BAGAI REMBULAN 10
By: Tien Kumalasari
Wajah Indra muram tertutup mendung, dan Bu Diana menangkap wajah itu, dan kesal atas sikap Lusi yang menurutnya tidak sopan.
“Jeng Lusi itu bagaimana, kurang sopan lho berkata begitu, sementara ada jeng Indra disamping suaminya,” tegur Bu Diana.
Bukannya malu Lusi melah terkekeh senang.
“Tidak apa-apa mbakyu, istrinya sudah tahu kok.”
“Tidak, aku tidak tahu,” tukas Seruni sambil menatap tak senang ke arah Lusi.
“Kami tidak pernah pacaran, hanya teman sekampus Mbak, cuma dia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya.” Indra menerangkan.
Bu Diana mengangguk, sedikit ada rasa tak suka pada calon besannya.
“Ah, biasa lah Mbakyu, mana berani Indra mengakuinya sementara ada istrinya disampingnya.”
“Aku kira setelah semakin tua kamu bisa mendandani sikap kamu yang tak tahu malu. Ternyata masih sama.”
“Sudah Mas, kasihan Mbak Diana kalau ribut disini.”
“Maaf Mbak, aku permisi dulu ya, lain kali aku akan mengunjungi Mbak di rumah.”
“Ya ampuun, kangennya belum sembuh nih,” kata Bu Diana ketika Indra dan Seruni menyalaminya.
“Tapi nanti aku undang harus datang lho ya, ajak anak-anak kalian, dan juga orangtuanya Dayu, eh ada Kakaknya kok ya, pokoknya satu keluarga harus dibawa semua.” lanjut Bu Diana.
“Benar, apalagi nanti dipernikahan Aliando dan Susan,” sambung Lusi masih tak bisa menata sikapnya.
Keduanya tak menjawab dan berlalu..
“Dayu.. ikut bareng kami nggak?” sapa Seruni.
Tiba-tiba Aliando muncul..
“Lhoh, ada Pak Indra dan Bu Indra?”
“Apa kabar Liando?”
“Baik Pak.. kok tiba-tiba ada disini?”
“Liando, ternyata Mama tuh kenal baik sama Pak Indra, termasuk Ayahnya juga Ibu kenal.” Kata Bu Diana.
“Oh, ternyata dunia sangat sempit. Lha kok sepertinya sudah mau pulang nih?”
“Kami sudah lama, itu Dayu kalau mau biar bareng saya saja,” kata Indra.
“Tidak Om, biar Aliando saja yang mengantar.”
“Iya Ndra, Dayu kan adiknya Aliando, biar dia yang mengantar.”
Indra dan Seruni tersenyum, menatap senang pada Dayu.
“Baiklah, aku pulang dulu Nak..”
Ketika keduanya berlalu, Aliando pamit pada Mamanya untuk mengantar Dayu.
“Aliando antar Dayu dulu ya Ma, kasihan, tampaknya dia sudah mengantuk.”
“Eeh.. nggak.. aku baik-baik saja kok.”
“Iya.. iya.. kasihan dia sudah dari tadi,” sambung Bu Diana sambil tersenyum.
Aliando menggandeng Dayu mengajaknya keluar.
“Aliando, bolehkah aku ikut mengantar Dayu?” tiba-tiba Susan sudah mendekati Aliando.
“Tidak, kamu disini saja,” kata Aliando lalu berjalan keluar sambil menarik tangan Dayu.
“Ibu, saya pulang dulu,” kata Dayu berpamit.
“Hati-hati Nak.”
Lusi benar-benar kesal, tapi dasar Lusi, di tak kehabisan akal.
“Aduh Mbakyu, saya lupa ada janji sama orang, saya pamit dulu ya Mbakyu, biar Susan menemani Mbakyu disini.”
“Tidak apa-apa jeng, tidak usah ditemani, Aliando kan tidak lama.”
“Biar saja Mbakyu, Susan kan harus belajar melayani Mbakyu,” kata Lusi tanpa menunggu jawaban selanjutnya, meninggalkan Susan begitu saja.
Bu Diana tampak kurang senang menyaksikan sikap Lusi, sejak awal kedatangan Indra. Ia tak memperdulikan Susan yang duduk disebelahnya, lalu memejamkan matanya.
Susan kesal dengan sikap Bu Diana yang tak perduli akan keberadaannya. Ia ingin mengajaknya bicara tapi tidak berani. Lalu ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Mamanya.
“Ma, sebel deh, masa Tante Diana malah tidur dan tidak memperhatikan aku? Mengapa sih Mama meninggalkan aku sendiri disini?”
“Sabar Susan, sebentar lagi Aliando datang, mintalah agar dia mengantarkan kamu pulang. Itu lho maksud Mama tadi.”
“Tapi aku bosan. Aliando juga lama sekali nggak datang-datang.”
“Sabarlah sebentar. Jangan mengeluh terus.”
Susan menutup ponselnya dan benar-benar merasa sendirian. Lalu dia berdiri dan berpindah duduk di sofa.
Bu Diana membuka matanya, melirik sedikit, lalu kembali memejamkan matanya. Memang tadi dia tidak tidur, hanya menghindari berbincang dengan Susan. Entah mengapa tiba-tiba timbul rasa tidak sukanya terhadap Lusi dan tentu saja anaknya.
“Aku sudah terlanjur berjanji akan berbesan dengan dia, tapi kok tiba-tiba aku nggak suka pada sikapnya ya. Tampak kasar dan tidak memiliki etika. Aku harus mengerti lebih jauh tentang keluarganya sebelum aku memastikannya,” bisik batin Bu Diana.
“Mama tidur?” tiba-tiba Aliando muncul. Lalu menatap tak senang ketika melihat Susan duduk sendirian di sofa.
Bu Diana membuka matanya.
“Kamu sudah mengantarkan Dayu?”
“Sudah Ma.“
“Sekarang antarkan dia pulang sekarang.”
“Dia?”
Susan menatap Aliando, penuh harap.
“Aliando panggilkan taksi saja Ma, capek nih.”
“Tolonglah, hanya mengantar dan segera kembali kemari.”
“Ya sudah, ayo.” Kata Aliando yang takut mengecewakan Mamanya.
Susan hampir bersorak. Dan tanpa pamit dia langsung mengejar Aliando yang sudah berjalan lebih dulu ke luar kamar.
Bu Diana hanya geleng-geleng kepala.
“Ternyata jauh sekali bedanya dengan Dayu, yang katanya anak seorang bekas pembantu. Lama-lama aku merasa bahwa Lusi sengaja menjatuhkan nama Dayu didepanku.” Gumam bu Diana.
***
Aliando menyetir mobilnya dan membisu. Gadis disebelahnya sudah gelisah dan menunggu sang ganteng menyapanya.
“Aliando.. aku lapar.”
“Ini sudah hampir sampai di rumah kamu, jadi kamu bisa makan lebih enak.”
“Aku ingin makan bakso..”
“Pasti akan banyak tukang bakso lewat depan rumah nanti.”
“Aliando..”
Susan kesal, Aliando tak bergeming.
“Aliando, kita ini kan calon suami istri, mengapa sikapmu begitu?”
“Aku harus bagaimana? Menuruti semua kemauan kamu? No, aku capek dan aku ingin segera istirahat.”
Susan cemberut. Sampai di depan rumah, mobil itu berhenti dan Aliando mempersilahkan Susan turun.
“Sudah sampai.”
Susan masih tetap duduk, ia ingin meraih tangan Liando dan menciumnya, tapi Liando mengibaskannya.
“Silahkan buka sendiri pintunya,” kata Liando tandas.
Susan membuka pintu sambil menitikkan air mata.
“Kamu kejam Liando,” katanya terisak lalu menutup pintunya dengan keras.
“Aku kejam?“
Liando tak perduli, ia memacu mobilnya kembali ke rumah sakit.
***
“Mamaaaaa....” teriak Susan sambil memasuki rumahnya, air matanya berjatuhan seperti hujan.
“Aduuh, anak Mama sudah pulang? Bagaimana? Diantar Aliando seperti harapan Mama kan? Asyik nggak, asyik nggak.? Lho... kok kamu nangis?”
Susan menjatuhkan tubuhnya di sofa, air matanya masih bercucuran. Lusi mendekatinya dan duduk disampingnya.
“Ada apa? Kamu diantar Aliando kan?”
“Iya sih, tapi sikapnya nyebelin!! Sama sekali tidak ramah. Aku pengin mampir beli bakso, dia nggak mau, aku bilang lapar, dia nggak perduli. Ketika mau keluar dari mobil dia bilang buka sendiri pintunya. Siapa yang tidak sakit Ma?”
“Kurangajar dia, aku akan melaporkan semua ini pada Tante Diana. Dia pasti nggak suka sikap Liando seperti itu. Masa sama calon istri begitu kasarnya? Tapi nanti saja, menunggu kalau dia sudah tenang di rumahnya.”
“Iya Ma, sakit hati aku Ma..”
“Ya sudah, kamu sabar saja dulu, nanti Mama urus semuanya.”
“Ada apa, pulang-pulang mewek?” tiba-tiba Anjas muncul dari kamar.
“Tuh, Liando sangat kasar sama adik kamu, kamu sih, bukannya ikut memikirkan adik kamu, ngelayap saja dan tidur pekerjaan kamu.”
“Ma, nanti kalau Susan sudah menikah, aku akan bekerja di kantor iparku, ya kan San? Ya sudahlah, sekarang aku puas-puasin bersenang-senang. Main, tidur, apa lagi?”
“Bodoh! Bantu dulu agar Liando suka sama adik kamu, enak saja belum-belum minta pekerjaan.”
“Iya.. iya, aku pasti memikirkannya, kamu tenang saja San.”
***
“Aduh, kasihan bener Bu Diana kalau jadi berbesan sama Lusi. Bagaimana bisa tiba-tiba orang baik seperti Bu Diana memastikan akan mengambil menantu anaknya Lusi?” kata Seruni gemas malam itu.
“Aku juga heran. Tapi tampaknya Mbak Diana juga kesal melihat sikap Lusi tadi.”
“Sungguh tidak beretika.”
“Suatu hari aku akan bilang sama dia agar keputusan tentang perjodohan itu dipertimbangkan lagi. Kasihan Aliando dong.”
“Iya Mas, tapi kan kita diundang pada acara syukuran nanti, Mas bisa bicara sama dia.”
“Iya, kalau bisa. Tapi aku yakin Lusi juga pasti ada disana.”
“Bagusnya Bu Diana tidak usah mengundang Lusi.”
“Semoga saja. Tapi aku senang Bu Diana bersikap baik sama Dayu. “
“Dayu kan juga gadis yang baik, dan santun. Bu Diana pasti bisa menilai.”
“Tak urung semua perjalanan cinta anak-anak, kita juga harus mengikutinya.”
“Benar Mas.. semoga anak-anak kita akan menemukan jodoh yang baik.”
“Dulu kisah cinta kita mulus, ya kan?”
“Ada sedikit halangan, karena aku juga anak orang tak punya.”
“Tapi Bapak tidak mempermasalahkan.“
“Yang jadi masalah yaitu ketika kita lama sekali tidak segera punya keturunan.”
“Dan Tuhan Maha Pengasih akhirnya memberikannya."
“Anak-anak yang baik..”
“Tapi aku heran, mengapa Naya tak pernah kelihatan bahwa dia sudah punya pacar ya?”
“Iya, Yayi juga tidak tahu tuh,”
“Belum ketemu jodohnya, jangan khawatir.. apalagi anak laki-laki, kita tidak usah tergesa-gesa.”
***
Hari itu Bu Diana boleh pulang ke rumah, dan kebetulan juga Indra dan Seruni sedang kembali membezoek, sehingga bisa mengantarkannya pulang.
“Ini sebuah kebetulan yang bagus Mbak, tiba-tiba saya dan Seruni ingin membezoek lagi karena kemarin itu rasanya kok belum puas berbincang. Ee, ternyata Mbak Diana sudah akan pulang. Senang saya Mbak.”
“Berarti diantara aku dan kamu ada ikatan persaudaraan yang kuat ya Ndra,” canda Bu Diana.
“Iya benar Mbak. Saya tidak mengira bisa bertemu lagi setelah sekian puluh tahun berpisah.”
“Benar Ndra, seringlah ke rumah nanti, terutama jeng Indra, supaya aku tidak kesepian.”
“Saya akan sering ke rumah nanti Mbak.”
“Oh iya, begitu mau pulang, lalu jadi teringat, mungkin seminggunan lagi aku akan mengadakan syukuran, pas hari minggu ya jeng, dimana kira-kira saya bisa memesan masakan yang enak ya jeng? Masakan jawa saja, sederhana tapi enak.”
“mBak, Ibunya Dayu itu kan pinter memasak?”
“Wauuuw.. benarkah? Kalau begitu aku minta tolong, bilang sama Ibunya Dayu, eh.. Bu siapa namanya?“
“Bu Tikno, Mbak.”
“Naa.. bilang sama jeng Tikno bahwa saya mau pesan untuk hari Minggu. Enaknya apa ya jeng?”
“Nanti biar dia ketemu Mbak Diana sendiri, sehingga bisa berbincang tentang masakan yang Mbak Diana suka. Dia memang sering menerima pesanan kok Mbak.”
“Bagus sekali jeng, ya sudah, tidak usah mencari jauh-jauh. Kapan ya jeng Tikno bisa ketemu aku?”
“Nanti akan saya antar ke rumah Mbak Diana.”
“Terimakasih banyak ya jeng. Seneng aku.”
“Mama sudaah siap?” tiba-tiba Aliando muncul.
“Sudah dari tadi, ini Pak Indra juga mau mengantar Mama sampai ke rumah kok.”
“Oh, terimakasih banyak, ayo sekarang kita berangkat.”
***
“Aduuh, mengapa sih saya Bu Indra? Takut saya..” kata Surti ketika Seruni mengutarakan keinginan Bu Diana memesan makanan.
“Kok takut sih, kenapa? Kamu kan pintar masak Surti?”
“Tapi masak untuk orang seperti Bu Diana, kedengarannya serem.”
Seruni tertawa.
“Kok serem sih, Bu Diana itu orangnya baik. Sungguh, dan kamu masak selalu enak. Percayalah, tak akan mengecewakan.”
“Bagaimana kalau Bu Diana nggak suka, lalu marah-marah?”
“Aduh Surti, sudahlah, aku yang tanggung jawab. Besok aku samperin kamu untuk pergi ke rumah Bu Diana dan nanti berbicaralah soal masakan apa. Dia minta masakan Jawa, tidak aneh-aneh, kamu pasti bisa.”
Surti tersenyum, tapi tak urung batinnya berdebar juga.
“Ayolah Surti , apa yang kamu takutkan? Karena dia urung jadi besan kamu?” goda Seruni.
“Ah, Bu Indra.. bisa saja..”
“Oke Surti, besok kira-kira jam sepuluh aku samperin kamu. Ini rejeki Surti, jangan ditolak.”
“Baiklah Bu Indra,” akhirnya jawab Surti, setelah menghempaskan nafas panjang.
“Baiklah, jangan lupa jam sepuluh aku samperin kamu ya.”
“Baik Bu Indra.”
***
“mBakyu, saya senang Mbakyu sudah pulang kembali dan tampak sehat,” kata Lusi ketika datang ke rumah Bu Diana siang itu.
“Iya jeng, sudah capek sebenarnya keluar masuk rumah sakit.”
“mBakyu ini sangat kuat, pasti akan selalu sehat.”
“Terimakasih jeng.”
“Saya dengar dulu Mbakyu ingin mengadakan syukuran, kapan akan dilaksanakan Mbakyu?”
Mendengar pertanyaan itu Bu Diana tampak tidak senang. Ia merasa Lusi selalu ingin mencampuri semua urusan dan keinginannya.
“O, itu, aku belum tahu jeng, menunggu kalau aku sudah benar-benar boleh menerima banyak tamu. Dan tentu saja tergantung Aliando akan diadakan kapan, soalnya aku ini sudah dilarang memikirkan banyak hal.”
“Iya Mbakyu, baiklah, nanti kalau siap kabari saya, bukankah sebagai calon besan saya juga ingin membantu?”
“Ya jeng, dipikirkan nanti kalau aku sudah siap saja.”
“Baiklah Mbakyu, nanti saya akan memilihkan catering yang sudah terkenal, masakannya top enaknya, bisa masakan Cina, bisa masakan Belanda, pokoknya apa saja bisa.”
“Saya lebih suka masakan Jawa. Masakan Jawa itu sederhana , tapi ngangenin.”
“Oo, dia juga bisa Mbakyu, pokoknya Mbakyu tidak akan kecewa. Berapa tamu yang akan diundang?”
“Tidak banyak, tapi soal masakan itu aku sudah pesan sama jeng Indra.”
“Oh, begitu? Di catering mana Seruni akan memesan masakannya?”
“Ibunya Dayu kan pinter memasak?”
“Ya ampun, Surti yang akan Mbakyu suruh memasak? Mana sesuai dengan selera kalangan atas Mbakyu, nanti Mbakyu akan malu lho.”
Bu Diana menatap Lusi tak senang. Ia sering mendengar Lusi menjelek-jelekkan Dayu, dan sekarang Ibunya.
“Nggak apa-apa jeng, di rumah ini tidak ada yang berbeda kalangan. Itu hanya ungkapan rasa syukur saya karena sudah diberikan kesembuhan.”
Dan Lusi terdiam dalam rasa kecewa dan kemarahan yang digenggamnya dalam-dalam.
***
Seperti biasa Dayu sepulang kuliah tidak pernah langsung pulang, apalagi kalau hari belum siang benar. Ia duduk ditepian sungai, memainkan kakinya didalam air bening yang mengalir tanpa mengenal letih.
Bersama alir sungai itu, akan berakhir kisah cintanya bersama Aliando, dan alir sungai itu akan menemukan muara yang berbeda. Kicau burung kecil di atas pohon sana seakan menyanyikan sebuah lagu duka, lagu cinta yang pedih perih.. O, cintaku.. aku rela melepasmu, jangan buat sedih hatiku. Lalu titiklah air matanya. Bagaimanapun terhiburnya hati atas kebaikan Bu Diana, tak bisa sepenuhnya membalut lukanya. Aliando menjadi Kakak angkatnya, dan itu sungguh berbeda.
“Ya.. sudahlah, bukankah aku sudah bersedia dan siap menerimanya?” bisiknya lirih.
Dayu menggerak-gerakkan kakinya di air, dan membiarkan air yang berkecipak membasahi bajunya.
Tiba-tiba Dayu terkejut, sepasang tangan menutup matanya dari belakang.
“Liando...”
Bersambung
No comments:
Post a Comment