NEED A WIFE 08
Kamu lagi sama siapa? Tanya Bu Rara heran karena mendengar suara kemarahan Seno dengan seseorang.
‘Oh, ini sama teman. Sebentar lagi saya sampe, mau nganter dia dulu. Bentaaaar aja, ya.’ Seno langsung menoleh pada Indri, niatnya untuk mengasari wanita.
Namun begitu melihat wajah lugu sang mantan istri, dia jadi tidak tega. Terlebih dari curhatannya jelas, dia juga diperlakukan buruk oleh suaminya.
Seno mematikan telepon, lalu menatap mantan istrinya yang terlihat penuh harap dengan senyum yang manis.
"Indri, aku sudah bersiap dengan lembaran yang baru dengan wanita yang baru juga. Sama seperti dirimu yang pergi meninggalkanku demi Andre, sekarang aku ingin hidup bahagia dengan calon istriku yang baru."
"Kamu lihat kan, aku nggak bahagia, kemungkinan kamu pun sama. Nggak akan bahagia dengan dia, karena sepertinya kita ini jodoh. Percuma kamu memaksakan diri menikahi wanitu itu. Tetep akan balik ke aku jua," papar Indri optimis.
"Pilihannya cuma dua, kamu turun dan pulang baik-baik atau aku pesankan ojek online sekarang juga," tegas Seno.
"No...."
"Nggak, Ndri. Aku mencintai wanita itu, bukan kamu." Seno mengeluarkan lagi ponsel dan memesan ojek online.
"Alamatmu mana?"
Indri diam saja mematung, sementara Seno tak punya ketegasan untuk meninggalkan dia begitu saja di jalanan. Rasa sayangnya masih tersisa, hingga dia luluh dan mengantar Indri pulang sampai gerbang perumahan saja.
Meski tanpa disadari keduanya, mobil Andre ada di belakang mereka.
"Aku masih cinta sama kamu, No. Kamu harus tahu itu, aku akan cari cara agar lepas dari Andre," katanya dengan senyuman.
Seno tak mau ambil pusing, dia langsung melesat meninggalkan Indri yang tersenyum bahagia. Demi mantan istrinya, dia sampai membiarkan Rara menunggunya di restoran yang sudah dipesan.
"Berapa totalnya, Mba?" Tanya Bu Rara pada pelayan.
Setelah menerima struk pembayaran, Bu Rara keluar dari restoran dan bersiap memesan ojek online. Namun Seno tiba di tempat itu. Keduanya saling tatap dalam ketidaknyamanan.
"Maaf, tadi saya nganter teman dulu. Orangnya emang iseng. Nggak apa kan?" Tanya Seno dengan wajah yang sangat memikat dan manis.
Meyakinkan bahwa suara Indri tadi hanya keisengan semata.
Bu Rara seperti kehilangan amarah yang sejak tadi menggunung. Hingga hanya mengangguk dengan sabar, lalu menurut saja saat disuruh duduk di jok motor sang pria. Keduanya meninggalkan restoran.
"Seperti ini mungkin lebih romantis untuk saya mengungkapkan perasaan," ujar Seno membuka obrolan lagi.
Bu Rara hanya tersenyum dan tersipu. Terlebih saat motor berhenti di sebuah fly over yang lumayan sepi, sambil memandang pemandangan Jakarta, keduanya saling diam sesekali saling lirik.
"Saya ingin menikahi Bu Rara." Seno akhirnya langsung pada tujuan.
"Apa? Nggak jelas." Wanita cantik itu mendelik.
Seno terkekeh sambil menyandar di pembatas fly over, menatap wanita cantik yang membuang pandangan darinya.
"Saya ingin menikahi kamu, Ra," ujar Seno lagi.
"Ra? Kok berasa kamu lagi ngomong sama siapa gitu," protesnya lagi.
Seno tertawa keras dan terlihat gemas pada wanita manis di depannya.
"Dear, Rara Hayuningtyas binti Hamid, saya ingin menikahi kamu. Secepatnya," teriak Seno dengan meraih tangan wanita yang kini tersipu dan tertawa juga pada akhirnya.
"Kamu serius?" Tanya Rara dengan senyuman yang manis.
Seno mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah kotak dari saku. Berisi cincin yang baru dia beli kemarin. Kemudian menarik tangan Rara dan memasangkannya di jari manis.
"Saya akan menemui Pak Hamid hari ini juga, bisa?" Tanya Seno dengan sangat manis, membuat Rara yang menolak dipanggil Bu Rara tersipu dan menunduk malu.
Mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.
Seno tampak gemas, hanya dia sadar bibir merah itu belum menjadi haknya. Selain hanya dapat menelan ludah dan memberitahu hasratnya untuk bersabar.
*****
Kabar rencana pernikahan Pak Guru Seno dan Bu Rara semakin santer. Sudah pasti sampai ke telinga Dara yang waktunya hampir habis untuk sekedar membuat dirinya jadian dengan guru tampan tersebut. Alih-alih bisa jadian ala abege berpacaran, malah apes dapat kabar tidak menyenangkan tersebut.
"Lo siap-siap ya dengan kekalahan, simple aja sih. Cukup ikuti ke manapun gue suruh," ujar Vivi dengan seringaian jahil. Menyadari sahabatnya itu akan kalah taruhan, dan harus mengikuti semua keinginannya.
"Masih ada dua hari, gue nggak akan nyerah." Dara menarik nafas panjang dan menatap Vivi yang angkat bahu.
"Oke, karena saat Lo jelas kalah dan gagal jadian ama Pak Seno, gue bakal ngajak Lo ke ... club malam." Vivi langsung bertepuk tangan disambut teman-temannya.
"Gila, Lo. Mau ngapain disana? Keluarga gue nggak akan izinin lah." Dara panik mendengar nama yang baginya masih sangat tabu.
"Simple, tenang gue nggak bakal Lo kehilangan mahkota perawan. Cuma harus berani mabuk aja," ujar Vivi dengan tertawa keras,
"Nah, tapinya saat Lo mabuk... nggak jamin Lo bakal bisa lolos dari godaan cowok-cowok hot disana. Itu tantangan gue, selevel lah ama duit lima juta."
Dara menelan ludah dengan susah payah. Penyesalan tiada guna, toh dia terlanjur jumawa merasa bakal memenangkan taruhan. Namun ada hal yang lebih menyiksa rasa di hatinya. Entah apa, tapi terasa perih begitu saja.
Dia tak lagi memikirkan tantangan Vivi, tapi mengendalikan sakit yang tak pernah dia sadari jauh lebih menyita pikirannya. Padahal apa yang temannya itu sampaikan sangat berbahaya bagi kehidupan maupun masa depannya.
Apalah daya, sebuah rasa diam-diam telah menyusup tanpa dia sadari. Berawal hanya ingin unjuk gigi sebagai gadis yang bisa mendapatkan pria mana saja, siapa sangka berakhir dengan sebuah rasa yang mungkin dinamakan patah hati.
Dengan kenekatan luar biasa dia menunggu Seno di pintu labolatorium bahasa saat pulang sekolah. Seno mengajar kelas lain di jam terakhir di ruang itu. Beruntung kelasnya telah bubar lebih dulu. Jadilah, dia bisa menunggu untuk menyelesaikan kegundahan hatinya.
Satu per satu murid keluar dari urang lab, menyisakan Seno seperti biasa mengisi agenda kelas dan juga mengisi daftar absensi siswa ke buku pribadinya. Dia terkejut saat pintu tertutup dan terkunci, lalu muncul seorang gadis yang tak asing baginya.
"Dara? Mau apa lagi sih?" tanyanya dengan berdecak kesal.
Dara mendekat dengan perlahan, menatap pria yang diam-diam telah melukai hatinya.
"Apa gossip Pak Seno sama Bu Rara jadian benar?" tanyanya pelan.
"Nggak benar," jawab Seno singkat.
Dara berbinar.
"Jadi cuma gossip?"
"Iya. Karena saya nggak jadian, tapi akan menikahinya dalam waktu dekat."
Seketika wajah Dara berubah rapuh, menatap dengan tak berkedip meski sang pria tetap asik menulis di bukunya.
"Kenapa Bapak tega sekali? Memang apa sih kekurangan Dara?"
"Kekurangan kamu?" Tanya Seno dengan menarik nafas cepat.
Dara mengangguk.
"Kekurangan kamu ya kurang umur. Saya nggak cari pacar, sudah saya jelaskan kan waktu itu? Saya nyari istri," tegasnya dengan menutup buku secara kasar, lalu bangkit.
"Saya tahu kamu takut kalah taruhan kan sama Vivi? Kamu harus berani bertanggung jawab atas keputusanmu sendiri."
Dara menunduk dengan mata yang mulai basah.
"Dara berani kok dengan tantangan Vivi, tapi Pak Seno harus tahu... ada sesuatu yang sakti sekali di sini," katanya menunjuk dadanya sebelah kiri.
Seno melengos, bagaimanapun Dara sudah dewasa dan memiliki struktur tubuh yang mulai indah. Tak pantas ia menatap ke bagian yang tentu saja tidak akan langsung terlihat sebuah hati, melainkan organ lain.
"Iya, kamu sakit dan nyesek karena kalah taruhan. Iya kan? Sudahlah, saya harus pulang. Rara pasti sudah nunggu saya di parkiran," katanya menambah luka yang sejak tadi telah menganga.
Kemudian berjalan melewati gadis yang menunduk lesu.
Namun dengan cepat Dara meraih pergelangan tangannya. Memberikan desiran yang sangat dia benci dari sebuah hubungan yang tak pasti tujuannya.
"Dara mencintai Bapak," ujar Dara lagi dengan menahan tangan gurunya.
Seno terdiam, mencoba menerka keinginan hatinya yang tiba-tiba berdebar cepat dan juga berdesir hebat.
"Dan saya mencintai Bu Rara, pun sebaliknya... Bu Rara mencintai saya," jawab Seno pasti.
Perlahan, jari-jari lembut yang sejak tadi mencengkram pergelangan tangan Seno melemah hingga terlepas. Gadis itu menunduk kaku dengan melepaskan tangan pria yang berada sepuluh senti di sampingnya.
"Baiklah, maaf ...." Dara tak lagi menoleh, bahkan saat Seno benar-benar meninggalkannya seorang diri di ruangan itu. Dia hanya terisak meratapi hatinya yang terasa perih dan retak. Tak pernah dia bayangkan akan merasakan sakit yang begitu menyita pikirannya.
Seno membuka kunci ruang lab, lalu menoleh lagi pada gadis yang masih bergeming memandang keramik yang diinjaknya. Kemudian keluar tanpa lagi peduli pada sesuatu yang terasa meremas-remas hatinya, pasca menyakiti gadis muda yang merupakan muridnya.
******
"Deal?" Vivi menatap Dara yang mengaku kalah untuk kali ini.
"Deal," jawab Dara singkat.
"Oke, ntar malam gue tunggu di Midnite Club n Karaoke."
"Duh, gue susah izinnya lah, Vi. Mana mungkin keluarga gue ngizinin keluar malam jam sembilan ke atas." Dara punya sedikit alasan untuk mengelak.
"Kalau Lo nolak, gue tambah hukumannya. Kan judulnya akan menuruti apapun keinginan gue."
Dara menarik nafas panjang, dia tahu persis Vivi nggak pernah main-main. Hukuman ringan saja semengerikan ini, harus minum minuman beralkohol di klub malam. Kalau menolak dan lebih berat, entah apa yang akan dia minta.
"Gue coba," jawab Dara.
Vivi menggeleng. Dia menginginkan jawaban pasti, karena tidak mau Dara mencari alasan untuk masuk perangkapnya lagi.
"Baiklah," jawab Dara dengan kepastian.
Setidaknya dia bisa keluar berpura-pura ke rumah teman atau ke warung, lalu nekat kabur menemui Vivi dan teman-temannya. Untuk kemudian mengadu kesialan datang ke tempat terlarang itu.
Semua tidak sabar untuk segera melancarkan kenalakan nanti malam. Apesnya, Seno melintas dengan Bu Rara di depan mereka. Membuat Dara semakin yakin untuk melupakan pria itu dengan cara mencoba meminum minuman haram nanti malam.
Masa bodoh dengan konsekuensinya nanti, toh ada teman-temannya yang dia yakini tidak akan membiarkan dirinya masuk perangkap para buaya malam. Meski sesungguhnya dia tak pernah tahu, teman-temannya itu sesungguhnya seperti apa. Karena selama persahabatan dari kelas dua, kadang menuntut hal-hal yang sesungguhnya tak bisa Dara terima.
Mulai dari bolos sekolah bersama, atau tidak mengerjakan tugas jika salah satunya tidak bisa. Harus kompak dengan kenakalan dengan jargon sebagai aksi solidaritas sesama sahabat.
Dara sendiri sudah kena teguran orangtuanya untuk berhati-hati memilih kawan, tapi sepertinya dia terlalu lugu hingga begitu nyaman berteman dengan Vivi dan rekan-rekannya yang terbilang berani dan selalu tampil lebih dewasa dari usia mereka.
*****
Indri, pasca diantarkan Seno tak pernah tahu jika suaminya melihat kebersamaannya dengan sang mantan suami. Dia asik berdandan ketika Andre masuk ke dalam kamar. Mencoba merayu dengan riang karena merasa bahagia setelah sukses bisa jalan bersama mantan kekasihnya.
Andre pura-pura tidak tahu, menikmati kenakalan istrinya. Hingga tiba-tiba saja dia tampar dengan keras di pipinya.
"Kalau saya jadi mantan suami kamu, saya akan melakukan ini. Bukan malah menerima perempuan rendah seperti kamu," ujar Andre tanpa belas kasihan.
"Mas?"
"Ngapain aja sama mantan suami kamu tadi?" herdik Andre yang tak segan main tangan dan main kasar. Membuat Indri terkejut dan memohon agar dikasihani.
Bagi Andre, dulu... wanita ini begitu mudah dia dapatkan. Bukan tak mungkin, dengan Seno pun dia akan menyerahkan diri begitu saja. Di matanya, Indri benar-benar sudah tak memiliki harga diri. Tak lebih dari perempuan yang dapat dia perlakukan apa saja.
Disiksa, dinikmati juga tubuhnya. Dimaki, dicaci, tapi tetap dia berikan uang untuk menutupi bekas siksaan dirinya. Bahkan kedua anaknya tak ada yang peduli meski sering mendengar ibu tiri mereka menangis dan memohon. Karena mereka pun takut dengan sang ayah.
Tak jarang Vivi dan adiknya iba melihat wajah Indri lebam, tapi ketidakberdayaan membuat keduanya tak peduli dan memilih membebaskan diri di luar rumah. Bertindak sesuka hati, membuang-buang uang. Mengerjai siapa saja yang mereka kehendaki, karena merasa kurang perhatian dari orangtua mereka.
Dan itu juga alasan Vivi sering membuat taruhan dengan Dara. Dia merasa kesepian dan tidak ada tempat untuk mengadu bahkan sekedar bermanja. Setiap pulang ke rumah ayahnya cuek dan hanya bertanya soal kebutuhan mereka berupa uang, setelah itu tidak ada komunikasi lagi apalagi belaian sayang. Malah sering mendengar makian pada Indri yang tak mampu juga jadi Ibu sebenarnya untuk mereka.
"Shit! Apa semua orang dewasa berisik begitu?" maki Vivi saat mendengar orangtuanya ribut lagi.
Dia membuka whatsapp dan menyapa teman-temannya di grup yang beranggotakan enam orang saja. Salah satunya Dara. Melupakan apa yang sedang terjadi di rumahnya, menumbuhkan rasa tak memiliki empati pada orang lain. Tertawa dengan teman-teman tanpa memperdulikan rintihan Indri yang tengah disiksa.
Bersambung
No comments:
Post a Comment