Saturday, October 24, 2020

Need A Wife 18

NEED A WIFE 18 
END

Seno tiba di rumahnya, melepas rindu dengan ibu tercintanya juga dua adiknya. Bahasan seputar Indri yang datang dan ribut dengan dua adiknya pun dimulai. Seno terkekeh mendengar kekesalan Ria yang benar-benar menganggap mantan istrinya itu tidak tahu diri. Seenaknya.

"Makanya Abang tuh jangan terlalu baik sama perempuan. Lihat-lihat dulu lah kalau mau baik, jangan sama yang suka ngaku-ngaku alias overclain gitu. Amit-amit dia nuduh Abang masih ngarep perempuan sisa gitu," celoteh Ria dengan emosi.

"Hush, jangan bahas sisa gitu ah." Seno menarik napas panjang sambil menatap ke dinding rumah.

"Terus, gimana kabar perempuan yang kamu bilang masih kecil itu?" Tanya Ibunya dengan penasaran.

"Udah punya pacar," jawab Seno singkat.

Wanita sepuh itu tersenyum dan menepuk pundak anak sulungnya.

"Pacar to? Bukan suami? Kamu masih bisa bersaing dan mengusahakannya. Kamu bahkan masih boleh menemui orangtuanya untuk melamar dia jadi istri," ujar sang Ibu dengan semangat.

"Etikanya, Bu. Masa dah jelas punya pacar, terus Seno nekat gitu," kekeh Guru yang sampe sekarang tetap menjadi idola di sekolah barunya tersebut.

"No, kalau dalam ta'aruf iya, tidak boleh meminang perempuan yang sedang ta'aruf dengan lelaki lain, tapi kalau pacaran ini zona bebas."

"Lha, Ibu kok pake zona bebas segala."

"Iya, orang nggak ada aturannya kok itu melanggar or nggak. Emang siapa yang membuat hukum dan aturan soal pacaran? Nggak ada to? Kalau ta'aruf dan menghitbah iya ada, nggak bisa main serobot. Kalau pacaran mah, salip aja."

Aditya dan Ria tertawa mendengar candaan sang Ibu yang tengah menyemangati Kakak tertua mereka yang selalu gagal dalam urusan hati, padahal sangat tampan dan tentu banyak juga pemiatnya. 

"Bang, perempuan itu... kadang emang mudah luluh sama pengorbanan sederhana. Coba deh sekali-sekali tunjukkan bahwa Bang Seno ada hati sama dia, perhatian." Ria menatap Kakaknya yang sedang menautkan kedua alisnya yang tebal.

"Iya, No. Betul. Perempuan itu sudah bahagia hanya sedang pengorbanan dan perhatian yang sederhana saja," balas Ibu lagi.

"Masa harus Ditya ajarin sih, Bang," ledek Aditya sambil terkekeh melihat ekspresi Seno yang tengah berfikir. 

Seno mengingat kejadian tadi, saat meninggalkan Dara, gadis itu terlihat seperti menangis. Dia hanya melihat dari kaca spion yang semakin jauh.

"Mungkinkah kamu masih mengharap saya, Dara?" gumam Seno sambil berjalan meninggalkan Ibu dan dua adiknya yang tengah tertawa karena keluguan Kakak mereka.

Seno membuka ponsel, menatap foto Dara di profil whatsapp-nya. Ada keingininan menuliskan sebuah pesan, tapi terasa aneh dan tidak sesuai karakter dirinya.

"Duh!" Seno memejamkan mata sambil memukulkan ponsel ke wajahnya.

Sepanjang malam, dia hanya mengingat bagaimana pertemuan yang unik antara dirinya dan Dara. Di sebuah pernikahan, saling pandang di foto yang dicoret-coret Indri.

"Pertemuan kita di sebuah pernikahan, maka akan berakhir dalam sebuah ikatan pernikahan. Semoga saja." Seno tersenyum. 

"Semoga kamu tidak kebablasan dengan pacar kamu itu, tetap menjaga dirimu untukku. Biarlah pria itu menjadi penjagamu sementara."

Seno memejamkan mata dengan senyuman, mengumpulkan imajinasi dan harapan untuk dapat memiliki gadis yang dulu sering dia tolak saat menjadi muridnya.

*****   

Dara dikerubungi teman-temannya, kabar dia sudah putus dengan Dimas dalam usia pacaran mereka yang cuma tiga hari jadi buah bibir. Bahkan Dimas mengaku dia yang memutuskan karena Dara banyak kekurangan. Terlalu jaim dan cuma memanfaatkan kekayaan dia.

Gadis itu hanya menarik napas panjang, dia bingung harus menjelaskan dari mana. Toh Dimas memang mahasiswa pujaan teman-temannya. Sehingga, ketika menyatakan cinta pada Dara banyak yang iri, menganggap Dara beruntung dan sebagainya.

"Entahlah," jawab Dara ketika dia diinterogasi oleh teman-temannya.

"Ish, apes amat Lo diputusin Dimas. Mana kesebar pula. Kakak-kakak senior pada bilang wajar karena Lo nggak layak, mereka puas. Tapi gue yang kesel," celoteh teman Dara yang sangat antusias saat temannya itu jadian dengan Dimas.

Tiga orang mahasiswi senior berjalan ke arah anak-anak semester satu tersebut, menatap Dara dengan sinis.

"Ini cewek yang dipacarin Dimas cuma tiga hari? Apes amat hahaha," kelakar mereka dengan mengejek.

Ketiganya meninggalkan Dara dan teman-temannya sambil terus mengejek, menganggap Dara apes dan rugi karena dibuang pria idaman seperti Dimas. 

"Sebenarnya gue yang mutusin sih," ujar Dara dengan tarikan napas berat.

"Ye, percuma. Orang-orang tahunya Lo yang diputusin, dan dianggap sial plus kasihan."

"Iya, padahal kalian cocok. Dimas juga nembak manis banget, iiih... sweet. Kenapa sih bisa putus?" keluh temannya lagi.

Dara hanya angkat bahu. 

"Bokap gue bilang belajar aja dulu yang bener, kalau mau pacaran ya nikah sekalian."

"Eh buset, kolot amat."

"Emang bokap gue kolot, dia dah tua kok," kekeh Dara sambil berlalu, mengajak teman-temannya segera memasuki ruang kelas mereka.

Pusing dan kesal dialami Dara karena begitu banyak yang mempertanyakan putusnya hubungan dia dengan Dimas hanya dalam tiga hari. Ada yang menganggap wajar, biasa saja. Ada yang menganggap kesialan, ada yang mengejek, ada yang senang, ada yang menyesalkan.

Dara mencoba tidak ambil pusing dengan tetap fokus pada mata kuliah yang dia tekuni. Kata-kata motifasi seseorang yang memintanya agar belajar giat selalu menjadi penyemangat.

"Kali aja kamu melamar aku pas aku lulus, iya kan?" tanya Dara pada foto Seno yang sengaja dia simpan. Dia tengah sendirian di kantin sambil menikmati semangkok bakso dan es jeruk untuk makan siang. 

Tidak biasanya dia serindu ini pada mantan gurunya, mungkin karena saling memikirkan menjadikan hati keduanya saling tarik menarik sepanjang waktu, sepanjang minggu. Hingga tiba lagi ke hari sabtu di mana mereka biasa berjumpa di pinggir jalan depan stasiun.

Dara masih enggan menyeberang, menoleh ke arah kanan berharap pria yang dinantikannya lewati seperti biasa. Karena ini sudah jam lima, biasanya Seno akan melintas di jam yang sama untuk pulang ke rumah orangtuanya.

Lama, tak juga tiba. Akhirnya Dara berniat menyeberang, tapi kemudian terhenti karena sebuah motor hampir menabraknya.

"Dara! Saya bilang kan kalau jalan jangan sambil main HP," omel pemotor yang ternyata Seno.

Dara mengerjapkan mata, mundur kembali ke sisi jalan semula. Sementara Seno meminggirkan motornya, menatap gadis yang pucat pasi karena terkejut hampir tertabrak olehnya.

"Maaf," ujar Seno dengan pelan dan memberikan senyuman. 

"Tidak diantar?" Tanya Seno lagi.

Dara hanya menggeleng, menyembunyikan kesedihan karena dibentak juga karena masih syok hampir tertabrak.

"Ya udah, hati-hati di jalan ya. Jangan main HP lagi kalau nyeberang," pesan Seno kembali memasang helm. Lalu menyalakan motornya dan melaju perlahan.

Dara menunduk, menahan tangis yang sejak tadi hampir pecah. Kemudian terisak di pinggir jalan, mengusap mata berulang-ulang.

"Ya ampuun, Daraaa. Kamu masih ngarep aja dia bilang 'ayo aku antar'. Iiih, Dara bodoh, ngimpi, ih!" maki Dara dengan menendang-nendangkan sepatu ketsnya. Kemudian menyeberang dan masuk statiun. 

Kereta yang ditunggu tiba cukup cepat, Dara langsung duduk di kursi khsusus perempuan di gerbong paling depan. Tatapannya kosong, masih memikirkan perasaan Seno kepadanya.

Pintu tertutup, tapi dia masih menoleh ke jalanan berharap bisa melihat lagi pria yang selalu ada dalam pikirannya. 

Sayang, jalanan lumayan lengang. Kendaraan melaju dengan cepat, bahkan mungkin Seno juga demikian.

"Hhh, kenapa sih masih ngarep dia ngejar gue? Mustahil banget!" gumam Dara sambil mengeluarkan ponsel. 

"Jangan main HP," katanya lagi sambil mendengus kesal. 

Sementara penumpang di sampingnya menoleh karena heran, gadis cantik di sebelahnya terus bergumam sendirian.

Kereta terus melajur dengan cepat, hingga sepasang kaki bercelana panjang hitam berdiri di depan Dara. Spontan Dara mengeluarkan kartu commuter line miliknya, mengira yang datang adalah petugas yang memeriksa tiket.

"Saya sudah punya," ujar pria yang berdiri di hadapan Dara.

Gadis itu mengangkat wajah karena merasa mengenali suaranya. Matanya membulat dan berbinar, sementara sepasang mata dengan alis tebal di atasnya tersenyum manis memamerkan pesona dengan lesung pipi yang dalam.

"Pak Seno?" Tanya Dara melongo dan seolah tidak menyangka.

Seno mengangguk. 

"Kamu senang ‘kan?" Tanya Seno dengan senyuman menggoda, tak peduli para perempuan di kereta tersebut menoleh pada keduanya.

"Ma-ma-maksud Bapak?" Tanya Dara gugup.

"Kamu pengen saya ngejar kamu ‘kan?"

"Iya, eh... maksudnya? Ap-apa ya?" Dara kikuk dan merona karena malu, isi hatinya diketahui Seno. Ingin mengaku... tapi ragu, tak mau mengakui... tapi itu benar adanya.

"Mas maaf, ini gerbong khusus perempuan," tegur seorang wanita gemuk dan terlihat jutek.

"Iya, Mba. Saya tahu. Maaf, cuma mau ngambil calon istri saya," balas Seno dengan senyuman yang membuat para wanita di gerbong tersebut terpesona. 

Sebagian tersenyum karena merasa Dara beruntung mendapatkan pria tampan sampai rela mengejarnya ke kereta.

Seno mengulurkan tangan pada Dara. 

"Ayo pindah gerbong, nggak enak saya di sini ganteng sendiri," katanya dengan manis.

"Iya, ntar direbut sama kami pacar calon gantengmu ini gimana lho? Sana pindah, saya mau duduk." Perempuan gemuk tadi ikut bicara lagi diiringi tawa dan senyum para penumpang.

Dara semakin menunjukkan kegugupan dan juga rona merah jambu di wajahnya. Apalagi saat tangan yang dulu selalu menepis tangannya, kini menggenggam erat pergelangan tangannya. Berjalan di ke gerbong belakang, menahan tubuhnya agar stabil selama berjalan di atas kereta yang bergerak.

Keduanya tiba di gerbong umum yang dihuni laki-laki dan perempuan. Tangan itu terlepas dan Dara hanya menyandar di dinding dekat pintu penghubung gerbong. Menunduk, masih enggan mengangkat wajah.

Seno menarik napas dengan gugup, baginya sulit menunjukkan rasa cinta di hadapan banyak orang. Namun dia teringat perkataan sang Ibu, bahwa perempuan kadang sangat menyukai pengorbanan meski sederhana.

"Kamu nggak senang kah? Aku ngejar begini?" Tanya Seno pelan, karena malu jika harus didengar banyak orang.

Dara mengangkat wajah, menunjukkan matanya yang basah.

"Di mataku terlihat apa? Senang atau enggak?" Tanya Dara dengan senyuman dan mata yang semakin berair.

Seno tersenyum, tapi senyumannya terhenti tatkala kereta berhenti otomatis membuat dirinya hampir menabrak gadis di hadapannya. Beruntung tangan kekarnya menahan tubuhnya di dinding, jadi hanya sedikit kejema bagian dada yang menyentuh wajah Dara. 

"Ngerem kok nggak bilang-bilang," omel Seno.

"Ish, namanya juga kereta," jawab Dara sambil menatap kemeja yang dua kancingnya terbuka dan memberikan aroma maskulin dari sana. Aroma khas sang Guru bercampur dengan keringatnya yang sangat dia rindukan.

Kereta kembali melaju, kali ini mata Seno masih menatap wajah Dara yang enggan menoleh padanya. Sebaris senyum dia pamerkan, dengan tangan masih berada di sisi kepala Dara, seolah tengah menguncinya dan membiarkannya mengadu pada dadanya yang bidang.

Serasa nyaman bahagia.... dan apa yang diinginkan akan terwujud…. Yaitu menjadi pasangan suami istri….   

SELESAI

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER