Pelukan Cinta Sang Dosen 08
Sosok itu bdrjapan mendekat padanya.
'Ehm, kak Adam, ngapain dia ke sini,' gumam Hawa.
"Hawa? Kamu di sini?" tanya Adam saat melihat gadis itu sendiri di taman.
Tak menjawab pertanyaan pria yang baru saja tiba di taman, Hawa bergegas hendak meninggalkannya. Namun, dengan cepat Adam mencegahnya.
"Saya permisi, Kak, mau cari Rossa."
"Tunggu, cari Rossa?"
"Iya, Rossa ... kenapa?" tanya Hawa.
"Saya disuruh Haikal ke sini," ucap Adam.
Hawa duduk di bangku yang ada pada taman tersebut, dan disusul Adam yang mengikuti duduk di sebelahnya.
'Jadi, ini ide mereka, awas lu ya, Sha!' ucap Hawa dalam hati.
'Makasih, Kal, Sha, aku dapat berdua dengan Hawa.'
"Ya sudah, berati ini kerjaan meraka saja, pantesan nomornya pada tidak ada yang aktif," ucap Hawa.
"Saya mau pulang." Hawa beranjak dari tempatnya,
kembali Adam menahannya. .
"Kasih kesempatan saya bicara dengan kamu."
Hawa kembali duduk "Cepat ngomong!"
Adam menarik napas pelan, Hawa masih saja bersikap cuek kepadanya.
"Apakah tidak ada kesempatan lagi untuk saya?" ucap Adam.
Hening....
"Jawab, Wa..."
Namun, Hawa masih bungkam. Adam berpindah dan duduk di hadapan gadis beriris coklat itu, Hawa menundukan wajahnya.
"Wa ... jawab!"
"Saya sangat menyayangi kamu," ucap Adam lagi.
"Saya tidak bisa."
Adam menghembus napasnya kasar, kembali menatap Hawa dengan tajam. "Kamu Bohong!"
"Pak Adam lebih pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dan jauh lebih sempurna dari saya."
Tanpa berani memandang lelaki yang tengah berjuang untuk mendapatkan hatinya. Hawa mengatakan, jika dia hanya seorang wanita pesakitan, mempunyai banyak kekurangan, yang sedang menunggu kematian.
"Alasan kamu tak membuat saya gentar, Wa. Saya tidak perduli dengan kekuranganmu."
"Karena apa? bagiku kekuranganmu adalah kelebihan untukku."
Adam megenggam tangan Hawa, ia terus meyakinkan gadis itu tentang perasaannya. "Demi Tuhan, saya tulus dengan kamu,Wa," ucap Adam.
Tubuh Hawa bergetar, tangannya dingin, saat mendengar kata demi kata yang disampaikan Adam. Dia mengangkat wajahnya, dan memandang wajah lelaki yang bersamanya.
"Saya menginginkan kamu menjadi teman hidup, kita hadapi bersama sama semuanya."
"Berjuang bersama untuk melawan penyakit kamu, saya yakin kamu sembuh," ucap Adam.
"Saya sangat sayang sama kamu ...," ucap Adam.
Hening....
"Jika kamu benar tidak cinta kepada saya, lihat dan tatap mata ini, katakan! Jika kamu tidak cinta saya."
"Katakan, Wa! Kalau kamu tidak cinta saya," pinta Adam sekali lagi.
Adam mengusap air mata yang mengalir di pipi Hawa dengan jarinya.
"Saya harus menunggu lagi kah?"
Sambil menunduk, Hawa mengakui perasaannya pada pria yang bersamanya. Gadis itu mengakui perasaannya pada sang dosen. Terukir senyum dari bibir Adam saat mendengar jawaban dari sang gadis.
"Makasih, Wa."
Hawa membalas dengan senyuman. Tak lama muncul Rossa dan Haikal dari belakang kursi di taman itu.
"Nah ... begitu kan gua senang lihatnya, akur, tak seperti kucing dan tikus lagi, kejar-kejaran mulu, iya kan Sha?" Ucap Haikal. Dan dijawab Rossa dengan menganggukkan kepalanya.
"Jadi ini ide kalian, lu ya ... Sha, bikin gua khawatir tahu," ucap Hawa lalu menarik telinga kedua sahabatnya.
Haikal dan Rossa memegangi telingan masing-masing yang panas akibat jeweran Hawa.
"Yang penting berhasil," jawab Rossa.
"Makasih ya, Kal, Rossa, atas bantuan kalian akhirnya Hawa membuka hatinya untukku." ucap Adam.
"Iya, Bro, sama-sama," jawab Haikal.
Haikal dan Rossa berpesan, jika Adam harus menjaga hati Hawa, jangan pernah menyakiti atau sampai membuatnya menangis.
"Siap boss!"
*
Kini mereka pulang ke rumah masing- masing.
Adam hendak mengantarkan Hawa pulang ke rumahnya. "Tadi kamu ke sini naik apa? " tanya Adam pada Hawa.
"Taksi, Pak, karena belum dibolehi bawa mobil sama kak Doni," jawab Hawa.
"Sekarang, kamu aku antar ya."
Merasa aneh dengan kata 'Aku' yang diucapkan Adam, membuat Hawa tertawa.
"Kenapa tertawa?"
"Aneh dengar kata 'Aku' biasa juga pakai 'Saya'."
"Sekarang kamu kan kekasihku, Wa."
"Ya, terserah bapak deh," jawab Hawa.
"Kamu, kok masih sebut bapak, bukan kah sudah pernah aku katakan jangan panggil dengan sebutan itu jika tidak sedang berada di kampus atau di kelas?"
Hawa menangguk. " Iya ... iya, maaf."
"Pakai ini," Adam memberikan helm pada Hawa, lalu Hawa menaiki motor Adam.
"Kenapa belum jalan, Kak?"
"Gak mau jalan."
"Kenapa? " tanya Hawa heran.
"Kamu belum pegangan."
"Ohw ...!" Hawa melingkarkan tangangnya di pinggang Adam.
"Sudah, jalan sekarang!" titah Hawa.
"Baik lah!"
*
Tidak beberapa lama sampailah Adam dan Hawa tepat di depan rumahnya, gadis itu pun turun dari motor.
"Sini, dibukain helmnya," ucap Adam saat melihat Hawa hendak membukan helmnya.
"Ngeledek nih ... saya udah bisa kok," jawab Hawa dan menyerahkan helm itu pada Adam.
"Gak nyuruh mampir nih," tanya Adam.
"Emang mau mampir? Sudah malam loh, Kak."
Adam tertawa melihat tingkah gadis yang bersamanya, tak pernah berbasa-basi hanya untuk sekedar menawarkan untuk dirinya mampir walau sebentar.
"Gak kok, aku pulang ya, dan makasih ya, Wa...."
"Untuk?"
"Makasih untuk hati kamu."
"Assalamu'alaikum," ucap Adam sambil mengusap lembut kepala Hawa.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati ... Kak."
Hawa masuk ke rumah setelah Adam sudah tak terlihat lagi olehnya.
*
Adam mengajak Hawa bertemu, mereka janjian di sebuah Kafe.
Sesaat kemudian Hawa sampai di kafe tersebut, Adam yang sudah sedari tadi menunggu, langsung mengutarakan maksud tujuannya kepada sang gadis. Ia bermaksud ingin menikahi Hawa.
Ajakan Adam untuk menikahi dirinya membuatnya kaget menjawab dengan terbata bata Hawa berkata, "Me- menikah?"
"Iya ... mau kan kamu menikah denganku?"
Hening....
"Saya tak bisa jawab sekarang, Kak."
"Kenapa? Jika kamu bersedia, saya akan mengajak ayah dan bunda ke rumah kamu, bertemu kakak kamu."
Hawa hanya dapat menundukan wajahnya diam seribu bahasa.
"Wa? "
Adam memangangkat dagu Hawa agar dirinya dapat melihat wajah manis sang gadis.
"Kenapa Wa? Aku serius ingin melamar kamu."
"Saya tidak tahu, Kak ... maaf."
"Beritahu aku satu alasan yang bisa diterima," ucap Adam.
"Saya belum selesai kuliah, dan kakak tahu kan kalau saya mengidap leu-"
"Aku tak peduli kamu mau sakit apa, Wa, sudah pernah kukatakan, aku tidak perduli."
"Aku cinta, sayang kamu, dan aku harus terima apa pun yang ada di dalam dirimu, aku tidak perduli itu," ucap Adam tegas.
Tanpa di sadari air mata Hawa luruh, Adam merangkulnya dan menyandarkan kepala Hawa di bahunya, gadis itu masih menangis.
Adam meyakinkan Hawa, akan tetap ada untuknya, melawan penyakit sang gadis, ia mengatakan akan mengajak orang tuanya untuk bertemu Doni minggu depan.
"Serius?" tanya Hawa sambil menatap Adam.
Adam mengangguk. "Aku ingin menghalalkan kamu secepatnya."
__
Satu minggu kemudian.
Orang tua Adam berkunjung ke rumah Hawa. Setelah lama berbincang dan berkenalan, sampailah pada keputusannya.
Lelaki paruh baya itu bertanya kepada Doni, atas kesediannya untuk mengijinkan sang adik dilamar anaknya Adam.
Doni mengatakan sebagai kakak, dia menyerahkan semua keputusan di tangan sang adik. Apapun jawaban Hawa dia mendukungnya. Karena kebahagiannya adiknya akan menjadi kebahagiaan dirinya juga.
"Bagaimana dengan kamu, Dek? "tanya Doni pada Hawa.
Hawa menunduk, lalu berkata, "Maaf, Om, Tante, boleh Hawa ngobrol sebentar dengan kak Doni?" izin gadis itu kepada kedua orang tua Adam.
"Silahkan, Sayang...," ucap ibu Adam.
Hawa dan Doni pun izin meninggalkan mereka, saat bersama sang kakak, gadis itu memeluk Doni.
"Kenapa, Dek?" tanya Doni heran.
Hawa melepaskan pelukannya, memandang lekat pada sang kakak.
Hawa menyadari dia melangkahi sang kakak, dia bertanya bagaimana perasaan lelaki itu jika dirinya duluan menikah. Doni menghela napas, kemudian memeluk sang adik.
"Ya ampun, Dek, kakak pikir apa ... " Doni melepaskan pelukannya, kemudian memegang kedua pipi sang adik.
"Emangnya kakak kenapa?" tanya doni
Doni mengatakan pada Hawa dia tidak peduli omongan orang tentang dirinya, karena sang adik takut jika para tetangga mencibir kakak tersayangnya, jika ia yang akan menikah terlebih dahulu.
"Ya ... bodo amat lah, hidup-hidup kakak, jodoh, rezeki, maut itu sudah ditakdirkan Allah untuk kita, kalau Allah menakdirkan kamu dahulu menikah, mereka mau apa?"
Hawa memeluk Doni kembali bergelayut manja pada sang kakak.
"Aku sayang banget sama kakak. Tida ingin kak Doni kecewa."
Doni tertawa melihat sikap Hawa yang masih saja suka bermanja ria pada dirinya. "Udah mau nikah, masih manja gini sama kakaknya," ucap Doni, lalu mencium kening Hawa.
"Kamu dengar, Dek..."
"Kakak itu lebih sayang sama kamu, karena seorang Haura Natasha putri adalah satu-satunya harta yang paling berharga untuk seorang Doni."
"Tetapi, Kak ...."
"Apa lagi, Dek .... "
Hawa mengatakan jika dirinya ingin menyelesaikan kuliahnya sampai satu semester ini, baru akan menikah dengan lelaki pilihannya. Keputusan sang adik disetujui oleh Doni.
Kembali menemui orang tua Adam, Doni mengatakan apa yang diinginkan sang adik kepada Adam.
"Om, tante, saya mengizinkan Hawa menikah dengan Adam, tetapi adik saya meminta, ia ingin menyelesaikan kuliahnya dahulu sampai semester depan," terang Doni pada keluarga Adam.
Keluarga Adam pun setuju, mengusulkan agar Adam bertunangan dengan Hawa terlebih dahulu.
_
Lelaki itu merebahkan tubuh di ranjangnya, dirinya merasa lega telah mengutarakan semua maksud pada sang kekasih. Terlebih sambutan hangat keluarga Hawa kepada keluarganya.
Adam mengambil ponsel dan mengirim pesan puisi romatis kepada Hawa.
[Sudah tidur, Sayang?]
[Belum, Kak]
[Saya ada sesuatu buat kamu, habis membacanya, kamu tidur ya...]
Adam mengirimkan pesannya
[Wahai calon bidadari duniaku, terimakasih, kau telah mengajarkan aku tentang cinta, kini ... kuingin merahi taman syurga cinta itu bersamamu, engkau wanita terindah yang pernah aku temui]
[Engkau pengobat lukaku, menghiasi hati dengan senyuman indahmu, kehadiranmu penghilang duka laraku, serta harum tubuhmu, mebuatku tak berdaya, engkau memang pantas untukku miliki.]
Membaca pesan dari Adam membuat sang gadis tersenyum-senyum sendiri.
[Idih ... dia gombal,]
[Enak aja! Sudah malam, tidurlah ... Have a nice dream khumairahku.]
[Thanks my habibi,] balas Hawa dengan membubuhi emot cinta.
Tak saling berbalas pesan lagi, mereka pun telah terlelap dalam dunia mimpi masing-masing.
Bersambung
No comments:
Post a Comment