Tuesday, October 20, 2020

Need A Wife 10

NEED  A  WIFE 10

"Hallo, Dit. Aku masih harus ngantar muridku yang di Kantor Polisi.  Jadi tolong sampaikan sama Ibu ya." 

Seno menghubungi adiknya agar memberitahu Ibu mereka kalau masih mengurus anak-anak didiknya yang bermasalah. Setelah itu dia menoleh pada Dara yang masih membisu dengan wajah pucat.

"Kamu lihat, hasil taruhan dan gaya-gayaan kamu ini apa?" Tanya Seno dengan tatapan tajam.

"Semua karena Bapak nolak saya," jawab Dara kesal.

"Itulah, alasan saya nggak bisa nerima kamu, Dara. Kamu terlalu anak-anak. Ada banyak anak SMA yang bersikap dewasa dan bersiap menentukan masa depan mereka. Sedangkan kamu? Malah terpengaruh pergaulan yang buruk." 

Seno seperti ada kesempatan mengeluarkan unek-uneknya pada gadis yang mengaku menyukainya itu.

"Ya sudah, toh Dara juga udah nggak maksa untuk jadi pacarnya Bapak. Nggak usah juga dibahas terus."

"Emang kamu nggak sadar merepotkan banyak orang?" Seno meninggi.

Dara memandang lurus dengan mata yang basah, lalu menyeka pipi dan matanya dengan tangan.

"Ayo buruan naik," ujar Seno lagi saat melihat airmata Dara makin deras karena kata-katanya.

"Nggak usah, Pak. Dara sudah banyak merepotkan Bapak," jawabnya dengan suara bergetar. 

Dia berniat berlalu untuk mengikuti mobil yang ditumpangi Vivi yang mulai melewatinya keluar dari parkiran. Hendak ikut dengan mobil temannya.

Namun tangan Seno menahan tangannya, menariknya ke arah motor yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Menggenggam pergelangan tangan Dara dengan kuat sambil membuka kunci motor.

"Saya akan antar kamu supaya Ayah kamu nggak syok, saya akan coba jelaskan kronologinya." 

Seno melemah dan menatap Dara yang masih terisak. 

"Ayo naik," pintanya lebih lembut.

Dia duduk lebih dulu di jok, tapi Dara masih mematung memandang ke arah mobil teman-temannya yang mulai keluar dari Kantor Polisi. Tak ada pilihan lain, selain duduk di belakang pria yang sudah menolak cintanya. Seno menyerahkan helm untuk dipakai.

"Nanti ditilang polisi lho, kita kan masih di Kantor Polisi," canda Seno berharap gadis di belakangnya tidak menangis lagi.

Dara menurut, meski dia sempat mengendus helm tersebut. Wangi parfum Bu Rara, batinnya dengan cemberut.
Jauh di lubuk hatinya, dia ingin membuang helm itu jauh-jauh karena menyadari selalu dipakai rivalnya yang jelas telah dipilih Seno.

*****   

Motor merah itu terus menerobos dinginnya malam ibukota. Melewati mobil yang ditumpangi teman-temannya Dara. Bahkan sempat berhenti karena gadis itu kedinginan, lalu Seno menyerahkan jaketnya untuk dipakai oleh Dara.

Momen itu diabadikan oleh kamera Vivi dengan senyuman jahilnya. Bukan hanya adegan dipakaikan jaket di pinggir jalan, juga adegan menggenggam tangan waktu ada di parkiran Kantor Polisi.
Senyum gadis yang tak pernah bahagia di rumah itu terlihat mengembang. Sebuah kejahilan telah dia rencanakan. Melupakan kesialannya malam ini, yang penting ada keseruan lainnya yang akan dia saksikan.

Sementara itu Dara dan Seno mulai tiba di rumah orangtua sang Gadis. Dengan sedikit gugup Dara mengetuk pintu rumahnya. Bagaimana pun, orang di rumahnya pasti tengah terlelap karena ini jam satu malam.
Namun tak disangka, kakak laki-lakinya yang membuka karena baru saja tiba.

"Katanya kamu di Kantor Polisi?" Tanyanya langsung saat melihat Dara diantar oleh seorang pria. 

"Ini?" Tanyanya serius.

"Saya Seno, Pak. Gurunya Dara," ujar Seno memperkenalkan diri.

Tak lama Ibunya keluar dengan cemas. 

"Akhirnya kamu pulang, Ibu cemas dari tadi waktu Ibunya Kalila bilang kalian di Kantor Polisi. Makanya Ibu nyuruh Abang kamu untuk jemput ke sana."

Rupanya, Ibu salah satu teman Dara menghubungi Ibunya Dara mengabarkan anak mereka di Kantor Polisi. Karena takut suaminya tahu dan sakit lagi, dia hanya meminta Kakaknya Dara--Bagus--untuk menjemput Dara di sana.

"Terima kasih, Pak. Sudah repot-repot mengantar Dara," ujar Bagus dengan sopan.  

"Sepertinya, tidak asing ya? Apa kita pernah ketemu?" Tanyanya dengan senyuman.

"Iya. Saat di pernikahan Indri dan Andre. Ayahnya Vivi temannya Dara juga," jawab Seno dengan sopan.

"Ah iya, baru ingat. Silahkan duduk," pintanya dengan melirik pada Ibunya agar disiapkan minum untuk tamu mereka yang datang malam hari.

"Jangan repot-repot, Bu. Saya juga pamit, ini sudah terlalu malam." Seno sangat sopan membuat Dara menatapnya tak berkedip. 

Menyayangkan bahwa pria ini akan menikah dengan orang lain.

"Tapi, saya ingin tahu apa yang terjadi dengan adik saya, kalau Bapak tidak keberatan menceritakan dulu," ujar Bagus dengan sungkan.

Seno mengangguk, lalu duduk di sofa sambil menggulung kemejanya. Menceritakan kronologis penangkapan Dara dan teman-temannya oleh polisi saat razia narkoba di sebuah tempat hiburan malam. Kemudian karena enggan menghubungi orangtua, pihak sekolah yang tertera di kartu pelajar mereka yang dihubungi untuk  konfirmasi.

"Saya diminta wakasek untuk menjemput, karena rumah saya lebih deka ke lokasi," pungkas Seno dengan senyuman hangat.

"Kamu ngapain udah berani ke tempat kaya gitu, Ra?" Tanya Bagus dengan tajam.

Dara menunduk kaku.

"Mulai besok kamu nggak boleh gaul lagi sama Vivi dan gengnya. Kamu sekolah, jangan ada acara main. Abang yang akan antar jemput kamu." Bagus menatap adiknya dengan tajam. 

"Kenapa berani ke sana?"

Dara menunduk, lalu perlahan mengangkat wajah dan menoleh pada Seno yang hanya menarik nafas panjang dan juga bingung. Haruskah membahas soal taruhan akan dirinya.

"Kalah taruhan, jadi dipaksa Vivi ikut ke sana," jawab Dara pelan.

Seketika tangan Bagus terangkat dan hendak menampar adiknya. Beruntung Seno dan Ibu Dara sigap menahan ayunan tangan Bagus yang mengarah pada Dara yang seketika terisak dan menahan ledakan tangisan.

"Sudah, Pak. Insyaallah ini jadi pelajaran berharga buat Dara," ujar Seno rendah.  

"Dara, lihat ‘kan? Kamu bisa menyakiti orangtua dan kakakmu jika terus menerus bersikap semau egomu. Kasihan mereka yang membesarkanmu dan berjuang untukmu, harus kecewa hanya karena taruhan yang nggak ada manfaatnya sama sekali." 

Seno bersikap selayaknya seorang guru pada muridnya.

"Dara, guru kamu bilang apa tuh?" Bagus heran adiknya diam saja.

"I-iya, Pak. Maaf," jawab Dara datar.

"Baiklah, saya pamit pulang kalau gitu ya."

Seno berdiri, bersalaman dengan Kakak dan Ibunya Dara. Kemudian menatap gadis yang kini tertunduk lalu mengulurkan tangan menciung punggung tangan gurunya. Seno menarik nafas panjang, seolah ada sesak saat bibir itu mendarat di kulitnya. Entah Dara sengaja atau memang spontan, hingga salaman yang biasanya terkena hidung atau kening kini sungguh-sungguh memakai bibir.
Setelah menutupi rasa kikuk yang dialaminya, dia segera meninggalkan rumah Dara dengan perasaan tidak menentu. Ada rasa sunyi dan semakin dingin karena malam semakin mendekati dini hari.  Meskipun tadi terasa begitu berwarna dan hangat, saat ada orang lain di jok belakangnya.

"Jaket guru kamu?" Tanya Bagus pada adiknya yang hendak ke dalam kamar.
Dara menoleh ke arah badannya, benar dia masih memakai jaket Seno. Namun orang itu telah jauh meninggalkan rumahnya. Menjadikan Dara berniat mengembalikannya hari senin nanti saat kembali masuk sekolah.
Sepanjang sisa malam yang ada, Dara menatap jaket merah hitam di sisinya. Sengaja dia taruh dengan rapi di bantal. Seperti orang yang sedang terbaring.
"Kok ngenes sih membayangkan kamu tidur seranjang ama perempuan lain," gumam Dara sambil mendorong jaket kulit tersebut hingga jatuh dari atas tempat tidur. 

"Move on, fokus sama pendidikan," gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.

Di sudut lain, Seno termenung di pinggir ranjang. Menatap foto Dara di kontak whatsappnya. Gadis itu memang sangat mempesona, tapi dia tidak siap membangun komitmen rumah tangga dengan wanita muda. Kapok.

Pernikahannya dengan Indri kandas karena saat itu usia istrinya masih terlampau muda. Masih berstatus sebagai mahasiswa. Menjalani pernikahan tak semudah yang dia bayangkan sebelumnya. Alih-alih bahagia dengan landasan cinta, tetap saja ada orang ketiga dalam biduk rumah tangganya. Tidak tanggung-tanggung, dia ditinggalkan karena harta. Miris.

Saat ini pun dia belum mapan secara finansial. Masih harus membantu Ibu dan adiknya. Sifat Dara yang masih muda dan labil bisa saja akan menjadi masalah baru dalam kehidupan keluarganya. Jiwa muda cenderung ingin senang-senang, mesra-mesra saja atau tidak ingin hidup dengan mertua.

Seno sangat menyayangi Ibunya, dia belum siap meninggalkan wanita yang mengandungnya tersebut meski demi istrinya. Harapannya adalah, Rara bersedia menjadi istri sekaligus menantu yang siap tinggal dengan mertuanya.

*****  

Rara berbinar saat mengetahui Seno serius ingin menikah dengannya. Tak peduli dia status pernikahan masa lalunya, toh duda sekarang lebih mempesona dan menggoda. Terbukti meski tanpa istri, pria itu tampak segar dengan badan tegap dan berisi. Andai rutin fitness, mungkin tak kalah dengan aktor-aktor macho televisi.

Bibirnya mengulum senyum membayangkan romansa mereka pasca menikah nanti.  Bagaimanapun juga, dia wanita normal yang mulai merasakan getaran ingin tahu seperti apa kehidupan tanpa jarak dengan seorang lelaki yang sudah tentu adalah suami. Karena itu, dia tidak sabar untuk hari ini.
Hari di mana Seno bertandang ke rumahnya dengan rombongan keluarga dan tetangga, secara resmi meminang dirinya.

Gamis cantik telah menghias tubuhnya, polesan make-up tipis menambah kesan alami yang dipancarkan dari wajahnya. Bersiap menyambut dia yang konon sudah di jalan bersama rombongan keluarga.  Senyum tak henti dipamerkan pada semua tamu yang datang untuk ikut berbahagia menyambut calon suaminya.
Terlebih, saat iring-iringan mobil datang dan parkir tak jauh dari rumahnya. Dengan gugup dia merapikan kerudung yang sudah rapi, dan menatap diri di cermin. Kemudian bersama orangtuanya menyambut keluarga calon suaminya.
Mata keduanya saling tertuju dengan rona malu, sampai bersalaman pun jadi salah tingkah dan digoda banyak orang.

Di sisi lain, Indri menghadap suaminya yang sedang libur. Dengan penuh keberanian dia nyatakan ingin berpisah dari pria yang telah membuatnya berpaling dari Seno. Namun bukan sambutan setuju yang dia terima, malah sebuah dorongan keras yang membuat dia terjungkal dari sofa.

"Mas, lihat! Kamu sudah sangat keterlaluan sama aku. Kamu dah melakukan KDRT.  Karena itu aku nggak tahan, aku minta sekarang juga kamu ceraikan aku," Teriak Indri yang masih menahan sakit di punggung efek dihempaskan dengan kasar oleh suaminya.

"Oha ya? Terus mau balik lagi sama mantan suami kamu yang bodoh itu? Emang dia mau nerima kamu yang udah mencapakkan dia demi harta? Bahkan pernah menyakiti Ibunya juga?" cibir Andre dengan tatapan menantang.

"Pasti, Mas. Dia pemaaf dan itu alasan aku yakin untuk pisah dari lelaki kasar macam kamu."

Pria berumur empat puluh lima tahun itu berang, dengan cepat dia ayunkan langkah dan kembali menarik baju istrinya. Tamparan keras mendarat di wajah Indri. Menjerit, hanya itu yang bisa dia lakukan.

"Vivi, tolong mommy, Vi," teriak Indri berusaha meminta tolong anak tirinya yang masih tertidur efek begadang semalaman.

Gadis itu tak merespon, asik memasang headset di telinga sambil kembali memejamkan mata.

Indri terus meraung dan meronta. Meminta maaf. Terlebih saat tak hanya sekali Andre menghujaninya dengan pukulan, tapi juga menyeretnya ke kamar lalu  memaksanya melayani nafsu syahwatnya.

"Aku nggak mau, aku udah nggak sudi!"
Sayang, semakin Indri menolak dan meronta, semakin kasar pula perlakuan sang suami padanya. Bahkan dalam penyatuan masih sempat dia menampar wajah istrinya, dan meremas bagian tubuhnya dengan kasar.
Indri hanya menangis, menyesal telah bertemu dengan pria semengerikan Andre yang kini tak bisa dia hindari. Karena jika bertemu dengan orangtuanya maupun tetangga sangat manis dan sopan, jauh dari kesan kasar dan suka main tangan.
Dia hanya merintih mencari cara agar bisa melarikan diri dari tempat ini, karena setelah meminta cerai ke dua kali. Andre selalu mengurungnya di dalam kamar, seperti seorang tahanan yang tak lagi punya kebebasan. Bahkan anak-anaknya pun terkesan masa bodoh dengan perlakuan buruk Ayahnya pada Ibu tiri mereka.

Bersambung 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER