PELUKAN CINTA SANG DOSEN 15
By : Fahriani
Hawa dilarikan ke rumah sakit. Doni menunggu dokter memeriksa sang adik, cukup lama dokter menangani gadis itu, beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang ICU.
"Bagaimana adik saya, Dok?" tanya Doni pada dokter tersebut dengan wajah yang sangat cemas.
"Keadaan Hawa menurun drastis, sekarang dia kritis, sangat membutuhkan harvesting atau pendonor sum-sum tulang belakang yang cocok untuknya.
"Syaratnya bagaimana, dokter?" tanya Adam.
"Jika cocok, saya bersedia mendonorkan sum-sum tulang belakang saya," ucap Doni.
"Saya juga bersedia!" ucap Haikal.
Dokter menjelaskan syarat-syarat pendonor sum-sum tulang belakang tersebut, dan dari hasil pemeriksaan ketiga pemuda tersebut tidak ada yang cocok.
Haikal tidak diperbolehkan karena mempunyai riwayat hipertensi. Sedangkan sum-sum tulang belakang Adam tidak cocok untuk Hawa, dan Doni pernah mendonorkan ginjal pada mamanya dulu.
"Kita membutuhkan pendonor itu segera, Don," ucap dokter
Doni bingung dan sedih, kenapa adiknya harus mengalami penyakit seperti ini, sama seperti mamanya dulu. Tidak beberapa kemudian dalam kebingungan, Rama muncul, bermaksud ingin meminta maaf.
Melihat Rama, Adam dan Doni kembali emosi dan ingin memukuli Rama kembali, tetapi langsung dicegah Haikal.
"Sudah cukup, ingat! Ini rumah sakit," ucap Haikal.
Adam terduduk lemas di lantai dengan wajah yang memerah menahan marah, Doni mengepalkan tangannya dan langsung meninju wajah Rama.
"Ini semua gara-gara elu, puas! Bikin adik gua menderita!"
Buuuuukkkkkk
Sebuah hantaman kembali dilayangkan Doni pada Rama, jika tidak dicegah Haikal, mungkin pemuda itu tidak akan berhenti menghajar Rama.
"Cukup! Gak guna lu menghajar habis-habisan sampah ini, gua juga emosi, tapi lu harus ingat, kita harus mencari pendonor untuk Hawa, itu yang lebih penting."
"Benar kata Haikal, Kak. Kita lebih membutuhkan pendonor itu dari pada meladeni orang seperti dia," ucap Adam.
Rama kembali bersuara, sebelum dirinya ditahan, ia ingin meminta maaf pada Hawa dan Adam.
Doni semakin geram melihat Rama, dan langsung mengusir pemuda itu.
"Pergi lu! Dari pada mati di tangan gua!" ancam Doni.
"Iya aku pergi, Don. Tapi ... apa maksud Adam mengatakan Hawa membutuhkan pendonor, donor apa?"
"Bukan urusan elu! Pergi!" titah Doni.
"Hawa yang membutuhkan pendonor, karena nafsu setan lu, sekarang dia kritis, dan butuh donor sum-sum tulang belakang secepatnya," jawab Adam.
Rama memohon untuk memeriksakan dirinya, dia bersedia menjadi donor buat adik sahabatnya itu.
"Lu mau jadi pendonor adik gua? Tak sudi ... sekarang elu pergi!" usir Doni.
Rama berlutut di kaki Doni, memaksa sahabatnya itu agar memberikan dirinya izin untuk melakukan pemeriksaan kecocokan sum-sum tulang belakang itu.
"Gua janji, Don. Selesai semuanya, gua sendiri yang akan menyerahkan diri pada polisi, gua akan bertanggung jawab."
Buuuuuukkkkk
Satu tendangan dilayangkan Doni kembali. Dirinya benar-benar marah pada Rama, sehingga tidak dapat mengendalikan emosinya.
"Pergi lu sekarang!" ucap Doni.
"Cukup Don, biarkan dia menjalankan pemeriksaan itu. Singkirkan dulu emosi dan dendam lu pada dia," ucap Haikal pada Doni.
Setelah lama berdebat dan meyakinkan Doni, akhirnya ia mengizinkan Rama melakukan pemeriksaan itu.
Dari hasil pemeriksaan sum-sum tulang belakang Rama cocok untuk Hawa.
Keesokan harinya operasi dilaksanakan, cukup lama Hawa berada di ruangan operasi. "Berdoa terus, Kak," ucap Alya pada Doni, yang saat itu terlihat sangat cemas.
"Kamu juga bantu doa buat Hawa ya, Al, Dara...."
"Pasti, Kak ...," jawab Dara dan Alya.
Adam mondar-mandir di depan ruang operasi, sang Bunda yang ikut menunggu pun menyuruh anak lelakinya itu agar dapat tenang.
Bibir Adam tak lepas terus beristihfar.
Empat jam sudah Hawa berada di ruang itu, dokter pun keluar dari ruangan operasi, pertanda telah selesai.
"Bagaimana adik saya, dok? " tanya Doni.
"Alhamdulillah, operasi berjalan lancar ...," jawab pria berjas putih itu.
"Alhamdulillah ...."
***
Hawa sudah dipindahkan ke ruang perawatan, beserta Rama. Namun, ia belum sadar dari pengaruh obat bius.
Kini Rama telah sadar terlebih dahulu, Doni menemui lelaki yang secara tak langsung membantu kepulihan sang adik.
"Rama, bagaimana kondisimu?"
"Doni ... alhamdulillah."
"Don, selesai ini aku akan langsung menyerahkan diri ke pihak berwajib atas perbuatanku, gua minta maaf, Don.... "
Doni tersenyum, lalu memeluk sahabatnya itu, "Gua ke sini mau ucapin terima kasih, Ram ... dan masalah penyerahan diri lu, itu memang wajib, maafin gua juga, Ram."
***
Terlihat Adam yang masih tetap setia menunggu sang kekasih sadar. Pemuda itu melihat gerakan pada jari-jari Hawa. Dia berlari ke luar ruangan, dan segera memanggil dokter.
"Dokter!"
Dokter langsung menuju ke kamar Hawa. Doni mendekati sang adik dan disusul oleh Adam dari belakang.
"Alhamdulillah, kamu udah sadar, Dek ...," ucap Doni penuh haru.
Gadis itu memandang tajam kepada kedua pemuda yang berada didekatnya. Wajahnya mulai berubah menjadi ketakutan.
"Pergi ... jangan dekat ... pergi ..." teriaknya.
Hawa berubah menjadi histeris, berteriak kencang meminta tolong, lalu menangis.
Doni dan Adam merasa heran, saling pandang melihat sikap Hawa yang tidak mau didekati.
"Kamu kenapa, Dek, ini kakak," ucap Doni, dan kembali mencoba menenangkan Hawa.
"pergi ... tolong!" pekik Hawa.
"Jangan sakiti aku ... aku minta maaf ... maaf ... maaf ...." Hawa terus meracau, mengulang kata-kata yang sama setiap kali didekati.
Adam mencoba mendekati Hawa. "Tak ada yang mau nyakiti kamu, Wa. Di sini semua sayang kamu," ucap Adam.
Saat Adam mencoba untuk menenangkan Hawa, gadis itu langsung mengigit tangan Adam ketika hendak memegang lengannya.
"Pergi! Jangan dekat, pergi ..." Hawa semakin histeris saat didekati Adam.
Alya yang melihat sikap sahabatnya mencoba mendekati, tak ada teriakan histeris lagi, Hawa menjadi sedikit tenang.
"Usir mereka Alya. Usir ... mereka jahat, aku takut ... usir mereka, Al..." Hawa menangis di pelukan sahabatnya.
Perlahan Alya menjelaskan, jika mereka adalah orang terdekat sahabatnya.
"Bukan ... Itu bukan kak Doni, bukan pak Adam ... aku takut, Alya ... takut."
"Astaghfirullah," ucap Alya dengan lirih.
Tidak tahan melihat sikap Hawa, Adam segera memanggil dokter, Doni tetap berusaha menenangkan sang adik.
Tak lama sang dokter masuk dan mencoba memeriksa keadaan Hawa. Saat pria berjas putih itu mencoba memeriksanya, gadis itu kembali berteriak, dan mencakar tangan dokter tersebut.
Setelah dokter memberikan obat penenang pada Hawa, kemudian ia memanggil Doni ke dalam ruangannya.
"Apa yang sebenarnya terjadi sebelum Hawa dibawa ke sini dalam keadaan kritis kemaren?" tanya sang dokter.
Doni menceritakan kejadian yang menimpah adiknya Pada pria yang duduk di hadapannya.
Dari penuturan Doni, sang dokter menjelaskan jika Hawa sepertinya mengalami trauma psikis akibat penculikan dan percobaan pemerkosaan terhadapnya.
Terlihat dari sikap Hawa yang tidak ingin didekati oleh pria. Doni beristighfar, mendengar penjelasan dari pria paruh baya berstelan jas putih itu.
"Astaghfirullah ... separah itu, Dok? "
"Saya akan memeriksanya lebih lanjutin nanti."
_____
Hawa yang mengalami trauma psikis, acap kali menjerit dan menangis jika ada lelaki yang mendekatinya. Bahkan dengan kakaknya sendiri terkadang dia merasa seperti akan disakiti.
Hawa kini temani oleh Alya, keadaannya sedikit stabil, dan dapat diajak berbicara baik-baik.
"Al ... aku takut, " ucap Hawa.
Alya mendekat kepada sahabatnya itu.
"Apa yang kamu takutkan, Wa?
"Al, apa gua gila ya?"
"Kenapa kok pertanyaan elu begitu?"
"Tak ngerti, aku bingung, kenapa dengan kakakku sendiri, aku ketakutan sepertinya dia akan menyakitiku."
"Kak Adam bagaimana kabarnya, Al? "
"Yang pasti, Pak Adam sedih lihat keadaan lu seperti ini, coba deh, buang jauh-jauh perasaan takut dan trauma itu, lagian Mas Rama juga sudah ditahan oleh polisi, lu jangan takut lagi."
Hawa mengatakan jika dalam keadaan seperti ini, dirinya dapat tenang, ingin bertemu Doni dan Adam. Tetapi jika mereka dekat dia tak dapat mengendalikan emosinya, ketakutan itu datang sendirinya.
"Berdoa, istighfar, jangan lupa, gua yakin elu pasti sembuh."
_____
Doni dan Adam menemui dokter, dan menanyakan kondisi Hawa terakhir.
"Dok, bagaimana keadaan adik saya sekarang? " tanya Doni.
"Kalau masalah kesehatan fisik, pasca operasi berangsur angsur membaik, dan sel kangker itu juga sudah hilang dari tubuhnya, meski begitu kita harus tetap melakukan pemeriksaan ulang lagi agar dapat lebih yakin, hanya saja ... yang saya takutkan kondisi psikisnya. "
"Psikis adik saya yang terganggu maksud dokter?"
Dokter itu mengangguk
"Jika Hawa sampai stres berat atau trauma, maka diperlukan konseling oleh ahli untuk memulihkan kondisi kejiwaannya, tetapi kalau saya perhatikan Hawa masih dalam kategori ringan, saya sudah hubungi seorang psikolog, biar nanti dia yang akan menjelaskan tentang psikis adik kamu lebih detailnya."
***
Tidak beberapa lama kemudian, psikolog tersebut datang, dan mereka pun melakukan pembicaraan serius.
Psikolog itu menyuruh Doni menceritakan kejadian sebenarnya, setelah mendengarkan penuturan Doni tentang sang adik, kemudian psikolog itu menjelaskan kepadanya.
Psikolog muda itu menjelaskan Jika berbicara tentang tindak kekerasan atau trauma, ada suatu istilah yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorderatau PTSD (gangguan stres pasca trauma). Yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain.
PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya.
"Terus apakah adik saya sudah termasuk kedalam kategori ptsd itu bu?"
"Belum, dan jangan sampai, perlu untuk dibedakan, apakah seseorang sudah mengarah pada PTSD atau masih PTS (post traumatic sympton). Kalau pun masih PTS tidak akan sampai menimbulkan gangguan berat, masih dapat ditangani oleh psikolog yang terlatih. Yang perlu dilakukan adalah jangan sampai PTS menjadi PTSD." terang psikolog itu kembali.
"Jadi langkah kita untuk penyembuhan Hawa bagaimana? " tanya Adam.
"Dalam Pemulihan, membutuh proses dan waktu, di mana cepat tidaknya kembali kepada keadaan normal tergantung berat ringannya trauma yang dialami oleh pasien. Orang tua juga harus membantu menyakinkan sang anak dengan memberikan dukungan rasa aman bahwa keadaan sudah baik agar dia menjadi tenang," terang psikolog tersebut.
***
Adam mengetahui jika Doni masih menahan amarah pada Rama, dan mencoba untuk menyabarkan kakak dari tunangannya itu.
"Dam ... apakah kamu akan meninggalkan adikku setelah tau keadaannya sekarang?"
"Kak Doni mengira aku akan meninggalkan Hawa? Tidak, Kak!"
"Aku mencintai Hawa, apa pun kondisinya, dan aku bukan tipe manusia yang senang disaat sukanya saja, tetapi bagaimana pun kondisinya aku tetap akan ada di samping dia Kak. "
'Aku salut dengan kamu, Dam, aku yakin kamu memang pantas untuk adikku,' ucap Doni dalam hatinya.
"Kak, aku ada jadwal kuliah, aku tinggal tidak apa-apa kan? Nanti sore aku kembali," ucap Adam.
"Iya tidak apa-apa, kamu hati-hati ya ... aku mau ke kamar Hawa dulu."
"Salam dengan dia kak, aku tak dapat mampir. "
____
RUANGAN HAWA
"Al, kamu tak kuliah?" tanya Doni yang melihat Alya dan Hawa sedang ngobrol.
"Ada Kak, tapi entar siangan ...."
Doni mendekat.
"Aku mau ke kantin dulu ya, belum sarapan, kamu mau, Wa? dan Kak doni dah sarapan? biar aku belikan sekalian," tanya Alya.
"Boleh Al, apa aja deh," jawab Doni.
Alya keluar dari ruangan Hawa, sebelum pergi dia sempat membisikan sesuatu ke telinga sahabatnya itu.
"Jangan takut, Wa. Dia kakak kandungmu, kamu harus bisa tenang, kuasai dirimu," ucap Alya di iringi anggukan Hawa.
Hawa mulai merasakan keanehan ketika Doni mencoba mendekatinya, wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi tangannya, tetapi dia mencoba menahan dan menkontrol dirinya dan mengingat-ingat jika Doni kakaknya, tak mungkin menyakitinya.
"Dek," panggil Doni pelan.
"Ini kakak, kamu jangan takut ya ...," Doni berusaha menenangkan Hawa yang terlihat mulai panik, di tengah ketakutannya Hawa memeluk kakaknya.
"Kak," Hawa menangis di pelukan Doni.
"Aku takut ... aku takut!" Hawa mengulang-ulang kata takut terus menerus.
"Tenang ya ... kamu tak boleh takut ... ada kakak di sini."
Hawa sedikit menenang. Sekeras mungkin dia mencoba menguasai dirinya.
"Alhamdulillah ...," ucap Doni sambil meneteskan air matanya.
"Aku mau pergi dari sini kak, aku tak mau tinggal di sini."
"Maksud kamu, Dek?"
"Kita pergi ... ayo kita pergi, Kak," rengek Hawa terus menerus.
Doni menatap heran pada adiknya, kenapa Hawa meminta seperti itu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment