Tuesday, October 20, 2020

Need A wife 09

.
*Cerita Bersambung*
NEED  A  WIFE 9

Dara sungguh-sungguh berbohong pada orangtuanya, bahwa dia ada tugas yang harus dikerjakan secara kelompok. Dengan meminta teman-temannya kerjasama, dia mengatakan akan mengerjakan tugas di rumah Vivi dan lebih baik menginap karena acara drama.
Awalnya orangtuanya sangsi, tapi begitu menerima telepon dari Vivi menjadikan mereka percaya. Bahkan Kakak laki-lakinya juga tidak bisa mengantar karena sedang ada seminar di kota lain.
Sepertinya semua terasa mudah bagi Dara melaksanakan hukuman atas kekalahannya menggaet sang Guru Tampan. Alhasil, sekarang dia berdiri di sini. Di sebuah klub hiburan malam yang seharusnya belum boleh mereka datangi. Meski Dara sudah 18 tahun tapi dia belum memiliki KTP. Hanya saja, Vivi sudah sering datang ke tempat ini sehingga dengan leluasa masuk dan memesan minuman yang jelas-jelas haram untuk masuk dalam tubuh mereka.

"Segelas aja," ujar Vivi menyodorkan gelas dengan isi hanya seperempatnya saja. 

"Segini aja mahal lho, ori." Dia tersenyum dengan manis.

"Kan haram, Vi. Duh gue takut."

"Halah, semua manusia emang pembuat dosa kok. Emang ada manusia suci bersih?  Yang sok alim aja tetep punya dosa, kenapa kita harus riskan? Setiap manusia cuma beda cara dalam berdosa aja, so... santai bro. Masuk neraka semua hahaha," katanya dengan sedikit berteriak karena musik mulai memekakkan telinga.

Apa yang Vivi katakan memang sedang trend di kalangan pengguna sosial media untuk menghalalkan dosa dan kesalahan. Seolah semua manusia dibenarkan berbuat salah, tanpa berusaha menjadi benar dan mencoba menjadi baik.

"Setelah minum ini, Lo harus nari di lantai dansa sana. Kita lihat, seberapa kuat Lo nahan godaan cowok-cowok ganteng di sini," lanjutnya dengan seringaian jahil.
Dara gugup, dia menatap gelas minuman yang entah rasanya bagaimana. Bahkan baunya saja dia tidak suka.
"Ayo dong, atau gue perberat hukumannya. Benera gue lempar ke om-om di sana!" desak Vivi dengan wajah yang mulai jengkel. 

Dia sepertinya puas melihat ketakutan Dara, entah apa motifnya.

Dengan memejamkan mata, terpaksa gadis itu menenggak minuman terlarang dalam sekali tegukan. Meski dia hampir muntah dan kepedasan. Namun Vivi dan teman-temannya terus memaksa dia menghabiskan minuman beralkohol tersebut.
Dara mulai merasakan berkunang-kunang, tapi dengan cepat menyeretnya ke lantai dansa. Menari dan memaksa dia mendekati pria yang mulai menatap Dara dengan tatapan kehausan. Seperti tahu bahwa gadis itu lugu dan masih sangat terjaga.
Di sudut lain, Seno baru saja memeriksa tugas harian murid-murid. Mengambil ponsel dan membalas beberapa pesan masuk. Tiba biasanya dia iseng membuka status kontaknya.  Menemukan beberapa status teman-teman Dara yang memposting gadis itu tengah menari berasma seorang pria.

"Apa dia dikerjai Vivi?" Gumam Seno sedikit cemas, mengingat gadis itu kalah taruhan. 

Gagal mendapatkannya.

Meski ada rasa tidak tega mendera, dia berusaha memejamkan mata. Hingga sebuah telepon dari wakil kepala sekolah masuk.

"Pak Seno, minta tolong ya ada anak-anak yang terjaring razia di sebuah klub hiburan malam. Dari kartu identitasnya katanya dari sekolah kita. Aduh, bisa rusak citra sekolah jika sampai bocor ke publik. Mereka ada di Kantor Polisi untuk tes urine juga."

Deg!

Seno langsung bangkit dari ranjang, memakai jaket dan mengatakan siap untuk menjemput anak-anak didiknya di Polres. Dia masih ingat postingan teman-teman Dara dan memperlihatkan gadis itu menari seperti mabuk.
Cemas, merasa bersalah, semua menjadi satu selama dia mengendarai kuda besinya menuju Kantor Polisi. Ada rasa takut andai terjadi sesuatu pada gadis yang telah dia tolak menatah-mentah. Karena patah hati olehnya, dia nekatberbuat di luar batas norma.

Hingga tiba di Kantor Polisi, pikirannya masih bercabang. Antara rasa bersalah dan menganggap gadis itu benar-benar ceroboh dan tak layak untuk dia cintai.
Dia menemui petugas yang berjaga dan mengaku dari sekolah yang salah satu siswinya terjaring razia di klub malam. Meski dia heran, bagaimana anak-anak seusia mereka bisa masuk leluasa ke dalam area manusia dewasa tersebut.

Setelah mengisi buku laporan, dan menandatanganinya. Dia diantar ke ruangan di mana beberapa orang yang terjaring sidak anti narkoba berada.

"Jadi, anak-anak ini secara obat-obatan bersih. Setelah tes urine negatif. Hanya saja mereka mabuk, dan kami menemukan kartu tanda pelajar di salah satu tas milik mereka. Sebagai pelajar dari sekolah ini lalu kami mencari tahu dan menghubungi nomor yang ada di sana sebagai hotline service," papar Polisi yang menemani Seno berjalan menuju ruang di mana murid-muridnya diamankan.
Seno lega, karena hanya kenakalan biasa. Artinya tidak terlibat obat-obatan terlarang.

"Lalu, mereka sedang apa saat dijaring?" Tanya Seno lagi penasaran. 

Dia sangat cemas dengan muridnya, utamanya Dara.

"Ketika kami datang, mereka sedang menari-nari. Namun yang dua orang di kamar mandi karena salah satu rekannya konon muntah-muntah. Mungkin baru pertama kali menengak minuman beralkohol." papar Polisi lagi.

Pasti itu Dara, pekik hati Seno.

Dia sudah tidak sabar untuk memarahi gadis manis itu karena terlalu mudah dimanfaatkan oleh teman-temannya. Bagaimana bisa gadis seperti dia terjebak dengan orang sebebas Vivi yang dari penampilan saja lebih dewasa dari umurnya.

Pintu terbuka, tampak enam orang gadis remaja tengah duduk di lantai sambil menyandar di dinding, ditemani dua polisi wanita.

Seno menatap mereka dengan seksama.

"Apa betul mereka murid-murid sekolah Bapak?" tanya polisi pada Seno yang menatap tajam Dara, sementara sang gadis baru mengangkat wajah saat polisi bicara.

Dara terkejut menatap guru yang datang ke tempat itu adalah Seno, bukan kepala sekolah atau guru BK. Dia menunduk lemah dengan wajah pucat, efek muntah-muntah karena minuman beralkohol.

"Betul, Pak. Mereka anak didik sekolah kami," jawab Seno dengan menoleh pada Polisi yang mengangguk. Untuk kemudian dia memproses surat laporan bahwa benar enam siswa tersebut pelajar di sekolah, sekaligus menandatanganni berkas acara penyerahan mereka kembali ke sekolah dan juga orangtuanya.

"Orangtua mereka sudah dihubungi?" Tanya Seno lagi, karena sesungguhnya ini diluar jam sekolah. Otomatis tanggungjawab mereka ada di tangan orangtuanya.

"Sudah. Hanya empat yang memberikan nomor keluarga mereka. Dua lagi menolak dan tidak memberikan kontak orangtua mereka. Mungkin takut. Jadi kami mengambil kartu pelajar dari mereka dan menghubungi pihak sekolah. Supaya diberitahukan pada orangtua mereka. Sekali lagi mohon maaf, Pak." Polisi itu sangat sopan.

Seno mengangguk. Dari data yang ada, Vivi dan Dara yang menolak dijemput orangtuanya. Vivi beralasan orangtuanya sibuk dan tak peduli ke mana dia pergi. Sedangkan Dara karena takut orangtuanya syok, dikarenakan Ayahnya pernah mengalami serangan jantung.

Tak lama, orantua mereka datang. Bukan hal membanggakan anak berada di Kantor Polisi karena sebuah penggerebekan tempat hiburan malam. Mereka marah, bahkan ada yang hampir memukul anak gadisnya. Beruntung Seno menenangkan begitu juga polisi wanita melindungi si anak.

"Kamu bikin malu Papa! Tidak tahu diuntung kamu!" Maki sang Ayah pada rekan Vivi.
Sementara Vivi hanya diam dengan mata merah, tidak bisa menangis tapi juga tak  bisa menahan rasa sedih. Hanya dia yang orangtuanya tidak datang. Karena Andre bisa menghajarnya juga jika tahu dia di Kantor Polisi.

Seno mengambil alih tanggung jawab untuk Dara dan Vivi, sebagai penjamin pada pihak polisi. Setelah itu mereka diperbolehkan pulang.

"Kalian lihat kan? Ruginya masa muda kalian habiskan untuk hal-hal tak bermanfaat seperti ini." 

Seno bicara pada ke enam muridnya dihadapan polisi dan orangtua siswi. 

“Hiburan? Tidak adakah hiburan yang lebih bermanfaat? Yang lebih bermartabat? Aman? Kalian itu anak gadis, berada di tempat seperti itu apa ada jaminan keamanan kalian akan terbebas dari kejahatan pria hidung belang? Penjualan manusia? Prostitusi? Jika Polisi saja sampai merazia, artinya hal semacam ini penuh dengan kemudharatan!” 

Seno ceramah dengan panjang lebar. Membuat orangtua dan para polisi menganggukkan kepala.

"Kalian lihat sedihnya ayah dan ibu kalian? Mereka malu anaknya dijaring razia polisi. Tidakkah kalian sedih meliat orangtua yang dari kalian masih janin, bayi hingga besar diberikan kasih sayang tapi malah mencoreng nama baik mereka?" Tekan Seno lagi sambil kali ini dia menatap Dara yang tertunduk kaku.

"Nggak juga kok, bokap saya nggak peduli Pak saya mau gimana aja, karena aku anak korban broken home," balas Vivi santai.

Seno menatap Vivi. 

"Vi, orangtuamu mungkin tidak peduli. Tapi broken home bukan alasan untuk kamu tidak berprestasi dan malah menjadi nakal. Ada banyak anak dari keluarga tidak utuh atau broken home tetap semangat memperbaiki masa depan mereka. Broken home bukan alasan untuk tidak menjadi baik kan?" Tanya Seno dengan tatapan penuh harapan.

Vivi tak menjawab, dia menunduk rapuh dengan mata yang mulai basah. Menyadari bahwa dia kehilangan kepekaan terhadap kehidupan karena tidak adanya  kasih sayang seorang ibu dan ayah. Meski ayahnya masih hidup, tapi tak pernah berfungsi sebagaimana mestinya.

Gadis itu terisak pada akhirnya, dipeluk oleh polisi wanita yang masih menemaninya.

"Masa depan kalian masih panjang, bisa ditata ulang dari sekarang. Iya kan Pak Guru?" ujar Polisi yang menangkap mereka.

"Betul, Pak. Terima kasih sudah menjaga mereka," jawab Seno dengan senyuman.

"Vivi, ayo kami antar pulang," ujar orangtua dari salah satu teman Vivi.

Gadis itu mengangguk lemah, berjalan menuju mobil yang akan membawanya ke rumah yang tak pernah membuatnya betah.

Sementara Dara, berjalan lesu mengikuti langkah Vivi.

"Kamu, saya yang antar," ujar Seno sambil menghubungi seseorang melalui ponselnya.

Bersambung 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER