Sunday, September 13, 2020

Buah Hati 31

BUAH  HATIKU 31
Oleh : Tien Kumalasari

“Apa Mas, laki-laki itu berkeliaran di rumah sakit ?” Tanya Indra pagi itu ketika Tikno menelponnya.

“Iya Pak Indra, untunglah perawat itu memberitahu, tapi saya sudah melapor ke polisi. Penjahat itu harus segera ditangkap.”

“Benar Mas Tikno, kalau tidak, dia akan selalu membuat resah.”

“Kalau bisa hari ini Surti dan bayinya mau saya bawa pulang. Kalau masih di rumah sakit saya merasa tidak tenang. Semalam saya tidak bisa tidur sama sekali. Bapak juga tidak jadi saya antarkan pulang. Tapi saya tidak mengatakan apa-apa pada Surti, khawatir dia justru ketakutan.”

“Yaa... itu benar, jangan sampai Surti tahu. Sekarang apa yang bisa saya bantu?”

“Tidak ada Pak Indra, saya hanya mengabari tentang laki-laki bercambang itu. Sudah jelas dia penjahat yang harus ditangkap polisi.”

“Baiklah, kalau ada apa-apa kabari saya ya Mas.”

“Siap Pak, sekarang saya akan mencoba menemui dokternya, kalau bisa saya akan minta agar Surti dan bayinya diperbolehkan pulang.”

“Itu lebih baik, semoga berhasil dan selamat semuanya.”

Indra menghela nafas, prihatin, bagaimana laki-laki jahat itu bisa saja tahu bahwa Surti sudah melahirkan.

“Mas, makan pagi sudah siap,” kata Seruni  setelah menata meja dibelakang.

“Ya, baiklah.”

“Tadi telpon dari siapa?”

“Mas Tikno, dia bilang laki-laki bercambang itu datang ke rumah sakit, nekat memasuki kamar bayi dan ingin menggendongnya.”

“Ya ampun... lalu bagaimana Mas?”

“Ya tidak diijinkan lah, sama perawatnya, lalu semalam mas Tikno berjaga tanpa tidur sedikitpun. Tapi dia sudah melapor ke polisi.”

“Syukurlah, semoga segera tertangkap. Eh... tunggu Mas... laki-laki bercambang? Aku jadi teringat wajah laki-laki yang ketemu kita diparkiran rumah sakit.”

“Oh, dia... laki-laki itu bercambang, menanyakan ruang bersalin. Jangan-jangan dia.”

“Nah, sikapnya mencurigakan, tapi aku benar-benar pernah melihat laki-laki itu. Ayo, sambil sarapan aku akan mengingat-ingat, dimana pernah melihat dia.”

Seruni melayani suaminya makan, tapi pikirannya kembali membayangkan laki-laki bercambang itu. Ia yakin pernah melihatnya. Tapi dimana ya.

“Kemarin kamu beli makanannya dimana? Aku suka ledrenya...”

“Dekat apotik tempat aku beli obat buat Naya kemarin.”

“Kapan-kapan kalau lewat beli lagi ya.”

“Ya, gampang Mas... Oh... ya Tuhan...” tiba-tiba Seruni memekik sambil meletakkan sendoknya.

“Ada apa?”

“Itu... tukang parkir itu...”

“Kenapa tukang parkirnya?”

“Dia... laki-laki bercambang itu...”

“Maksudmu... laki-laki bercambang itu menjadi tukang parkir disana?”

“Betul... betul... segera laporkan Mas, itu sudah jelas, aku yakin  dia, makanya sejak ketemu itu kan aku terus mengingat-ingat, kapan dan dimana bertemu dia.”

“Kalau begitu aku akan menelpon Mas Tikno.”

“Ya, tapi habiskan dulu sarapannya.”

***

“Apa Pak Indra? Tukang parkir di toko makanan itu?”

“Iya, Seruni kan dari sana... ingat wajah tukang parkir itu, brewokan gitu katanya . Kemarin ketika saya dan Seruni ke luar dari rumah sakit juga ketemu dia.  Dia menanyakan dimana kamar bersalin.”

“Baiklah Pak Indra, saya akan segera melaporkannya kepada polisi. Benar, saja juga ingat tukang parkir itu ketika membelikan makanan buat Bapak, sama sekali tidak mengira bahwa dia orangnya.”

“Ya Mas, secepatnya, jangan sampai dia kabur.”

“Baik Pak, tampaknya sudah ada polisi yang berkeliling disekitar rumah sakit ini. Tapi saya sudah diijinkan membawa Surti dan bayinya pulang hari ini, karena mereka sehat.”

 “Syukurlah Mas Tikno, semoga semuanya baik-baik saja.”

Tikno segera menghubungi polisi tentang temuan yang dikatakan Indra, sementara Surti sudah berkemas  dan  Pak Mul memangku cucunya yang sudah dandan rapi dan siap diajaknya pulang.

“Surti, aku ke kantor dulu untuk membayar administrasi ya.”

“Ya Mas, ini aku juga sudah selesai.”

“Baiklah, aku pergi  dulu, setelah itu aku mau pesan taksinya,” kata Tikno sambil berlalu.

“Surti, apa benar kamu sudah merasa sehat?”

“Sudah Bapak, daripada beristirahat disini kan lebih baik istirahat di rumah saja.”

“Memang benar, tapi disini kan kesehatan lebih bisa dikontrol.”

“Itu kan kalau sakit, Surti sudah melahirkan lancar dan sehat, Aditya juga sehat. Jadi lebih baik pulang. Ya kan?”

“Ya sudah, Bapak juga lebih senang kalau cepat pulang.”

“Mana Bapak, biar Adit saya gendong saja.”

Pak Mul menyerahkan cucunya , sementara ponselnya berdering.

“Hallo... ini pak Pras ya?

“Iya Mul, bagaimana Surti?”

“Sudah melahirkan kemarin Pak, lancar dan bayinya sehat.”

“Syukurlah Mul, tapi cucumu masih didalam inkubator kan?”

“Inkubator itu apa Pak?”

“Itu, biasanya kan kalau bayi lahir prematur, dimasukkan dulu kedalam inkubator, supaya hangat. Kalau sudah kuat baru bisa dikeluarkan.”

“Ooh... itu... tidak Pak, anaknya Surti sehat, tidak dimasukkan kemana-mana.”

“Oh ya? Hebat kalau begitu cucumu. Rasanya baru tujuh bulan atau delapan bulan ya usianya dalam kandungan.”

“Nggak tahu saya Pak, saya hanya tahu mereka sehat, dan baru sehari Nak Tikno sudah mengajak istri dan anaknya pulang.”

“Oh, bagus kalau begitu. Kapan-kapan aku ingin melihat cucu kamu Mul, sekaligus kangen juga sama cucuku.”

“Kapan Pak Pras mau ke Solo?”

“Mungkin dua atau tiga hari lagi, ini Neneknya sudah ribut pengin nggendong cucunya juga.”

“Iya Pak, bisa dimaklumi, saya juga merasakannya.”

“Aku mengirimkan sedikit uang ke rekening kamu Mul, untuk cucu kamu.”

“Waduh, Pak Pras... sudah banyak yang Pak Pras berikan untuk keluarga kami.”

“Kamu itu jangan suka menolak rejeki. Lagi pula aku memberi untuk cucu kamu. Kalau kamu kan uangnya sudah banyak,” seloroh Pak Prastowo.

Pak Mul tertawa.

“Itu juga karena Pak Pras. Tapi orangtua seperti saya kan tidak membutuhkan apa-apa Pak, yang penting anak cucu selamat dan berkecukupan.”

“Kamu benar Mul, dan kamu juga harus selalu menjaga kesehatan kamu. Jangan saking sukanya sama cucu lalu lupa beristirahat.”

“Iya Pak, saya tahu. Terimakasih atas semuanya Pak.”

“Iya, salam untuk Surti dan suaminya.”

“Akan saya sampaikan Pak.”

“Dari Pak Pras?” tanya Surti ketika Ayahnya sudah selesai bicara.

“Iya, Pak Pras dan Bu Pras sepertinya akan datang ke Solo. Tapi tadi Pak Pras bilang mengirimkan sejumlah uang untuk anak kamu, melalui rekening Bapak.”

“Waah, Pak Pras selalu begitu. Bapak sudah bilang terimakasih?”

“Sudah Nduk, nanti Nak Tikno suruh mengambil uang itu, kan itu punya anak kamu.”

“Iya Pak, nanti Bapak bilang saja kepada Mas Tikno.”

“Aku ke luar dulu ya Nduk, tadi handuk Bapak diangin-anginkan diluar, lupa.”

“Oh, iya Pak, nanti ketinggalan kalau Bapak lupa.”

Pak Mul ke luar dari kamar, menuju ke arah dimana dia mengangin-anginkan handuknya. Tiba-tiba dilihatnya seseorang mendekati pintu kamar Surti. Pak Mul mengambil handuknya dan kembali. Laki-laki itu memakai topi  yang menutupi hampir separuh wajahnya.

“Mencari siapa Nak?” sapa Pak Mul curiga, karena laki-laki itu tidak segera masuk ke dalam, hanya mengendap-endap sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.

“Saya... saya mau.. membezuk Bu Tikno..”

“Kalau mau membezoek ya langsung masuk saja, sebelum dia pulang sebentar lagi.”

“Oh, dia mau pulang hari ini?”

“Iya Nak, masuklah. Anda siapa ya?”

“Saya... temannya Pak Tikno, sedang menunggu teman yang lain, kok tidak datang-datang ya?”

“Oo, temannya menantu saya?”

“Apa Mas Tikno ada?”

“Sedang ke kantor, menyelesaikan administrasi. Mau masuk dulu, sambil menunggu menantu saya?”

“Tidak, sebentar lagi. Masih menunggu teman.”

“Oh, begitu... ya sudah, saya masuk dulu Nak.”

Pak Mul masuk dan melipat handuknya serta dimasukkannya ke dalam tas yang sudah siap dibawa pulang.

“Kok lama Bapak?” tanya Surti.

“Ada seorang laki-laki berdiri di depan pintu tadi.”

Surti terkejut.

“Laki-laki sia... siappa?” Surti tiba-tiba merasa cemas, ada perasaan yang tak enak dan mengganggunya..

“Katanya temannya Nak Tikno mau membezoek kamu.”

“Siapa?” Tanya Surti dengan wajah ketakutan.

“Dia hanya bilang bahwa teman Nak Tikno, lagi menunggu teman yang lain.”

“Ssiaappa teman Mas Tikno?” Surti benar-benar ketakutan.

“Mengapa tiba-tiba kamu panik seperti itu?”

“Mas Tikno kemana?  Mengapa lama sekali?”

“Ya urusannya belum selesai, barangkali. Ada apa kamu Surti?”

Sementara itu, laki-laki bertopi masih berdiri di depan pintu, ada gejolak yang sangat menghentak agar dia bisa segera masuk. Ia menoleh kesana kemari, lalu tiba-tiba dilihatnya dua orang polisi. Laki-laki itu masuk kedalam tiba-tiba.

“Temannya belum datang juga?” tanya Pak Mul.

“Belum Pak... entah mengapa... kok lama,” jawab laki-laki itu.

Surti menatap laki-laki itu, tapi wajahnya hampir separuh tertutup topi. Surti ingin mengatakan sesuatu, ketika tiba-tiba dua orang polisi masuk kedalam.

“Ini kamar Ibu Surti?”

“Benar,” jawab Pak Mul heran melihat polisi tiba-tiba sudah ada di kamar anaknya.

“Tidak ada orang asing masuk kemari? Ini siapa?” tiba-tiba polisi itu menatap laki-laki bertopi yang berdiri agak dibelakang pak Mul.

“Oh, ini temannya menantu saya Pak polisi, dia sedang menunggu teman-temannya,” kata Pak Mul.

Polisi itu mengangguk, lalu ke luar dari sana sambil berpesan : ”Jangan membiarkan laki-laki tidak dikenal masuk ke dalam kamar ini ya Pak.”

Pak Mul mengangguk dengan bingung.

Dan tiba-tiba laki-laki itu beranjak ingin keluar.

“Saya akan mengontak teman-teman dulu, kok lama sekali belum sampai,” katanya sambil ke luar dari kamar itu.

Pak Mul membiarkannya, sementara Surti merasa panik.

“Mengapa ada polisi datang kemari?”

“Bapak juga tidak tahu.”

“Coba Bapak menelpon Mas Tikno, mengapa Mas Tikno lama sekali.”

Pak Mul memutar nomor telpon menantunya.

_*“Hallo, Bapak, ada apa?”*_

_*“Nak Tikno belum selesai?”*_

_*“Ini sudah, tinggal menunggu tanda terima, tadi harus ngantri juga Pak. Ada apa?”*_

_*“Segera kemari ya Nak, kami sedang bingung.”*_

_*“Ada apa Pak?”*_

_*“Tadi ada polisi masuk ke kamar, dan berpesan agar melarang laki-laki tidak dikenal masuk kemari.”*_

_*“Oh, baiklah, saya segera kembali Pak, ini sudah selesai.”*_

Pak Mul menutup ponselnya, masih dengan wajah bingung.

“Tampaknya suamimu juga tidak tahu apa-apa.”

“Semuanya serba membingungkan. Ayo segera pulang Pak,  kok tidak tenang rasanya hati Surti.”

“Iya, ini kan juga mau pulang, tinggal menunggu suaami kamu.”

“Ada apa?” tiba-tiba Tikno muncul.

“Ya ampun Mas... kok lama sekali...”

“Iya, rupanya ngantri panjang. Sudah siap?”

“Sudah Mas, ayo buruan, tadi ada polisi segala, ada apa sebenarnya?”

“Mungkin mencari orang jahat.”

“Mengapa menyebut namaku? Dia bertanya apakah ini kamar Bu Surti, gitu Mas... ada apa?”

“Iya... mencari penjahat. Ayo pulang sekarang, aku sudah memesan taksi.”

“Nanti dulu, lha tadi ada temannya Nak Tikno mau bezoek lho,” kata Pak Mul.

“Teman saya siapa Pak?”

“Laki-laki, tadinya cuma berdiri di depan pintu, aku suruh masuk katanya sedang menunggu teman-temannya. Tapi kok sampai sekarang malah nggak kembali lagi. Kencan jam berapa? Anak-anak muda suka mengabaikan waktu.”

“Tidak ada teman saya yang mau bezoek kemari tuh?”

“Tuh kan, aku sudah curiga, laki-laki itu menutupi hampir separuh wajahnya. Jadi nggak jelas.”

“Lho, dia masuk kemari?”

“Masuk kemari, sebelum polisi  datang, lalu setelah polisi pergi dia juga buru-buru pergi, katanya ingin mengontak teman-temannya.”

“Lha mengapa polisi tidak menangkapnya?”

“Mengapa ditangkap? Aku bilang dia teman Nak TIkno.”

“Waduh, dia itu penjahatnya,” kata Tikno geram.

“Penjahat apa Mas?” Tanya Surti cemas.

“Ayo pulang dulu, di rumah aku akan cerita, taksi sudah menunggu.”

 ***

“Lolos lagi ? Apa dia punya ajian  ‘belut putih’?” pekik Indra ketika Tikno menceritakan kejadian itu.

“Apa itu ajian ‘belut putih’ Pak Indra?”

“Katanya setiap kali mau ditangkap dia pasti bisa lolos.”

“Wah... menurut saya Pak, itu memang belum saatnya, suatu saat dia pasti tertangkap. Dia ada disekitar kota ini, dan daerah dimana dia berseliweran sudah diawasi.”

“Semoga Mas Tikno. Saya juga ikut gregetan melihat ulahnya.”

“Tapi besok pak Indra bisa datang kan?”

“Oh, acara syukuran itu ya?”

“Iya, kok Pak Indra bisa lupa sih? Acaranya pagi, kalau Mas Naya sehat bisa ikut dong.”

“Semoga bisa Mas, beberapa hari yang lalu agak pilek. mBak Darmi juga bilang ingin ketemu Surti. Kebetulan kalau pagi, semoga Naya bisa ikut. Kalau Naya ikut mbak Darmi pasti juga ikut.”

“Iya Pak, semoga bisa ikut.”

“Tapi Mas Tikno jangan lupa,  polisi harus diberitahu adanya acara itu, siapa tahu dia ada diantara yang datang.”

“Undangan tidak banyak Pak, hanya teman sekantor dan tetangga dekat. Polisi akan ada karena saya sudah memberitahukannya.”

“Syukurlah, karena melihat kenekatannya, entah dengan maksud apa, dia kok akan membuat gara-gara.”

***

Hari itu Surti tahu kalau suaminya mengundang beberapa tamu untuk menghadiri acara syukuran di rumah. Tapi Surti dilarang masak apapun. Tikno memesan semuanya dari catering, sehingga tidak merepotkan istrinya.

Pak Mul hanya punya tugas menggelar tikar  di ruang tengah, cukup untuk tigapuluhan orang saja.

“Yang penting saya mensyukuri kehadiran Aditya sebagai karunia dari Allah yang tiada taranya,” kata Tikno ketika itu.

“Bapak sudah rapi... jam berapa sih Mas Tikno mengundang tamunya?”

“Masih jam 10 nanti, tapi daripada nanti tergesa-gesa dandan kan lebih baik sudah rapi.  Tapi Bapak mau ganti celana panjang saja. Lha itu, cucuku yang ganteng juga sudah rapi,” kata Pak Mul sambil mencium cucunya yang sedang digendong Surti.“

“Bapak kebelakang dulu,  mau ganti celana panjang saja, sarungnya  dekil begini. Sebentar lagi pasti suamimu datang.” kata Pak Mul sambil beranjak kebelakang.

Surti menggendong anaknya ke depan, sambil menunggu suaminya pulang. Semua pesanan sudah dikirim, entah suaminya masih akan membeli apa lagi.

Tiba-tiba seseorang masuk kehalaman.  Seorang laki-laki. Surti mengira dia teman kerja suaminya. Surti berdiri untuk menyambut. Tiba-tiba Surti terbelalak melihat wajah laki-laki itu.

“Surti, jangan takut, aku tidak bermaksud jahat.”

*“Pergi kamu !! Pergi!!“* Teriaknya panik.

“Surti, aku hanya ingin menggendong anakku, sebentar saja...”

*“Tidak... ini bukan anak kamu, laki-laki kotor, busuk ! Pergiii!”*

Tapi laki-laki itu terus melangkah maju mendekati Surti.

“Aku ingin menggendongnya, sebentar saja...aku rindu mendekap bayi, itu darah dagingku, tolong, ijinkan...,” mata laki-laki itu berkaca-kaca.

*“Pergi... enyah kamu... jangan sampai kamu menyentuhnya, apalagi menggendong atau mengambilnya. Ini bukan anakmu !! Pergiiii !!!”*

Pak Mul yang mendengar teriakan Surti tergopoh keluar, bersamaan dengan suara sirene mobil polisi.

Laki-laki itu terkejut, ia membalikkan tubuhnya bermaksud kabur.  Dia, Sardiman si buronan, melompat ke atas sepeda motor yang diparkir di luar pagar, lalu memacunya. Polisi yang sudah turun dari mobil menarik senjatanya dan sebuah letupan terdengar, lalu suara  sepeda motor terjatuh, dan suara orang mengaduh.

***

Acara syukuran itu telah usai, suasana tegang yang semula memenuhi hati Surti telah mereda. Orang yang ditakutinya telah ditangkap polisi.

“Surti, jangan lagi merasa takut. Kita akan hidup tenang dan bahagia,” kata Tikno sambil menggendong Aditya.

“Terimakasih atas semua cinta yang Mas berikan. Terimakasih atas bahagia yang Mas selimutkan dalam hidupku. Terimakasih atas kasih sayang Mas kepada Aditya yang tak pernah aku bayangkan,” kata Surti sambil menyandarkan kepalanya dibahu suaminya.

Sebelah tangan Tikno merangkul Surti yang berlinangan air mata bahagia.

“Surti, kamu dengar tidak, Aditya meembisikkan sesuatu ditelingaku.”

Surti mengangkat kepalanya, menatap Tikno tak mengerti.

“Ia, baru saja dia berkata. ‘ Bapak, segera berikan adik buat Aditya ya’ “ kata Tikno sambil tersenyum nakal. Surti mengusap air matanya dan tersipu. Pelan dicubitnya lengan suaminya.

Mereka adalah keluarga bahagia, karena telah melakoni hidup dengan jiwa yang bersih dari noda.

MENUNGGU DATANGMU, DALAM KERINDUAN YANG MENYESAK DADA, DALAM SENDU YANG MENGHIMPIT RASA. TOLONG, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU, JANGAN SAMPAI HATIKU BEKU. CINTAKU TAK BERBATAS.

*T A M A T*

***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER