Bagai Rembulan 02
By : Tien Kumalasari
“Anjas, kamu tak apa-apa?”
Salah seorang laki-laki itu sambil mendekati Anjas, dan menghentikan ayunan tangannya yang bertubi-tubi menghantam tubuh Adit yang tak sempat bangkit.
Laki-laki bertongkat itu sekali lagi mengayunkan tongkatnya ke arah laki-laki satunya dan kembali membuatnya tersungkur.
Dayu menutup mulutnya, tak sempat berteriak. Laki-laki tua itu tersenyum, wajahnya yang keriput menatap Dayu sesaat, kemudian berlalu.
“Pak tua, pak tua... terimakasih...”
Dan terdengar ketukan beraturan ketika laki-laki itu melangkah pergi. Ketukan dari tongkat penyangga yang membantu Pak tua itu melangkah, karena kakinya pincang.
Adit bangkit dengan susah payah, lalu sebuah mobil berhenti. Rupanya Naya bersama Yayi datang dengan mobil, karena Dayu menelponnya.
“Adit? Kamu tidak apa-apa?”
“Adit tampak lemas, Naya memapahnya masuk ke dalam mobil.”
“Mas Naya, tolonglah...”
“Aku akan membawanya ke rumah sakit. Yayi, kamu bersama Dayu.”
Yayi mengangguk. Ia mendekati Dayu, mengambil motornya dan mengajaknya ke rumah.
“Ayo, biar aku memboncengkan kamu.”
Dayu mengangguk, sesekali menoleh ke arah mobil Naya yang membawa Adit ke rumah sakit.
“Mas Adit akan segera mendapat pertolongan. Setelah membawa makanan ini, kita akan menyusulnya ke rumah sakit. Kamu tidak usah khawatir, Dayu.”
Dayu naik ke boncengan, masih dengan menenteng bungkusan makanan.
“Ibu sedang menunggu pesanan ini. Akan ada acara arisan ibu-ibu kampung di rumah,” kata Yayi sambil menstarter sepeda motor Adit dan melaju pulang ke rumah. Membiarkan Anjas dan temannya tertatih masuk ke mobilnya. Tampaknya mereka luka karena tengkuk mereka mendapat pukulan lumayan keras.
“Mas Adit dan Anjas bermusuhan?” Tanya Yayi sambil mengendarai motornya.
“Kemarin Mas Adit menghajarnya.”
“Kenapa? Anjas memang laki-laki brengsek. Dia akan terus mendendam pada Mas Adit.”
“Mas Adit marah karena Anjas menggangu aku. Mereka sempat berantem kemarin, di kampus.”
“Oh, pantas.”
*****
Ketika sampai di rumah, Bu Indra menunggu di teras dengan khawatir. Ia heran melihat Yayi berboncengan dengan Dayu.
“Apa yang terjadi?”
“Mas Adit dipukuli dua orang temannya. Mas Naya membawanya ke rumah sakit.”
“Kamu mengenal mereka?”
“Mengenal Bu, kami sekampus, tapi dia memang kurangajar. Entah bagaimana tadi mereka bisa jatuh tersungkur, sementara Mas Adit sudah tak berdaya.” kata Yayi.
“Seorang laki-laki tua lewat. Lalu memukul keduanya dengan tongkat penyangga tubuhnya. Laki-laki itu pincang.” Jawab Dayu.
“Mana dia, aku tak melihatnya tadi?” Tanya Yayi.
“Dia aneh, setelah memukul keduanya kemudian berlalu tanpa mengucapkan apa-apa.”
“Ya ampun, anak-anak muda.. mengapa suka berantem sih?”
“Anjas itu memang berandalan. Ini saya bawa kebelakang ya Bu?" Tanya Yayi.
“Iya, bawalah kebelakang. Taruh saja di meja. Biar nanti Mbak Darmi mengaturnya.”
Setelah Dayu dan Yayi selesai membawa makanan ke belakang, keduanya segera berpamit untuk pergi ke rumah sakit.
“Kamu membawa mobil Bapak saja Yayi, Bapak tidak akan pergi kemana-mana. Nanti setelah selesai acara, Ibu dan Bapak akan menyusul kesana.”
“Baiklah Bu, biar motornya Mas Adit saya masukkan ke garasi.
*****
Dayu menangis tersedu sambil menubruk Kakaknya yang terbaring dengan wajah lebam.
“Mas Adit... mengapa jadi begini ?” isaknya.
“Aku tidak apa-apa... sudah jangan menangis, cengeng,” kata Adit sambil mengacak rambut adiknya.
"Kamu merepotkan banyak orang,” tegur Adit lemah karena kepalanya terasa pusing.
“Kami tidak repot Mas, Mas Adit tidak apa-apa?” Tanya Yayi sambil menatap wajah tampan yang menjadi biru lebam.
“Yayi... lama tidak bertemu,” sapanya ketika melihat wajah cantik bermata bintang itu. Dan tiba-tiba ada kerinduan yang menyeruak ketika kemudian bertemu.
“Mas Adit, aku baik-baik saja. Bagimana rasanya? Sakitkah?” kata Yayi sambil menggenggam tangan Adit, yang terasa bergetar.
“Tidak, aku tidak apa-apa, aku ingin pulang.”
“Jangan bandel Adit, dokter meminta kamu agar dirawat beberapa hari disini,” kata Naya yang sejak tadi menunggui Adit.
“Tidak, aku tidak mau, aku tidak apa-apa..” ucapnya kesal.
“Mas Adit...“ panggilan lembut itu membuatnya menatap siapa yang mengucapkannya. Mata bening itu memandanginya tak berkedip, membuat Adit tak mampu berkata apa-apa.
“Menurut ya..?” kata Yayi lagi.
Mata bening itu tak hendak pergi dari hadapannya, membuatnya tak mampu berkutik kecuali mengangguk.
Semuanya bernafas lega.
“Bagaimana Bapak sama Ibu? Pasti bingung,” keluhnya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Yayi yang masih memegangi tangannya.
“Aku akan bilang bahwa Mas Adit tak apa-apa,” kata Dayu.
“Jahanam itu, aku tak akan memaafkannya.”
“Sudah Adit, kamu dari dulu suka sekali berantem,” kata Naya yang berteman sejak kecil.
“Dia itu kurangajar Naya. Satu lawan satu tidak berani, beraninya membawa teman dan mengecoh aku dengan cara licik,” kata Adit geram.
Yayi menepuk-nepuk tangan Adit dengan lembut.
“Redakan amarah kamu. Permusuhan hanya akan saling menyakiti,” katanya lembut.
Dan entah mengapa, setiap ucapan yang meluncur dari bibir nan apik itu selalu membuatnya tak mampu berkata apa-apa.
Entah kapan dimulainya, sesungguhnya ada sepasang hati yang saling bertaut, yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali sang pemilik hati itu sendiri.
Indra dan Seruni datang ketika Adit sudah dipindahkan ke kamar rawat. Naya sudah mengurus semuanya atas perintah Ayahnya.
“Adit, bagaimana keadaan kamu?” tanya Indra dan Seruni hampir bersamaan.
“Baik, sebenarnya saya tak ingin dirawat, saya tidak apa-apa,” kata Adit.
“Wajahmu lebam begitu, dan kamu mengatakan tidak apa-apa?” Sela Seruni.
“Hanya sedikit pusing.”
“Tuh, kan... tapi kalau memang kamu tidak apa-apa pasti besok sudah boleh pulang.”
“Naya sudah mengurus semuanya, dan sekarang aku mau menjemput Bapak sama Ibu kamu,” kata Indra kemudian.
“Terimakasih Pak Indra,” kata Adit terharu.
“Anak-anak disini dulu menemani Adit ya, Bapak mau mengambil mobil Bapak yang tadi dibawa Yayi.”
“Bapak sama Ibu tadi naik apa kesininya?"
“Naik taksi, tidak apa-apa, mana kuncinya.”
*****
Surti terkejut ketika Seruni tiba-tiba datang bersama Indra.
“Lho, acaranya sudah selesai Bu Indra?” Tanya Surti.
“Sudah, tadi hanya untuk arisan ibu-ibu di kampung. Kue-kue buatan kamu sangat enak, banyak yang suka, dan berjanji akan pesan apabila mereka memerlukan.”
“Terimakasih Bu Indra, silahkan duduk, Pak Indra... Bu Indra.”
Lalu Surti bergegas kebelakang untuk memanggil suaminya.
“Ada siapa? Anak-anak sudah pulang?”
“Belum, pasti masih asyik main sama Mas Naya dan Yayi. Lama mereka tidak ketemu.”
“Oh, siapa yang datang?”
“Pak Indra dan Bu Indra.”
“Owh..”
Tikno yang baru selesai mandi bergegas kedepan, menyalami kedua tamunya.
“Masih segar, baru mandi ya Mas?” celetuk Indra.
“Iya Pak Indra, wah.. tumben nih.. mau jalan-jalan ya?”
“Iya... mau ngajak Mas Tikno dan Surti...”
“Kemana?” Tanya Surti yang sudah muncul dengan membawa nampan berisi cawan-cawan teh hangat.
“Silahkan diminum Pak Indra, Bu Indra..” Kata Surti.
Indra dan Surti meraih cawan-cawan itu dan meneguknya.
“Sebenarnya Adit ada di rumah sakit,” kata Indra sambil meletakkan cawannya.
Tikno dan Surti terkejut.
“Rumah sakit? Kecelakaan? Bagaimana?” Kata Surti panik.
“Tidak, berantem dengan temannya di jalan.”
“Aduuh, anak itu...”
“Masih juga suka berantem.”
“Tidak begitu, dia dikeroyok dua orang yang mencegatnya di jalan, tapi nanti ceritanya sambil jalan saja, ayo sekarang kita ke rumah sakit.”
“Ttt..tapi.. bagaimana keadaannya?” Tanya Surti masih merasa khawatir.
“Tidak apa-apa.. hanya saja dokter meminta agar Adit dirawat. Kalau tidak ada apa-apa pasti besok sudah boleh pulang,” kata Indra menenangkan
*****
Ketika keluarga Indra dan keluarga Tikno datang, anak-anak masih ada disana. Surti langsung menubruk anaknya dan terisak disana.
“Adit... kamu jangan suka berantem lagi dong Nak. Lihat wajahmu...“ Isak Surti.
“Ibu jangan menangis, Adit tidak apa-apa. Kalau tidak dipaksa Mas Naya aku juga tidak mau dirawat Bu, aku merasa baik-baik saja.”
“Anak bandel, kamu kesakitan seperti itu masih bilang tidak apa-apa..” Tegur Tikno sambil mengelus kepala anaknya.
“Lain kali jangan suka bertengkar dong Dit, “
“Bukan Adit yang memulainya Bu, dia mengganggu Dayu, awal mulanya. Tadi dia membawa teman dan mengeroyok dengan curang,” bela Adit.
“Apapun, kalau ada perselisihan, lebih baik mengalah dan menghindari bentrokan.”
“Iya, Bapak, Adit minta maaf.”
Malam itu Tikno menunggui Adit di rumah sakit, ditemani Naya. Tikno sudah melarangnya, tapi Naya nekat. Mereka bersahabat sejak kecil dan sangat dekat, melebihi saudara kandung. Apalagi mereka seumuran.
Ketika Tikno ke ruang administrasi untuk menanyakan biayanya, dengan terkejut dia mendengar bahwa semuanya sudah ada yang bayar.
“Mas Naya, siapa yang membayar semuanya?”
“Oh, itu .. saya Pak.. tapi Bapak yang memberi, sudah, jangan dipikirkan,” kata Naya.
“Saya jadi nggak enak, besok mau bicara sama Pak Indra. Kok jadi merepotkan.”
“Pak Tikno, sudahlah, Adit itu kan sahabat dan saudara saya.. kalau dia sakit saya juga merasa sakit.”
Tikno memeluk Naya dengan terharu. Keluarga Indra sangat baik kepada keluarganya, seperti keluarga Pak Prastowo yang juga begitu baik kepada mertuanya.
*****
Pagi itu Naya pamit pulang untuk mandi, demikian juga Tikno. Tapi tanpa diduga Yayi datang membawa sekantong roti dan sebungkus bubur gudeg dengan telur pindang dan ayam.
“Yayi, kamu bangun jam berapa, masih pagi sudah sampai disini?”
“Aku selalu bangun pagi, tadi sambil jalan beli bubur untuk kamu. Dimakan ya.”
“Kamu kan tahu, mulutku susah untuk makan, bibirku sakit.”
“Pelan-pelan harus makan Mas, aku suapin, dan sebungkus ini harus habis,” kata Yayi sambil membuka bungkusan yang diletakkannya di atas sebuah piring.
“Mulutku masih sakit.”
“Cobain deh, coba sedikit. Ini bubur, tidak terlalu membutuhkan mulut menganga lebar, pelan-pelan pasti bisa.”
“Maksa deh.”
Harus dipaksa supaya kamu segera kuwat dan diperbolehkan pulang.”
Tiba-tiba Yayi teringat sesuatu.
“Eh... tunggu... tunggu.. ada salep yang harus dioleskan ke sudut bibir kamu. Biar aku oleskan sebentar, nanti kalau lemes pasti enak dibuat makan.”
Yayi dengan telaten mengobati bibir Adit. Ada tangan gemetar ketika melakukannya, ada dada berdebar ketika merasakannya. Tak tahan Adit memegang tangan Yayi dan menciumnya lembut.
“Terimakasih, bidadari cantik..” bisiknya terharu.
Yayi tersipu, ada rasa tak terungkap, tapi yakinlah bahwa batin mereka sudah bicara. Dan perlahan sakitnya dibibir tak lagi terasa.
Yayi dengan telaten pula menyuapinya sedikit demi sedikit.
“Sudah...“
“Kurang sedikit, dua suap lagi ya...“
Yayi masih terus membujuk dan berhasil mnyuapkannya sampai suapan terakhir.
“Waah, hebat Mas Adit..”
“Terimakasih Yayi.”
“Apakah kamu masih merasakan sakit?”
“Pusingnya sudah agak berkurang, sungguh lebih baik aku pulang saja hari ini.”
“Jangan Mas, tunggu dokternya. Orang sakit harus nurut..”
Dan kata-kata lembut Yayi meluluhkan hati Adit.
*****
“Cantikku, mengapa semalam tak membalas WA aku?”
“Maaf Liando, hampir semalaman aku di rumah sakit.”
“Kamu sakit?” ada emoticon sedih disertakan di pesan singkat itu.
“Bukan aku, tapi Mas Adit.”
“Sakit apa dia?”
“Dikeroyok dua orang berandalan. Anjas dan temannya.”
“Aduh, sebaiknya jangan berurusan dengan dia lah.. panjang nanti jadinya.”
“Tadinya Mas Adit hanya membela aku ketika dia mengganggu ketika aku pulang kuliah, tak tahunya kemarin dia mencegat di jalan bersama seorang temannya.”
“Adit harus hati-hati, dia itu berandal, tapi sesungguhnya pengecut.”
“Ya, aku tahu.”
“Parahkah lukanya?”
“Wajahnya lebam, bibirnya luka. Ini aku mau ke rumah sakit. Semoga hari ini boleh pulang, sejak kemarin sebenarnya dia enggan dirawat.”
“Sampaikan salam untuk Mas Adit ya, semoga segera pulih.”
“Terimakasih.”
“Jangan lupa, aku titipkan cintaku dihatimu, jaga dia..”
“Baiklah.”
Lalu pesan singkat itu diakhiri dengan masing-masing mengirimkan emoticon ‘love’. Aduhai...
“Dayu, ayo kita berangkat,” teriak Surti karena Dayu tidak segera ke luar dari kamar.
“Iya Ibu, aku sudah selesai,” jawab Dayu sambil mendekati Ibunya.
*****
“Liando, bagaimana keadaan kamu?”
Itu suara Ibunya ketika menelpon.
“Baik Ma, Mama sehat kan?”
“Ya begini ini Mama kamu, harus selalu berjalan dengan kursi roda. Rasanya tak ada obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhan Mama ini.”
“Mama harus sabar ya.”
“Mama sudah letih untuk bersabar. Rasanya Mama tak ingin hidup lebih lama tanpa kamu. Mama batalkan saja keinginan Mama untuk menyekolahkanmu diluar negeri.”
“Mama, mengapa Mama berkata begitu? Bukankah Mama menyuruh Liando belajar diluar negeri karena Liando harus bisa menggantikan Papa mengendalikan perusahaan Papa?”
“Tapi Mama tak tahan dengan penyakit ini Nak, Mama hanya punya kamu, sebaiknya kamu pulang saja.”
“Mama, aku baru mulai..“
“Apa kamu tega membiarkan Mama sendiri mengurus perusahaan Papa kamu? Ternyata Mama tak bisa melakukannya sendiri.”
Aliando kebingungan. Belum genap satu semester dia menempuh pendidikan disana dan tiba-tiba Mamanya menyuruhnya pulang.
“Apa kamu tahu? Mama dirawat di rumah sakit selama sebulan.”
“Mengapa Mama baru mengatakannya sekarang.?"
Mama pikir tak akan lama, ternyata banyak penyakit menggerogoti tubuh Mama. Gula darah tinggi, kolesterol dan juga tensi Mama tak hendak turun. Penyumbatan pembuluh darah membuat Mama lumpuh, dan tampaknya Mama harus tetap berada di kursi roda entah sampai kapan.”
“Baiklah Mama, Aliando akan pulang. Lebih baik menunggui Mama daripada berjauhan dan Mama terus-terusan sakit dan kesepian.”
“Bagus Nak, barangkali dengan adanya kamu disamping Mama, umur Mama akan bertambah panjang lagi. Apalagi kalau kamu menikah.”
“Aah, Mama.. Liando belum memikirkan untuk menikah.”
“Tidak Nak, Mama sudah menyiapkan seorang calon istri untuk kamu.”
“Apa?”
“Turutilah kata Mama, agar Mama bahagia diakhir hidup Mama.”
*****
Bersambung
No comments:
Post a Comment