapi aku nggak tau kalau suasananya bakal beda. Selama ini Han terlalu banyak kejutan. Jadi saat dia meminta izin, akunya malah ketakutan? Hei, bukannya itu sopan? Ini kan untuk pertama kalinya? Masak iya dia maksa-maksa? Dua sisi hatiku berperang saat aku mondar-mandir di dalam kamar.
Baju sudah basah di beberapa bagian akibat keringat berlebih. Sebaiknya ganti baju saja dulu. Aku membuka lemari saat Han tiba dan ikut berdiri di belakangku sementara tangannya ikut memilah baju.
“Ngapain?” Aku terperanjat untuk ke sekian kali.
“Mau ambil baju,” jawabnya cuek.
Kan bisa gantian, sih? Aduh ... Han, kamu ini! Entah kenapa rasanya malu berganti baju di sini. Aku berbalik dan memilih keluar.
Detik selanjutnya suara Han memanggilku.
“Rin ... aku nggak akan ganggu lagi, ayo tidur!”
“I ... iya!” jawabku dari dapur.
“Oke, aku tidur ....” Terdengar suara Han dari dalam kamar.
Aku menarik napas dalam dan mengutuk kebodohan sendiri. Berkali memukul kepala. Lalu, dengan langkah lemas kembali ke kamar. Han tampak sudah terpejam. Sementara aku duduk menunduk di sisi ranjang.
Anugrah istri terpayah of the year jatuh kepada ... Ririn! Yah ... itu aku ... aku! Tidak salah lagi.
Aku memandangi wajah Han yang telah terlelap. Ia terlihat imut. Lalu, kejadian sejak kami menikah mulai berkelebat dalam ingatan. Sepertinya aku tak pernah berhenti menggodanya. Kini, perasaan takut itu muncul malah saat Han meminta izin padaku. Benar ... benar payah.
Aku mulai bisa menarik napas dengan tenang. Ujung-ujung jari yang sejak tadi sedingin es kini mulai menghangat. Udara dari paru-paru mulai teratur. Keringat dingin pun tak lagi muncul. Mungkin lain kali, dan aku berjanji nggak akan bertingkah aneh lagi.
Satu kecupan selamat malam mungkin tak akan membuatnya terbangun. Keberanian muncul kembali saat lelaki itu bergeming.
Aku mendekat, sebelum merebahkan tubuh di sisinya, kukecup sekilas bibirnya yang mengatup sempurna.
Tiba-tiba matanya terbuka!
Onde Mande! Aku ingin sembunyi di bawah selimut tapi tangannya cekatan menahanku dan membalikkan posisi.
Ia tersenyum lebar sampai kedua matanya menyipit.
“Kamu belum tidur?” tanyaku gelagapan.
Han menggeleng cepat.
“Kamu curang!” sungutku.
Lagi, ia hanya tersenyum.
“Nanti kamu batalin tiket honeymoonnya kalau pakai DP malam ini ....”
Han tergelak. “Tetep jadi, kok,” jawabnya lembut dan tersenyum, kali ini sambil menyapukan jemarinya di kening hingga pipiku, lalu berhenti di ujung dagu. Kedua manik matanya lalu menatap lekat ke arah sana, lama, dengan wajah yang berubah jadi sangat serius. Di tengah debaran yang membuncah, aku memilih untuk memejamkan mata.
***
Aku membuka mata saat merasakan ada ketukan di kening. Rasa yang familiar. Ya, itu jari-jari Han. Aku mengintip, saat wajahnya tersenyum, aku memilih menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku. Malu. Kudengar ia tertawa renyah.
“Ayo bangun, kamu subuhannya kesiangan terus.”
Ah, benar juga, duh, gimana nih? Dengan selimut masih membungkus, aku berlari ke kamar mandi. Lagi-lagi kudengar Han tertawa.
Lelaki itu sudah rapi seperti biasanya. Ia sedang minum kopi sambil menonton berita. Aku masak nasi sebentar, lalu berjalan mendekatinya.
Han konsentrasi menatap layar televisi. Sementara aku penasaran dengan tiket yang dibelinya.
“Hmm ... kita mau ke mana?”
“Ke mana? Kan udah honeymoonnya, ya nggak ke mana-mana lagi, di rumah aja ...,” jawabnya datar sambil tak mengalihkan pandangan.
“Tuh ... kaaan? Nyebelin! Aku nggak nganggep semalem itu honeymoon, ya, itu bener-bener nggak romantis! semalem itu aku dikerjain!”
Han menoleh. “Iya lah, dikerjain ... masa didiemin aja?” Han tersenyum menatapku.
Aku melempar bantal kursi ke arahnya, untuk menyembunyikan rasa hangat yang menjalari wajah.
“Pokoknya tetep jadi, ya!”
“Kenapa? Masih ngarepin malem kedua, ketiga, dan seterusnya, ya? Kamu genit, ya?”
“Iiih ....!” Satu bantal lagi melayang ke arahnya. Sejujurnya, tebakannya benar. Apa lagi tempat yang ia janjikan sepertinya benar-benar romantis! Aku sangat ingin pergi.
“Iya ... iya ... jadi, kok ...,” jawabnya sambil tersenyum. “Siang ini berangkat.” Han mengeluarkan gawainya, lalu memberikan padaku. “Kita ke sini.”
Aku meraih benda pipih itu. Mataku membulat, benar-benar tidak menduga ia akan mengajakku ke sini.
“Han! Aku nggak mau ke sini!”
“Tapi itu benar indah seperti yang kuceritakan.”
“Iya, aku tahu, tapi ... ah ... maaf, tapi kota ini punya kenangan menyedihkan ....”
“Maka akan kita buat kenangan yang indah mulai sekarang.”
“Han ....”
“Ayo luaskan hatimu dan beri maaf untuk orang itu, supaya jurus karatemu itu nggak terus-terusan dipakai untuk menghajar orang ... mulai sekarang, kamu istriku, aku yang bertanggung jawab atas segalanya. Nggak perlu mengeluarkan sisi keras untuk melindungi dirimu sendiri. Itu bisa sangat berbahaya buat keselamatanmu sendiri sebagai seorang wanita, dan suatu saat akan menjadi seorang ibu.”
“Han ....”
“Kita akan punya anak, lalu, apa yang ada di pikiran kamu seandainya sisi kekasaranmu berefek untuk anak kita? Apa yang sering kamu lakukan ke muridmu mungkin terkadang membuat sedih orang tua mereka. Itu nggak bisa kamu rasakan karena belum punya anak. Tapi cobalah nanti setelah punya, mau nggak mau kamu harus berubah.”
Aku menggaruk kepala walau tidak gatal sama sekali.
“Jadi, maafkan orang yang telah menyakiti hatimu supaya kamu nggak berusaha melampiaskan dendam pada orang lain, berdamailah dengan keadaan, sekarang, ada aku ....” Han menatapku sambil menggenggam tangan ini erat.
Aku menunduk dan menggeleng. Sulit rasanya kembali ke kota itu.
“Ya udah, aku batalin aja sewa villa di pegunungan sejuk dan pemandangan lautnya.” Han mengetik sesuatu di layar gawainya.
“Nggak ... nggak ... jangan, ayo kita betangkat.” Kalau sudah sampai aku kan bisa ngeles biar nggak ketemu sama orang itu. Yang penting jadi ke tempat indah itu dulu.
Han tersenyum.
Bersambung.
Bonus.
Pov Han
Hari ini di kantor, tidak sengaja aku bertemu dengan kepala sekolah Ririn. Ia sedang menemani seorang tetangga yang membuat laporan kehilangan.
“Pak Han?”
“Pak Kepsek?” Aku menjabat tangan pria seusia papaku itu. Lalu, sejenak saling bertanya kabar.
“Gimana kabar Bu Ririn?”
“Baik, Pak.”
“Kemarin, sebenarnya ada wali murid yang mau ketemu, bukan Pak Kades, lain lagi ini.”
Aku tersenyum mendengar cerita pria itu.
“Katanya anaknya dihajar Bu Ririn, hehehe.”
Pak Kepsek diam sejenak. “Sudah lama sebenarnya saya pengen ngobrol-ngobrol sama orang terdekat Bu Ririn, usianya sama seperti anak saya. Kami sudah lama kerja bareng di sekolah. Kira-kira empat tahun.”
“Iya, Pak.”
“Bu Ririn orangnya keras, walau kami tau itu untuk kebaikan siswa sendiri, tapi kadang caranya antimainstream, hehehe.”
Aku ikut tersenyum.
“Saya khawatir itu membahayakan Bu Ririn sendiri ....” Kalimat Pak Kepsek mengambang, tapi aku mampu menarik maksdunya.
Aku tersenyum dan berterima kasih atas apa yang telah ia sampaikan. Bagaimana pun juga, ia seorang atasan, apalagi usianya sama seperti orang tua kami. Rasanya tidak mungkin ia menyampaikan sesuatu yang sifatnya bohong. Apa lagi Ririn yang kukenal memang sedikit nekat.
Setelah bertemu Kepala Sekolah, aku kembali ke ruangan dan memikirkan sesuatu. Lalu menelepon seseorang yang punya hubungan sangat dekat dengan istriku.

_Bersambung....._

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER