NEED A WIFE 12
"Dara, kamu nggak apa?" Tanya Guru olahraga yang langsung mendekati muridnya yang meringis dan mengangguk tanda baik-baik saja.
Namun matanya terus dia erjapkan seolah masih berbayang.
Dara kembali berdiri ke posisinya, menunduk tapi darah menetes dari hidungnya.
"Ya ampun hidungnya Dara berdarah," teriak Siswi dihadapan Dara.
Sontak Dara terkejut dan memegang hidungnya, pandangannya mulai berkunang-kunang hingga tubuhnya kembali lunglai dan terjungkal ke belakang lagi.
"Astaghfirullah," pekik Seno yang semula hanya mengamati dan merasa iba, kini panik dan langsung menyongsong Dara.
Tangannya cepat mengeluarkan saputangan yang ada di saku celananya, lalu mengusap hidung Dara yang penuh dengan darah. Kemudian mengangkat tubuh gadis yang masih setengah sadar itu dengan cepat, berjalan ke ruang UKS.
Dara menatap dengan samar, dia hanya menyesali kenapa Seno harus seperhatian itu padanya. Padahal sudah jelas itu hanya akan menambah luka dihatinya, memperbesar keinginan untuk memiliki tapi sudah pasti tidak mungkin.
Dara berbaring di ranjang, dengan sudut mata yang basah. Sementara Seno membantu petugas UKS menyiapkan kompres untuk hidung muridnya.
"Nafas dari mulut ya," pinta Petugas jaga sambil meluruskan wajah Dara supaya tak menengadah ataupun menunduk. Lalu membersihkan hidungnya dan memakaikan kain kasa untuk menghentikan sementara aliran darah.
"Pusing?" Tanya Petugas lagi menatap Dara yang mengerjap berulang.
Dara hanya mengangguk.
"Siapa sih yang nyemes keras juga ya?" Tanya Petugas itu lagi.
"Voni emang smashnya kuat, Bu. Tahu sendiri dia ‘kan masuk tim remaja DKI," jawab Teman Dara yang sedari tadi menemani.
"Ah, iya. Si Voni mah jago. Dara kok bisa nggak siap sih?" Tanyanya lagi sambil mengeluarkan paracetamol dari kotak khusus.
"Iya, nggak konsen," jawab Dara berat.
Seno hanya membuatkan teh manis, lalu menaruhnya di sisi tempat tidur. Menatap Dara yang diminta menyandar di bantal tinggi dan disuruh minum teh yang dibuat Seno.
"Istirahat dulu ya, nanti kalau masih pusing juga, ke dokter aja ya," ujar Penjaga.
Dara hanya mengangguk,
"Udah nggak papa kok. Mendingan," jawabnya dengan menarik nafas panjang dari mulut.
Setelah itu semua keluar, hanya menyisakan Seno dan seorang teman Dara yang bertugas menjaganya. Sesekali keduanya saling lirik, hendak bicara tapi sungkan karena ada siswi lain disana.
"Siapa yang sakit?" Suara itu mengejutkan Seno yang masih berada di ruang UKS.
Bu Rara datang dan pasti dia cemburu mengetahui dirinya masih menemani Dara.
"Kamu di sini?" Tanya Bu Rara pada calon suaminya.
"Iya, kebetulan tadi pas ada siswi pingsan... aku yang ada di dekat lapangan," jawab Seno mulai kebingungan.
Bu Rara menoleh ke tempat tidur, disana Dara tengah memejamkan mata. Pandangannya kembali ke arah Seno yang memelas meminta dia untuk tidak salah faham, dengan kedipan kedua matanya sambil sedikit memainkan bibir. Dan tanpa disadari keduanya Dara membuka mata, menyaksikan adegan romantis dari ekspresi mata dan bibir Seno pada Bu Rara.
_'Kan, aku bilang juga jangan terus perhatian sih. Kenapa masih juga baik sama aku padahal hatinya buat perempuan lain? Cuma bikin sakit hati aja,'_ keluh Dara sambil memejamkan mata.
Sepasang sejoli itu akhirnya keluar dari ruang UKS, menuju ruang guru lagi dengan tetap berjalan sejajar. Menunjukkan bahwa keduanya adalah pasangan serasi yang akan segera resmi menyandang status sebagai suami istri.
"Jadi yang-"
"Kebetulan," potong Seno pada Bu Rara yang hendak membahas pertolongannya pada Dara.
"Rara, kamu tahu ‘kan orang bilang menjelang pernikahan itu ada banyak ujian menghantam. Ada yang kuat, hingga akhirnya menikah. Ada yang tak sanggup dan memilih menyerah. Pun, ada yang tanpa rintangan tapi setelah menikah justru ujiannya berat. Jadi aku mohon, percayalah dengan ketulusan aku mencintai dan ingin menikahi kamu. Apapun yang terjadi antara aku dan Dara itu hanya kebetulan, dan bagian dari ujian pernikahan kita." Seno menatap mata calon istrinya yang langsung tertunduk karena selalu terbakar api cemburu.
Bu Rara memang pendiam dan santun, tapi rasa cemburunya pun kadang sangat besar. Itu wajar, karena dia memang ingin memiliki sendiri pria yang jadi rebutan tersebu. Mana ada wanita yang ingin berbagi bukan?
"Maafin aku, ya. Benar, mungkin ini ujian kesabaran buat aku. Lagi-lagi kamu kepentoknya sama Dara," ujar Bu Rara dengan senyuman rasa bersalah.
"Alhamdulillah, jadi... nanti kita pulang bareng ya," pinta Seno dengan kembali duduk ke kursi miliknya.
"Yah, nggak bisa. Lupa tadi temen-temen guru ngajak makan dulu di restoran baru. Kamu ikut ya, eh tapi perempuan semua," kekeh Bu Rara sambil menatap dengan manis.
"Ya udah, nanti aku jemput aja pas pulang ya," ujar Seno tetap ingin menunjukkan rasa cintanya.
"Ok," balas Bu Rara dengan senyuman bahagia.
Keduanya keluar dari ruang guru, melanjtukan tugas masing-masing mentransfer ilmu pada anak didik mereka di kelas.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, Bu Rara dan rekan-rekan guru sudah pergi sejak tadi menuju rumah makan baru yang konon sedang diskon jika makan lebih dari lima orang. Seno yang harus memindahkan data nilai kelas 12A untuk Bu Hanifa masih di ruang guru. Setelah selesai dia keluar dan bersiap pulang.
Saat melewati gerbang dia melihat Dara masih mematung memandang ke ujung jalan, menunggu jemputan. Entah tarikan apa yang membuat Seno berhenti dan mengajaknya pulang bersama.
"Belum dijemput, Ra? Ayo saya antar," tawarnya dengan lembut.
"Nggak usah, Pak. Bang Bagus dah jalan kok, telat katanya karena ada meeting," jawab Dara dengan menoleh sekilas.
"Wajah kamu pucat, sudah enakan hidungnya?" Tanya Seno lagi.
Hanya anggukan yang Dara perlihatkan sebagai jawaban. Setelah itu, Seno pun melajukan motornya meninggalkan sang Gadis seorang diri.
Dara menghubungi Kakaknya yang belum juga datang. Ternyata mobilnya mogok dan sedang dibawa ke bengkel dekat kantornya lebih dulu.
"Kamu naik ojol deh," ujar Bagus dari seberang telepon.
"Ok," jawab Dara lemah.
Di sisi lain, Seno terus mengamati Dara dari spion motornya. Kemudian mengitari sekolah hingga kembali ke depan gerbang di mana Dara tengah memesan ojek online.
"Nggak jadi dijemput?" Tanya Seno, spontan Dara mengangguk tapi juga menggeleng dengan cepat.
"Ayo naik," titah Seno dengan tatapan iba.
Dara menggeleng, lalu menunjukkan pesanan ojek online.
"Batalkan saja," pinta Seno enteng.
"Bapak mau saya suruh batalkan menikah dengan Bu Rara?" Tanya Dara dingin, membuat Seno menatapnya dengan diam tanpa jawaban apapun.
Dara menatapnya tajam.
"Bapak ‘kan tahu, Dara ini suka sama Bapak tapi nggak terbalas, jadi ngapain masih perhatian begini? Cuma bikin luka dihati Dara makin besar saja lho. Kalau emang nggak ada hati sama Dara, abaikan aja. Pelan-pelan, luka dihati ini akan sembuh. Mungkin... mungkin saat ada pria lain yang datang sebagai pengganti Bapak yang mengisi hati Dara saat ini," papar Gadis itu dengan berani dan mata yang basah.
"Perhatian Bapak seperti ini hanya semakin membuat Dara sakit, mengharap yang tak mungkin."
Seno menunduk, dia sendiri tidak tahu alasannya begitu perhatian terhadap muridnya ini. Semua terjadi dengan spontanitas, seolah ada yang memerintah dan dia tak mampu menolak.
Sebuah motor berhenti di belakang motor Seno, menyebutkan nama Dara sesuai di aplikasi ponselnya. Gadis itu mengangguk dan menaiki motor Vario yang merupakan ojek online, meninggalkan Seno yang diam mencari jawaban dari apa yang ditanyakan oleh Dara.
"Aku juga nggak tahu, Ra. Kenapa aku ingin terus melindungi kamu," gumamnya sambil menatap punggung Dara yang semakin menjauh.
*****
Tiba di rumah, Seno melamun dan memikirkan perkataan Dara. Benar, perhatiannya pada Dara hanya menambah luka hati gadis itu. Karena sudah jelas dia tidak bisa menerima cinta muridnya yang masih sangat muda.
Kegelisahannya dia curahkan pada sang Ibu yang keheranan melihatnya terus melamun dan gelisah.
"Kamu sreg-nya sama siapa?" Tanya sang Ibu penasaran.
"Dara itu baru mau sembilan belas tahun," jawab Seno dengan tawa kecil.
"Sudah dewasa kok kalau untuk menikah. Baik secara agama maupun negara."
"Iya, tapi ... dia kan pasti ingin kuliah dulu. Saya juga kapok nikah dengan perempuan terlalu muda, seperti Indri ... labil. Mudah terpengaruh, mudah terombang ambing."
"Nggak semua perempuan mudah seperti Indri juga, siapa tahu dia benar-benar siap jadi istri meski usianya muda."
Seno meringis,
"Rara itu tipe perempuan yang saya idamkan. Cantik, berkerudung, sopan, ada manja-manjanya... utamanya dewasa. Usia kami tak terlalu jauh. Sama-sama siap membina rumah tangga," ujar Seno lagi.
"Kalau gitu, ini ujian pernikahan antara kamu sama Rara. Singkirkan wanita lain dari hatimu, jika kamu mantap ingin menikahi Rara." Ibunya menatap dengan seksama.
"Kamu pernah gagal dengan Indri, jangan sampai gagal untuk kedua kali."
Seno mengangguk lemah, berusaha mengubur sesuatu yang selalu bersemi ketika melihat Dara. Rasa yang hampir serupa sering dia rasakan tatkala bersama Rara. Senyum dan sifat dua perempuan itu bertolak belakang. Rara sesuai impiannya dan Dara... entah apa istimewanya gadis itu hingga mengusik hatinya.
Di sisi lain, Dara mantap untuk merajut masa depan dan yakin kelak cinta monyet yang dia rasakan akan terlupakan begitu saja. Berusaha fokus menjalani kewajibannya sebagai pelajar, apalagi menjelang ujian akhir untuk kelulusan.
Target telah dia buat untuk dapat masuk universitas negeri, mendapatkan beasiswa dan membuat orangtuanya bangga.
Cinta mungkin belum saatnya dia kembangkan, cukup bagian dari sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa dia telah dewasa. Namun tak harus terealisasi dan tak harus dipenuhi.
Setiap hari, dia datang ke sekolah dengan semangat karena diantar Kakaknya yang satu arah menuju tempat kerja. Kadang naik ojek online, jika sang Kakak tugas keluar kota.
Sementara Seno, yang tak lagi mengajar di kelas Dara... diam-diam sering mengamati muridnya tersebut dari balik kaca ruang guru. Terutama saat jam pelajaran olahraga.
"Lupakan dia, No," gumamnya sambil menatap fotonya dengan Bu Rara di layar ponsel.
*****
Waktu terus bergerak melupakan banyak kisah dari para hati yang gundah gulana. Dara sedang fokus pada ujian akhir kelulusan, sedangkan Seno sedang mempersiapkan masa depan dengan pernikahan. Meski Bu Rara masih sibuk menemani siswa siswinya menghadapi ujian kelulusan.
Dara merasa lega karena ujian telah usai dan tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Matanya bergerak ke kalender di dinding kamar. Tanggal 23 Agustus, hari dimana Seno dan Rara akan menikah. Besok.
Semua rekannya di grup sekolah sibuk membahas apa yang akan mereka kenakan untuk besok, tapi tidak dengan Dara. Dia malah ingin ikut Kakaknya bertugas ke Semarang untuk lima hari. Kebetulan sekolah juga diliburkan karena baru saja selesai melaksanakan ujian.
"Biar nggak mumet kepala habis ujian sih, Bang," pintanya dengan penuh harap.
"Ya udah, tapi kamu tinggal di hotel dan jangan keluar seenaknya."
Dara merasa senang, akhirnya dia punya alasan tidak hadir di pernikahan Seno. Sore ini, dia berangkat dengan Babus menuju ibukota Jawa Tengah tersebut.
Di sudut lain Seno tengah gugup untuk kembali melangkah ke bahtera pernikahan. Namun di sisi lain rasa tidak sabar untuk kembali dapat merasakan syurga dunia pun kian terasa. Sebagai pria normal yang pernah menikah, tentu hal itu sangat wajar dia rasakan.
Terlebih Rara adalah sosok perempuan yang memiliki karakteristik sesuai harapannya.
Hingga pagi menjelang, hanya beberapa jam saja dia dapat lelap. Selanjutnya bersiap untuk datang ke rumah mempelai wanita yang akan menyambutnya dengan serangkaian acara adat. Karena Rara seorang gadis, tentu pernikahannya harus meriah sesuai adat yang ada. Begitu pinta orangtuanya. Seno pun setuju saja.
Hingga semua telah rapi, pun dia sangat tampan dengan pakaian pengantin berwarna putih tulang berjalan keluar menuju mobil baru yang sengaja dia beli untuk hadiah pernikahan.
Rombongan mempelai pria mulai bergerak meninggalkan komplek perumahan. Lebih dari sepuluh mobil minibus yang ikut mengantar, membawa seserahan hingga para tamu undangan dari tetangga.
Seno terus menebar senyum sambil menyetir sendiri mobil barunya, bercanda dengan rekan-rekan sejawatnya yang ikut menjadi pengiring. Namun candaan mereka terhenti saat sebuah video call dari nomor Vivi membuat Seno mengerutkan keningnya.
Dia mencoba menerima telepon itu, dan ternyata gambar Indri yang penuh luka lebam dan berdarah di wajahnya.
"Indri?" Tanya Seno panik dan langsung meminggirkan mobilnya, diikuti oleh mobil lainnya.
"No, tolong aku No. Andre nyiksa aku terus. Ini aku sengaja ambil HP Vivi karena HPku udah dihancurin sama dia. Tolong aku, No. Aku nggak mau mati di sini," jerit Indri yang langsung mati panggilan teleponnya.
"Siapa itu, Pak?" Tanya Rekan Guru yang duduk dengan Seno.
Seno tidak menjawab, rasa kemanusiaannya terpanggil melihat luka di wajah mantan istrinya. Dia segera menghubungi Rara dan mengatakan akan datang terlambat karena ada hal yang harus dia kerjakan lebih dulu.
Meski dilarang oleh banyak orang, Seno tetap memilih ke rumah Indri dengan beberapa rekan pria untuk menolong wanita itu dari siksaan suaminya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment