Wednesday, October 21, 2020

Need A wife 11

NEED  A  WIFE
 11

"Selamat ya, duh nggak sabar kondangan kita," goda Para Guru saat Seno dan Rara tiba di ruangan kerja mereka. Kabar lamaran kemarin menyebar seantero sekolah. Ada yang setuju karena menganggap pasangan serasi, ada yang patah hati bohongan, tentu ada yang patah hati betulan.

Dara, salah satu yang merasakan hatinya bagai teriris sembilu menatap nanar ke jendela. Perih, mendengar bahasan teman-temannya membahas kemesraan Bu Rara dan Pak Seno tadi saat masuk ruang guru, sudah seperti pengantin baru. Saling tatap dengan senyuman menggoda. Seperti pasangan selebritis yang baru saja menikah dan viral di jagat sosial media. Foto keduanya bersanding dengan orangtua masing-masing terpampang di berbagai grup kelas.

Vivi memandang temannya yang terluka, ada rasa bersalah karena terus mempermainkan perasaan Dara untuk kesenangannya. Kadang ia juga bertanya, kenapa cinta itu rumit? Serumit pernikahan ayahnya dengan istrinya yang sekarang, pasca Ibu mereka meninggal ketika Vivi masih TK.

"Lho jatuh cinta beneran sama Pak Seno ya?" Tanya Vivi duduk di sisi Dara yang sejak tadi hanya mencoret-coret halaman kertas yang kosong.

"Sorry, Vi. Ortu gue melarang gue main sama Lo lagi," katanya pelan.

"Gue tahu, gue juga nggak bakal ngerjain Lo lagi. Sorry, kalau selama ini gue emang manfaatin keluguan Lo buat seneng-seneng aja." 

Vivi menatap ke papan yang kosong.

"Maksudnya?" Tanya Dara heran.

"Selama ini gue sering taruhan sama Lo cuma buat senang-senang. Seru aja saat Lo kalah, atau saat Lo menang. Buat gue itu hiburan banget, bisa ngalihin pikiran gue."

Dara menatap teman dekatnya tersebut, ada rasa iba di hatinya. Namun dia tidak punya pilihan lain selain menjauhi Vivi yang dianggap membawa dampak buruk bagi dirinya. Namun, melihat Vivi hari ini terlihat sangat beda. Keaslian dirinya seperti nyata bahwa sesungguhnya dia harus perhatian orangtua.

"Vi, apapun yang terjadi dengan hidup Lo. Berusahalah untuk berubah, sayangi masa depanmu. Masa depan kita masih panjang," ujar Dara pelan.

Vivi mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya. Membuka ponsel dan memutar adegan Seno dan Dara di parkiran Kantor Polisi.

"Kalian cocok," gumamnya sambil tersenyum sinis. 

Lalu membuka ponsel yang satunya, nomor yang tak dimiliki siapapun. Setelah itu memindahkan video tersebut ke nomor rahasianya. Kemudian dia kirimkan pada nomor yang tertera dengan nama Bu Rara. 

*
Bu Rara yang tengah melamun membayangkan masa depannya dengan Seno terkejut saat sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal masuk. Isinya sebuah video. Awalnya dia ragu untuk membukanya, tapi melihat Seno di layar depan membuat dia penasaran.

Video pertama terputar, terlihat Seno menahan tangan Dara yang hendak pergi darinya. Seperti adegan sebuah film romantis, calon suaminya itu terlihat gelisah di dekat sang gadis muda.

Nafas Bu Rara terlihat sesak dan langsung membuka video kedua.  Isinya bagaimana Seno memaksa Dara duduk di jok motornya, menyerahkan helm yang biasa dia pakai.
Bu Rara inget, beberapa hari lalu ada kasus murid-muridnya yang ditangkap polisi karena mengunjungi tempat hiburan malam. Di WAG guru dikatakan, Seno yang menjemput mereka. Anehnya, kenapa Seno hanya mengantar Dara sementara yang lain dijemput orangtuanya.

Dengan perasaan cemburu, dia membuka nomor kontak calon suaminya dan menghubunginya dengan tidak sabar.

_‘Assalaamualaikum,’_ sapa Seno dengan lembut dan manis.

‘Waalaikum salam, bisa ketemu?’ Tanya Bu Rara sedikit judes.

_‘Kok judes amat, ntar ilang cantiknya lho,’_ goda Seno dengan kekehan lembut.

‘Au ah, jemput aku ya. Ada yang mau aku kasih lihat,’ katanya dengan wajah cemberut dan penuh cemburu.

_‘Baik Nyonya Abhiseka,’_ balas Seno manis.

Bu Rara menyunggingkan senyum merona, tapi dia ubah jadi cemberut lagi saat ingat adegan mesra Seno dah Dara di video.

Butuh waktu tiga puluh menit sampai Seno tiba di rumah Bu Rara, sang wanita sudah siap di luar pagar rumahnya. Keduanya langsung melesat meninggalkan rumah bercat putih tersebut. Untuk kemudian melaju di jalanan ibukota yang tak sepadat biasanya.

Sebuah restoran lesehan menjadi tempat keduanya duduk tapi masih saling diam. Seno hanya memesan makanan, lalu menawarkan pada calon istrinya yang cemberut saja.

"Samain aja, Mbak," katanya dingin.

"Kok jutek sih? Ada apa?" Tanya Seno lembut.

"Apa kamu selalu selembut ini sama setiap perempuan?" Tanya Bu Rara menatap manik mata Seno yang mengernyitkan dahi.

Bu Rara mengeluarkan ponsel, menunjukkan video pada Seno yang hanya tersenyum kecut sambil menggeleng santai.

"Jadi ceritanya lagi cemburu nih?"

"Wajar nggak sih, aku cemburu? Atau emang adegan ini terlalu romantis?" Bu Rara balik bertanya. 

"Kenapa juga sampai kamu antar? Yang lain aja dijemput orangtuanya. Memang kamu siapanya dia?" Cecar sang Calon Istri membombardir dengan pertanyaan.

Seno tersenyum, 

"Aku senang kamu cemburu," katanya sambil menatap manik mata Bu Rara yang langsung bergerak menghindar tapi dengan rona merah jambu di pipinya.

"Dara, Ayahnya bisa kena serangan jantung kalau tahu dia di Kantor Polisi. Makanya aku antar untuk menjelaskan supaya keluarganya nggak syok. Dia korban salah temenan aja, dikerjai Vivi. Taruhan lagi," papar Seno dengan menarik nafas berat.

"Kamu kok perhatian banget sama dia?"

"Karena dia murid kita, Rara. Cuma itu. Apa kamu nggak percaya dengan ketulusan hati aku yang sampai melamar kamu sama orangtuamu?" Tanya Seno dengan tatapan tajam lalu berubah jadi senyuman hangat. 

"Aku mencintai kamu, haruskah kuperjelas seperti ini?" Tanyanya lagi dengan tatapan yang memabukkan. 

Seolah menyihir Bu Rara yang langsung luluh. Tangan Seno bergerak, menyentuh jari-jari lentik guru matematika tersebut. 

"Aku bahkan nggak sabar pengen mengecup tangan ini, bahkan...  pipi itu," bisik Seno menatap calon istrinya dengan tatapan penuh hasrat, 

"Juga... bibir itu," lanjutnya, membuat Bu Rara menunduk dan menggigit bibir bawahnya.

"Hanya itu?" Tanya pelan dengan sorot mata mengharap.

"Haruskah lebih jelas lagi? Di tempat umum seperti ini?" Goda Seno membuat Bu Rara tersipu dan menutup mulutnya dengan manis. 

Hingga dia terkejut saat sebuah benda hangat mendarat di punggung tangannya cukup lama, kecupan dan hisapan yang sangat memabukkan.

"I love you," bisik Seno lagi dengan mengedipkan sebelah mata.

Bu Rara tersipu, memalingkan wajah tapi tangan masih dia pertahankan di tempat yang sama. Dengan ibu jari Seno terus mengelusnya. Aksi keduanya berakhir saat pelayan restoran datang membawakan pesanan mereka. Keduanya mulai membahas masalah pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Bahkan rencanya setelah ini akan memesan kebaya pengantin juga mencari Wedding Organizer yang akan mereka percaya untuk mengurus prosesi peresmian kisah cinta keduanya.

*****  

Dara menatap foto undangan pernikahan yang diunggah teman-temannya di grup chat whatsapp mereka. Dengan foto pre-wedding yang manis dari dua orang manusia tampan dan cantik tengah menatap satu sama lain. Tak bisa dipungkiri, hatinya sedikit perih saat membaca nama yang tertera di sana. Seno Abhiseka, S.Pd dan Rara Hayuningtyas, S.Pd

Vivi menanyakan keadaan Dara pasca mengetahui semua ini, dia cemas karena tahu temannya itu mencintai Pak Seno. Apalagi ketika teman-temannya ramai membahas ini, Dara tak berkomentar sama sekali.

"Lo baik-baik aja ‘kan?" Tanya Vivi dengan cemas via chat pribadi.

"Iya, cuma bingung aja nanggepinnya hehe", balas Dara berusaha baik-baik saja.

"Syukurlah, udah... mungkin bukan jodoh. Kali aja jodoh Lo masih jauh, kuliah dulu yang bener, baru kawin," balas Vivi dengan emoji tertawa.

