Tuesday, September 29, 2020

Bagai Rembulan 04

BAGAI REMBULAN 04
By : Tien Kumalasari
   
“Dayuuu... tunggu Dayu...”

Dayu berhenti ketika Aliando sudah sampai disisinya.

“Mengapa  kembali, aku menunggu kamu dari tadi,” kata Aliando sambil memegang lengan Dayu.

“Kan sudah ada yang menjemput?”

“Tidak, bukan dia yang aku tunggu, tapi kamu.”

Aliando terus menggandeng Dayu, ke luar dari bandara, memesan taksi dan pergi, meninggalkan wanita yang ternyata Lusi bersama Susan anak gadisnya.

Susan membanting-banting kakinya.

“Gimana sih Ma, mengapa tiba-tiba dia pergi bersama gadis itu? Siapa sih, gadis kampungan,” gerutu Susan sambil terus membanting-banting kakinya.

“Sabar Susan, biar nanti Mama urus. Mama tahu siapa gadis itu.”

“Mama tahu?”

“Ibunya bekas pembantu, Aliando harus tahu itu.”

“Siapa sebenarnya dia?”

“Kakakmu pernah ngomong kalau Aliando pacaran sama gadis itu, kalau tidak salah namanya Dayu. Ibunya bekas pembantu. Aliando harus tahu itu.

“Ayo kita kejar mereka,” kata Susan sambil menarik tangan Ibunya. Tapi yang dikejar sudah tak tampak batang hidungnya. Susan kembali membanting-banting kakinya.

“Mengapa seorang seperti Aliando bisa tertarik sama gadis kampungan seperti dia? Menyebalkan, jangan-jangan dia pakai guna-guna,” Susan terus mengomel.  

Hatinya sudah berbunga-bunga ketika Ibunya mengatakan bahwa dia akan dijodohkan dengan Aliando. Siapa sih yang tidak suka pada laki-laki ganteng yang dengan sekali pandang sudah membuat dirinya jatuh bangun tidak karuan?? Susan sudah jatuh cinta begitu bertemu, dan rasa bahagia sudah membubung sampai kelangit tingkat tujuhbelas begitu melihatnya. Tapi kenyataan yang dihadapinya sungguh membuatnya kecewa.

“Sudahlah Susan, tidak usah marah-marah. Sangat gampang kok memisahkan mereka. Mana mungkin keluarga Tante Diana mau punya menantu anak bekas pembantu?”

“Benarkah Ma? Kita akan memberitahu mereka?”

“Ya pastilah Mama harus memberitahu mereka, sekarang juga kita kesana.”

Keduanya keluar dan menghampiri mobilnya ditempat parkiran. Tujuan mereka satu, ke rumah Ibu Diana.

***

Sementara itu Aliando dan Dayu tidak langsung pulang ke rumah. Ada sungai kecil di dekat kampus yang selalu menjadi tempat pertemuan mereka. Ada pepohonan besar yang meneduhkan, dan gemercik alir sungai yang membuat nyaman. 

Dayu melepas sepatunya, duduk disebuah batu dan membiarkan kakinya berjuntai disana bermain dengan air bening yang mengalir menimbulkan kecipak yang menyenangkan. 

Aliando tak mau kalah, ia melepas sepatunya dan membiarkan kakinya, bahkan celananya  basah. Celana  jean yang dikenakannya semakin  basah oleh ulah kaki Dayu yang terus bermain air. Sesekali mereka berpandangan, menuangkan kerinduan melalui tatapan yang tajam dan menghanyutkan.

“Siapa mereka? Rasanya aku pernah melihat Ibu-ibu itu. Ooh.. iya, bukankah dia ibunya Anjas?”

“Benar, kamu pernah mengenalnya?”

“Ketika Mas Adit mau pulang dari rumah sakit, dia masuk bersama Anjas, tampaknya Anjas  juga sakit. Yang pasti dipunggungnya,  karena seorang kakek tua tiba-tiba menyabetkan tongkat penyangga tubuhnya pada punggung-punggung mereka.”

“Dia memang berandalan.”

“Kamu menyuruhnya menjemput di bandara?”

“Tidak, entah bagaimana dia tiba-tiba tahu bahwa aku akan pulang.”

“Pasti ada sesuatu..” gumam Dayu.

TIba-tiba Liando  teringat kata-kata Mamanya bahwa dia sudah dijodohkan dengan seseorang. Gadis itukah calon jodohnya?

“Oh tidaaak,” tiba-tiba Aliando menepuk jidatnya.

“Ada apa?” Dayu menatapnya heran.

Aliando menghela nafas. Sesungguhnya dia tak ingin menceritakan tentang perjodohan itu, tapi sikapnya membuat Dayu curiga.

“Ada apa sih ?”

“Mm.. tidak, aku melupakan sesuatu..”

“Apa tuh?”

“Ada beberapa barangku yang tertinggal,“ jawab Liando sekenanya.

“Oh, bukankah kamu mengirimkan barang-barang kamu lewat  paket?”

“Iya, ada yang kelupaan.”

“Penting?”

“Tidak... tidak, hanya baju.”

“Ooh...”

Tapi ingatan tentang perjodohan itu membuat sikap Aliando berubah. Wajahnya muram, dan  tampak kesal. Tiba-tiba  kemudian ia merangkul Dayu erat-erat.

“Mengapa kamu langsung mengajak aku kemari? Bukannya ingin segera sampai di rumah dan bertemu Mama kamu?”

“Aku ingin bertemu kamu terlebih dulu. Aku kangen Dayu.”

Dayu menyandarkan kepalanya dibahu kekar yang sebelah tangannya merangkulnya.

“Terkadang aku merasa seperti mimpi. “

“Apa?”

“Apalah aku ini, sehingga mendapat perhatian seorang pria seperti kamu..”

“Aku pria seperti apa?”

“Kamu banyak digandrungi gadis-gadis ketika itu. Mereka semuanya cantik, menarik, dan lebih pantas berada disamping kamu.”

Liando tertawa, lalu mencium rambut Dayu yang kadang melambai oleh tiupan angin.

“Tak ada yang seperti kamu. Yang cantik tapi sederhana, yang lembut dan baik hati, yang selalu membuatku merindukan kamu.”

“Terkadang aku takut.”

“Takut?”

“Sungguh aku merasa terlempar ke langit yang begitu tinggi,  menggapai mega dan mengarungi langit serta bermain dengan seisinya. Ada bintang, ada bulan, ada bianglala yang melengkung, dan aku main perosotan disana. Alangkah indahnya. Bagaimana kalau aku jatuh? Tak bisa aku bayangkan betapa akan sakitnya. Mungkin aku akan hancur, lumat bagai debu.

“Apa kamu tahu? Kamulah bulan itu, dan bulan tak akan jatuh, dia akan tetap disana, bersinar dan tersenyum manis, dan aku adalah kejora yang akan menemani kamu sepanjang siang dan malammu.”

“Semoga kejora dan rembulan akan tetap bersama.”

“Tentu saja.. selamanya.”

Dan itu adalah janji. Gemercik alir sungai kecil itu saksinya. Angin yang bertiup lembut, menggoyang daun-daun yang terserak diantara kebun hijau itu, dan juga menerbangkan anak rambut Dayu yang kemudian membuatnya tergerai didahinya.

Liando menyibakkan anak rambut itu, dan menatap sepasang mata bening yang berkejap-kerjap, menampakkan bulu mata lentik yang sangat apik.

“Aku sangat mencintai kamu, Dayu.. kita akan berdua selamanya, apapun yang terjadi.”

Dan desir-desir darah mengalir lebih cepat, diantara hati yang berteriak bahagia.

“Aku lapar...” tiba-tiba Liando berbisik. 

Ada gelora yang akan membakar seluruh jiwanya apabila ia terus memandangi wajah cantik itu. Ia harus menghindarinya. Sebuah cinta harus suci dari noda, dan ia akan menjaganya.

“Mau makan apa?”

“Kangen makan soto.”

“Ayuk..”

***

Dan Liando tidak cukup hanya mengajaknya makan soto dipagi itu. Ia mengajak Dayu berjalan-jalan disebuah taman yang lain, menikmati sejuknya angin saat panas mulai menyengat. Mencecap es krim kesukaan mereka sambil duduk disebuah bangku ditaman itu.

Berkali-kali terdengar ponsel Liando berdering, tapi tak diacuhkannya. Ia tahu dari Mamanya, dan ia tahu pasti Mamanya menunggunya. Tapi tidak, Liando ingin menghabiskan hari pertama kepulangannya bersama Dayu.  

Semua barang yang harus dibawanya sudah dikirim lewat paket, dan itulah sebabnya dia pulang tanpa membawa apapun kecuali sebuah tas kecil berisi ponsel dan dompetnya. Ia tak ingin mendengar Mamanya sekali lagi mengatakan tentang perjodohan untuknya. Tidak, ia hanya mau Dayu, dan tidak gadis lain.

“Kok tidak diangkat sih..”

“Dari Mama, aku sudah tahu .. pasti menunggu aku.”

“Angkat dong, supaya Mama tidak khawatir.”

Alangkah baik hati gadisku ini, pikir Aliando. Tapi dia tidak menelpon, dia hanya mengirim sebuah pesan singkat untuk Mamanya, yang mengatakan bahwa dia tidak bisa langsung pulang ke rumah karena ada urusan. Yang penting dia baik-baik saja.

Lalu Aliando mematikan ponselnya.

“Aku sudah beritahu Mama bahwa aku baik-baik saja.”

“Bagus Ndo, supaya orangtua tidak khawatir. Bilang mau pulang kok nggak sampai rumah. Bingung kan?”

“Iya, Ibu guru..”

“Iih...  apa sih.. Ibu guru..”

“Kamu ngomongnya persis Ibu guruku ketika aku masih SMP.”

“Aku memang ingin jadi guru, tahu..”

“O, tidak Dayu, besok kalau kamu sudah menjadi istri aku, kamu tidak boleh bekerja apapun. Duduk manis di rumah dan menjadi ratu di rumahku.”

“Iih.. masak gitu sih, aku jadi gendut dong kalau nggak boleh ngapa-ngapain.”

“Nggak papa gendut, biar gendut pokoknya tetep cantik.”

“Nggak mau aku gendut... iih.. ada-ada saja..”

“Ya sudah,  mmm... Dayu..kapan sih kamu siap dilamar?”

“Kedengarannya manis..”

“Manis dong, pokoknya begitu kamu selesai kuliah, aku pasti melamar kamu.”

“Ya Tuhan.. benarkah itu akan terjadi?” gumam Dayu sambil menengadah kelangit. 

Seakan dia bertanya dan berharap menemukan jawabnya. Tapi langit sibuk menerbangkan mega putih, yang bergumpal .. lalu sebentar kemudian membentuk guratan-guratan  yang berubah-ubah.

Tiba-tiba ponsel Dayu berdering.

“Dari Mas Adit.. “ kata Dayu sambil membuka ponselnya.

_*“Ya Mas..”*_

_*“Dayu, kamu dimana?”*_

_*“Aku... di.. mm...“*_

_*“Kamu bersama Aliando kan?”*_

_*“Ngawur!”*_

_*“Iya..jangan bohong. Mana, aku mau bicara sama dia.”*_

_*“Mau bicara apa?”*_

_*“Akan aku hajar dia!”*_

_*“Yaa.. Mas Adit kok gitu. Jangan dong mas.”*_

_*“Tuh, ketahuan sekarang. Mana dong, biar aku ngomong.”*_

_*“Nggak usah.“*_

_*“Dayu, sejak kapan kamu berani  menentang Kakak kamu?”*_

_*“Tapi janji nggak boleh marah-marah ya.”*_

_*“Mana dia!!”*_

Dayu mengulungkan ponselnya ragu-ragu.

_*“Siapa?”*_

_*“Mas Adit ingin bicara.”*_

_*“Hallo Dit!!”*_

_*“Haa, ketahuan kan, kamu bawa kabur kemana adikku?”*_

_*“Ini, disebuah taman nan sejuk. Mau menyusul?”*_

_*“Enak aja. Awas ya, jangan sekali-sekali kamu menyakiti adik aku.”*_

_*“Ya enggak lah Dit, aku cinta sama dia.”*_

_*“Benar?”*_

_*“Sumpah!”*_

_*“Jangan terlalu gampang mengucapkan sumpah, ke makan sumpah kamu baru tahu rasa.”*_

Aliando terbahak.

_*“Aku habis ini mau ke rumah.”*_

_*“Ngapain ke rumah?”*_

_*“Ngelamar adik kamu dong.”*_

_*“Busyet ! Lalu mau kamu bawa adik aku keluar negeri?”*_

_*“Tidak Kakak ipar, aku sudah pulang. Study ke luar negeri batal. Aku harus mengurus perusahaan Papa karena Mama sakit-sakitan.”*_

_*“Oh, syukurlah kalau begitu.”*_

Dayu tersenyum-senyum senang mendengar pembicaraan itu. Dia mengira Kakaknya benar-benar akan memarahi Aliando, ternyata mereka malah bercanda sampai tertawa ngakak.

***

Dan setelah makan siang, Aliando benar-benar pergi ke rumah Dayu.

Surti menyambutnya dengan ramah.

“Syukurlah, Nak Liando mau mampir ke gubugnya Dayu ini.”

“Tidak Bu, yang penting bukan rumahnya. Maaf saya mengajak Dayu pergi hampir seharian.”

“Tidak apa-apa Nak, yang penting bisa menjaga dan jangan sampai melompati pagar yang belum saatnya terlompati.”

“Tentu Ibu, saya akan menjaga Dayu, seperti menjaga kristal yang sangat berharga, jangan sampai retak, apalagi pecah.”

Surti tersenyum senang. Ketika melangkah kebelakang, ada keraguan merayapi hatinya.

“Benarkah si ganteng yang kaya raya ini suka pada anakku?” lalu Surti sibuk membuat minuman.

“Hai... kamu benar-benar berani datang kemari ?” teriak Adit sambil menyalami Aliando dengan hangat.

“Mengapa aku harus takut? Aku sebenarnya ingin melihat kamu, seperti apa wajah ganteng yang lebam setelah kena pulul pemuda berandalan.”

Adit terbahak.

“Apa masih kelihatan lebamnya? Nggak lah ya.. nih, sudah pulih gantengnya kan?”

“Iya, aku percaya, adiknya cantik masa kakaknya nggak ganteng.”

“Bu, biar Dayu yang membawa minumannya kedepan,” kata Dayu yang sudah ada dibelakang Ibunya yang sedang mengaduk minuman dalam gelas.

“Ini es jeruk, segar.”

“Iya Bu,”

“Tunggu Dayu..”

Dayu meletakkan kembali nampan yang sudah diangkatnya.

“Ya Bu.”

“Apa kalian serius pacaran?”

“Mohon doanya ya Bu?”

“Kamu mencintainya?”

“Kami saling mencintai, apa Ibu tidak suka?”

“Ibu akan bahagia kalau kalian bahagia. Tapi kamu harus hati-hati. Dia itu anak orang kaya, dan menjadi pengusaha, sedangkan kamu hanya anak Bapak dan Ibu.”

“Apa Dayu harus menolak cinta dia?”

“Tidak. Jangan terlalu tenggelam dalam cinta yang memabokkan.”

“Maksudnya?”

“Kegagalan dalam bercinta itu bisa saja terjadi. Kalau kamu terlalu tenggelam, maka kamu akan merasakan sakit yang sangat parah.”

“Jadi..”

“Ibu hanya berpesan, hati-hati. Perbedaan status kalian bisa saja menyakiti hati kalian, atau hati kamu sendiri.”

“Tapi Aliando sangat mencintai Dayu.”

“Ya, Ibu tahu, tapi Aliando tidak hidup sendiri. Ada orangtuanya, ada keluarganya, dan mereka akan berperan dalam menentukan pilihan Aliando. Kamu mengerti?”

Dayu mengangguk. Dia melupakan satu hal, perbedaan status antara dirinya dan Aliando. Apakah itu akan membuatnya sakit?

Dayu mengantarkan es jeruk buatan Ibunya ke depan, dengan kebimbangan yang tiba-tiba menyeruak.

***

Aliando masuk ke dalam rumah,  dilihatnya Mamanya duduk di kursi roda, menatapnya dengan wajah marah.

Aliando mengira Mamanya marah karena dia terlambat pulang. Memang hari menjelang sore ketika itu,

Aliando berjongkok di depan Mamanya, yang duduk dengan wajah kaku.

“Mama, maafkan Liando ya,” kata Liando sambil mencium tangan Ibunya, kemudian memeluknya erat.

“Darimana kamu?”

“Ada perlu sebentar Ma.”

“Sebentar? Dan kamu datang pagi sementara ini sudah sore?” tegur Mamanya kesal.

“Iya Ma, urusannya baru selesai.”

“Urusan dengan gadis anak pembantu itu?”

Liando terkejut. Dan hatinya semakin kecut melihat sorot mata Mamanya yang menatapnya tajam, bagai menyemburkan api. Mamanya marah sekali.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER