NEED A WIFE 14
Seno mengurung dirinya semalaman, tidak makan dan tidak minum.
Bukan, bukan karena meratapi dan patah hati. Dia hanya merasa bersalah pada Rara yang begitu kecewa padanya. Tak bosan juga dia mengirim pesan pada wanita yang membatalkan pernikahan mereka, tapi tak satupun di balas. Hanya dibaca.
Berulang kali dia membuka jendela kamar agar nafasnya sedikit lega. Sesak, mengingat seharusnya malam ini adalah malam yang indah bersama wanita yang dia harapkan. Apalah daya, nasib berkata lain dan tak berpihak pada duda tampan tersebut.
Ponselnya berdering tepat jam tiga dini hari. Vivi menghubunginya atas perintah Indri. Hampir saja dia lupa dengan mantan istri yang telah menggagalkan pernikahannya.
"Ada apa, Vi?" Tanya Seno dingin.
"Seno, bisa datang ke sini? Aku cuma sama Vivi bingung mau apa-apa." Ternyata Indri yang menghubunginya.
"Ndri, aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Tidak etis keluar malam demi kamu. Ibu juga tidak akan senang, apalagi... kamu ingat kemarin saya memakai baju pengantin?" Tanya Seno heran, karena Indri seolah tidak peduli dengan kehidupan orang lain kecuali dirinya.
"Aku tahu, tapi Vivi bilang ramai di grup sekolah bahas kalian batal nikah. Karena itu aku berani menghubungi kamu lagi. Aku ingin bicara dan berterima kasih." Indri terus memaksa.
"Besok aku kesana. Sekarang nggak bisa," tegas Seno dengan dingin.
Kemudian dia mematikan panggilan dan menatap ke luar jendela yang sesungguhnya hanya terlihat rumah orang-orang dengan lampu yang masih menyala.
Tiba-tiba sekelebatan bayangan senyum dari melintas. Seno menggelengkan kepala dan mengerjapkan mata. Seolah menyingkirkan wajah gadis yang selalu dia tolak cintanya.
"Dara lebih baik mendapatkan lelaki yang masih single dan lebih muda. Masa dapat duda seperti saya," gumamnya entah bicara dengan siapa.
Yang pasti, dalam hatinya ada bisikan agar mengalihkan pilihan pada gadis tersebut. Hati kecilnya mungkin merindukan gadis centil dan lugu itu.
*****
Langkah Seno gontai menuju ruang rawat rumah sakit. Dia menghubungi Vivi untuk memastikan nomor kamar yang dia datangi.
Sejak Andre ditangkap polisi, Vivi lah yang selalu menemani Indri. Begitu juga adik laki-lakinya. Mereka tidak memiliki siapapun untuk mereka jadikan tempat pelarian. Hanya Ibu tirinya.
Orangtua Indri juga sudah ada di rumah sakit sejak semalam. Seno menyapa mantan mertuanya itu dengan sopan.
"Beruntung kamu masih peduli sama anak kami, No," ujar Bapaknya Indri dengan senyuman hangat.
Indri tersenyum bahagia melihat Seno datang dan mengobrol akrab dengan Bapaknya. Sementara Vivi menatap Seno dengan tatapan tak terbaca.
Baginya, Seno seharusnya dimiliki Dara. Bagaimanapun, Dara sudah banyak berkorban demi Seno hingga menjadi mainan tersendiri untuk Vivi. Karena itu, dia tidak suka melihat Indri bermanja pada pria yang dicintai oleh sahabatnya itu.
"Seno, aku seneng banget hari ini. Nggak apalah harus babak belur begini, asalkan aku bisa sama kamu lagi seperti sekarang," bisik Indri lemah tapi penuh harapan.
"Yang penting kamu sehat saja dulu, jangan banyak pikiran." Seno menjawab tidak sesuai pembahasan.
"Iya, aku udah lega karena ada kamu. Anak-anak Andre juga sepertinya nyaman sama kamu," pancing Indri dengan penuh penekanan.
Seolah ingin mengatakan bahwa kedua anak tirinya juga siap memiliki ayah baru.
Vivi langsung keluar dari ruang rawat Indri, duduk di kursi tunggu dengan menatap kosong. Dia tidak tahu kemana harus mencurahkan perasaannya saat ini. Karena Indri bukanlah Ibu kandungnya, sedangkan ayahnya telah dimasukkan dalam penjara dan mungkin akan membutuhkan waktu beberapa bulan hingga tahun untuk bebas.
Gadis itu mengeluarkan ponsel, menghubungi satu persatu temannya, tapi tidak ada yang peduli. Semua mengatakan sibuk dan sedang ada urusan di luar. Tidak bisa menghiburnya apalagi menemaninya di rumah sakit bersama Ibu tirinya.
Hanya satu orang yang belum dia hubungi, karena dari status whatsapp terakhirnya dia sedang ke Semarang dengan Kakaknya.
"Sabar ya, Vi," ujar Seno duduk di samping muridnya. Bersikap sebagai seorang guru pada muridnya.
"Bapak nggak akan bisa gantiin Papa meski mungkin lebih baik." Vivi menatap kosong.
Seno tersenyum dan menatap ke kehampaan yang sama.
"Jangan pernah menikahi Ibu tiri Vivi, Pak. Dia milik Papa. Vivi berharap Papa bebas dan berubah, lalu menebus semua kesalahannya pada Mami," papar Vivi dengan gurat wajah datar dan kosong.
Seno mengangguk.
"Sekarang, yang penting kamu harus tunjukkan pada Indri, bahwa kamu anak yang harus dia jaga. Karena itu, kamu jangan biarkan dia sendirian. Jadilah anaknya," pinta Seno membuat Vivi menoleh pada gurunya.
"Bisakah?" bisiknya lemah.
"Vivi!" teriak seorang dari koridor tapi senyumnya terhenti saat melihat Seno ada di sisinya.
"Dara?" Vivi tersenyum dan langsung berdiri, memeluk sahabatnya tersebut.
"Kok Lo di sini? Bukannya di Semarang?" Tanya Vivi sumringah, lalu menoleh pada Kakaknya Dara yang turut datang.
"Iya, emang cuma ikut Abang kesana. Liburan lah habis ujian. Eh dapat kabar nggak enak di grup," jawab Dara sembari melirik ke arah pria yang sejak tadi duduk menatap bergantian ke sekitarnya. Terlihat kikuk.
"Apa kabar, Pak Seno?" Sapa Bagus saat menyadari ada guru adiknya.
"Eh, alhamdulillah, Pak. Sehat?" Balas Seno berdiri dan bersalaman.
Usia mereka tidak jauh beda tapi demi rasa hormat keduanya memakai sebutan 'pak'.
"Dara, kok nggak nyapa guru kamu?" Tanya Bagus yang langsung membuat adiknya terkesiap, lalu mendekat dan mencium punggung tangan Seno seperti di sekolah.
"Nemenin Vivi atau ...,"
"Tidak, menemani Ibunya Vivi. Kebetulan mantan istri saya," jawab Seno jujur dengan sesekali melirik ke arah Dara yang memalingkan pandangan.
"Oh, hebat masih sangat perhatian ya hehe."
"Ya," jawab Seno sambil menahan nafas dan tertawa.
Seolah memang dia masih peduli pada mantan istrinya. Padahal dia sudah sangat jengah dengan kehadiran Indri. Namun juga tidak mau memberikan harapan untuk Dara yang baginya terlalu rugi jika harus menikah dengannya.
Indri memanggil Seno melalui Ibunya. Di hadapan Dara, pria itu bergegas menemui mantan istrinya yang terlihat manja ditambah dia melihat kehadiran teman anak tirinya tersebut. Tangannya terus berpegangan di pergelangan Seno, tanpa dicegah sama sekali oleh si empunya.
Meski mengobrol dengan Kakaknya Dara, dia tetap fokus pada Seno yang berdiri di kanannya. Seolah menunjukkan kepemilikan, apalagi Seno tidak menolak dan diam saja dengan perlakuan Indri.
Hingga Dara dan Bagus pulang, Seno masih setia di rumah sakit. Bahkan akan mengantar Indri dan dua anak tirinya pulang ke rumah orangtua Indri.
"Aku seneng banget kamu ada di sisiku terus, No. Semoga selamanya," ujar Indri dengan suara yang bercampur tangis haru.
Seno tidak menjawab, dia fokus mengendarai mobilnya menuju orangtua Indri. Pikirannya kacau mengingat setiap ekspresi Dara yang terlihat datar dan tak lagi memujanya seperti dulu.
Benarkah sudah move-on? Apakah iya cuma cinta monyet sehingga dirinya dilupakan begitu saja?
Seno terus bertanya dalam hati dan pikirannya, hingga tak fokus apapun yang dikatakan Indri dan juga orangtuanya.
"Kok diem aja sih, No? Tanya Indri heran karena sejak tadi dia bicara sendiri.
"Nggak papa," jawab Seno singkat.
"Kamu mikirin si anak piyik itu ya?" Tanya Indri dengan raut cemburu.
"Iya," jawab Seno singkat.
Membuat Vivi tersenyum tapi justru membuat Indri merengut.
"No, dia nggak cocok sama kamu. Terlalu muda. Seusia Vivi lho, lebih cocok jadi anak kamu. Anak kita. Aku rela ngurus Vivi dan adiknya asal kamu menjadi ayah bagi mereka." Indri tak pernah lelah mencoba dan selalu frontal meminta.
Meski Seno berulang kali menolaknya.
Keinginan Indri didukung penuh oleh orangtuanya. Mereka tidak keberatan jika Indri kembali pada Seno, pria yang dulu mereka lepaskan karena hanya seoarng guru honorer. Sedangkan sekarang sudah seorang guru negeri yang tentu punya gaji cukup besar dengan tunjangan yang selalu diidamkan banyak orang.
Seno tidak menjawab, dia tetap fokus pada jalanan. Dia benar-benar tidak ingin salah mengambil jalan, meski kasihan pada Indri dan Vivi, tapi dia juga punya harapan yang harus dia wujudkan. Mendapatkan istri yang sesuai kriterianya dan sesuai dengan impiannya. Seorang istri, butuh seorang istri bukan sekedar teman suka tapi hilang kala duka.
Bagi Seno, seorang istri akan ada dalam suka dan duka suaminya. Menerima apapun kekurangan dia, selagi dia berusaha memperbaiki kekurangan yang ada. Saling memahami, saling menyempurnakan dan saling berusaha menyenangkan satu sama lain.
Manusiawi, jika dia kemudian menginginkan sosok perempuan idaman yang sempat dia lihat dalam diri Rara dan tak ada pada Indri, sayangnya tak berjodoh. Sedangkan Dara, baginya terlalu kecil untuk menyandang status sebagai istri dari dia yang sudah dewasa. Ketakutan tidak sefaham dan tidak direstui, hingga rintangan yang berat membuat Seno mengubur rasa yang selalu muncul saat melihat Dara bahkan saat hanya mengingat namanya saja.
*****
Seno duduk di kursi ruang tamu rumah Indri. Sudah banyak perubahan rumah yang dulu tidak terawat ini, kini lebih rapi dan juga sofa yang cantik. Sepertinya Andre memang ringan untuk masalah uang, hanya masalah hati dia sepertinya keras dan tidak bisa ditebak.
Vivi dan adiknya duduk di kursi sebelah Seno, mereka sudah menghubungi kakek neneknya yang merupakan orangtua Andre untuk membahas masa depan keduanya pasca sang ayah akan menghadapi persidangan dan mungkin dipenjara. Karena Indri tidak mau berdamai. Dia bahkan sudah menyiapkan gugatan cerai, dan tentu dua anak ini tidak akan nyaman berada di rumah orang asing.
"Saya pamit dulu, Bu," ujar Seno ketika Ibunya Indri keluar lagi menyuguhkan minuman.
"Lho, nggak nanti saja sekalian ketemu orangtua Andre sambil bahas masa depan kamu sama Indri depan mereka, biar mudah pisahnya."
Seno menarik nafas panjang. Belum dia menjawab dua orang tamu datang yang ternyata kakek dan nenek Vivi. Mereka datang untuk membahas masalah cucu mereka dan juga rumah tangga anaknya.
Lagi-lagi Seno hanya pasrah dan menyimak obrolan dua keluarga tersebut. Indri keukeuh ingin bercerai dan memberi efek jera untuk Andre. Sedangkan orangtua Andre minta damai dan dimaafkan serta siap memberikan ganti rugi, demi nama baik dan masa depan cucu mereka.
Indri menolak, bersikeras bahkan mempereknalkan Seno sebagai calon suaminya yang baru. Seperti biasa, Seno tak berani membantah dan memilih diam sebagai pendengar dari perdebatan panjang tersebut.
Hingga keputusan dibuat, bahwa Indri mantap berpisah dengan Andre dan akhirnya Vivi dan adiknya dibawa pulang oleh nenek mereka, Seno masih betah di rumah itu.
Sementara Vivi memberi kabar, bahwa dia akhirnya tinggal dengan kakek neneknya karena Indri telah memutuskan untuk berpisah dengan Ayahnya.
"Pak Seno setia banget tahu nggak? Gue kesel," ujar Vivi saat menelepon Dara.
Dara tidak menjawab, hanya menutup mulutnya yang hampir mengeluarkan isakan.
"Ya udah, kita tetep temen walau nggak bisa ketemu lagi. Masih bisa berhubungan lewat WA. Dah dulu ya, Vi. Bang Bagus ngajak keluar," ujar Dara sambil mematikan telepon dan menangis.
"Ya Allah, kok gue jadi kaya bucin gini sih tiap kali inget si Tua Seno!" makinya sambil mengusap matanya yang terus mengeluarkan lelehan bening.
Dia tak menyangka bahwa setiap kali mengingat Seno hatinya terus sakit, padahal sudah menganggapnya bahagia dengan Bu Rara, eh tahunya dengar kabar gagal nikah. Saat itu ada rasa senang yang sesungguhnya tak pantas. Namun kini kembali dia merasa sesak mengetahui Seno mungkin akan kembali dengan mantan istrinya.
*****
Hari terakhir Dara di sekolah. Perpisahan kelas 12 akan digelar hari ini. Semua orang begitu cantik dengan kebaya atau gamis mereka. Tak terkecuali Dara yang memakai kebaya ungu dan rambut disanggul serta rok batik modern.
Dia datang dengan kedua orangtuanya, duduk di barisan kedua bersama teman-temannya. Membahas banyak hal, termasuk kuliah di mana setelah ini.
Bu Rara tampak hadir meski dengan wajah yang sedikit murung dan mata yang masih sembab, berusaha tersenyum menyapa murid-murid yang mengerubunginya dan memberikan dukungan padanya. Di sudut lain, Seno duduk seorang diri sambil memainkan smartphone-nya. Sesekali dia menatap mantan calon istrinya yang tengah mengobrol dengan senyuman yang masih terpapar duka, lalu dia alihkan lagi ke tempat lain dengan tarikan napas berat.
"Acara mau dimulai, Pak. Pak Seno dan Bu Soraya jadi MC kan?" Wakil Kepala Sekolah mengejutkan pria yang tengah gundah tersebut.
"Oh iya, Pak. Laksanakan," katanya dengan bangkit dan berjalan menuju rekan-rekan gurunya. Ada kegundahan dihatinya, haruskah menyapa Rara? Atau cuek pura-pura tidak kenal? Demi menjaga perasaannya? Tapi bagaimana kalau dia makin tersinggung karena diabaikannya?
Seno mulai pusing, tatkala jarak dirinya dengan Rara hanya satu meter saja. Keduanya saling tatap. Dan sudah jelas, masih ada cinta di hatinya
Bersambung
No comments:
Post a Comment