NEED A WIFE 15
Seno tersenyum pada Bu Rara yang terlihat kaku dan dingin padanya. Keduanya terpaksa terlihat baik-baik saja meski jadi bahan perbincangan murid-murid hingga orangtua murid. Selama acara, Seno berusaha tetap tenang sebagai seorang MC dan tentu dia seorang laki-laki yang mengedepankan pikiran. Beda dengan Bu Rara yang gelisah karena sering dilirik orangtua murid sambil bergumam.
Sulit berusaha fokus, apalagi saat menyebutkan nama Dara sebagai juara dengan nilai terbaik di kelasnya.
"Selamat ya, semoga di jenjang berikutnya tetap berprestasi dan membanggakan orangtua," ujar Seno dengan menatap gadis manis yang juga menatap manik matanya.
Keduanya saling diam cukup lama, membuat Bu Soraya berdehem yang akhirnya keduanya tersadar dan langsung berjarak lagi.
Ayolah, Seno fokus! Makinya dalam hati. Karena terlalu kacau melihat Dara juga Rara setelah kejadian kemarin.
Acara terakhir adalah salam perpisahan dari semua peserta wisuda kelas 12. Para murid bersalaman dan memeluk gurunya sesuai gender mereka. Tak terkecuali Dara yang akhirnya kembali berhadapan dengan Seno.
Jika pada siswa lain Seno memberikan semangat, justru dia diam saat berhadapan dengan Dara yang sangat cantik laksana seorang pengantin perempuan. Ingatannya kembali pada Bu Rara yang patah hati olehnya. Hingga selepas acara dia menuju ruang kepala sekolah.
Rupanya Bu Rara juga ada disana, sedang mengajukan mutasi untuk tidak lagi mengajar di sekolah ini.
"Saya tahu, masalah kalian memang nggak akan bikin nyaman kerja." Kepala Sekolah menatap keduanya.
"Iya, jadi saya minta dimutasi saja atas rekomendasi Bapak ke Dinas Pendidikan. Saya yakin, Pak Seno juga nggak akan nyaman sama saya." Bu Rara melirik sedikit ke arah pria yang gagal menikahinya.
"Begini saja, Pak. Saya saja yang dirotasi ke sekolah lain. Kasihan kalau Bu Rara kan sudah dekat dengan rumahnya, dia perempuan. Kalau dimutasi terlalu jauh kasihan. Biar saya saja," ujar Seno dengan menoleh pada wanita yang juga tengah menatapnya.
Mata keduanya masih menyimpan harapan, tapi kekecewaan pun tak kalah besar terlihat disana.
"Jadi, gimana nih? Tolong profesional ya, ini ‘kan kita kerja tugas mulia." Kepala Sekolah menatap keduanya.
"Saya saja, Pak." Seno sangat yakin.
"Baiklah, nanti akan saya ajukan," balas Kepala Sekolah.
Seno berpamitan dari ruangan itu lebih dulu. Menunggangi motornya dia melesat cepat meninggalkan sekolah untuk menemui Indri yang tengah menantinya. Keputusannya sudah pasti dan bulat, dia ingin menjauh dari semua wanita yang telah menggganggu ketenangannya.
Dara menatap kepergian motor merah itu dengan rasa yang dia tak mengerti. Tidak ada kata perpisahan khusus untuknya, meksi masih menyimpan kontaknya. Namun tak ada keberanian seperti dulu.
Dilihatnya kontak whatsapp Seno, fotonya telah berganti jadi gambar hitam.
"Segitu patah hatinya kamu sama Bu Rara?" gumam Dara dengan cemburu yang menggerogotinya dengan dalam.
"Ngomong apa, Dek?" Tanya Bagus menoleh pada adiknya.
Dara menggeleng, lalu kembali menatap lurus ke jalanan. Bersiap menempuh petualangan baru di dunia pendidikan lainnya. Kampus, dia akan menempuh pendidikan di universitas setelah ini. Melupakan patah hatinya oleh sang Guru.
*****
Seno turun dari motor di depan rumah Indri. Dengan mengucap salam dia akhirnya diterima dan disambut dengan sangat menyenangkan.
"Seneng kamu masih inget aku, No," ujar Indri yang sudah mulai tak terlihat trauma.
"Kamu dah sembuh?" Tanya Seno dengan serius.
"Udah, berkat support kamu." Indri tersenyum. Ada jutaan harapan di wajahnya dengan kedatangan mantan suaminya tersebut.
"Oke," ujar Seno menarik napas panjang,
"Kamu tahu kan, karena menolongmu... aku kehilangan masa depanku dengan Rara."
"No, dia bukan jodohmu, mungkin-"
"Mungkin kamu juga bukan," potong Seno cepat,
"Aku nolongin kamu karena sisi kemanusiaan. Nggak lebih," katanya dengan tegas.
"Seno...."
"Dengarkan dulu aku," pinta Seno dengan cepat,
"Aku tidak bisa kembali sama kamu. Aku akan pergi jauh dari Pulau Jawa untuk mendinginkan suasana hati ini. Hari ini, terakhir kita bertemu."
"No, nggak bisa No. Aku butuh kamu, aku bisa gila tanpa kamu, No," rintih Indri dengan tangisan.
"Sudah cukup aku berkorban banyak untukmu. Sudah saatnya aku mencari kebahagiaan dengan caraku sendiri. Kita sudah berakhir, Indri. Tatalah hidupmu setelah ini," ujar Seno sambil bangkit dari duduknya.
"Selamat tinggal."
"Seno! Please, jangan tinggalin aku...," rengek Indri dengan wajah memelas dan airmata yang mulai menganak sungai.
Namun Seno bergeming, baginya sudah cukup pertolongannya untuk Indri dan sudah cukup juga meratapi Rara dan tak pantas mengharapkan Dara setelah menolaknya berulang kali. Dia sudah mantap, ingin mengukir kisah lain di sekolah yang baru. Meski tetap berharap bertemu jodoh yang dapat dia jadikan istri.
Menghapus kenangan demi kenangan memang sulit, begitupun Seno ketika menerima surat kepindandahannya ke sekolah baru di daerah Depok. Rupanya tak jauh dia dipindahkan.
Tekadnya sudah bulat, membeli rumah di daerah sana, membawa Ibunya dan mengabdi pada wanita yang telah membesarkannya dengan susah payah.
"Ibu sudah betah di sini, ini rumah peninggalan Bapakmu. Kalau mau beli rumah, ya beli saja. Kamu tinggali, sesekali saja pulang kalau hari Sabtu atau Minggu."
Ibu menolak keinginan putranya untuk pergi dari rumah lama. Rumah yang memberikan kenangan untuk Ayahnya sekaligus Indri di dalamnya.
"Ya sudah jika itu maunya ibu," balas Seno pasrah.
Dia tetap membeli sebuah rumah di Depok, tinggal di sana. Tak lupa berpesan jika Indri datang, katakan dia pindah ke luar Pulau Jawa.
"Ibu bohong dong, No," ujar sang Ibu menatap putranya yang sudah duduk di mobilnya.
"Demi kebaikan, Bu. Daripada dia ngerecok saya terus?"
"Ya udahlah, bener juga. Hhh, kadang Ibu masih melas... kenapa kamu harus milih nolong si Indri daripada ijab Qobul sama Rara," ujar Ibunya dengan tatapan pedih.
"Nggak jodoh kali," jawab Seno dengan terkekeh.
"Abang sih, terlalu baik jadi orang," timpal adik perempuannya.
"Sudah ah, nanti macet jalannya. Nanti kalian jangan lupa main kesana ya, lebih bagus ikut pindah."
Seno mulai melajukan mobil. Meninggalkan pekarangan rumah untuk menuju rumah masa depan yang dia beli dengan hasil menabung selama menikah dengan Indri lalu mendapatkan gaji besar seperti sekarang.
*****
Seno mengajar di sebuah SMA. Tetap mengajar bahasa, sambil mengambil pendidikan S2 di salah satu universitas di Depok. Jarak mengajar dan tempat belajar yang dekat, membuat dia fokus dan tak lagi peduli dengan godaan genit para siswi, candaan manis para mahasiswi, ataupun pandangan genit dari para janda komplek.
Tak jarang desas-desus dia mengidap kelainan juga terdengar, mengingat berwajah tampan tapi tak memiliki istri.
"Jangan-jangan pacarnya juga ganteng," ujar bisik-bisik yang sampai ke telinganya.
Namun dia tak peduli, toh tidak merugikan orang lain.
Setiap Sabtu atau Minggu dan tidak ada jam kuliah maupun tugas yang harus dia kerjakan, maka Seno memilih pulang ke rumah Ibunya dengan menggunakan motor supaya tak terjebak macet.
Sudah enam bulan dia menjalani rutinitas sebagai guru dan juga mahasiswa S2 secara bersamaan lalu pulang bertemu Ibunya untuk melepas rindu dan bercengkrama dengan kedua adiknya. Pelan-pelan, lukanya telah sembuh dari Bu Rara. Mulai tak mengingat Indri dan melupakan Dara.
Sore ini, dia bersiap untuk pulang ke Jakarta dengan motor merahnya. Berhenti sejenak di minimarket untuk membeli minum, lalu kembali melanjutkan perjalanan melewati stasiun dan rel kereta.
Seno sibuk melihat kereta yang melintas di sisinya, hingga tak sadar ada tiga orang menyeberang jalan. Saking panik, dia mengerem dengan cepat dan hampir tak bisa mengendalikan motornya.
"Mas, hati-hati dong kalau bawa motor!" teriak perempuan pertama yang memakai kerudung cokelat. Menghadap Seno karena takut lari setelah menyenggol salah satu teman mereka.
Seno membuka helm dan menatap wanita berkerudung abu yang tengah mengecek ponselnya yang jatuh.
"Kalian ini mau nyeberang apa mau main HP? Taruh dulu HP di tas, baru gunakan lagi saat tidak berjalan apalagi menyeberang." Seno menatap dua gadis yang terpana menatap wajahnya.
Tentu saja, siapa yang tak terpana memarahi seorang pria dan ketika membuka helm ternyata sangat tampan.
"Pak Seno?" Gadis itu terkejut saat menyadari pria yang memarahinya adalah gurunya semasa SMA.
Seno tak kalah terkejut, sekian lama tidak berjumpa gadis yang dulu dia anggap piyik dah menjelma jadi sosok yang berbeda. Kecanggungan kian terasa, karena Dara tidak sama dengan yang dulu. Cantik, dengan balutan kerudung abu.
"Kamu, hati-hati kalau nyebrang," katanya dengan dingin lalu memamerkan senyuman dengan lesung pipi yang dalam.
Setelah itu, dia berlalu meninggalkan gadis yang hanya menggeleng lemah, melanjutkan langkahnya menuju stasiun kereta.
"Lo kenal?" Tanya temannya heran.
"Guru SMA gue," jawab Dara dengan hati yang tidak tenang.
Kembali gelisah menginginkan pria yang telah jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
Dara berlari keluar stasiun, menatap jalanan yang ramai tapi tak ada lagi motor merah yang penunggangnya dia rindukan.
"Konyol banget sih, Ra. Nggak mungkin dia balik lagi ngejar kamu. Itu cuma ada di film atau sinetron, dia kan nggak suka sama Lu, Ra," omelnya sambil kembali berjalan menuju pintu masuk stasiun kereta.
Sepanjang jalan, dia menatap jalan raya meski jelas tak mungkin melihat pria yang tadi dia rindukan. Namun matanya menangkap sosok yang ia harapkan masih melaju di sepanjang jalan yang dilalui oleh kereta juga. Dara menata Seno yang serius mengendarai motornya, hingga dia memilih jalur kiri saat tiba di jalan cagak dan matanya kehilangan pemandangan yang dia rindukan.
"Perasaanku masih sama," gumam Dara sambil menyentuh kaca Commuter Line meski pria yang dicintainya tak lagi terlihat.
*****
Seno duduk di teras rumah setelah mandi dan makan malam dengan keluarganya. Pikirannya kembali pada Dara yang berubah menjadi gadis manis dengan kerudung melekat di kepalanya. Terlihat lebih dewasa, meski baru enam bulan lulus sekolah dan mulai kuliah.
"Baru kuliah, masa harus nunggu sampai dia lulus," gumamnya dengan memijat keningnya.
Dia tak lagi mampu menahan rasa, mengakui bahwa sesungguhnya menyukai Dara dari hatinya yang paling dalam. Hanya saja, perbedaan usia dan status mereka membuatnya ragu dan malu. Dara kala itu masih SMA, sedangkan dia seorang duda yang tak lagi muda. Rentan usia mereka hampir beda 11 tahun.
Dengan gontai, dia melangkahkan kaki menemui Ibunya yang sedang menonton televisi sambil tertawa karena adegan lucu di sana. Seno meraih kaki sang Ibu, lalu memijatnya perlahan.
"Bu, menurut Ibu...," Seno menggantung kalimatnya.
"Kenapa, No? Kamu mau bahas soal jodoh ‘kan?" tanya Ibunya dengan senyuman.
"Iya, Bu," jawabnya malu-malu,
"Sebenarnya, Seno menyukai seorang gadis sejak lama. Sayang, dia bukan tipikal yang menurut Seno cocok dan layak jadi istri." Seno menarik napas panjang.
"Maksudmu?" Ibunya semakin penasaran.
"Pertama, dia masih sangat muda. Seperti Seno bilang, paling 19 tahunan. Lalu, dia juga terlihat centil karena usia abegenya, sementara saya pengen yang tertutup gitu. Makanya sempat menjatuhkan pilihan sama Rara, meski gadis itu lebih dulu singgah di hati Seno," paparnya dengan seperti seorang remaja yang baru kenal jatuh cinta.
"Terus?" Ibu terus menyimak.
"Trauma. Seno trauma dengan pernikahan bersama Indri. Dulu dia juga masih muda, labil, akhirnya nggak menghormati Ibu. Dan ya... Ibu tahu lah gimana dia akhirnya selingkuh hanya demi harta," lanjut Seno dengan memijat keningnya.
Ibunya menatap sang Anak dengan tatapan penuh kasih sayang. Mengelus pundaknya dan memijatnya perlahan.
"No, proses dewasa tiap orang itu beda. Ada yang usianya muda, tapi jiwanya matang. Ada yang usianya matang... tapi jiwanya labil. Jadi, jangan nilai sesuatu secara singkat dan harfiah." Wanita sepuh itu menatap putranya.
"Saat ini dia masih kuliah, mungkin baru lulus dua tahunan lagi. Kerja dulu, mana mungkin mau nikah buru-buru. Sementara Seno, ingin segera menikah... ingin punya anak, supaya masih muda dan bisa jaga keduanya." Seno menerawang jauh.
Ibunya tersenyum,
"Cobalah bicara padanya. Jika memang dia bersedia, kenapa tidak? Proses pendewasaan dia mungkin dengan jalan menjadi istri, siapa tahu... dia beda dan memiliki tujuan yang sama denganmu."
Seno tersenyum senang, merangkul Ibunya dan mengecup kening keriput itu.
"Semoga dia juga sayang sama Ibu," bisiknya.
"Aamiin. Yang penting, dia bersedia nikah dulu sama kamu, No." Ibunya tertawa sambil melanjutkan menonton siaran televisi.
Sementara Seno membuka ponsel, menatap foto Dara di kontak whatsappnya yang kini cantik menggunakan kerudung seperti wanita idamannya.
"Semoga kamu masih menyimpan rasa di hatimu untuk saya," gumam Seno sambil tersenyum.
"Kamu kaya orang di sinetron ya, No," celetuk sang Ibu yang membuat Seno malu dan merona karena gumamannya masih didengar oleh wanita yang telah melahirkannya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment