Saturday, October 24, 2020

Need A Wife 17

NEED  A  WIFE 17

Seno tak berkedip menatap Dara yang mulai bingung dengan suara-suara temannya yang mengatakan, "Cieee... sweet deh ah. Siap-siap, Dara."

Benar saja, setelah lilin dinyalakan, Dimas masuk ke dalam lingakar love yang sama. Membuka penutup mata sang Gadis dan menatapnya dengan serius tapi penuh senyuman.

"Gue sayang sama Lo, Ra. Gue pengen Lo jadi pacar gue, tentu jika Tuhan menghendaki... kita akan menikah nanti setelah lulus," ujar Dimas dengan senyuman yang merekah. 

Dara syok bukan main, dia bingung karena banyak orang disana. Mata dia edarkan ke setiap orang yang terus meneriakinya untuk menerima lamaran tersebut. Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena jika menolak... Dimas pasti malu dan kecewa. Namun jika menerima, dia belum siap pacaran.

"Hmm, Dimas apa-apaan sih?" Tanya Dara dengan kikuk.

"Please, jawab. Will you be my girl friend?" Tanya Dimas lagi.

Dara gelisah, dia terus mengedarkan pandangan untuk menenangkan rasa gugup dan juga bingung yang mendera. Hingga matanya menangkap sosok pria yang sedari tadi mengawasinya. 

Mata keduanya bertemu, Dara menatap dengan terkejut... sementara Seno menatap dengan pasrah bahkan memalingkan pandangan. Kemudian pergi meninggalkan tempat itu, menuju tempat yang sejak tadi akan dia datangi. Dan sedikit terlambat karena dia terlalu fokus pada perempuan yang dia rindukan.

"Ra?" Dimas menoleh ke arah Dara memandang, Seno sudah tidak ada disana saat itu.

"Dimas, beri Dara waktu ya," jawab Dara gugup.

"No, harus jawab sekarang. Gue dah sering nembak Lo dan jawaban Lo selalu minta waktu. Gue dah nggak bisa nunggu untuk menyatakan sayang dan menundukkan betapa gue cinta banget sama Lo," papar Dimas yang diiringi tepuk tangan teman-temannya.

*****   

Seno duduk di kursi yang sejak tadi diperuntukkan baginya. Tak lama dosennya datang, keduanya sibuk membahas materi yang didiskusikan, hingga suara ramai terdengar dari belakang gedung.

"Cieee, asiiiik... akhirnya jadian," teriak para mahasiswa di luar. 

Seno menarik nafas berat, pupus sudah harapannya untuk meminang Dara. Karena ternyata gadis itu memilih berpacaran dengan Kakak mahasiswanya.

Wajar, jika Dara memilih Dimas. Seno merasa dirinya tak pernah bersikap semanis pria itu, hingga menyiapkan sebuah kejutan hanya untuk menyatakan cinta. Seno malah lebih sering menolaknya, menyakitinya.

Konsentrasinya sedikit buyar ketika diskusi, hingga berulang kali meminta izin ke toilet hanya untuk menarik napas panjang yang terasa begitu sesak.

"Nggak kebayang sesaknya kamu saat saya menolak cintamu, Ra. Sementara saya, baru melihat kamu jadian sama laki-laki lain saja nyesek. Sementara saya pernah menolak kamu demi menikahi Rara," gumam Seno di toilet, lalu membasuh wajahnya dengan ari. Agar lebih tenang dan siap menerima kembali ilmu dari dosennya.

Setelah selesai mengikuti jam diskusi, Seno kembali ke parkiran motor. Dia memang lebih sering menggunakan motor untuk menghindari kemacetan, meski telah memiliki mobil yang awalnya untuk hadiah pernikahan.

Seno kembali melihat Dara yang berboncengan dengan Dimas, membuat hatinya retak. Segera dia lajukan kendaraannya, tepat di belakang Dara dan Dimas. Kemudian melaju di jalan yang sama ke arah stasiun, terlihat Dara turun di stasiun bahkan sempat menoleh ke arah dirinya. Mungkin gadis itu mengenali motor dan nomor platnya, tapi Seno memilih tetap melanjutkan perjalanan.

Setelah jauh dari stasiun, Seno menghentikan laju motornya. Membuka helm dan meneguk air mineral yang ada di tasnya. Dia menatap kereta yang melintas, dan mungkin ada Dara di dalamnya. 

Benar, Dara ada di dalamnya. Dia gelisah karena menyadari Seno melihat adegan dia dan Dimas saat menyatakan cinta. Wajah Seno yang kaku dan dingin terus tergambar, seolah menunjukkan rasa kecewa.

"Mungkin perasaanku aja, kalau kamu terlihat seperti kecewa," gumam Dara sambil menatap ponsel yang berada pada layar chat dengan Seno. Tidak ada foto profil di sana, hanya sebuah gambar gelap.

Ponselnya bergetar, pesan dari Dimas. Memintanya menghubungi saat sudah tiba di rumah. Serta aturan lain tentang hubungan mereka. Bahwa harus selalu bertemu setiap kali ada kesempatan.

Dalam seminggu wajib bertemu tiga kali. Malam minggu wajib jalan bersama, jika tidak maka diganti di hari lain. Alasannya adalah untuk menjaga hubungan mereka agar tetap awet dan saling percaya. Namun bagi Dara, terasa sangat berat karena dia tidak bebas keluar dari rumah seperti teman-temannya.

"Aku tuh nggak bisa keluar malam minggu, Mas. Abangku pasti akan bertanya mau kemana dan ngapain."

"Ya jawab aja jalan ama pacar, nanti aku jemput."

"Nggak bisa, Dimas. Aku ‘kan dah bilang orangtuaku melarang aku pacaran dulu sampai benar-benar siap nikah. Mereka bilang pacaran sekarang seram," kekeh Dara sambil menatap dirinya di cermin.

"Keluargamu udik ah."

"Ish, kok ngomong gitu. Aku nggak suka lhoo," protes Dara.

"Lha iya, wajar dong pacara itu jalan bareng. Penjajakan supaya terbiasa kalau nantai jadi nikah."

"Kalau nggak nikah?" Tanya Dara penasaran dengan cara berfikir pacarnya.

"Ya nggak jodoh, cari pacar lain lah."

Dara terdiam, tiba-tiba saja dia teringat penolakan Seno. Bahwa gurunya itu mencari istri, bukan pacar. 

"Dimas, kayaknya aku nggak bisa ngikutin mau kamu soal aturan wajib jalan tiap malam minggu dan lainnya." Dara mencoba mencari celah agar tidak terlalu jauh dalam kisah cintanya dengan Dimas.

"Ayolah, Ra. Zaman sekarang tuh dah beda ama dulu. Pacaran n jalan bareng itu dah paling standar, yang lain malah bisa ciuman ampe ML segala. Mereka nggak masalah, nikah ya nikah aja meski bukan sama yang merawanin mereka," ujar Dimas enteng.

"Aku kok risih kamu bahas gituan," protes Dara.

"Nah kan, karena kamu norak. Terlalu hidup di masa lalu, sekarang beda zaman sayang. Hal semacam itu dah jadi gaya hidup, nikmati hidup karena cuma sekali. Jangan sampe dah mah hidup sekali eh nggak dinikmati, dah mati mah mau lagi susah hahaha."

Dara termenung mendengar perkataan kekasihnya. Hatinya tidak sepakat dengan apa yang dikatakan pria itu, karena orangtuanya selalu mengajarkan untuk menjaga norma agama dan susila. Kalaupun belum bisa sangat baik, setidaknya berusaha lebih baik dari yang sudah-sudah, bukan malah semakin buruk.

Dara mengakhiri obrolan telepon, lalu keluar dari kamar menatap Ibu dan Ayahnya yang sedang menonton televisi acara bincang-bincang.

"Bu, Dara udah boleh pacaran belum?" pancingnya sambil duduk di sisi sang Ibu dan bermanja.

"Pacaran, emang dah siap nikah?" Tanya Ibunya sambil mengelus rambut anak bungsunya.

"Temen-temanku pada punya pacar, lagian aku dah kuliah. Dah gede," katanya dengan manja.

"Jujur sih, Ibu pengen kamu kuliah dulu yang bener. Punya gelar, punya penghasilan yang bisa kamu pakai jika Bapak sama Ibu udah nggak bisa biayai hidup kamu lagi. Bang Bagus juga kelak punya istri, punya tanggung jawab. Nggak bisa manjain kamu terus," papar Ibunya dengan serius.

"Kalau mau pacaran, bawa dia ke rumah." Ayahnya angkat suara.

"Serius nih?" ledek Dara penasaran.

"Iya, mau Ayah tanya kapan nikahin kamu."

"Ish, seneng-seneng dulu emang nggak boleh?" Tanya Dara.

"Yakin kamu bisa nahan kesenangan itu hanya sebatas jalan n senang-senang sambil makan? Gimana kalau kesenangan yang lain menggoda? Hmm? Gimana kalau nggak dinikahi? Na'udzubillah, mending jauh-jauh dulu, Ra. Ibu ngeri lihat berita-berita soal sex bebas." 

Dara tersenyum pahit, sesungguhnya dia hanya sedang mencari lampu hijau agar diizinkan memiliki kekasih. Sayang, orangtuanya tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Dimas.

"Emang kamu dah punya pacar?" Tanya Ayahnya serius.

Dara menggeleng lemah, mengalihkan bahasan ke arah politik yang sedang mereka saksikan.

*****  

"Kita putus aja ya, Dimas." Dara menatap kekasihnya yang syok dan tidak senang.

"Lo ngerjain gue, Ra?"

"Bukan, tapi orangtuaku nggak setuju. Dan aku nggak mau terus menerus bohong sama mereka tiap jalan sama kamu," ujar Dara lemah.

Dimas berdecak kesal. 

"Siap-siap Lo kena karma bakal diputusin orang dan dicampakkan." Pria itu membuang pandangan dengan sinis.

Dara tidak berkomentar, toh dia pernah mengalami penolakan bahkan sebelum memutuskan hubunga dengan Dimas. Ditolak Seno berulang-ulang.

"Sorry, ya. Tapi sungguh, Dimas... Dara nggak siap berkomitmen seperti ini hanya dengan status pacar." Gadis itu menunduk lemah.

"Oke, gue juga dah salah pilih cewek kok. Ternyata cewek model jadul," ejek Dimas sambil meninggalkan gadis yang terpaku di parkiran itu sendirian.

Dara tersenyum pahit, merasa kehilangan pemujaan juga merasa lega karena selama tiga hari jadi kekasih Dimas seperti ada tekanan yang tak dia nikmati sama sekali. 

Jalannya gontai menuju stasiun, sendirian tanpa teman-temannya yang masih sibuk dengan kelas masing-masing. Matanya menatap jalanan yang dulu pernah Seno lewati. 

Mungkinkah dapat bertemu kembali di sini? Atau hanya kebetulan karena dia sedang ke daerah sini saja? 

Batin Dara terus bertanya, karena sesungguhnya dia sangat merindukan gurunya tersebut.

"Jangan bengong di pinggir jalan, kalau dijambret gimana?" Tegur seseorang yang membuat Dara terdiam menatap hampa. 

Apakah dia tengah berhalusinasi? Ataukah memang ini nyata? Bahwa pria yang sedang dia pikirkan melewati jalan itu lagi, bertemu dengannya lagi.

"Dara? Jangan bengong!" tegur Seno lagi sambil membuka helm.

"Eh, Pak Seno?" Tanya Dara baru menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi.

"Nunggu siapa?" Tanya Seno dingin.

"Ehm, itu... eng... temen," jawab Dara gugup tidak jelas. 

"Pacar?" Tanya Seno dengan senyuman, 

"Hati-hati di jalan ya, jadilah mahasiswi yang cerdas dan membanggakan orangtua kamu." Seno tersenyum sambil kembali memasang helm.

Sementara Dara hampir menangis melihat pria yang sangat dia rindukan dan masih mau menyapanya. Setelah tahu dia punya pacar dan melihat sendiri prosesi jadian dengan Dimas.

"Saya duluan ya," ujar Seno sambil melajukan kembali motornya.

Dara terisak begitu motor itu melesat meninggalkannya.

"Ya Allah, kenapa gue bucin banget sih? Sementara dia yang kuharapkan sama sekali nggak pernah memiliki rasa apa-apa. Dan kenapa juga gue nggak bilang, kalau dah putus sama Dimas. Cuma tiga hari aja pacarannya," isak Dara terus bicara sendiri sambil menatap motor yang semakin menjauh. 

Akhirnya dia menutup wajahnya dengan kerudung, menghapus lelehan bening yang terus menganak sungai.

"Bodoh banget juga kalau gue ngarep Pak Seno bilang, Dara ... ayo saya antar. Ngimpi!" omel Dara pada dirinya sendiri. 

Berulang kali dia mengusap mata, tapi tetap saja basah. Bahkan semakin deras, tak peduli pengendara motor memperhatikannya.

Bersambung 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER