BAGAI REMBULAN 09
By : Tien Kumalasari
Pisang yang digenggamnya hampir terlepas, sementara Lusi tersenyum penuh kemenangan. Ia menatap Susan dan mengacungkan satu jari jempolnya.
“Kamu sekolah?”
“Saya kuliah... ditempat Aliando kuliah dulu,” gemetar suaranya.
“Oh, jurusan apa?”
“Sastra..”
“Hm... harum pisang itu menggoda,” celetuk Bu Diana sambil menatap Lusi yang masih menggenggam pisang dan siap disuapkan.
“Silahkan Ibu,” kata Dayu sambil menyuapkan pisang, hampir saja pisang itu masuk ke hidung Bu Diana karena tangannya masih gemetar.
“Enak, ini pisang pilihan, matang dipohon, hm.. tapi sangat besar, mana aku bisa habis?”
Dayu sedikit tenang, beberapa gigitan disuapkan dan lebih setengahnya dihabiskan.
“Nanti lagi, taruh saja sisanya di meja,” kata Bu Diana sambil mengunyah suapan terakhirnya.
Dayu meletakkan sisa pisang di meja, dan menutupinya dengan tissue.
“Kapan kuliah kamu selesai?”
“Semoga tahun depan Bu.”
“Kamu punya saudara?”
“Punya, kakak saya laki-laki.”
“Kuliah juga?”
“Ya, beda jurusan, kakak saya tehnik. Mungkin selesai tahun ini.”
“Oh, orangtua kamu hebat, bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi.”
“Kami hanya orang-orang dengan kehidupan sederhana,” kata Dayu pelan.
“Dan Ibunya dulu menjadi pembantu di keluarga Indra, pengusaha properti terkenal,” kata Lusi kembali mengingatkan tentang status Dayu.
“Oh, Indra? Aku mengenalnya. Aku juga mengenal Bapaknya. Bukankah namanya Prastowo?”
“Benar Bu,” jawab Dayu.
“Itu pengusaha hebat, sudah tua masih sibuk dengan perusahaannya.”
Lusi gemas bukan alang kepalang. Kok Bu Diana tidak terpengaruh kata-kata yang bernada memanasinya, malah asyik mengobrol.
“Ayah kamu bekerja dimana?”
“Disebuah pabrik plastik, bagian gudang.”
“Hebat... hebat, keluarga sederhana yang membuat anak-anaknya menjadi orang pintar. Jarang hal itu bisa terjadi. Bukankah biaya kuliah itu mahal?”
“Kami berdua mendapat beasiswa.”
“Luar biasa... aku suka kisahmu. Semoga bisa menjadi teladan bagi orang-orangtua yang lain.”
Lusi semakin geram, hasutannya tidak termakan, Bu Diana justru memuji-muji keluarga Dayu, dan kata-kata terakhirnya seperti menghantam perasaannya karena tidak berhasil mendidik anak-anaknya supaya berhasil menyelesaikan pendidikannya. Apalagi Anjas. Lusi menarik tangan Susan, menjauh dari sana lalu duduk disofa dengan wajah masam.
“Kok Liando belum kesini ya?”
“Mungkin masih di kantornya mbakyu,” kata Lusi sok tahu.
“Tidak, dia ke kantor pagi-pagi, lalu aku menyuruhnya ke bank.”
“Oh..”
“Duduklah Dayu, kamu kan capek berdiri terus.”
Dayu menarik kursi didekat ranjang dan duduk.
“Saya senang Ibu kelihatan lebih sehat,” kata Dayu pelan. Ia benar-benar merasa lega karena Bu Diana tidak terpengaruh kata-kata Lusi yang selalu berusaha menjatuhkannya.
“Benar, aku merasa lebih sehat. Tabung oksigen itu sudah tidak diperlukan lagi, aku ingin segera pulang.”
“Semoga Ibu segera pulih.”
“Tapi aku masih harus berjalan dengan kursi roda, kakiku terkena stroke dan belum juga pulih.”
“Ibu sabar ya.”
Bu Diana mengangguk. Diam-diam ia merasakan betapa ucapan-ucapan gadis ini terasa begitu menyejukkan. Pantas Liando mencintainya. Sayang dia sudah terlanjur berjanji akan berbesan dengan Lusi.
“Jeng Lusi sudah mengenal orangtua Dayu?” Tiba-tiba Bu Diana bertanya.
“Sudah Mbakyu, sejak dia masih jadi pembantu. Ayahnya, kakeknya Dayu itu tukang mbetulin rumah, bersih-bersih kebun,” Lusi menambah bahan bakarnya.
“Oh, bagus sekali. Ini patut dicontoh jeng .. keluarga sederhana, tapi berhasil dalam mendidik anak-anaknya.”
Dan Lusi kembali merasa terhempas di batu karang yang keras. Hasutannya tak berhasil. Padahal dulu sudah termakan hasutannya, dan memarahi Aliando habis-habisan serta mengatakan tak sudi berbesan dengan bekas pembantu.
Lusi tak mengerti, bahwa sikap Dayu yang manis dan lembut, berhasil membuat Bu Diana terpesona. Anak seorang pembantu yang pintar, yang bisa bersekolah di perguruan tinggi negeri dan hampir berhasil, membuat Bu Diana kagum.
“Dayu, nanti kalau aku sudah sehat, aku ingin mengundang keluargamu agar datang ke rumah, bersama keluarga Indra juga.”
“Semoga Ibu segera sehat kembali.”
“Dan pastinya sekalian merencanakan pernikahan Susan dan Aliando, bukan begitu mbakyu?”
“Itu soal gampang. Aku akan menanyakannya dulu pada Liando, kapan dia bersiap untuk itu. Sekarang dia lagi mempelajari bisnis yang baru saja dipegangnya.”
***
“Huuuh.. kesal..kesal..kesalllll...” Keluh Lusi begitu sampai di rumah.
Berdua dengan Susan ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Anjas tak kelihatan. Biasanya ngeluyur bersama teman-temannya yang sebagian besar para berandal yang suka melakukan perbuatan sesukanya.
“Bagaimana mungkin, tiba-tiba Tante Diana begitu akrab dengan Dayu. Apa sih kelebihannya Dayu? Cantik mana sih aku sama Dayu?”
“Dayu cantik? Huh, dia tidak jelek, tapi kelihatan kampungan menurut aku. Orang anaknya Surti, mana bisa tampak seperti kalangan atas? Boleh pintar, tapi udiknya itu.. nggak bisa tidak.. pasti kelihatan. Heran aku, dari mana yang namanya Ibu Diana itu bisa berakrab-akrab dengan dia.”
“Susan kan sudah bilang Ma, dia pasti memakai guna-guna. Mama harus memperingatkan Bu Diana, supaya jangan terlanjur tergiur sama gadis kampungan itu.
“Nanti aku mau bicara.”
“Sebenarnya aku ingin sekali ketemu Aliando, tapi mengapa sih selalu saja ada gadis itu?”
“Sengaja dia nempel terus supaya kamu tidak punya kesempatan untuk berdekatan dengan dia. Coba cari cara supaya kamu bisa.”
“Nanti kalau Tante Diana sudah pulang ke rumah, aku akan sering ada di rumahnya, pagi atau malam. Tak mungkin Dayu mengikutinya terus.”
“Ya, kamu tenang saja, dari segi penampilan kamu menang jauh kok.”
“Iya Ma, aku akan terus berusaha.”
“Dan selama Tante Diana masih menginginkan berbesan dengan Mama ini, kamu pasti berhasil menjadi istrinya.”
“Tak sabar aku Ma..”
“Ya harus sabar lah San.. apalagi kamu belum pernah kenal sebelumnya.”
***
“Anak-anak itu kan tidak harus kamu pikirkan, mereka sudah dewasa, sudah tahu apa yang harus mereka lakukan,” kata Tikno di sore hari itu ketika sedang santai di teras rumah. Adit dan Dayu belum kelihatan pulang.
“Bagaimanapun aku kan seorang Ibu Mas, mana mungkin tidak ikut memikirkan?”
“Lha kalau mereka sudah dewasa, dan itu adalah masalah cinta, mana bisa orangtua ikut campur?”
“Menurut aku juga harus tetap ikut campur Mas, supaya mereka tidak salah jalan.”
“Mereka anak-anak baik, mendapat didikan yang baik, apa kamu tidak percaya?”
“Sekarang ini masalah Dayu Mas, coba mau tidak ikut berpikir bagaimana? Dia pacaran dengan seorang pengusaha muda yang guantengnya bukan main karena Ibunya Jawa Bapaknya orang Belanda. Aku tidak melarangnya, tapi mengingatkannya tentang status kita. Ternyata terjadi kan, si ganteng itu dijodohkan dengan orang lain, yang pastinya memiliki derajat yang sama dengan mereka.”
“Lalu Dayu diputusin?”
“Ya iyalah Mas.. “
“Yah, yang namanya jodoh itu bukan kita yang menentukan. Kasih tahu Dayu supaya tidak perlu menangisi kegagalan itu.”
Tiba-tiba didengarnya suara mobil berhenti, Tikno dan Surti melongok kejalan.
“Itu kan Dayu?”
“Sama siapa tuh?”
“Ya itu mas, yang namanya Aliando.”
“Kok masih berduaan?” kata Tikno sambil berdiri, lalu menunggu kedatangan mereka ditangga teras.
Dayu diikuti Aliando, menyalami dan mencium tangan Bapak dan Ibunya.”
“Bapak, ini teman Dayu, Aliando.”
“Oh, selamat bertemu Nak, ayo silahkan masuk. Kakakmu mana Dayu?”
“Dayu tidak sama-sama Mas Adit Pak, tadi dari kuliah Dayu langsung membezoek Mamanya dia,” kata Dayu sambil menunjuk ke arah Aliando, lalu mengajaknya duduk.
“Lho, Mamanya sakit apa Nak?” tanya Tikno dan Surti bersamaan.
“Mama sudah lama sakit. Selama bertahun-tahun stroke, sehingga hanya bisa berjalan dengan kursi roda. Beberapa hari yang lalu kena serangan jantung.”
“Ikut prihatin ya Nak..”
“Semoga segera pulih..”
“Terimakasih Pak, Bu.. tapi sekarang sudah membaik. Barangkali dua atau tiga hari lagi sudah bisa pulang ke rumah.”
“Syukurlah.”
“Ibu, Ibu Diana, Mamanya Aliando ini kenal lho sama Pak Indra, juga sama Kakek Prastowo.”
“Oh ya?”
“Iya sih, kan sama-sama pengusaha.”
“Tadi Ibu Diana bilang, kalau sudah pulang ke rumah, mau mengundang Bapak sama Ibu dan Pak Indra dan keluarga ke rumahnya.”
“Masa?”
“Iya benar. Bu Diana sangat baik, saya terharu merasakan kebaikannya.”
“Ah, syukurlah.”
“Ya sudah, silahkan duduk dulu, saya buatkan minum ya, “ kata Surti sambil menggamit tangan suaminya untuk diajaknya masuk kedalam.
“Jangan repot-repot Bu..”
“Nggak apa-apa.. cuma air saja kok.”
Tapi Tikno kemudian membututi istrinya sampai kebelakang.
“Surti, katamu mereka putus?”
“Iya aku juga heran, padahal kemarin-kemarin itu Dayu sampai menangis-nangis.”
“Aku tidak mengerti anak-anak muda itu.”
“Ya sudah, katanya jangan pikirkan...”
Tikno tertawa, kemudian membiarkan istrinya melanjutkan membuat teh panas untuk tamunya.
***
“Dit, apa yang terjadi pada adik kamu? Katanya hubungan sama Aliando putus, kok tadi datang berdua dan tampak baik-baik saja?”
“Iya Bu, tadinya Adit juga heran. Kemarin itu Aliando mengajak Dayu ke rumah sakit, mempertemukannya dengan Ibunya. Dia bilang kepada Ibunya, bahwa akan menuruti semua kemauannya. Maksudnya dijodohkan dengan siapapun Aliando bersedia, tapi dia ingin memperkenalkan Dayu pada Bu Diana. Aliando juga bilang, sesungguhnya Dayulah yang dicintainya. Dayu sudah ketakutan waktu itu, takut kalau tiba-tiba Bu Diana mengusirnya. Ternyata tidak Bu, sikap Bu Diana sangat baik. Malah hari ini Dayu datang sendiri ke rumah sakit, membawakan pisang Ambon untuk Bu Diana, dan diterima dengan sangat baik.”
“Oh, syukurlah.”
“Ibu kenal yang namanya Lusi?”
“Lusi.. kan yang ketemu waktu kamu pulang setelah dirawat? Ketemu di rumah sakit itu kan?”
“Iya. Yang mau dijodohkan sama Aliando itu anaknya Bu Lusi.”
“Oh, iya..? Tapi sayang ya, Aliando kan anaknya baik. Bagaimana dengan anaknya Lusi?”
“Nggak tahu Addit Bu, tapi melihat sikap Anjas, kelihatannya adiknya juga tidak berbeda jauh.”
“Ah, sudahlah, jangan ngomongin orang lain. Ibu senang kalau Bu Diana bersikap baik sama adik kamu.”
“Memang, bukan berarti kemudian Bu Diana lalu mau mengambil Dayu sebagai menantu, tapi Bu Diana suka sama Dayu. Dia bercerita tentang keluarga kita dan Bu Diana sangat terkesan.”
“Oh, itu membuat kesedihan Dayu berkurang ya Dit?”
“Bukan itu saja Bu. Bu Diana bilang, Dayu akan dijadikan anak angkat, bersaudara dengan Aliando.”
“Syukurlah, tadi Ibu tidak melihat air muka duka di wajah adik kamu.”
“Barangkali sikap Bu Diana bisa mengobati rasa bakal kehilangan cintanya.”
“Tidak apa-apa Dit, yang penting jangan sampai terluka.”
“Ya Bu.”
“Pantesan tadi Dayu bilang, kalau Bu Diana sudah sembuh, ingin mengundang Ibu dan Bapakmu, sekaligus Pak Indra dan Bu Indra.”
“Iya Bu, ternyata Bu Diana kenal sama Pak Indra. Juga Ayahnya Pak Indra.”
“Ya sudah Dit, Ibu lega, adikmu bisa membalut lukanya dengan kebahagiaan yang lain.”
***
“Ibu, Mas Naya belum pulang?” tanya Yayi pada sore itu.
“Belum tuh. Biasanya kamu bareng sama Kakak kamu, tapi akhir-akhir ini kok selalu pulang sendiri-sendiri.”
“Jam pulangnya tidak selalu sama Bu.”
“Karena kamu selalu bareng Adit, kan?”
“Ibu...” Yayi tersipu.
“Boleh saja kamu pacaran, Yayi, tapi jangan sampai kamu melalaikan kuliah kamu.”
“Iya Bu. Oh iya Bu, Yayi mau bilang. Bapak itu kenal sama Bu Diana ya?”
“Bu Diana, yang pengusaha, itu Ibunya Aliando.”
“Oh, kenal barangkali. Ibu belum pernah ketemu. Mungkin karena sama-sama bergelut dibidang usaha yang sama, jadi mungkin juga kenal.”
“Ibu juga kenal yang namanya Lusi?”
“Lusi...ya.. lama sekali, itu teman kuliah Bapak waktu masih di Surabaya.”
“Ooh, dia itu jahat banget dan kasar.”
“Ya, kalau perangai Lusi Ibu sudah tahu. Kok kamu ngerti?”
“Yang mau dijodohkan sama Aliando itu anaknya Bu Lusi. Namanya Susan. Dia adiknya Anjas, mahasiswa paling brengsek di kampus.”
“Ooh.. begitu? Kasihan Dayu dong.”
“Dan kasihan Aliando juga. Dia kan sangat mencintai Dayu.”
“Mengapa ya, Bu Diana menjodohkan anak satu-satunya dengan anaknya Lusi? Pasti Bu Diana tidak tahu perangai Lusi dan anaknya.”
“Barangkali ada sesuatu, entahlah.”
“Iya Bu. Tapi ketika Dayu datang bersama Liando, sikap Bu Diana baik, katanya.”
“Dayu anak baik, mungkin Bu Diana menyukai sikapnya.”
“Kata Dayu, Bu Diana meminta agar Dayu menjadi anak angkatnya.”
“Oh, bagus sekali.”
“Tapi pernikahan Aliando dan Susan tetap akan berlangsung sepertinya.”
“Yah, semoga semuanya baik-baik saja.”
***
“Ya ampun, apa kamu lupa sama aku Ndra?” pekik Bu Diana senang ketika Indra datang bersama Seruni.
“Tidak Mbak, hanya karena terlalu sibuk, sampai tidak pernah saling menyapa.”
“Itu benar, apalagi aku, setelah suami meninggal, semuanya jadi aku yang mengurusnya. Tapi aku sakit, sudah bertahun-tahun stroke, dan selalu memakai kursi roda. Untunglah Liando sudah selesai kuliah. Tadinya aku suruh dia meneruskan kuliah di luar negeri, tapi karena aku tidak kuat mengurusnya sendiri, aku suruh dia pulang.”
“Bagusnya Aliando sudah siap melakukannya Mbak.”
“Dayu.. kok kamu sembunyi disitu ?”
Indra dan Seruni terkejut.
“Lho, ada Dayu disitu?”
Dayu mendekat dan tersenyum malu. Sejak tadi ingin menyapa tapi sungkan. Ia hanya diam, membelakangi Indra dan istrinya.
“Kok kamu diam saja ada kami?” tegur Seruni.
“Iya Bu Indra, saya sedang menunggu dijemput, sudah waktunya pulang.”
“Ya ampun, iya aku lupa, katanya Ibunya Dayu pernah bekerja ikut kamu ya Ndra?”
“Iya, tapi Surti itu kan sudah seperti saudara Mbak, dari dia masih lajang sampai anak-anaknya dewasa, kami masih bersahabat. Anak-anak juga kebetulan kuliah di kampus yang sama.”
“Oh, ya ampun, aku mendengar cerita Dayu tentang keluarganya, sangat kagum lho. Oh ya Dayu, tolong ambilkan minum untuk Pak Indra dan Bu Indra, dulu kami saling kenal baik.”
“Baik Bu,” kata Dayu sambil mengambil minuman botol di kotaknya.
“Tadinya Aliando mengenalkan Dayu, sebagai gadis yang dia cintai.”
“Iya, kami juga tahu.”
“Sayangnya aku sudah terlanjur berjanji pada jeng Lusi, akan menjodohkan Aliando dengan anaknya.”
Bu Diana tampak menghela nafas.
“Dayu sangat baik. Dia cantik, budi pekertinya menarik, santun, dan dia anak pintar bukan?”
“Benar mbak, anak-anaknya Surti kuliah dengan bea siswa semuanya.”
“Aku sudah bilang, Dayu akan aku jadikan anak angkat aku, aku kan tidak punya anak perempuan?”
“Itu bagus Mbak, aku senang mendengarnya.”
“Nanti kalau aku sudah pulang, aku akan mengadakan syukuran, dan mengundang kalian, serta orangtuanya Dayu. Sekarang ini aku sudah merasa sehat, besok atau lusa aku sudah boleh pulang.”
Tiba-tiba dua orang muncul, Lusi dan Susan. Begitu melihat Indra, Lusi langsung menubruk dan memeluknya, membuat Indra gelagapan.
“Eh, jeng Lusi..” tegur Bu Diana.
“Mbakyu, Indra ini dulu kan pacar saya,” katanya tanpa sungkan, setelah Indra mendorongnya dengan kesal.
Bersambung
No comments:
Post a Comment