"Hu'um, hilang satu tumbuh seribu," balas Dara lagi dengan emoji tertawa sambil menangis. 

Meskipun dia menangis sungguhan ketika menuliskannya.

"Ah, cinta monyet itu memang menyebalkan. Menyakitkan, lumayan membekas," Keluhnya sambil menatap langit-langit kamar. 

"Ayah bilang jangan kalah sama nafsu, mungkin ini cuma nafsu bukan murni cinta."

Dara melemparkan ponsel dengan isakan pelan, tidak bisa dipungkiri hatinya sakit. Dia gadis beranjak dewasa, sudah menyadari akan seperti apa yang namanya pernikahan, bersama dengan seorang pria dan memiliki anak nantinya.

"Duh, aku kok sakit banget rasanya," keluhnya sambil menutup wajah dengan bantal berharap rasa nyeri dihatinya hilang.

Malam dilalui dengan sulit memejamkan mata, berusaha mengingat setiap petuah dari Ayahnya. Bahwa jodoh itu sudah tertulis di langit, sejak seorang manusia ditiupkan ruhnya di dalam rahim.

Dara berusaha meyakini bahwa dia mungkin tak berjodoh dengan Seno, pun hatinya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Sekarang, dia hanya harus fokus belajar untuk mengikuti ujian tingkat akhir sekolah. Untuk selanjutnya akan menghadapi kehidupan baru di kampus, sebagai mahasiswa dan mungkin akan bertemu cinta di sana.
Hingga pagi menjelang, hanya sekitar dua jam dia lelap memejamkan mata. Sisanya gelisah tiada berujung.

Ketukan di pintu menandakan Bagus memintanya segera bangun, karena sejak kejadian itu Dara selalu diawasi Kakaknya. Tidak boleh bermain sepulang sekolah, bahkan tidak boleh bergaul dengan Vivi. Bagi sang Kakak, Vivi membawa dampak buruk akibat kurang perhatian orangtua.

"Apa harus dihindari, Bang? Kan kasian udah mah nggak diperhatikan orangtuanya eh dijauhi juga sama teman," protes Dara suatu ketika.

"Faktanya, kamu nggak bisa bawa dia jadi baik. Perhatianmu nggak menjadikan dia lebih baik. Malah kamu yang terpengaruh dia, iya ‘kan?" papar Bagus dengan tatapan serius.

Dara tak bisa membantah, semua itu benar adanya.
Kini, dia berdiri di gerbang sekolah sambil mengecek buku yang takut tertinggal di rumah. Di parkiran, dia masih sibuk membuka tas dan juga mengecek bekal makan siangnya. Hingga sebuah motor merah melintas dan berhenti tak jauh dari dirinya.

"Nggak lupa bawa PR ‘kan, Dara?" Sapa Bu Rara yang membuka helm berwarna merah jambu lalu diserahkan pada  pria yang justru tengah memandang Dara dengan tatapan tak terbaca.
"Eh, enggak, Bu. Cuma ngecek bekal makan saja, takut kebawa Kakak," jawab Dara dengan senyuman kaku dan enggan menatap pria di belakang Bu Rara.

"Ya sudah, bentar lagi kan bell masuk. Nanti dicatat telat lho kalau belum melewati gerbang satunya." 

Wanita itu terasa lebih perhatian dari sebelumnya, karena dulu biasanya hanya menyapa seperlunya seperti kebanyakan guru lain.

"I-iya, Bu. Permisi," ujar Dara segera berjalan, 

"Mari, Pak," katanya dengan tanpa menoleh pada Seno yang merasa kehilangan kehangatan senyum manis sang dara.

Bu Rara menoleh pada calon suaminya yang segera menaruh helm di motor. Seolah tengah mencari tahu ekspresi dari pria yang dulu ditaksir muridnya tersebut.

"Dara jadi dingin dan pendiam ya?" Tanya Bu Rara mencoba memancing.

"Masa sih? Emang dulu dia rame juga sama kamu? Kirain sama saya doang karena taruhan sama Vivi," jawab Seno seolah ingin memberitahu calon istrinya, kalau sikap Dara selama ini tak lebih karena taruhan. Bukan naksir sungguhan.

"Taruhan? Waduh, pantes." 

Wanita cantik itu berjalan lebih dulu, disusul Seno yang terlihat semakin menawan di mata para siswi. Sayang, mereka tak lagi bisa cari perhatian karena sudah ada yang menjaganya dengan wajah sinis dan waspada. Dialah Bu Rara.

*****  

"Hari ini hari terakhir saya mengajar kelas dua belas, karena besok Bu Hanifa dah mulai masuk," ujar Seno ketika mengajar di kelas 12 A.

Semua menyayangkan karena sudah terlalu nyaman dengan Pak Seno, hanya satu orang yang senang akhirnya pria itu tidak lagi mengajar kelasnya.

Dara, dia merasa lega akhirnya akan jarang bertemu dengan gurunya tersebut.  Itu lebih baik untuk mengobat luka di hatinya yang tak nampak. Bahkan setiap pelajaran berlangsung, dia hanya menatap papan putih dan tak pernah menatap Seno yang tengah menerangkan.

Ketika pelajaran usai, seperti biasa Seno masih mengisi buku agenda dan absen, sementara para siswa sudah mulai keluar kelas. Hanya menyisakan beberapa orang saja termasuk Dara.
Pria itu menoleh pada Dara yang sibuk mengeluarkan bekal kotak makan. Seno tersenyum, mengira Dara masih seperti dulu hendak mengunci mereka berdua di kelas.

"Ra, gue makan di kantin ya. Nggak bawa bekal," ujar teman Dara yang biasa makan berdua di kelas.

"Yah, bawa ke sini sih makanannya." Dara menatap temannya.

"Oke, bentar ya," balas temannya sambil berlalu.

Dara mengedarkan pandangan, hanya tinggal dia di kelas dan... Seno.

Mata keduanya bertemu, rasa perih teriris kembali menyiksa. Gadis itu segera menutup bekal makan dengan tergesa, berdiri lalu berjalan ke bangku paling belakang berniat keluar dengan memutar tidak melalui meja guru.

Saking terburu-buru, dia menabrak ujung meja dan mengaduh, tapi rasa sakit itu tak sesakit apa yang dirasakan hatinya saat ini. Dengan cepat dia menuju pintu dan bersiap mendorongnya.

"Dara," panggil Seno yang langsung berdiri dan mendekat ke arah Dara yang menghentikan langkah.

"Iya, Pak," jawab Dara dengan tertunduk.

"Sakit nggak?" Tanya Seno lagi.

"Maksudnya?" Dara tampak kesal, karena mengira Seno sedang membahas hatinya pasca akan ditinggal menikah dengan Bu Rara.

"Perut kamu, barusan nabrak meja kan?"

Dara menarik nafas panjang, 

"Oh, dikit. Nanti juga hilang sakitnya, Pak," jawab Dara sambil berniat kembali membuka pintu.

Namun tangan kekar itu meraih dan menggenggam pergelangan tangan mungil muridnya. Hingga Dara menoleh dan menatap tak berdaya, menunjukkan titik bening yang selalu dia sembunyikan.

"Kalau sakit bilang aja," bisik Seno.

"Iya, sakit banget. Tapi pasti akan sembuh seiring berjalannya waktu," jawab Dara pasti. 

Kemudian menatap pergelangan tangannya yang digenggam kuat oleh Seno, hingga kemudian terasa mengendur dan akhirnya terlepas.
Seno keluar lebih dulu, meninggalkan Dara yang masih mematung menatap kepergiannya.

Selama di kantin, Dara menjadi sangat pendiam. Berulang kali tidak konsen saat diajak bicara oleh teman-temannya. Sementara Seno pun sama, jadi pendiam dan memandang kosong selama di ruang guru. Bahkan tidak seceria biasanya ketika mengobrol dengan rekan kerjanya.

Sampai bell masuk kembali berdering, Seno masih melamun dan sessekali hanya mencoret-coret buku kosong dihadapannya. Matanya menoleh ke luar saat nama seseorang terdengar diteriakkan oleh guru olahraga yang mengatur posisi siswi yang akan bertanding volley di halaman sekolah.

"Dara, kamu toser ya," teriak sang Guru memberi perintah.

Seno melangkah keluar, jam setelah istirahat dia tidak ada jadwal mengajar karena itu bisa melihat siswa siswi olahraga.

Dara tampak fokus dan semangat, berulang kali dapat memblokade bola yang masuk ke lapangan miliknya. Teriakan semangat juga terlontar dari bibir tipisnya, bahkan berulang kali melakukan touse dengan rekannya.
Namun senyumnya hilang saat bola terlempar ke sisi lapangan, dan dilemparkan pria yang sedang menontonnya bertanding. Wajahnya berubah sayu kembali, fokusnya mulai pudar. Hingga saat lawannya bersiap melakukan smash, dia bingung antara memblok dengan pasing atas atau menerima dengan pasing bawah, karena pemain yang akan menyerang berada di bagian belakang net.

Pada akhirnya, sebelum dia memutuskan ... bola sudah meluncur lebih dulu dan menghantam wajahnya hingga terjengkang.

"Dara!" Teriak temannya yang melihat Dara memegangi hidungnya bahkan dia mulai mengerjapkan mata berulang-ulang.

Bersambung 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER