BAGAI REMBULAN 06
By : Tien Kumalasari
DAYU menghela nafas sesal. Bersama Yayi keduanya duduk di teras, dengan wajah khawatir.
“Maaf ya, aku keceplosan...” Kata Yayi.
“Tidak, dia sudah banyak mendengar pembicaraan kita, jadi bukan salah kamu.”
“Coba kamu telepon dia.”
“Mana mungkin bisa, tuh, ponselnya tertinggal di meja.”
“Aduh, jangan-jangan dia mengamuk disana.”
“Aduh, apa yang harus kita lakukan?”
“Kalau begitu Aliando saja kamu telepon.”
“Ya ampun, sungkan aku, aku harus bilang apa?”
“Katakan saja semuanya.”
“Sejak kemarin dia tidak menghubungi aku, aku juga bingung.”
“Nggak apa-apa, sini... biar aku saja... mana nomor kontaknya.”
Tapi beberapa kali mencoba, Yayi tak berhasil menghubunginya.
“Nomornya tidak aktif,” keluh Yayi.
“Aduuh, Mas Adit... ya gitu deh dia..., mudah sekali terbakar emosinya. Gimana nih enaknya, aku jadi khawatir.”
“Lhoh... ada Mbak Yayi ? Lha kamu kok sudah bangun...sudah nggak pusing lagi?” tiba-tiba Surti muncul.
“Sudah baik Bu.”
“Adit mana?”
“Mas Adit... baru.. keluar...”
“Lhoh, gimana Adit, ada tamu malah pergi. Sebentar Ibu buatkan minum. mBak Yayi makan disini ya? Tapi masakannya nggak enak lho.”
“Wah, Bu Tikno...”
“Iya Bu, nanti Yayi akan Dayu ajak makan. Nunggu Mas Adit dulu.”
“Ya sudah, Ibu buatkan minum ya?”
“Biar saya nanti ambil sendiri Bu, seperti tamu saja.”
“Nggak apa-apa, sudah, duduk saja disitu, Ibu buatkan minum sama menyiapkan makan siang.”
Dayu tampak gelisah. Yayi mencoba menenangkannya.
“Tenang Dayu, nanti Ibu kamu curiga kalau kamu tampak kebingungan seperti ini. Semoga saja tak terjadi apa-apa, aku akan mencoba menelpon Aliando lagi.”
“Lebih baik kita kesana saja,” akhirnya kata Dayu.
“Kesana? Baiklah, pamit sama Ibu dulu, aku mau memanggil taksi.”
“Jangan, panggil taksinya sambil jalan saja. Tunggu sebentar.”
***
Hari itu Bu Diana melarang Aliando pergi. Ia harus mempertemukan anaknya dengan Susan, dan membuat mereka lebih dekat. Aliando belum bisa menjawab apapun, ia ingin amarah Ibunya mereda dan berusaha menuruti kemauannya.
“Dia akan datang siang ini, dan kita akan makan siang bersama. Semuanya sudah disiapkan. Jangan membuat Mama kecewa. Mertua Lusi almarhum adalah sahabat Nenek kamu. Dulu ia ingin ada salah seorang keluarganya yang bisa menjadi menantu Mama.”
Aliando tak menjawab. Pikirannya melayang ke arah Dayu. Sejak kemarin dia tak menelponnya. Bukan apa-apa , hanya pikirannya sedang kacau. Ia ingin mengatakan semuanya nanti pada Dayu, tapi dia harus menata batinnya. Sungguh keadaan ini sangat menyiksa. Sejak pagi dia hanya melamun dengan wajah sendu, namun Bu Diana seakan tak perduli. Hasutan Lusi tentang Dayu yang anak bekas pembantu membuatnya ingin segera menikahkan Aliando dengan anak gadis Lusi yang dianggapnya lebih pantas.
Aliando masih termangu di depan rumah, ketika dilihatnya sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar, dan pengendaranya membunyikan klakson bertalu-talu. Aliando berdiri dan melangkah keluar.
“Adit?” tanyanya heran.
Adit memberi isyarat agar Liando naik ke boncengan sepeda motornya. Aliando ragu-ragu.
“Kemana?”
“Ketempat yang sepi, aku akan menghajar kamu!” kata Adit sengit.
Tapi Aliando tersenyum, ia mengira Adit sedang bercanda. Ia memang ingin menjauhi rumahnya. Lalu ia menepuk pundak Adit dan naik ke boncengan. Disebuah tempat yang sepi, Adit menyuruhnya turun.
“Adit, ada apa ini?”
“Aku kan sudah bilang, kalau kamu menyakiti adik aku, maka aku akan menghajarmu.”
“Tunggu... tunggu... apa maksudmu?”
“Bukankah kamu mau menikah dengan adiknya Anjas?”
Aliando tercengang. Darimana Adit mendengar berita itu?
“Ayo kita makan di warung itu dan bicara.”
“Jangan mencoba mencari pembenaran.”
“Aku memang belum cerita, bahkan Dayupun belum aku beritahu.”
“Tentang pernikahan kamu?”
“Bukan, ayo kita bicara dengan baik, justru aku ingin berkeluh sama kamu.”
Adit melihat kegelisahan di wajah Liando, dan itu bukan karena takut kepadanya. Ia tahu Aliando bukan seorang pengecut.
Mereka duduk disebuah bangku di warung makan itu. Wajah Adit tidak segarang tadi. Ia justru merasa iba melihat kegelisahan pada tatap mata Aliando.
“Apa yang terjadi?” tanya Alindo pelan, setelah mereka memesan makanan.
“Akulah yang ingin bertanya sama kamu, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tiba-tiba kamu datang dan seperti sangat marah. Itu yang ingin aku ketahui.”
“Apa benar kamu akan menikah dengan adiknya Anjas?"
Aliandro menatap Adit, tak percaya bahwa Adit telah mengetahuinya.
“Tadi pagi Anjas mengatakannya pada Dayu, lalu membuat Dayu jatuh sakit.”
Aliando membelalakkan matanya.
“Dayu sakit? Bagaimana keadaannya?”
“Jawab saja, apa itu benar?”
“Adit, biarlah aku bicara.”
Lalu Aliando menceritakan semuanya, dari awal kembalinya dia ke Indonesia, dan kemudian Ibunya memaksanya menikah dengan seseorang, yang lalu diketahuinya adalah Susan, adiknya Anjas.
“Lalu...? “
“Aku sudah bilang Mama, bahwa aku mencintai Dayu...”
“Lalu...”
“Aku bingung Adit.. kalau bisa aku ingin menghilang saja.. agar aku bisa memilih siapa yang aku pilih. Tapi Mama punya senjata, dia sakit-sakitan dan mengatakan bahwa akan meninggal kalau aku membantah kata-katanya.”
“Apa kamu mencintai Dayu?”
“Hanya dia satu-satunya gadis yang aku cintai... aku bisa mati tanpa dia...”
Adit melihat mata kebiruan itu tergenang air mata. Dan akhirnya pesanan makanan yang sudah terhidang hanya beberapa sendok termakan, karena memang sebenarnya mereka singgah bukan karena lapar.
“Tolong aku Adit...” bisiknya memelas.
Apakah yang bisa Adit lakukan? Kalau dia ada dipihak Aliando, dia juga akan bingung harus bersikap bagaimana.
“Kamu tenang dulu, dan coba berfikir jernih. Lakukan yang menurutmu terbaik,” kata Adit sambil menepuk-nepuk tangan Liando.
Ketika Adit mengantarkan Aliando pulang, dilihatnya sebuah taksi berhenti dan Yayi serta Dayu turun dari sana.
Begitu melihat Dayu, Aliando langsung memburu dan memeluknya erat, sampai Dayu terengah-engah.
“Liando, ada apa..?” Tanyanya sambil menatap Kakaknya, khawatir Kakaknmya sudah melakukan sesuatu atas diri Aliando. Tapi Kakaknya menggoyang-goyangkan tangannya, berarti dia tak melakukan apa-apa.
“Katanya kamu sakit, sayang?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
Tapi tanpa diduga, dari dalam rumah seseorang keluar, langsung mendekati keempat anak muda itu.
“Oh, ada tamu rupanya, mengapa tidak segera masuk? Kebetulan LIando, ini kan hari bahagia kamu?” kata Anjas, seseorang yang baru saja keluar.
Aliando menatap Anjas dengan mata menyala, dan Adit sudah mengepalkan tangannya dan selangkah maju, siap menghajar orang yang dibencinya, tapi Yayi memegang tangannya.
“Sabar Mas Adit, jangan hiraukan dia.”
*“Aku yang punya rumah, bukan kamu!! Mengapa kamu mengaturnya? Hari bahagia apa? Jangan asal bicara!!”* Hardik Aliando dan membuat Anjas merasa ciut.
Tadinya dia mengira Aliando tak akan menolak adiknya, sehingga ucapannya tidak dianggap salah. Tapi ternyata Aliando justru menggertaknya.
*“Dengar, aku tidak sudi berjodoh dengan adik kamu!”* Hardiknya lagi.
“Aliando, jangan begitu, mereka sedang menunggu kamu.”
*“Camkan baik-baik, aku hanya mencintai Dayu, dan kalau aku mau dekat dengan adik kamu, itu karena aku dipaksa Mama. Tidak ada cinta untuk Susan.”* Liando menghardik lagi.
“Aliando, masuklah dan pikirkan semuanya dengan tenang, kami akan pulang.” Kata Dayu lembut, walau separuh hatinya sudah tercabik-cabik.
Aliando memeluk Dayu erat sekali,
*“Eeh... Liando... mengapa tidak segera masuk? Mama kamu menunggu tuh!“* tiba-tiba Lusi berteriak dari teras, kemudian ikut turun dan mendekati mereka.
“Ooow... ternyata ada anak-anak pembantu berada disini?”
Aliando menatap Lusi dengan mata menyala.
“Saya mohon Tante tidak menghina mereka. Aku mencintai dia dan tak akan ada yang menggantikan,” kata Liando tegas sambil menunjuk ke arah Dayu.
*“Baiklah, aku akan melaporkan semua ini kepada Mama kamu!”* kata Lusi marah sambil membalikkan badannya dan menarik Anjas, mengajaknya masuk kedalam.
“Liando, masuklah, biarkan kami pulang,” kata Dayu.
Sekali lagi Aliando memeluk Dayu, yang kemudian dengan halus melepaskan pelukan itu lalu menggandeng Yayi dan melangkah meninggalkan Aliando yang termangu dengan hati bagai tertusuk sembilu.
***
Aliando masih termangu di depan pagar ketika terdengar Mamanya memanggil dengan suara keras.
*“Liando...!! Apa yang kamu lakukan disitu!!”*
Liando melangkah gontai mendekati rumahnya.
“Dari tadi kami menunggu kamu. Kemana kamu tadi?”
“Ada teman...” jawabnya singkat dengan wajah dingin.
“Kamu jangan mengecewakan Mama dengan kelakuan kamu. Kamu tadi bicara tidak sopan dengan Tante Lusi. Siapa mengajari kamu melakukan sikap seperti itu?”
“Bukankah Tante Lusi yang tidak sopan dengan menghina seseorang karena statusnya?”
*“Diam Liando ! Tante Lusi melakukannya karena kesal sama kamu. Sudah, masuk dan temui mereka. Susan sudah menunggu di meja makan.”*
Liando masuk kedalam dengan enggan. Ibunya mengikutinya dibelakangnya dengan kursi roda. Liando sama sekali tak berusaha mendorong kursi roda itu seperti yang selalu dilakukannya kalau Mamanya ingin menuju ke suatu tempat.
Di ruang makan, Lusi dan Anjas serta Susan sudah duduk manis. Ada kursi kosong disebelah Susan, yang pastinya disiapkan untuk Liando. Tapi Liando duduk di kursi lain.
“Liando, kamu disini,” perintah Bu Diana sambil menunjuk ke arah kursi kosong disebelah Susan. Wajah Liando muram, tak ada manis-manisnya.
Tapi Lusi tersenyum penuh kemenangan. Dengan mengerjapkan sebelah matanya, Lusi tersenyum menatap Susan. Oh, betapa malangnya manusia, yang merasa menang oleh keadaan walau jiwa terjepit dalam angan yang sempit.
“Ayo... silakan makan, jangan sungkan-sungkan, jeng Lusi, Susan... ayo belajar melayani makan untuk calon suami.“ Kata Bu Diana sambil duduk ditempat yang disediakan.
“Susan tersenyum lebar, menarik piring di depan Liando dan menyendokkan nasi ke atas piring Liando, tapi sebelum nasi itu sampai ke piringnya, Liando menepiskan tangan Susan.
“Aku tidak makan.”
“Liando, apa maksudmu?” tegur Bu Diana dengan mata melotot.
“Liando sudah makan bersama teman, sekarang ingin makan sayur saja,” katanya sambil menyendokkan sendiri sayur kepiringnya, dan menyuapnya dengan wajah gelap penuh mendung.
Makan siang yang diharapkan bisa mendekatkan Susan dan Aliando justru menjadi ajang kekesalan diantara Aliando dan Ibunya.
***
“Aliando, apa maksudmu sebenarnya? Kamu benar-benar ingin mengecewakan Mama?
“Mama, sungguh Aliando tidak suka pada gadis itu. Apalagi Ibunya yang terlalu meluap-luap menginginkan Liando jadi menantunya.”
“Yang ingin itu Mama. Kamu sudah dewasa dan sudah waktunya punya pendamping.”
“Mengapa memilih Susan? Apa hebatnya Susan? Liando punya pilihan yang lebih baik.”
“Liando, jadi sekarang jawab Mama. Apa kamu mau menerima Susan, atau menolaknya?”
Liando tertunduk diam. Ia tentu saja ingin mengatakan tidak, atau menolaknya, tapi tak sepatah katapun diucapkannya.
“Liando, apa mulutmu terkunci dan tidak bisa menjawab pertanyaan Mama?”
Liando tercengang. Sejak kecil hingga dia dewasa, tak pernah sekalipun Mamanya memarahi dirinya. Apalagi dengan kemarahan yang meluap-luap seperti ini. Aliando ingin menangis, jiwanya meraba-raba, kemana larinya kelembutan dan kasih sayang Mamanya yang selama ini dia rasakan?
*“Jawab Liando!!”*
“Mama... tolong beri Liando waktu untuk berfikir.”
“Apa kurangnya Susan dimata kamu? Bukankah dia cantik? Pintar? Dia pantas hidup disamping kamu, mendampingi kamu selamanya.”
“Tidak...”
“Apa? Maksudmu.. kamu menolak?”
“Mama... Liando akan berfikir, tolong Mama,” katanya memelas dengan mata berkaca-kaca,
Dulu, kalau Bu Diana melihat setitik saja air mata dimata Liando, pasti dengan segera dia akan memeluknya, dan menanyakan apa yang diinginkannya. Tapi tidak untuk saat itu. Hati lembut itu telah berubah menjadi batu, karena dibakar hasutan yang menggebu-gebu.
***
Dayu langsung memasuki kamarnya begitu turun dari taksi. Yayi mengikutinya dan duduk berhadapan di atas ranjang. Iba Yayi menatap mata sahabatnya basah oleh air mata.
“Dayu, semuanya belum terjadi, jangan terlalu sedih, ya.”
“Ini hampir terjadi. Aku sudah akan kehilangan dia.”
“Tidak Dayu, Aliando akan bisa menyelesaikan masalahnya. Mamanya pasti akan mengerti.”
“Tidak Yayi, aku rasa tidak,” tiba-tiba Adit sudah ada didalam kamar itu. Ikut nimbrung sambil duduk disebuah kursi.
“Apa maksudmu Mas?” tanya Yayi.
“Ada hal yang akan membuat Aliando tak berkutik.”
Dayu dan Yayi menatap Adit, Dayu mengusap air matanya.
“Mamanya Aliando punya senjata untuk meluluhkan hati Aliando.”
“Penyakitnya?” tanya Dayu dan Yayi hampir bersamaan.
Adit mengangguk. Rasa sedih mengaduk-aduk hatinya melihat Dayu berlinangan air mata.
“Dayu, aku selalu teringat apa yang pernah Ibu katakan padaku beberapa waktu yang lalu.”
“Terkadang orang berpendapat bahwa ketika kita jatuh cinta maka kita harus memilikinya. Apa kamu juga berpendapat demikian?”
“Kalau kita bisa menerima rasa cinta itu dengan bijak, maka kita akan bisa menempatkannya. Terkadang hati harus terluka karena cinta tak berbalas, atau hati teriris karena walau saling cinta tapi tak bisa saling memiliki. Kamu bersiap untuk itu? Bersiap membalut luka apabila hal itu terjadi?”
Dayu kembali mengusap air matanya yang tak berhenti menitik.
“Ibu juga pernah mengatakan hal semacam itu.” Kata Dayu lirih.
“Yang aku terharu, Ibu bertanya padaku, apakah aku menyesal terlahir diantara keluarga yang tidak punya harta, derajat dan kedudukan? Tidak, sama sekali tidak, bukankah begitu Dayu? Kita hidup didalam keluarga yang saling mencintai dan mengasihi, dan itu adalah bahagia yang tak terhingga bukan?”
Dayu mengangguk, lalu turun dari pembaringan dan memeluk Kakaknya sambil menangis.
Tak urung Yayi juga menitikkan air mata mendengar kata-kata Adit. Dan rasa kagumnya terhadap Adit semakin bertambah. Memang benar, Adit terkadang tampak temperamental, tapi Adit punya cinta yang tulus terhadap keluarga.
“Ternyata kalian ada didalam kamar Dayu? Ayo makan dulu, ditunggu Bapak tuh. mBak Yayi.. makan yuuk,” tiba-tiba Surti melongok ke dalam kamar. Agak heran melihat Dayu memeluk Kakaknya.
“Ada apa Dayu?”
“Nggak ada apa-apa Bu, Dayu memang anak kolokan,” jawab Adit.
Tapi Surti menangkap sesuatu yang lain.
“Ayo kita makan dulu, Yayi... Dayu...” ajak Adit.
***
Pagi itu Bu Diana melihat Aliando sudah dandan rapi.
“Mau kemana kamu?”
“Ke Kantor Ma...”
“Ke kantor ya? Bagus, kamu harus sudah mulai memikirkan usaha Papa kamu. Mulai hari ini Mama tidak akan ke kantor, hanya kalau ada yang kamu tidak mengerti, kamu boleh menanyakannya pada Mama.”
“Ya Mama.”
“Dan jangan lupa, Mama masih menunggu jawaban kamu.”
Aliando menatap Mamanya, rasa galau kembali mengggigit ulu hatinya. Ia pamit ke kantor karena ingin menghindari pembicaraan tentang perjodohan itu, ternyata sebelum berangkat Mamanya mengingatkannya lagi.
Aliando mencium tangan Mamanya dan berlalu, menghampiri mobil yang sudah disiapkan dan melaju keluar dari halaman, tanpa memperhatikan kata-kata Mamanya.
Disepanjang jalan ia merasa bahwa Mamanya terus menekan dia tentang perjodohan itu. Aliando tak sampai hati mengatakan sanggup menjalani, ia juga tak sampai hati menyakiti hati Dayu, gadis yang amat dicintainya.
Sepuluh menit lagi dia akan sampai di kantor, tapi terbersit keinginannya untuk pergi ke rumah Dayu. Lalu ia memutar mobilnya. Di depan rumah Dayu, Aliando menghentikan mobilnya, tapi sebelum dia turun, ponselnya berdering. Dari pak Karjo, sopir Mamanya.
“Ya Pak Karjo...”
“Mas Liando harus segera pulang, Bu Diana pingsan tiba-tiba.”
Bersambung
No comments:
Post a Comment