BAGAI REMBULAN 08
By : Tien Kumalasari
“Tolong, jangan sekali lagi mengucapkan kata-kata menghina kepada gadis yang aku cintai ini.”
“Liando, kamu akan menyakiti Mama kamu,” kata Lusi marah.
“Minggirlah Tante, jangan halangi kami,” kata Liando sambil terus maju dan terus merangkul pundak Dayu.
“Oo, dasar tak tahu malu perempuan itu,” kata Susan.
“Ayo pergi, jangan hiraukan mereka, paling nanti Tante Diana akan marah sekali, lalu mengusirnya.”
“Bagaimana kalau karena marah lalu Tante Diana meninggal?”
“Hush, kamu itu. Ayo kita kembali, mengintip apa yang terjadi,” kata Lusi sambil menarik anaknya agar kembali ke kamar Bu Diana.
Aliando masuk ke dalam kamar, sambil masih merangkul Dayu. Seorang perawat menghampirinya.
“Pak, saya minta maaf, sebelum ini ada dua orang wanita, tampaknya Ibu dan anak, terpaksa saya usir karena bisaca heboh disamping Bu Diana, sementara Bu Diana harus beristirahat total.”
“Oh, tidak apa-apa suster, bagus sekali suster mengusirnya, memang mereka selalu begitu. Terimakasih suster. Mama saya baik-baik saja?”
“Tadi tensinya agak meninggi lagi ketika dua tamu itu bicara gaduh disini. Semoga baik-baik saja. Silakan Pak kalau mau ketemu Bu Diana.”
“Terimakasih suster.”
Aliando menggandeng tangan Dayu, mendekati Mamanya. Dilihatnya Mamanya memejamkan mata, penghantar oksigen masih terpasang. Aliando memegang tangannya, pelan.
Beberapa saat lamanya, kemudian Bu Diana membuka matanya.
“Kamu sudah kembali?”
“Sudah Mama.”
Dayu memegang kaki Bu Diana, memijitnya perlahan.
“Siapa dia?”
“Dayu, sini...” panggil Liando, meminta agar Dayu mendekat. Dayu berdebar-debar. Bagaimana kalau kedatangannya justru membuat sakit Bu Diana bertambah parah?”
“Ini namanya Dayu, ingin menjenguk Mama.”
“Oo, cantik...”
“Terimakasih, semoga Ibu cepat sembuh ya,” bisik Dayu pelan, dengan mulut bergetar, benar-benar merasa takut.
Bu Diana tampak mengangguk.
“Mama, Mama tahu, Liando tidak akan menentang Mama. Liando akan menuruti semua kemauan Mama, melakukan apapun asalkan Mama bahagia.”
Bu Diana tampak tersenyum.
“Tapi ijinkan Liando memperkenalkan Dayu kepada Mama. “
Bu Diana tampak menatap Dayu. Jantung Dayu seperti dihantam palu. Barangkali siapapun akan mendengar detak jantungnya yang keras melebihi bedug di masjid sebelah rumahnya.
“Mama, gadis inilah yang pernah Liando katakan, bahwa Liando mencintainya.”
Bu Diana menatap tajam Dayu. Dayu berpegang pada pinggiran ranjang, takut tiba-tiba jatuh pingsan.
“Kamu cantik, tampaknya baik, Dayu...”
Dayu menghempaskan nafas lega. Tak ada kemarahan dalam nada suara itu.
“Tapi aku sudah menjodohkan Liando dengan gadis lain.”
Dayu tidak terkejut. Kan dia sudah tahu? Dayu justru tersenyum, senyum yang sangat tulus.
“Iya Bu, saya mengerti. Saya tidak sakit hati. Saya hanya berharap, Ibu kembali sehat, dan Aliando bahagia.”
Lalu Dayu terkejut sendiri. Darimana dia bisa mengucapkan semua itu.
Bu Diana mengerjapkan matanya. Menatap Dayu tajam, tapi itu tatapan bersahabat, manis dan teduh. Lalu tangannya meraih tangan Dayu, menggenggamnya erat.
“Anak baik, semoga kamu menemukan jodoh yang lebih baik dari anakku,” katanya lembut.
Dayu menitikkan air mata haru. Tidak mengira Bu Diana bisa menerima dengan baik. Diangkatnya tangan Bu Diana dan diciumnya lama sekali. Bu Diana tersenyum, membiarkan tangannya basah oleh air mata Dayu.
Aliando tersenyum lega. Paling tidak ada kesan baik dari Mamanya, atas Dayu.
“Seringlah datang kemari, kamu akan menjadi anakku, bersaudara dengan Aliando,” bisik Bu Diana yang tangannya masih terletak diwajah Dayu.
Dayu mengangguk senang.
“Aku tidak punya anak perempuan, maukah jadi anakku?”
Dan Dayu mengangguk, serta bertambah deras air matanya keluar.
“Sekarang Mama istirahat ya? Tidak boleh lama-lama berbincang. Liando dan Dayu akan menunggui Mama disana,” kata Aliando sambil menunjuk ke arah sofa.
“Tadi Lusi dan Susan ada disini, berisik, kepalaku pusing,” keluh Bu Diana.
“Ya sudah, jangan dipikirkan, sekarang Mama tidur ya.”
Sementara itu Lusi dan Susan yang berendap-endap di depan pintu, merasa heran karena tidak melihat Dayu segera keluar dari ruangan Bu Diana.
“Apakah Dayu bersembunyi sehingga Tante Diana tidak melihatnya?”
“Mungkin, tapi mau bersembunyi dimana?”
“Mungkin memang Tante Diana tidak melihatnya, bukankah dari tadi dia tidur?”
“Yah, benar... pasti karena masih tertidur jadi tidak melihat anak pembantu itu ada disana.”
“Ayo pulang Ma...”
“Jangan dulu, tak akan lama menunggu Tante Diana terbangun, lalu melihat Dayu, lalu menyuruh perawat agar melemparkannya keluar.”
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang perawat keluar dan menatap tak senang ketika dilihatnya Ibu dan anak itu berendap-endap di depan pintu.
“Ibu masih disini? Apa yang Ibu lakukan di luar pintu?”
“Oh, tidak apa-apa, saya hanya menunggu calon suami anak saya ini keluar, karena ada yang ingin kami bicarakan.”
“Oh, jadi Mas yang ganteng itu calon suami Mbak?”
“Ya... benar sekali,” kata Susan cepat.
“Akan saya panggilkan.”
Lusi ingin mencegah tapi perawat itu keburu masuk dan mendekati Liando.
“Pak, ada yang menunggu Bapak diluar pintu, maaf tidak saya persilakan masuk.”
“Siapa?”
“Saya tidak tahu namanya, tapi katanya Bapak adalah calon suaminya.”
“Oo, itu orang gila, biarkan saja.”
Perawat itu tersenyum geli, lalu keluar dan kembali membuka pintu.
“Maaf Mbak, Pak Aliando tidak bersedia keluar.”
“Dasar! Pasti karena perempuan itu. Eh, suster, apakah gadis yang bersama Aliando tadi sudah bertemu Bu Diana?”
“Sudah, berbincang agak lama.”
“Apa Bu Diana marah? Kasihan, dia pasti membuat sakitnya Bu Diana bertambah parah.”
“Tidak Bu, mereka berbicang agak lama, Bu Diana tampak senang karena mereka tidak berisik,” ujar perawat setengah menyindir keduanya, lalu pergi dari sana.
Lusi dan Susan saling pandang.
“Kok bisa sih? Rayuan apa yang dikatakan perempuan itu sehingga Tante Diana tidak mengusirnya?”
“Ya sudah San, ayo kita pulang dulu. Masih banyak waktu untuk menyingkirkan si anak pembantu itu...” kata Lusi sambil menggandeng Susan ke luar dari rumah sakit itu.
***
Adit dan Yayi kalang kabut ketika tidak menemukan Dayu di rumah, padahal di kampus juga tidak ada. Bayangan buruk menghantui pikiran mereka, apalagi ketika ponsel Dayu tidak aktif.
“Kemana dia, ponselnya tidak aktif.”
“Ayo ke rumah Aliando...” ajak Yayi.
“Mungkinkah kesana?”
“Mungkin saja, siapa tahu.”
“Tapi kan Mamanya Aliando sakit? Pasti Aliando di rumah sakit.”
“Siapa tahu bersama Dayu...”
“Aduuh... ya nggak mungkinlah... Mamanya Liando tidak suka Dayu kan?”
“Kalau begitu telpon Aliando Mas.”
“Dari tadi sudah aku pikirkan, tapi aku khawatir Aliando ikut bingung. Dia lagi sedih memikirkan Mamanya.”
“Aduuh... kemana Dayu ya..”
“Jangan-jangan... “
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Dayu gadis yang kuat.”
“Lho... Dayu mana?” Tanya Surti yang tiba-tiba keluar.
“Ooh, ini Bu... Dayu masih ada kelas.”
“Oh, ya sudah.“
“Nanti Adit jemput Bu.”
“Ya baiklah, mau dibuatkan minum dingin atau panas?”
“Tidak Bu Tikno, kami mau keluar lagi.”
“Kalau bisa, pulang makan siang disini, Yayi.”
“Baiklah Bu, gampang nanti. Ayo Mas, kita pergi, ajak Yayi sambil menarik tangan Adit.
Keduanya keluar dengan berbocengan. Surti yang tidak mengerti ada masalah apa, tersenyum senang melihat kerukunan mereka.
***
“Mengapa tiba-tiba mengajak pergi?” tanya Adit ketika sudah sampai dijalan.
“Ngomongin Dayu jangan di rumah, nanti Ibu kamu khawatir.”
“Baiklah, lalu kemana kita?”
“Ayo ke rumah sakit saja.”
“Ke rumah sakit?”
“Ya, kita lihat keadaan Aliando, kita pura-pura membezoek Mamanya.”
“Tapi kita kan sedang mencari Dayu?”
“Siapa tahu Liando tahu sesuatu.”
***
*“Anjaaas...! Mana Anjaaaass!”* Teriak Lusi sambil masuk ke dalam rumah.
Anjas ke luar dari kamar, sambil mengucek-ucek matanya, sementara Susan langung masuk kedalam .
“Ada apa sih Maa, teriak-teriak?”
“Aduuuh, kamu itu kalau di rumah kerjaannya tidur melulu. Kuliah nggak diselesaiin..molor saja.. sebel Mama mikirin kamu.”
“Lho, kok datang-datang Mama marahin Anjas, kalau masalah kuliah Anjas sudah capek. Anjas penginnya berhenti saja.”
“Tuh, enak ya, sudah ngabisin banyak uang, nggak pernah berhasil, bukannya berjuang supaya bisa cepet selesai malah bilang capek.”
“Bosen aku Ma,” katanya sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang dan kembali memejamkan matanya.
“Ya ampuun, anak ini. Dengar, Mama tuh mau bicara sama kamu, Mama lagi kesel nih.”
“Emang kenapa Ma?”
“Mama sama Susan baru saja dari rumah sakit. Siapa yang nggak kesel coba? Tiba-tiba Aliando datang bersama anak pembantu itu, lalu langsung masuk dan tampaknya mengenalkan si anak pembantu itu sama Mamanya.”
“Dayu? Beraninya dia datang menemui Tante Diana.”
“Aliando yang membawanya.”
“Apa Bu Diana nggak marah?”
“Itulah herannya Mama. Tante Diana menerima kedatangan Dayu dengan baik.”
“Tapi kan tidak membatalkan perjodohan Liando sama Susan kan?”
“Tidak, tapi lama kelamaan, kalau Dayu pintar merayu... bisa kalah Susan.”
“Lalu kita harus bagaimana? Temui Tante Diana dan bicara. Kalau perlu segera minta agar mereka dinikahkan. Kalau Susan sudah menjadi istri Aliando, aku mau bekerja saja di perusahaan Aliando, ogah mikir kuliah lagi.”
“Kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri saja. Urus adikmu, bagaimana bisa berhasil.”
“Lha itu aku kan sudah memberi saran, bicara sama Tante Diana dan minta segera menikahkan mereka.”
“Gimana mau bicara, orangnya masih terbaring di rumah sakit tuh. Parah kelihatannya.”
“Itu bisa bahaya Ma. Kalau tiba-tiba Tante Diana meninggal, bisa gagal semuanya.”
“Lalu bagaimana dong. Kalau ngomong sekarang ya nggak enak, sakitnya masih parah kayak begitu.”
“Ya ditunggu sehari dua hari lagi, dan sementara ini Mama harus sering ke rumah sakit bersama Susan, dan kalau kelihatannya Dayu membahayakan, nanti aku akan bertindak.”
“Kamu mau melakukan apa?”
“Ya nanti aku pikirkan. Pokoknya kalau Dayu nggak ada kan halangan itu juga nggak ada?”
***
Aliando sedang mau mengajak Dayu keluar makan, ketika ponselnya tiba-tiba berdering.
_*“Mas Adit?”*_
_*“Maaf aku mengganggu... aku sama Yayi ada diluar.”*_
_*“Haa? Maksudnya diluar rumah sakit ini?”*_
_*“Yaa... didepan... diparkiran sepeda motor.”*_
_*“Wauw... tunggu... aku sama Dayu mau kesitu.”*_
_*“Whaaattttt? Dayu?”*_ Adit terpekik.
_*“Ya... sebentar lagi aku keluar.”*_
Adit geleng-geleng kepala.
“Ada Dayu?”
“Iya, benar-benar harus aku jewer telinga Dayu,” omel Adit.
Tapi ia lega, sudah jelas Dayu bersama Aliando.
“Ya ampuun... anak itu bisa menghilang rupanya,” kata Yayi ketika melihat Dayu melambaikan tangannya, sambil bergandengan dengan Aliando.
“Kok enak sekali bisa bergandengan tangan. Dan pastinya sudah ketemu Mamanya Aliando kan?” Tanya Adit heran.
Lalu dilihatnya Aliando melambaikan tangannya, meminta Adit dan Yayi mendekat. Ternyata Aliando mengajak keduanya ke parkiran mobil, lalu mengajaknya pergi.
“Kemana kita?” tanya Adit yang duduk didepan, berdampingan sama Aliando.
“Lapar aku, dari pagi belum sarapan.” Jawab Aliando.
“Enak saja kamu menculik Dayu, aku sama Yayi kebingungan setengah mati.”
Aliando terbahak.
“Dimarahin malah tertawa,” omel Adit sambil meninju pundak Aliando pelan.
“Bagaimana ceritanya maka kamu bisa membawa Dayu ke rumah sakit? Sikap Mama kamu?” tanya Yayi.
“Baik.. baik sekali,” jawab Aliando, Dayu hanya tersenyum.
“Berarti sudah dapat restu nih?” pekik Yayi senang.
“Tidak... bukan begitu..” Sela Dayu sambil menepuk paha Yayi.
“Gimana sih?”
“Yang penting aku datang dan diterima baik kok. Itu cukup buat aku.”
“Hm, kelihatannya manis.”
“Tapi Aliando tetap akan menjadi jodohnya Susan...” kata Dayu pelan.
“Ya ampuun...”
“Nanti saja kita ngomongnya, sambil makan, nih udah sampai.”
***
“Liando, kalau kamu mau ke kantor, aku ke rumah sakit sendiri saja, setelah kuliah.”
“Baguslah, nanti aku antar pulangnya.”
“Mama sukanya apa ya, boleh aku bawakan pisang ambon?”
“Boleh saja, lakukan apa yang bisa membuat Mama senang. Kamu kan anak angkatnya.”
“Baiklah Kakak,” canda Dayu.
“Kenapa jadi Kakak ya?”
“Liando, Mama kamu minta supaya aku dan kamu saudaraan, itu lebih nyaman daripada berpisah dan putus sama sekali bukan?”
“Baiklah adik..” lalu Liando terbahak-bahak. Bagaimanapun keakraban Mamanya dan Dayu diharapkan bisa menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Masalah Susan akan dia kesampingkan. Yang penting dia sudah mengatakan kepada Mamanya bahwa dia akan menurut apa yang akan menjadi kemauan Mamanya. Dan Aliando yakin Mamanya senang dengan janji yang dia ucapkan.
***
Tapi ketika siang itu Dayu datang, dilihatnya Lusi dan Susan sudah ada disana. Begitu melihat Dayu, Lusi langsung berdiri dan menatap Dayu penuh kebencian.
“Mengapa kamu datang kemari, perempuan kampung?“ Hardik Lusi.
“Ih, tak tahu malu, mau apa kamu kemari?” sambung Susan.
Dayu tegak berdiri, menenteng pisang ambon kekuningan yang dipilihnya dengan cermat. Harum bau pisang itu sudah mengatakan bahwa buahnya pasti pulen dan manis.
“Saya cuma mau memberikan ini...” kata Dayu sambil mengacungkan pisang yang dibawanya.
“Waduh... kamu ini sungguh keterlaluan. Ibu Diana tidak akan mau makan buah murahan seperti itu.”
“Siapa dia?” tanya Bu Diana pelan, karena memang tak bisa melihat siapa yang datang, sementara Lusi dan Susan berdiri menghalanginya.
“Itu mbakyu, anak bekas pembantu yang datang.”
“Coba minggirlah aku mau melihatnya.”
Ketika Susan agak mundur kebelakang, Bu Diana melihat Dayu, yang kemudian mengangguk hormat.
“Kamu Dayu?”
“Iya Ibu.”
“Kemarilah, mendekatlah,” kata Bu Diana sambil melambaikan tangannya. Lusi dan Susan berpandangan, lalu menatap Dayu dengan kesal.
Dayu mendekat, lalu meletakkan pisang yang dibawanya di meja.
“Ibu suka pisang? Saya hanya membawakan pisang ambon.”
“Baunya harum sekali, aku mau, bolehkah aku makan pisangnya?”
“Boleh saja Ibu, saya kupaskan ya.”
“Kupaskan dan tolong suapkan.”
“Baiklah.”
“Jeng Lusi, dia ini anak angkat aku, gadis yang disukai Aliando.”
Lusi memelototkan matanya.
“Dia cantik bukan? Pantas jadi anakku tidak?”
“Mbakyu Diana, apa Mbakyu tidak tahu, dia itu anak bekas pembantu yang saya sudah pernah mengatakannya pada Mbakyu.” Kata Lusi sengit.
Bu Diana menatap Dayu tajam, membuat Dayu tertunduk. Pisang yang sudah dikupasnya sebagian dan nyaris disuapkannya, terhenti seketika.
Bersambung
No comments:
Post a Comment