BAGAI REMBULAN 05
By : Tien Kumalasari
Aliando merasa miris. Ia tak pernah melihat Mamanya semarah itu. Dari mana Mamanya tahu bahwa dia pergi dengan seorang gadis? Yang disebutnya anak pembantu pula?
Ia bersimpuh dihadapan Mamanya, kedua tangannya memegang lututnya, lalu kepalanya rebah dipangkuannya.
Aliando menunggu adanya sepasang tangan yang mengelus kepalanya dengan lembut, seperti selalu dirasakannya setiap kali dia ingin bermanja bersama Mamanya. Tapi elusan itu tak kunjung dirasakannya. Aliando mengangkat kepalanya, lalu mencium tangan Ibunya berkali-kali. Ia berharap Mamanya luruh dengan sikapnya. Tapi tidak, Mamanya menatap ke arah lain, dan tanpa belas mengibaskan tangan Aliando yang masih menggenggamnya.
“Mama... maafkan Aliando ya,” bisik Aliando memelas.
Mata yang semula garang itu akhirnya meredup, tapi hawa kemarahan masih tampak disana.
“Mama...”
“Kemana kamu tadi sebenarnya?”
“Mama...”
*“Jawab Liando!!”*
“Pergi bersama... ber...”
“Bersama siapa?”
“Ada... seorang gadis yang Liando cintai Ma...”
“Siapa dia?” suara Mamanya masih terasa dingin, bagai bongkahan es batu yang baru keluar dari freezer.
“Namanya Dayu. Anandayu. Dia....”
“Dia anak siapa?”
“Dia... anak kuliahan di kampus Liando dulu, tapi belum selesai. Mungkin tahun depan dan...”
“Maksud Mama... dia anak siapa?”
“Bapaknya kepala gudang di...”
“Ibunya...?”
“Ibunya Ibu rumah tangga yang baik dan penuh kasih sayang... dan...”
“Dan dia bekas pembantu rumah tangga.”
Tandas suara Bu Diana.
“Darimana Mama tahu?”
“Iya atau tidak?”
“Liando tidak tahu Ma...”
“Karena itu Mama beri kamu tahu...dia bekas pembantu... jadi hentikan kisah cinta murahan itu sekarang juga.”
“Tidak Ma, jangan begitu. Memangnya kenapa kalau Ibunya bekas pembantu?”
“Apa kamu sudah hilang akal? Masa Mama harus berbesan dengan bekas pembantu?”
“Mama... bukankah derajat manusia bukan terletak pada kedudukannya?”
“Apa maksudmu?”
Suara Bu Diana kembali meninggi.
“Bukankah derajat paling tinggi adalah budi yang mulia dimata Allah?”
“Kamu mau mengajari Ibu kamu?“
“Bukan Ma, tapi itu benar kan?”
“Diam dan turuti kata Mama. Tinggalkan perempuan kampung itu dan kamu akan aku jodohkan dengan anaknya jeng Lusi.”
“Itu Ibunya Anjas?”
“Kamu kenal Anjas?”
“Hampir semua orang di kampus kenal Anjas Ma, dia mahasiswa abadi yang sudah tujuh tahun menjadi mahasiswa dan pekerjaannya mengganggu gadis-gadis. Kemungkinan besar dia akan drop out tahun ini.”
“Aku tidak perduli Anjas atau siapa dia dan apa yang dilakukannya. Dia boleh bodoh, tapi adiknya gadis yang pintar. Susan bukan hanya pintar, tapi juga cantik. Dia sepantaran dengan kamu, dan lulus sarjana ditahun yang sama dengan kamu.”
Lalu Liando teringat pagi tadi ketika Lusi tiba-tiba menemuinya di bandara bersama seorang gadis yang menurutnya genit dan menyebalkan. Masa sih baru sekali bertemu lalu mau main peluk segala? Untunglah tadi dia sempat menghindarinya. Lalu dilihatnya Dayu yang hampir pergi, kemudian dikejarnya.
Jadi gadis itu yang akan dijadikan jodohnya? Jadi mereka datang ke bandara atas saran Mamanya?
“Liando tidak suka gadis itu Ma.”
“Apa katamu? Kamu menolak Susan dan memilih anak pembantu itu?”
“Mama, tolong jangan merendahkan dia.”
“Aku tidak perduli apa katamu. Kalau kamu ingin Mama hidup lebih lama, tinggalkan gadis itu dan menikahlah dengan Susan.
“Mama... Liando mencintai Dayu Ma,” kata Liando hampir merintih, miris rasanya mendengar kata-kata Ibunya yang baru saja terdengar ditelinganya.
Ia masih bersimpuh ketika Mamanya memutar kursi rodanya dan memasuki kamarnya lalu terdengar suara kamar dikunci dari dalam.
***
Dayu sudah berada di dalam kamarnya, duduk di depan meja belajarnya dan membuka lembaran-lembaran yang tak mampu dipelajarinya.
Kata-kata Ibunya tentang perbedaan status terasa sangat mengganggunya.
“Kata Ibu benar. Aliando tidak sendiri, ia memiliki orangtua, keluarga, yang mungkin berpengaruh dalam hidupnya, dan bisa mempengaruhi juga pilihan Aliando.” Gumamnya perlahan.
Dendang berdentang berkumandang
banyak cinta terselip diantaranya
bahagiaku terurai dalam sya’ir yang berderai
Dayu menutup bukunya. Hari sudah malam, biasanya Aliando mengirimkan pesan singkat, biarpun hanya beberapa patah kata, tapi Dayu menunggunya dengan sia-sia. Tak ada pesan singkat, apalagi telepon dari Liando.
Lalu ia membuka buku puisinya, menuliskan sesuatu seperti kegemarannya setiap waktu.
_Saat kau datang_
_saat tangkaiku bergoyang_
_saat kau tebarkan wangi bunga_
_kusapa kelopak demi kelopak_
_dalam cinta tak berbatas_
Dan sekarang ia benar-benar menutup bukunya, lalu menuju ranjang dan berbaring serta mencoba memejamkan mata.
“Semoga kita bertemu dalam mimpiku, cinta...” desahnya pelan, sambil meraih guling kedalam dekapannya.
***
Dayu pergi ke kampus bersama Adit. Begitu memasuki halaman kampus, dilihatnya Yayi turun dari mobil. Ada Naya didalam mobil itu, tapi dia terus saja berlalu.
“Yayi, mengapa Mas Naya tidak turun?” kata Dayu setelah turun dari boncengan.
“Dia kuliah masih nanti, Bapak menyuruhnya ke bank terlebih dulu.” Jawab Yayi.
“Aku parkir motor dulu ya..” kata Adit.
Yayi mengangguk. Ketiganya berbeda jurusan, walau kuliah di perguruan tinggi yang sama.
“Sepertinya jam kuliah masih lama,” kata Yayi.
Dayu dan Yayi duduk dibawah sebuah pohon rindang.
“Apa kabar Aliando? Kabarnya dia pulang kemarin, dan kalian menghilang seharian.”
Dayu tertawa.
“Owh... Mas Adit sudah laporan ya?”
“Kemana saja kemarin?”
“Aku menjemput ke bandara, lalu langsung jalan-jalan, makan pagi sampai makan siang, baru dia mengantar aku pulang.”
“Senengnyaaaa...”
“Kamu tahu, ketika aku menjemput di bandara, Ibunya Anjas sudah ada disana bersama adiknya Anjas.”
“Oh ya ? Mereka juga menjemput Liando?”
“Nggak tahu aku, Liando sendiri juga nggak tahu bagaimana bisa ketemu mereka.”
“Adiknya Anjas itu malah sudah sarjana lho, lulusnya sudah tahun lalu, tapi dia di Universitas swasta. Namanya Susan.”
“Lulus lebih dulu daripada Kakaknya ya?”
“Kakaknya kan kerasan kuliah disini, gadisnya cantik-cantik...” lalu mereka tertawa bersama.
“Aku heran, bagaimana orang seperti dia bisa masuk ke perguruan tinggi negeri.”
“Dulu pintar, barangkali.”
“Entahlah. Mungkin pergaulan juga bisa mempengaruhi seseorang.”
“Tapi aku jadi takut kalau ketemu dia...”
“Acuh aja, jangan ladenin. Kalau ketemu lebih baik menjauh.”
Kemarin itu dia mengganggu aku, aku sudah mau pergi, ee.. tanganku ditarik-tarik. Lalu Mas Adit melihatnya, dan dia dihajar. Itu awal dari permusuhan mereka.”
“Nanti aku bilang sama Mas Adit, jangan lagi meladeni dia. Dia itu kalau sendirian sih tidak berbahaya, tapi dia punya teman-teman berandal yang jago berantem.”
“Kamu tahu banyak tentang dia?”
“Mas Naya yang bilang.”
“Iya, Mas Naya sudah kenal lama sama dia ya?”
“Tapi ya sekedar kenal saja, Mas Naya itu agak pendiam, nggak suka berantem.”
“Beda ya dengan Mas Adit, dia itu kalau melihat sesuatu yang dia nggak suka, langsung deh. Tapi dia sangat sayang sama Bapak dan Ibu, kalau Bapak atau Ibu menegur, dia nggak bisa berkutik.”
“Dia juga sayang banget sama kamu.”
“Juga sama kamu...” ledek Dayu, membuat Yayi tersipu.
“Tapi sebenarnya aku sedang memikirkan sesuatu,” lanjut Dayu
“Apa tuh?”
“Aku, juga Mas Adit itu kan hanya terlahir dari keluarga yang sederhana, biasa-biasa saja, sedangkan kamu, anak pegusaha, apalagi Aliando.”
“Memangnya kenapa kalau pengusaha?”
“Kemarin Ibu mengingatkan aku tentang status kami. Lalu aku jadi tak begitu berharap. Kalau perbedaan status akan jadi masalah untuk hubungan kami, maka aku akan kesakitan. Demikian juga kamu Yayi, pikirkan hubungan kamu sama Mas Adit. Belum tentu keluarga kamu bisa menerima Mas Adit, mengingat dulu Ibu kami itu kan pembantu di rumah keluarga kamu.”
“Dayu, mengapa kamu berpikir begitu? Bapak sama Ibu sama sekali tidak melarang hubungan kami.”
“Maksudmu, hubungan kamu dan Mas Adit?”
“Ya... Dulupun Bu Surti tidak dianggap sebagai pembantu, kata Ibu.”
“Mereka tahu?”
“Ibu dan Bapak tahu, awalnya hanya menduga-duga, tapi akhirnya keceplosan juga bertanya langsung sama aku.”
“Lalu?”
“Tidak masalah, Bapak hanya mengingatkan bahwa kuliah kami harus selesai.”
“Oh, syukurlah. Aku merasa lega.”
“Semoga hubungan kamu dengan Liando akan demikian juga, Dayu.”
“Semoga...”
“Heiii.. ada kelas nih.. Yayi!!” tiba-tiba seseorang berteriak.
“Yuk, aku duluan...” Yayi berpamit pada Dayu.
Dayu masih duduk tercenung disitu, ada rasa lega ketika mengetahui bahwa keluarga Indra bisa menerima kakaknya.
“Lalu bagaimana dengan diriku?”
Dan seperti menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Anjas muncul dihadapannya.
Dayu segera berdiri menghindar, tapi Anjas mengejarnya.
“Tolong, jangan mencari gara-gara lagi.”
“Tenang, aku tidak akan melakukan apa-apa, aku hanya mau bilang, bahwa lebih baik kamu jauhi Aliando karena dia akan menjadi adik iparku.”
Dayu terkejut bukan alang kepalang. Tiba-tiba kakinya terasa berat untuk melangkah, tapi ia berusaha menguatkannya. Ia terus berjalan, dan bersyukur ketika dilihatnya Anjas kemudian juga pergi menjauhinya.
***
“Apa? Kamu mau pulang duluan? Nggak ada kelas hari ini ?” tanya Adit ketika Dayu menelponnya.
“Ada sih, tapi tiba-tiba kepalaku pusing, aku akan pulang saja.”
“Tunggu disitu, jangan kemana-mana, biar aku mengantar kamu.”
“Nggak usah Mas, aku pulang sendiri saja.”
“Jangan bawel, kamu sakit dan akan pulang sendiri? Kalau kamu pingsan dijalan gimana ?”
“Tapi...”
“Sudah, tunggu disitu dan jangan kemana-mana, aku segera kesitu.”
Dayu tak berani membantah, Ia kembali ke bawah pohon dimana tadi berbincang bersama Yayi, dan duduk disana menanti kakaknya. Hatinya bagai disayat-sayat. Tapi benarkah apa yang dikatakan Anjas? Tidak, Dayu tak harus mempercayainya. Aliando harus mengatakannya pada dirinya, barulah dia percaya. Tapi kata-kata itu terus mengganggunya. Ia ingin menelpon Liando tapi diurungkannya. Ia akan menunggu sampai Aliando yang mengatakannya.
Adit sangat khawatir melihat wajah adiknya pucat.
“Langsung ke dokter ya?” tanya Adit.
“Tidak.. tidak..aku ingin pulang dan tidur saja.”
“Baiklah, cepat naik, wajahmu pucat begitu.”
***
“Ibu, Adit tinggalkan Dayu di kamar ya Bu, dia pusing...” kata Adit tiba-tiba, mengejutkan Surti yang masih memasak di dapur.
“Adit ? Kamu pulang?”
“Iya, cuma mengantar Dayu, masuk angin barangkali, dia ada di kamar.”
“Oh.. ya ampun.. sakit apa?”
“Adit ajak ke dokter tidak mau. Ya sudah Bu, Adit mau kembali ke kampus.”
“Ya Nak, hati-hati.” Kata Surti lalu bergegas ke kamar. Didapatinya Dayu berbaring, matanya terpejam. Surti memegang dahinya.
“Tidak panas, kamu merasakan apa?”
“Tidak apa-apa Bu, hanya pusing, nanti juga sembuh.”
“Ibu ambilkan obat pusing ya.”
“Sudah Bu, Dayu sudah minum. Ibu tidak usah khawatir, nanti juga pasti akan sembuh.”
“Ya sudah, tidur saja. Ibu siapkan teh hangat ya. “
Dayu memang tidak sakit. Apa yang dikatakan Anjas sangat mengejutkannya. Apa itu benar? Baru saja dirinya dan Yayi membicarakan Anjas dan adiknya, benarkah adik Anjas itu calon istri Aliando? Tapi mengapa ketika di bandara sikap Aliando dingin saja terhadap gadis itu, dan Aliando justru mengejarnya?
“Tenang Dayu... kamu mendapat berita dari orang yang tidak seharusnya kamu percaya. Tapi mengapa sejak kemarin Liando juga tidak menelpon atau mengirimi aku pesan?” gumam Dayu.
“Minumlah teh hangat, agar kamu merasa lebih segar,” kata Ibunya sambil meletakkan segelas teh hangat di meja dekat pembaringan.
“Ya Bu, terimakasih.”
Tapi pusingnya Dayu kan bukan karena sakit?
Lalu ia teringat pesan Ibunya beberapa hari yang lalu. Tentang status, apakah benar-benar jadi masalah? Tapi Ibunya berpesan wanti-wanti bahwa dia harus hati-hati, dan pastinya bersiap apapun yang akan terjadi.
Lalu dipejamkannya matanya, mencoba melepaskan semua beban dan tidur.
***
“Sudah selesai? Ayo aku antar... Mas Naya belum selesai tuh,” kata Adit pada Yayi yang dilihatnya sedang berjalan pulang.
“Dayu mana?”
“Sudah pulang duluan.”
“Lho, tampaknya masih ada kelas...”
“Dia pulang karena sakit.”
“Sakit? Tadi baik-baik saja, ngobrol panjang lebar disitu sama aku.”
“Tiba-tiba bilang kepalanya pusing, lalu aku antar pulang.”
“Ya ampun, kalau begitu aku ikut ke rumah ya, mau lihat keadaan Dayu bagaimana.”
“Sudah bilang sama mas Naya kalau mau pulang duluan?”
“Sudah dari tadi aku bilang.”
***
Ketika mereka tiba di rumah, dilihatnya Dayu masih terbaring di ranjang.
“Dayu, kamu kenapa?”
“Oh, kamu sama siapa?”
“Sama Mas Adit.”
“Oh... “
“Hei, jangan dulu bangun, kepalamu masih pusing?”
“Tidak, aku tidak apa-apa,” kata Dayu yang kemudian sudah duduk ditepi ranjang.
“Kok tiba-tiba pusing?”
Dayu menghela nafas panjang. Lalu ia menceritakan apa yang dikatakan Anjas tadi di kampus.
“Ya ampun,. Dan kamu percaya?”
“Entahlah, aku tiba-tiba pusing...“
“Dia itu suka mencari gara-gara, jangan percaya.”
“Bagaimana kalau ya?”
“Liando sudah menelpon kamu?”
“Belum. Itulah yang menjadi pikiran aku, jangan-jangan apa yang dikatakan Anjas itu benar.”
“Apa maksudmu? Ada apa dengan Liando?” tiba-tiba saja Adit sudah muncul dikamar.
“Aliando dijodohkan..”
“Sssst...” Dayu ingin mencegah tapi Yayi keburu mengatakannya.
“Aku sudah mendengar sebagian yang kalian bicarakan, dan aku sudah bilang, kalau Liando menyakiti Dayu.. maka..” dan tiba-tiba saja Adit bergegas keluar.
*“Maaas! Kemana mas!!”* teriak Dayu dan Yayi hampir bersamaan.
Mereka memburu keluar, tapi deru sepeda motor terdengar keras, kemudian melaju ke luar halaman.
Bersambung
No comments:
Post a Comment