NEED A WIFE 13
"Pak, ini bukan hal sembarangan. Hubungi polisi saja dan berikan alamat korban. Bapak mau ijab kabul lho, gimana kalau nanti Bu Rara tersinggung dan membatalkan pernikahan?" Rekan Seno mengingatkan.
"Iya, No. Indri sudah bukan urusan kamu. Baiknya suruh dia telepon polisi."
"Kalian nggak ngerti, Andre itu dikenal baik di lingkungan. Dia punya jabatan strategis di perusahaan BUMN, orang nggak akan percaya. Bahkan polisi mungkin ragu kalau saya cuma nelpon dan bilang ada kejadian penganiayaan." Seno terlihat gelisah.
"Begini, saya dan beberapa guru ke sana... Ibu tetap lanjut ke rumah Rara. Saya, dan Pak Thoriq, tolong lapor ke polisi untuk ikut ke alamat rumah ini."
Seno tampak panik, bukan tak beralasan. Wajah lebam dan darah yang mengucur dari hidungnya membuat rasa kemanusiaannya terpanggil. Karena itu dia memutuskan ke rumah Indri dulu.
"Mas ini gimana sih? Kita mau nikah lho, Mas? Kok masih ngurusin temen?" protes Bu Rara yang dihubungi Seno.
Wanita itu sudah sangat cantik dengan kebaya putih modern dan jilbab yang menghias kepala serta mahkota. Jantungnya hampir copot mendengar pengakuan Seno bahwa temannya butuh pertolongan segera. Sementara penghulu juga akan segera tiba.
"Minta Pak Penghulu menunggu sebentar saja. Tolong, Rara. Ini masalah nyawa manusia, kalau tidak meninggal... misal, aku akan merasa bersalah sekali." Seno berusaha memberikan pengertian pada calon istrinya.
"Hubungi polisi saja sih, kenapa harus kamu, Mas? Gimana kalau Penghulu menolak menunggu?" Bu Rara panik dan gelisah, dia menatap orangtuanya yang keheranan.
"Kita akan menikah Rara, pasti. Kamu percaya ya. Biarkan aku menolong Indri dulu, setelah dia aman dengan polisi... aku akan datang dan kita akan menikah."
Rara tidak bisa memohon lagi, dia pasrah dan hanya memberitahu orangtuanya tentang kejadian yang dialami Seno. Tentu saja mereka terkejut, karena ini bukan hal main-main. Pernikahan ditinggalkan demi menolong nyawa orang lain, entah harus kagum atau seperti apa.
Seno mendatangi polisi, mengisahkan bahwa mantan istrinya kemungkinan mengalami penganiayaan dan penyekapan. Dengan bukti screenshoot saat melalukan video call, Seno meminta polisi mengikutinya ke rumah Indri.
Butuh waktu cukup lama untuk membuat berita acara laporan, lalu menuju rumah yang diduga terjadi penyekapan. Saat itu, Andre juga baru saja datang pasca meninggalkan Indri dengan Vivi di rumah untuk membeli barang yang dia butuhkan.
Vivi tampak bingung, dia memilih pamit keluar rumah. Padahal sejak tadi Indri meminta bantuan agar bisa lari dari tempat ini, tapi gadis yang takut dengan ayahnya itu tidak berani menceritakan apa yang terjadi dengan Ibu tirinya pada para tetangga.
Takut, Vivi juga takut akan diperlakukan sama oleh Ayahnya. Mengingat Andre kadang temperamen, terlebih ketika dalam masalah pekerjaan yang menyita waktu dan pikirannya. Meski memberikan banyak uang, dia kadang membentak Vivi dan adiknya jika terlalu ikut campur.
Indri berada di dalam kamar kembali saat menyadari suaminya kembali. Dia hanya menangis meratapi luka lebam di wajah dan tubuhnya akibat kekerasan yang diterimanya. ART pun tak berani melapor pada warga, takut pada Andre. Mereka semua diancam akan diperlakukan seperti Indri jika berani melapor pada siapapun.
Andre, semakin kalap ketika mengetahui Indri kerap kali menghubungi Seno. Bahkan pernah melihat sendiri diantar pulang dan memeluk mesra di atas motor. Cintanya untuk Indri habis sudah, menyisakan kebencian dan rasa jijik karena ternyata wanita yang dinikahinya itu benar-benar tak bisa setia. Padahal dia pun sama, tak pernah setia dan tak pernah penuh cinta.
Beberapa kali gagal tender membuat Andre semakin pemarah, menumpahkan kekesalan pada Indri tiap kali tiba di rumah. Meski begitu, dia juga tetap menggauli istrinya dengan sesuka hati. Menyisakan penderitaan yang membuat mantan istri Seno itu menyesali setiap detik yang ada.
Hampir dua minggu tidak menghubungi Seno, sekalinya kembali mengabarkan justru meminta bantuan karena mengalami penganiayaan. Nurani Seno sebagai mantan suami yang pernah memiliki rasa tentu tidak tega melihat wanita diperlakukan tidak manusiawi. Karena itu dia nekat menolong Indri, karena yakin Rara akan memahami posisinya bahkan mungkin semakin kagum karena kebaikannya.
"Mas, aku mau pulang ke rumah orantuaku boleh? Daripada seperti ini, kita udah nggak saling cinta bahkan aku lelah jadi pelampiasan kemarahan kamu." Indri mencoba bicara baik-baik, meski luka di wajahnya masih tampak jelas.
"Berani melangkah keluar dari rumah ini bukan cerai yang aku kasih, tapi kubikin hidupmu kaya di neraka. Orangtuamu akan kubuat miskin jadi gelandangan," maki Andre dengan santai.
"Mas, salahku apa sih? Dulu kita begitu saling cinta. Sampai aku rela ninggalin Seno demi kamu. Karena aku sangat mencintaimu, Mas."
"Bullshit! Buktinya kemarin kamu ngejar-ngejar si Duda lagi, hem? Kamu kira aku nggak tahu kelakuanmu sama dia? Balas dendam? Dulu selingkuh sama aku, setelah dapat aku selingkuh sama dia. Kamu emang lacur! Nggak pantes jadi istri!" maki Andre sambil mendorong kepala Indri ke belakang, hingga terhuyung dan terjengkang.
Bell tanda ada tamu terdengar, berulang kali bahkan meneriakkan nama Indri. Andre membuka sedikit jendela dan melihat di gerbangnya ada polisi dan beberapa warga serta Pak RT.
"Kamu ngadu sama siapa, hem?" Andre semakin kalap, kali ini dia menarik rambut Indri yang menjerit kesakitan.
"Diem nggak!"
"Sakit, Mas. Gimana aku bisa diam?" rintihnya sambil memegangi rambutnya yang terasa seperti akan tercabut.
"Diam di sini, dan jangan keluar kamar," ancam Andre yang segera keluar dengan wajah santai dan tenang.
Dia membuka pintu rumah dan juga gerbang, karena ART-nya tidak berani membuka jika tidak diperintah.
"Ada apa, ya?" tanya Andre santai.
"Maaf Pak Andre, kami mendapat laporan dari kepolisian dan beberapa orang kalau katanya ada penganiayaan dan KDRT sama Bu Indri. Ini pelapornya," ujar Pak RT menunjuk Seno.
"Ngapain Bapak percaya dia? Dia ini mantan suami istri saya, dan mau menghancurkan rumah tangga kami. Jangan percaya, Indri baik-baik aja."
"Bohong, tadi dia menghubungi saya dan dalam keadaan lebam serta berdarah-darah," elak Seno dengan dingin.
Andre menatap pakaian Seno, yang tampak jelas sebagai seorang pengantin.
"Kamu udah mau nikah masih mikirin istri orang? Gila kamu, sana urusin hidup kamu dan jangan mencampuri rumah tangga saya," teriak Andre mulai tersulut emosi.
Adu mulut tak terelakan, bahkan kepolisian sampai turun tangan. Namun Andre tetap tidak mau mengizinkan siapa pun masuk ke dalam rumahnya.
"Kalau Indri baik-baik saja, suruh dia keluar," pinta Seno.
"Apa hakmu hah? Dia bukan istrimu lagi!"
"Buktikan kalau tidak ada kejahatan, ini masalah kemanusiaan. Bukan karena dia mantan istri saya!"
Indri yang dikunci di dalam kamar mengambil kendi, lalu memecahkan kaca dan berteriak ke luar.
"Seno! Tolong aku!" teriaknya dengan histeris. Membuat semua orang terkejut dan panik melihat wajah Indri yang penuh lebam.
Andre emosi dan hendak menghampiri istrinya, tapi polisi dan warga dengan cepat menahannya. Sementara Seno dan beberapa orang warga lainnya lari ke arah Indri yang menangis histeris di jendela kamar.
Indri semakin histeris dan rapuh saat didekati Seno, dia memeluk erat hingga darah dari tangan dan wajahnya mengotori pakaian pengantin. Semua terkejut dengan kejadian yang ada, bahkan semua warga keluar karena hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Anak lelaki Andre tak banyak bicara, hanya diam dengan mata yang basah ditenangkan oleh tetangganya. Sedangkan Vivi entah ke mana, dia pergi karena merasa hidupnya sama sekali tidak berarti. Hancur dengan trauma melihat kisah rumah tangga ayahnya.
Indri, akhirnya dibawa ke rumah sakit. Dia enggan ditinggalkan Seno yang harus kembali ke rumah mempelai wanitanya.
"Aku akan menikah, Ndri. Rara menungguku," bisik Seno saat berusaha melepaskan tangan Indri dari tubuhnya.
"Kamu tega ninggalin aku? Gimana kalau Andre lepas dan nyiksa aku bahkan membunuhku?" isaknya penuh ketakutan.
"Ada polisi di sini, tetanggamu juga. Orantuamu dalam perjalanan."
Indri menggeleng,
"Enggak, No. Aku mau kamu. Kita ini jodoh, kamu nggak akan bisa nikah sama Rara karena kamu jodohku. Lihat aku saja hancur karena menikah dengan jodoh yang salah. Kita ini ditakdirkan untuk bersama, No," teriak Indri tak peduli rekan kerja Seno dan polisi ada disana.
"Aku harus menemui Rara, maafkan aku Indri." Seno meminta perawat memegangi Indri yang histeris, sedangkan dia melangkah pergi meninggalkan rasa perih karena tidak tega dengan jeritan Indri yang seperti tidak lagi normal.
Dengan cepat dia menggunakan ponsel dan menghubungi calon istrinya, tapi tidak diangkat.
Dengan panik Seno kembali ke mobil, menuju rumah calon istrinya. Lalu menghubungi Aditya, adiknya.
*****
Seno tiba di rumah Rara pukul satu siang. Kasus yang membelit Indri tentu tidak mudah, dia harus menjadi saksi dan menandatangani berita acara dan pelaporan sebagai saksi korban lebih dulu. Belum lagi Indri yang menangis dan enggan ditinggal.
Selama di jalan, dia sudah diberitahu adiknya bahwa penghulu telah pulang karena tidak bisa menunggu. Ada banyak pengantin yang harus dinikahkan. Sedangkan keluarga Bu Rara sudah pasti kecewa dan tersinggung dengan apa yang terjadi.
Bahkan mempelai wanita tidak keluar lagi sejak penghulu memutuskan pulang, pun beberapa tamu memilih pulang dengan berbagai macam bisikan dan dugaan.
Seno melangkahkan kaki menuju rumah yang masih terhias indah, tapi terasa sunyi dan sepi. Dengan mengucap salam, dia menemui orangtua Rara dan mencium punggung tangan mereka. Berusaha menjelaskan duduk permasalahannya.
"Yah, mau gimana? Penghulu sudah pulang ... tamu juga kecewa dan kami merasa dipermalukan, itu intinya," ujar Bapaknya Rara dengan suara yang tegas.
"Saya minta maaf, Pak. Sungguh... saya hanya tidak bisa membayangkan jika saya tetap menikah, lalu ada kabar bahwa orang yang meminta tolong saya itu meninggal. Akan ada rasa bersalah yang sangat dalam, sedangkan pernikahan... bisa sekarang."
Seno bingung mengambil kata yang tepat untuk mengatakan menikah bisa kapan saja sedangkan keselamatan orang lain tidak bisa diprediksi.
"Terserahlah, kamu temui Rara dan tanyakan akan seperti apa." Pria paruh baya berkumis tebal itu memalingkan pandangan dengan tarikan nafas berat.
Sementara Seno bangkit, berjalan menuju kamar yang pintunya berhiaskan bunga-bunga indah. Mengucapkan salam, menatap wanita yang tengah menangis di pinggir ranjang.
Seno berjalan ke hadapan Rara, lalu berjongkok dan meraih kedua tangan wanita yang memalingkan pandangan darinya.
"Maafkan aku, Ra. Sungguh... aku hanya tidak mau dia mati di saat kita mengikat janji suci."
Rara menoleh dan menatap calon suaminya,
"Dengan mempermalukan aku? Mempermalukan keluarga besarku?"
Seno menggeleng,
"Kita akan klarifikasi saat resepsi. Kita akan tunjukkan cinta kita hanya sedang diuji," rayu Seno dengan sangat manis.
Lesung pipinya tampak dalam dan alis tebalnya tampak menggoda, meluluhkan hati sang Pujaan.
"Aku nggak tahu, Mas. Aku sudah malu, aku juga takut."
"Takut apa?"
"Takut kamu nggak akan pernah bisa lepas dari wanita itu meski setelah kita resmi menikah."
"Nggak akan-"
"Nggak ada jaminan! Lihat, di hari yang sakral saja kamu bisa memilih dia daripada aku. Bisa dibayangkan setelah kita menikah dia juga akan merecoki rumah tangga kita. Bahkan mungkin bukan cuma mantan istrimu, tapi muridmu itu." Rara terus berteriak menumpahkan emosinya.
"Aku janji-"
"Jangan janji apapun, Mas. Aku lebih baik mundur daripada harus berbagi dengan Dara atau Indri. Aku tidak mau menyesal setelah kita menikah nanti, aku juga nggak mau jadi janda. Lebih baik aku mundur sebelum semua terlambat."
"Rara, kumohon... jangan seperti ini. Aku minta maaf, aku bersedia bersumpah tidak akan lagi menemui Dara atau Indri, hanya akan menjadi pria milikmu satu-satunya."
Rara tetap menggeleng, membuang pandangan dan bangkit dari duduknya.
"Maaf, Mas. Aku tidak akan sanggup menikah dengan pria yang digilai banyak wanita. Aku tidak akan siap menjadi istrimu. Pulanglah, rasa malu ini akan sembuh dengan sendirinya. Daripada jika tetap memaksa lalu aku menjanda dan akan menyesali seumur hidupku." Rara terus mengulang bahwa dia enggan menjanda, dikarenakan Seno terlalu baik pada wanita mana saja.
Seno bangkit, lalu menatap wanita yang kini menolak menikah dengannya.
"Beri aku kesempatan sekali saja," pintanya dengan penuh harap.
Rara tetap menggelengkan kepala, lalu keluar kamar dan menemui Ibu Bapaknya juga menemui Ibunya Seno dan juga adik-adiknya.
"Kami memutuskan membatalkan pernikahan ini, mungkin kami bukan jodoh," ucap Rara dihadapan semua orang yang masih setia menunggu, termasuk rekan kerjanya di sekolah.
"Maafin Rara ya, Bu. Rara nggak siap nikah dengan Mas Seno yang baik sama perempuan mana saja," lanjutnya menghampiri Ibunya Seno dan memeluknya. Lalu mencium punggung tangannya dan lari ke dalam kamar.
Seno memijat batang hidungnya, menahan air mata yang hampir membuncah. Keputusan Rara tak jauh beda dengan orangtuanya, mereka merasa dipermalukan dan tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.
"Sabar," bisik Kepala Sekolah yang turut serta hadir dan tetap setia menemani.
"Baiklah," hanya itu yang Seno katakan di hadapan banyak orang, lalu berpamitan pada orangtua Rara dan meninggalkan rumah itu dengan penuh duka.
Hatinya hancur, hingga tangis tak mampu dia bendung dalam perjalanan pulang. Mobil baru yang dia siapkan untuk sang istri, kini dikendarai oleh Ditya adiknya. Sementara Seno hanya menatap jalanan dari kaca samping kiri, meratapi kisah cintanya yang kembali kandas dan sama tragisnya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment