Wednesday, September 30, 2020

Bagai Rembulan 07

BAGAI REMBULAN 07
By : Tien Kumalasari

Aliando merasa cemas. Ia menyesal tadi tak menghiraukan kata-kata Mamanya, meninggalkannya tanpa kata-kata hanya dengan mencium tangannya. Bagaimana kalau terjadi apa-apa atas Mamanya?.

“Kalau sampai terjadi sesuatu atas Mama, aku tak akan bisa memaafkan diriku. Mama, sehat Mama... sehatlah Mama...” Bisiknya berkali-kali.

Ia terus memacu mobilnya, tapi sebelum sampai ke rumah, Pak Karjo menelponnya kembali. Dengan panik Aliando menerima telponnya.

_*“Ya pak Karjo? Bagaimana Mama?”*_

_*“Sudah saya bawa ke rumah sakit Mas, saya masih menungguinya.”*_

_*“Oh, syukurlah, saya segera kesana Pak.”*_

_*“Ya Mas, segera, Bu Diana langsung masuk ke IGD.”*_

Aliando memutar lagi mobilnya, melaju ke rumah sakit. Segala doa diucapkannya melalui bibirnya yang gemetar karena ketakutan.

Begitu sampai di rumah sakit, ia langsung menemui Pak Karjo.

“Bagaimana Mama?”

“Sedang ditangani Mas, serangan jantung.”

“Ya Tuhan, selamatkanlah Mama...” desisnya.

“Bagaimana kejadiannya, untunglah Pak Karjo melihatnya dan langsung membawanya kemari.”

“Tadi itu menyuruh saya mengeluarkan mobil, katanya ingin belanja. Begitu mobil siap di depan, saya masuk kedalam dan mendapati Bu Diana sudah terkulai pingsan. Saya langsung menelpon Mas Liando, tapi karena Bu Diana tidak segera sadar saya membawanya ke rumah sakit.”

“Terimakasih Pak Karjo. Apakah setelah sampai disini Mama juga belum sadar?”

“Belum Mas, dokter sedang merawatnya. Mas sabar ya, semoga Bu Diana tidak apa-apa.”

Aliando mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Tampak bahwa dia sangat gelisah.

Tiba-tiba ponselnya berdering, dari Adit.

_*“Ya Dit?”*_

_*“Aku tadi melihat mobil kamu berhenti di depan pagar, mengapa kemudian pergi?”*_

_*“Maaf Dit, saat itu aku menerima telpon dari Pak Karjo, Mama tiba-tiba pingsan.”*_

_*“Ya Tuhan, lalu bagaimana keadaannya?”*_

_*“Pak Karjo sudah membawanya ke rumah sakit. Ini masih ditangani.”*_

_*“Ikut prihatin ya Ndo, sabar, semoga Mama kamu bisa tertangani. Teruslah berdoa.”*_

_*“Terimakasih Dit, sampaikan salamku untuk Dayu.”*_

_*“Iya, nanti aku sampaikan.”*_

Aliando berdiri dan mondar-mandir di depan pintu ruang IGD.

“Mas , duduk saja disini, dan tenanglah. Bu Diana sudah ditangani.” Pak Karjo mengingatkan.

Aliando duduk, wajahnya pucat karena cemas yang mencengkeram dadanya.

“Duduk dan berdoa saja mas..."

Aliando mengangguk, dan kembali mulutnya berkomat-kamit melantunkan doa.

Ketika seorang perawat membuka pintu, Aliando memburunya.

“Bagaimana suster, bagaimana Mama saya?”

“Anda keluarganya Bu Diana?”

“Saya anaknya.”

“Dokter ingin bertemu.”

Aliando menghadap dokter yang menangani Mamanya, dengan meremas-remas tangannya sendiri yang terasa dingin bagai es.

“Saya hanya ingin bilang, bahwa Ibu Anda Bu Diana mendapat serangan jantung, dan ini sudah kesekian kalinya. Anda harus menjaga jangan sampai terulang sekali lagi karena itu akan menjadi fatal.”

Aliando tak mampu berkata-kata,  Ia hanya mengangguk sambil meremas-remas tangannya.

“Jangan cemas, Ibu Anda sudah sadar, buat dia bahagia ya.” Kata dokter ketika melihat kegelisahan Aliando.

“Baik dokter,“ jawabnya bersemangat ketika dokter bilang Mamanya sudah sadar.

Aliando menemui Mamanya dan memeluknya erat.

Bu Diana mengelus kapala Aliando .

“Mama tak apa-apa?”

“Mama baik-baik saja. Kamu takut kehilangan Mama?

“Tentu saja Ma... Aliando hanya punya Mama...”

Bu Diana masih mengelus kepala Aliando lembut. Tak banyak berkata karena nafasnya masih belum normal. Asupan oksigen masih terpasang. Lalu Bu Diana memejamkan matanya, sambil tangannya tetap berada di kepala anaknya.

Aliando terus menungguinya, sampai Bu Diana dipindahkan ke kamar rawat.

“Pak Karjo pulang dulu ya, Mama masih harus dirawat.” 

Pesan Aliando ketika menemui Pak Karjo yang masih menunggu.

“Baik Mas, bagaimana keadaan Bu Diana?”

“Sudah sadar, tapi belum banyak berkata-kata. Kalau ada apa-apa saya akan mengabari Pak Karjo. Oh ya, tolong bilang sama simbok, agar menyiapkan baju ganti untuk Mama. Lalu tolong Pak Karjo mengantarnya kemari ya.”

“Baiklah, saya pulang dulu sekarang.”

***

“Adit... Ibu mau bicara.”

“Ya Bu.”

“Ada apa dengan adik kamu?”

“Dayu...?”

“Iya, siapa lagi...?”

“Ooh... dia...”

“Jangan ragu-ragu mengatakannya pada Ibu. Ibu sudah bisa membaca ada sesuatu yang tidak beres pada wajah-wajah kalian.”

Adit diam sejenak. Barangkali ada baiknya mengatakan saja apa yang terjadi pada Ibunya.

“Adit... apa kamu ingin menyembunyikannya dari Ibu?”

“Dayu sedang sedih Bu.“

“Ya, Ibu tahu...”

“Aliando dijodohkan dengan seseorang oleh Mamanya.”

“Oo... begitu? Baiklah, tapi bukankah Ibu sudah membekali kalian dengan banyak hal yang ada hubungannya dengan percintaan kalian?”

“Ya, Adit mengingatnya.”

“Demikian juga buat kamu Adit. Ingat kita ini siapa dan dia itu siapa. Kamu mengerti?”

“Ya, Adit mengerti.”

“Bersiaplah membalut luka kalian, karena cinta itu tak harus memiliki.”

“Iya Bu, Adit mengerti.”

“Bagaimana hubungan kamu dengan Yayi? Kamu juga harus hati-hati.”

“Selama ini baik-baik saja. Pak Indra dan Bu Indra juga bersikap baik. Sepertinya mereka mengetahui hubungan kami, tapi tak tampak ada larangan.”

“Bagaimanapun kamu harus selalu menjaga hati, karena patah cinta itu sakit. Bukankah begitu?”

***

Dayu tak bisa memejamkan mata. Berita masuknya Bu Diana ke rumah sakit sangat memperjelas bagaimana nasib kisah cintanya bersama Aliando.

_GEMULAI BERSELENDANG KABUT TIPIS_
_MENARI MENGITARI PAGI_
_DIANTARA WANGI HATI_
_KURAIH HANGAT MENTARI_
_TANPA JAWAB, BIARKANKU TERJEREMBAB_

Lalu titiklah air bening dari sepasang mata yang kuyup oleh rasa duka lara. Dayu mengusapnya ketika terdengar ketukan di pintu. Sang Ibu dengan wajah teduh menghampiri anak gadisnya.

“Dayu, hapus air mata itu,”

Dayu memeluk Ibunya dan justru terisak disana. Dari apa yang dikatakan Ibunya, Dayu tahu bahwa Ibunya sudah mengetahui apa yang terjadi.

“Kok malah nangis? Tapi baiklah, puaskanlah tangis itu sekarang, lalu ketika besok matahari bersinar, wajahmu juga harus ikut bersinar.”

Dayu melepaskan pelukan Ibunya. Begitu gampangkah melupakan kisah indah yang dilakoninya selama ini bersama Aliando? Laki-laki ganteng bermata kebiruan yang selalu merengkuhnya dengan sejagad cinta. Selalu mengumandangkan kidung-kidung penuh wangi bunga. Aduhai, ternyata semuanya harus berakhir disini.

“Bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki?”

“Iya Bu.”

“Anak Ibu yang cantik harus bangkit, tidak seharusnya menangisi sebuah kegagalan. Jodoh itu bukan kita yang menentukan, tapi Dia, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”

Surti menyibakkan anak rambut Dayu yang tergerai basah diwajahnya.

“Sekarang tidurlah, lepaskan semua beban. Ibu temani sampai kamu terlelap ya?” kata Surti sambil membaringkan tubuhnya di ranjang, lalu menarik Dayu agar tidur disebelahnya. Dayu mencoba memejamkan matanya, dan ternyata belai kasih seorang Ibu mampu memberikan ketenangan, setidaknya untuk malam itu.

***

“Selamat pagi... selamat pagi...” sebuah teriakan terdengar di luar pintu rumah Bu Diana. Lusi dan Susan melongok-longok kedalam, lalu mengintip ke dalam garasi.

“Mobilnya ada?”

“Nggak ada, berarti Tante Diana nggak ada di rumah. Tapi kok nggak ada yang menjawab ya? Simbok kan mestinya ada.”

“Iya sepi... Pencet belnya dong Ma.”

“Sudah, kayaknya mati, atau memang dimatiin.”

“Selamat pagiii...” teriak Lusi lebih keras.

Lalu terdengar pintu dibuka, seorang perempuan setengah tua muncul.”

“Lho... Mbok, kok lama banget... apa Bu Diana tidur? Eh, mobilnya nggak ada sih, pergi ya?”

“Jadi Ibu belum tahu? Sudah dua hari Bu Diana di rumah sakit.”

“Sakit?”

“Iya lah Bu, kalau tidak sakit mana mungkin ada di rumah sakit?” jawab Simbok yang sudah mengenal Lusi, tapi agak kurang senang atas sikap Lusi dan anaknya yang sok sudah jadi majikan di rumah itu.

“Maksudnya sakit apa?”

“Simbok kurang tahu, Ibu telpon saja ke Mas Liando atau Pak Karjo. Maaf, Simbok sedang ada pekerjaan di dapur, takut gosong,” kata Simbok yang kemudian masuk kedalam dan menutupkan pintunya.

“Hiih... pembantu nggak punya sopan santun. Masa dia pergi begitu saja dan meninggalkan tamunya dengan mengunci pintunya.”

“Namanya juga pembantu, mana tahu sopan santun. Makan sekolahan juga paling tidak pernah,” kata Lusi kemudian kembali ke mobil, dan  membawanya ke luar dari halaman.

“Ponsel Aliando tidak aktif. Nomor sopirnya mana aku tahu.”

“Ya sudah, kita langsung saja ke rumah sakit, Mama kan tahu di rumah sakit mana biasanya Tante Diana berobat.”

***

Dayu ke luar dari kampus, dan seperti kesukaannya, ia berjalan menuju ke arah  sungai kecil dimana dia dan Liando sering bertemu. Dayu berjalan menunduk, menatap batu-batu kerikil putih yang tersebar di jalan setapak ke arah sungai. Langkahnya perlahan, seperti batinnya yang letih lunglai.

Kerosak kerikil yang terpijak kakinya membuat seseorang yang duduk di atas batu ditepi sungai itu menoleh, lalu berdiri dan segera bersembunyi dibalik sebuah pohon besar yang ada disana.

Dayu terus melangkah, tapi matanya menatap sepasang sepatu yang teronggok di atas batu. Dayu berdebar, melihat kesekeliling sungai, tapi tak melihat siapapun disana. Dayu melangkah ke arah tepian sungai, hampir terjatuh ketika seseorang mendekapnya dari belakang.

“Sayang, aku menunggu kamu sejak tadi.”

Itu suara yang sangat dikenalnya, dan sangat dirindukannya. Dayu menoleh kebelakang dengan mendongakkan kepalanya. Wajah ganteng menawan itu sedang tersenyum ke arahnya. Jantung Dayu hampir meloncat karenanya.

“Aliando, mengapa ada disini?”

Aliando melepaskan pelukannya, lalu menarik Dayu untuk diajaknya duduk di atas batu. Batu besar ditepian sungai kecil yang selalu menjadi saksi bertemunya dua hati yang saling bertaut dan mengumandangkan kidung-kidung penuh pesona.

“Mengapa kamu kesini, Liando? Bukankah Mama kamu sakit?” Tanya Dayu sambil memainkan air dengan ujung kakinya.

“Keadaan Mama sudah lebih baik. Tadi aku kekantor sebentar, lalu kemari.”

“Syukurlah, semoga semakin membaik.”

“Aamiin.”

“Mengapa kamu kesini?” pertanyaan Dayu yang sama, tapi membutuhkan jawaban yang berbeda.

“Aku kangen sama kamu,”  katanya sambil merengkuh pundak Dayu, membuat Dayu menyandarkan kapalanya dibahu kekar itu.

“Liando, kamu harus mulai menjauhi aku, melupakan aku.”

“Mengapa Dayu?”

 “Apa kamu lupa bahwa keinginan Mama kamu adalah gadis lain dan bukan aku?”

“Itu hal yang paling menyedihkan buat aku, Dayu.”

“Tapi kamu harus menghadapinya. Jangan cengeng Liando.. keselamatan Mama kamu lebih penting bukan?”

Liando terdiam, lalu ingat kata-kata dokter ketika Mamanya pertama kali masuk ke rumah sakit. 

_“Buat dia bahagia”_. 

Alangkah sedihnya ketika harus membahagiakan yang satu tapi dengan jalan menyakiti yang lain. Dua wanita yang sama-sama dicintainya, tapi ada taruhan nyawa didalamnya, dan hati Liando terasa bagai diremas-remas.

“Liando, jangan mencemaskan aku. Aku bisa menerimanya kok,” kata Dayu, dengan rasa yang sebenarnya lebih tercabik-cabik.

“Mengapa ini semua harus terjadi?” keluh Liando.

Dayu menatap air bening yang gemercik mengalir, terkadang menyentuh batu, terkadang harus membawa daun-daun kering  yang jatuh diatasnya, namun ia terus saja mengalir.

“Liando, hidup itu kan seperti air sungai yang mengalir ini. Ia akan terus mengalir... walau bebatuan menghalanginya, walau dedaunan kering ikut bersamanya. Dan akan terus begitu sampai tiba di muaranya.”

“Aku ingin menjadi air, yang memeluk bayangmu disana, dan tak akan aku lepaskan.” Jawab LIando.

“Sekarang saatnya menghadapi kenyataan, lepaskan semuanya. Bukankah cinta tak harus memiliki?”

“Kamu siap melepaskan aku?” bisik Liando pilu.

Dayu menghela nafas panjang, ingin melepaskan himpitan di dada yang akhir-akhir ini sangat menyiksanya. Tapi semua harus dihadapi, Dayu berusaha tabah.

“Siap atau tidak, bukankah itu akan terjadi?”

“Ada satu permintaan aku, yang aku mohon kamu bersedia memenuhinya.”

“Liando, kamu berfikir tentang apa?” tanya Dayu khawatir. Ia membayangkan permintaan Aliando adalah sesuatu yang terlarang, yang tabu, yang tak mungkin bisa dipenuhinya.

“Dan kamu berfikir tentang apa? Aku bukan manusia kotor, aku akan menjaga cintaku sebersih melati di pelataran rumahku.”

Dayu menggenggam tangan Aliando erat, sebagai permintaan maaf.

“Maaf...”

“Aku hanya ingin mengajak kamu bertemu Mama.”

Kalau ada lebah menyengat pasti tak akan seterkejut itu hati Dayu.

“Bertemu Mama kamu? Bukankah Mama kamu membenci aku?”

“Tidak, Mama belum pernah bertemu kamu. Aku hanya ingin mengatakan pada Mama, bahwa inilah gadis yang aku cintai.”

Dayu ragu-ragu.

“Bagaimana kalau tiba-tiba Mama kamu marah lalu mengusir aku?”

“Ayo kita coba saja, aku kira Mama tidak seburuk yang kamu sangka.”

***

Di rumah sakit  Lusi dan Susan duduk di dekat ranjang Bu Diana, yang masih terbaring memejamkan mata. Bukannya berbincang untuk menghibur yang sakit, Lusi malah nyerocos membicarakan keburukan Dayu.

“Benarkah Liando pergi ke kantor? Jangan-jangan dia menemui perempuan murahan itu.”

“Mungkin juga Ma, kelihatannya perempuan itu memakai guna-guna. Bagaimana mungkin seorang seperti Liando bisa tertarik sama dia?”

“Mama juga berfikir demikian. Namanya juga orang rendahan, pasti akan dengan segala cara berusaha agar bisa mendapatkan Aliando. Sudah ganteng, banyak uang, siapa sih yang tidak tergiur?”

“Benar Ma, siapa sih yang nggak suka harta? Kasihan Aliando, terjebak dalam situasi sulit, tanpa ingat bahwa Mamanya sedang sakit.”

“Nah, sudah sakit seperti ini, tidak ditungguin, aduuh... kebangeten sekali anak itu.“

“Semua ini gara-gara perempuan murahan itu.”

Keduanya mengoceh tidak keruan dan terdengar heboh. Perawat yang menungguinya mendekat dan menegurnya.

“Maaf Bu, pasien memerlukan istirahat, jadi saya mohon tidak berbicara gaduh disini,” tegur perawat itu.

“Gimana sih suster ini. Anak saya ini calon menantunya Bu Diana, jadi saya kira Bu Diana akan seneng-seneng saja kok mendengar kami mengobrol.”

“Ini bukan masalah calon menantu Bu, Bu Diana butuh istirahat total, jadi tolong kalau Ibu mengobrol ya diluar saja, biarkan Bu Diana beristirahat.”

“Suster, Bu Diana diam saja, berarti dia suka dan tidak melarang.”

“Bu, saya tiak mau mendengar alasan apapun dari Ibu, saya mohon Ibu dan Mbak ini keluar dari sini.”

“Suster mengusir saya?”

“Benar Bu, Bu Diana dalam perawatan ketat, saya berhak mengusir siapapun yang mengganggu.”

“Mama, suster ini kurangajar sekali.”

“Silahkan keluar Mbak... silahkan Bu, kalau tidak saya akan menyuruh satpam membawa Ibu keluar dengan paksa,” tegas kata perawat itu.

Lusi menarik tangan Susan dan keluar dengan wajah marah.

Suster kemudian mendekati Bu Diana, memegang lengannya, kemudian memeriksa tensinya.

“Ibu, apakah Ibu tidak terganggu?”

“Berisik sekali, saya pusing.”

“Saya sudah memintanya keluar Bu. Lihat, tensi Ibu agak tinggi lagi, lain kali kami akan melarang siapapun yang membuat suara berisik didekat Ibu. Istirahat ya Bu,” kata perawat setelah memeriksa tensi Bu Diana.

Bu Diana mengangguk, lalu memejamkan mata.

Ketika Lusi dan Susan meninggalkan kamar itu, dilihatnya Aliando datang bersama Dayu. Lusi terkejut. Ia menghalangi dan menatap Dayu dengan tidak senang.

“Aliando, siapapun dilarang memasuki kamar Mama kamu. Mengapa kamu membawa anak pembantu ini kemari? Ingin membuat sakitnya Mama kamu menjadi semakin parah?” katanya  sambil melotot ke arah Dayu.

Aliando justru merangkul Dayu, menatap Bu Lusi dengan marah. Tangannya terkepal, barangkali kalau tidak ingat bahwa mereka adalah perempuan, maka Aliando sudah mengayunkan kepalan tangan itu kewajahnya.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER