The end
Hendrawan menatap Ayu yang duduk di sampingnya, keponakan nya itu tidak mengeluarkan sepatah katapun sejak keluar dari kantor calon suaminya, kini ia hanya diam memandangi pemandangan di luar jendela mobilnya.
“Kita jadi mampir ke rumah sakit?” tanya Hendrawan
Ayu tampak tersentak dari lamunannya, ia terdiam seolah berpikir apa yang harus ia lakukan sampai akhirnya ia menggelengkan kepalanya pelan.
“Gak usah, Paman” tolak Ayu
“Sayang, kamu sudah yakin akan keputusan ini? Paman sudah tahu siapa yang ada di hati kamu, tidak kah kamu ingin kembali menunggu dia?” tanya Hendrawan lagi, ia tidak ingin keponakan nya itu menyesal di kemudian hari, Masih ada waktu satu hari untuk mereka membatalkan semuanya.
“Saat ada seseorang yang begitu mengharapkan Ayu dan mencintaiku begitu besar, dan dia siap memberikan langit dan bumi hanya untukku, bukankah itu hal yang baik Paman?” Ayu balik bertanya.
“Tapi apakah kamu bahagia, sayang? Paman akan mengikuti semua keputusan kamu asalkan kamu bahagia, Nak. Ini kesempatan terakhir Paman dan Kakekmu mengantarkan mu ke gerbang pernikahan. Paman hanya tidak ingin kamu menyesalinya”.
“Ayu tidak tahu. Memikirkan Ayu akan meninggalkan dia saja rasanya tak sanggup, apalagi setelah dia memilih untuk meninggalkan anaknya, di Benci oleh Maminya. Masih bisakah Ayu kembali menyakiti dia?” Ayu meringis memikirkan Alden yang akan hancur jika ia meninggalkannya.
“Mungkin Tante Lily Benar, suatu hari Ayu akan bisa mencintai dia sebesar rasa cinta Ayu kepada Mas Angga. Mungkin” gumamnya tak yakin
Ayu memejamkan matanya, bersandar pada bangku mobil, mengistirahatkan sejenak pikirannya yang penat. Ingin hatinya melihat Rangga, tapi ia takut itu akan membuatnya goyah lagi, hanya bisa berdoa untuknya, semoga kali ini pria yang dicintainya itu akan hidup lebih baik lagi dan menemukan kebahagiaannya.
***
Rumah kediaman Wijaya tampak hening, tidak tampak seperti rumah mempelai pengantin yang sIbuk mempersiapkan pernikahan nya. Suasananya malah cenderung terasa biasa saja, seperti tidak ada hal spesial yang akan terjadi.
Hari ini Ayu juga bertingkah biasa saja, seolah tidak ada Masalah yang terjadi kepadanya. Ia bangun pagi dan menyiapkan sarapan bersama Tante Lily seperti biasa. Senyum manisnya terlihat sejak ia bangun pagi tapi tampak aneh dimata Hendrawan, Agus juga Lily. Mereka tahu bahwa Ayu hanya sedang meMasang topengnya, bersikap bahwa semuanya baik-baik saja.
Ya, iya memang melakukan itu. Ia sudah memikirkan hal ini semalaman, ia akan menerima pernikahan ini dan menghargai pengorbanan besar Alden untuk dirinya. Bertaruh dengan hatinya bahwa suatu hari ia harus bisa melupakan Rangga dan mencintai suaminya, Alden.
Situasi ini bagaikan de javu bagi Ayu, 8 tahun yang lalu pun ia terpaksa menerima pernikahannya dalam kondisi tertekan dan kini terulang kembali. Hanya bedanya kali ini ia diimingi oleh kebahagiaan dan cinta yang sangat besar dari seorang pria. Semua orang sudah berusaha mencegah Alden, bahkan Maminya juga tapi pria itu mengindahkannya. Ia tetap pada keputusannya. Ayu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali Alden mau melepaskan dirinya, percuma lari dari pria itu, ia pasti dapat menemukannya. Ia hanya bisa pasrah kemana takdir akan membawa dirinya.
“Ayuu… Yuu..”
Suara Jessi terdengar terburu-buru mencari Ayu, baru saja ia tiba di kediaman Wijaya dan langsung melesat Masuk tanpa mengucap salam. Wajahnya tampak gembira, sepertinya ia punya kabar baik untuk sahabatnya itu.
“Oh maaf !!” langkah dan senyumnya terhenti saat melihat semua keluarga tengah duduk berkumpul di ruang keluarga.
“Masuk Jess, sama siapa?” sapa Lily
“Sama Yogi dan Chika, tapi mereka nunggu di mobil. Buru-buru Tante, mau ajak Ayu boleh?” tanya Jessi
“Kemana?” tanya Hendrawan
“Ke rumah sakit, Rangga sudah siuman. Kak Rania tadi ngabarin Jessi” jawab Jessi dengan wajah sumringah.
Hendrawan, Agus dan Lily turut senang mendengar kabar itu, sekarang mata mereka terpaku pada Ayu yang Masih diam sambil meminum teh nya. Jessi mendekatinya dan menarik lengan Ayu agar sahabatnya itu berdiri mengikutinya, tapi tubuh Ayu Kaku, enggan mengikuti kemauan Jessi.
“Kamu kenapa? Kamu gak mau liat Rangga? Dia sudah sadar Ayu, dia pasti nyariin kamu. Tidak kah kamu senang jika dia sudah sadar” tanya Jessi yang keheranan dengan sikap Ayu
“Tentu saja aku senang” balas Ayu sambil tersenyum, “Pergilah”
“Tapi, kenapa kamu tidak ikut? Bukankah kamu merindukan dia? Temuilah Rangga, yakinkan kembali keputusan yang kamu ambil” bujuk Jessi sambil kembali menarik tangan Ayu, mencoba mengajaknya berdiri dan pergi ke rumah sakit.
Ayu menepis tangan Jessi, membuat semua orang terperangah.
“Tidak usah, pergilah sendiri. Sampaikan salam ku untuk mereka, aku harus bersiap untuk pernikahanku besok” balas Ayu dingin.
Tampak kekecewaan terpancar di wajah Jessi akan perkataan Ayu itu, ia tidak menyangka hati Ayu akan tetap sekeras batu untuk tetap melanjutkan pernikahan ini. Padahal hari-hari sebelumnya ia menangisi Rangga setiap hari. Merasa usahanya sia-sia, ia pun memutuskan pergi dengan tangan hampa.
“Om, Tante dan Kakek. Saya pamit pergi” ucap Jessi dengan nadanya yang berubah datar.
“Hati-hati Jess, sampaikan salam kami kepada keluarga Aditya. Nanti kami akan menjenguk ke sana” sahut Hendrawan
Jessi hanya sedikit mengangkat bibirnya mencoba tersenyum, ia tidak bisa menutupi kekecewaannya. Ia bergegas berjalan keluar meninggalkan Ayu dan keluarganya. Langkahnya terhenti saat ia berpapasan dengan Alden. Lelaki itu berdiri di sana, dengan beberapa orang wanita di belakangnya yang membawa berbagai peralatan dan perlengkapan untuk esok hari.
Jessi dapat simpulkan bahwa Alden juga mendengar pembicaraanya bersama Ayu, ia hanya tersenyum sinis melihat Alden dan berlalu dari hadapan nya. Ia malas untuk bertengkar lagi, cukup dengan perkataan Ayu ia sudah mengerti.
Alden menghela nafasnya melihat Jessi yang berlalu dari hadapan nya dengan tatapan penuh kemarahan dan kecewa. Ia mengerti sorot mata itu, semua orang menganggap dia brengsek dengan tindakan nya ini. Ia tidak peduli, yang ia inginkan hanya Ayu.
Tak ada yang lain.
Ayu tersenyum melihat kedatangan nya, Alden pun membalas senyumnya. Ia menyapa keluarga Wijaya yang tengah berkumpul di ruangan itu.
“Saya membawakan beberapa orang therapist kecantikan untuk Ayu juga Tante Lily. Supaya besok bisa lebih segar dan fresh” ucap Alden sambil menunjuk beberapa wanita yang di bawanya tadi.
“Kamu gak usah repot-repot Alden, Tante gak usah ikutan” tolak Lily
“Gak apa-apa Tante, perawatan ini akan memakan waktu lama, untuk menghindari kebosanan alangkah baiknya jika spa sama-sama kan?” bujuk Alden “Baiklah, Tante akan menemani Ayu” balas Lily sambil tersenyum.
Alden berpaling kepada Ayu yang duduk di sampingnya, ia menggenggam tangan Ayu.
“Aku harus kembali lagi ke kantor” ucapnya pelan.
“Kamu sudah sarapan” tanya Ayu
“Tentu saja sudah. Aku harus menjaga kesehatanku untuk persiapan esok hari kan” goda Alden yang di sambut tawa kecil Ayu.
Alden beranjak dari duduknya, dan berpamitan kepada keluarga Wijaya. Hendrawan dan Agus memilih tidak berkomentar apa-apa akan hubungan kedua orang itu. Mereka serahkan semua kepada Ayu. Gadis itu sekarang mengantar Alden sampai ke pintu depan.
“Kamu kok Masih kerja?” tanya Ayu
Alden tersenyum, “SeBenarnya aku gak ngantor lagi, aku akan lIbur beberapa hari. Hari ini aku juga ingin perawatan untuk esok hari” ucap Alden sambil mengedipkan matanya menggoda Ayu.
Ayu tertawa sambil mencubit lengan Alden geMas, pria itu senang akhirnya ia bisa melihat senyum tulus di wajah Ayu bukan senyum dIbuat-buat seperti tadi. Ia menyadari bahwa ia sangat egois memaksakan perasaan nya pada wanita ini, dan mungkin saja Ayu menerima nya karena kasihan juga.
Tapi ia tidak peduli.
Alden mengecup kening Ayu lama, “Terimakasih karena memilih untuk terus mendampingiku” ucap Alden.
Ayu tak membalas perkataan Alden, ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan nya pada Alden yang kini telah Masuk ke dalam mobilnya. Ayu Masih memandangi jalanan yang kini telah lengang, tangan nya menyentuh dada kirinya. Sesak ini makin terasa menghimpit dadanya, menyakitkan tapi tak bisa berteriak sakit.
Sungguh siksaan yang maha dahsyat.
***
Alden kembali memarkirkan kendaraannya dekat gedung sekolah itu, seperti kebiasaan-kebiasaan hari sebelumnya. Ia akan menunggu terus menunggu sampai sosok itu keluar dari sana dengan wajah cerianya dan senyuman khas yang sama seperti milik dirinya.
Kali ini hatinya direMas cemburu saat bocah lelaki itu Masuk ke pelukan seorang lelaki bukan ke pelukan Mommynya seperti biasa.
Kyle. Wajah Ben tampak kaget bercampur senang saat menemukan sosok Kyle ada disana, menjemputnya pulang sekolah. Ben berlari menuju Kyle yang disambut pelukan hangat oleh pria itu. Mereka tampak santai tertawa dan mengobrol sambil bergandengan tangan, layaknya sahabat atau jika sekilas seperti Ayah dan anak. Alden Masih terus menatap pemandangan itu, pemandangan yang menyakiti hati dan egonya. Ben tampak bersemangat bercerita pada Kyle sambil terus menggenggam tangan nya dan Masuk ke dalam mobil Kyle.
Alden dengan setia menguntit mobil Kyle dari jarak yang cukup aman. Setelah dari sekolah ternyata mereka mampir ke restoran fastfood. Kali ini ia melihat Reihana ikut turun dari mobil, Kyle menggandeng tangan Reihana menjadikan tubuhnya sebagai tumpuan wanita itu sementara Ben sudah berlari terlebih dulu, Masuk ke dalam restoran.
Sungguh, mereka terlihat seperti keluarga kecil bahagia. Ia meringis pedih karena dirinya yang merupakan Ayah kandung anak itu, bukanlah bagian dari kebahagiaan mereka.
Alden hanya bisa melihat dan mengawasi dari kejauhan, selamanya ia tidak akan bisa Masuk ke dalam lingkaran mereka karena pilihan yang sudah ia tentukan. Ia berandai bisa berada di posisi Kyle sekarang, mendengarkan celotehan Ben, menghapus jejak saus di sudut bibirnya dan mencium bau rambut Ben yang terkena terik matahari, bercanda dan tertawa lepas.
Hampir setengah harinya ia habiskan hanya untuk mengikuti kemana Ben pergi, sampai akhirnya mereka pergi ke rumah sakit tempat Kyle bekerja. Alden keluar dari mobilnya dan mengikuti mereka dari kejauhan. Kyle Masih menggandeng Reihana, mereka Masuk ke ruangan terapi. Tampaknya Reihana kembali melakukan terapinya di temani Kyle.
Pintu kembali terbuka, kali ini Ben keluar dari ruangan itu. Kaki-Kaki kecilnya melangkah menuju ruangan lain, Alden mengikutinya dan ternyata putranya menuju ke kantin rumah sakit. Sepertinya bocah laki-laki itu sering ke tempat ini, tampak Ibu kantin dan beberapa suster menyapa putranya dan ia membalasnya dengan sopan, tak lupa diiringi dengan senyuman manisnya.
Reihana berhasil mendidik putranya menjadi anak yang baik dan sopan.
Alden mendekati Ben yang kini duduk di kursi taman sambil menikmati es krim cone yang di belinya di kantin barusan.
“Hai…” tegur Alden ragu.
Ben menolehkan kepalanya dan tersenyum lebar melihat Alden.
“Hai, om. Daddy nya Della, kan?” sapanya.
Daddy kamu, Ben.
Alden meringis mendengar putranya memanggil dirinya Om. Harusnya Ben yang memanggilnya Daddy, bukan orang lain.
“Iya, kamu kok sendirian di sini? Gak takut hilang diculik orang?”
“Ben lagi nungguin Della, tadi kami janjian bertemu disini. Della mau menjenguk Ayahnya. Mommy juga mau terapi diantar Papa.”
Deg
Hatinya kembali memanas saat bibir mungil yang mirip dirinya itu memanggil Kyle dengan sebutan Papa.
“Dokter Kyle itu Papa kamu, ya? Kalau Mommy kan harusnya berpasangan dengan Daddy, apakah dia bukan Ayah kandung kamu?” Alden tau pertanyaan ini tak seharusnya ia ajukan, tapi ia penasaran apakah Ben pernah berpikir mengenai siapa Daddy nya.
Ia sedikit menyesal menanyakan hal itu karena sekarang wajah Ben tampak sendu. “Ben tidak mau membuat Mommy bersedih hanya karena Ben ingin tahu siapa Daddy dan kemana Daddy, karena Mommy sudah bertaruh nyawa untuk Ben, itu sudah berarti segalanya untuk Ben. Ben tidak butuh apa-apa lagi, Om” ucap Ben.
Jujur saja, hati Alden tertohok saat putranya menyiratkan bahwa ia tidak ingin mencari tahu mengenai Daddynya.
Aku di tolak oleh putraku sendiri? Tidak, bukan Ben yang menolaknya tapi dirinya yang memilih melepaskan kesempatan untuk dekat dengan putranya.
“Mommy baru bangun dari tidur panjangnya saat Ben berumur lima tahun, Ben sangat bahagia saat Mommy bisa memeluk Ben dan melihat Mommy bangga terhadap Ben yang tumbuh tampan dan sehat katanya.” Ucap Ben sambil menghabiskan es krim di tangannya,
“Semenjak itu Ben tidak ingin apa-apa lagi, cukup Mommy sehat dan bisa terus memeluk Ben, itu sudah membuat Ben senang. Ditambah Papa Kyle yang selalu ada untuk Ben dan Mommy. Itu sudah cukup, Om” sambungnya lagi. Ia kembali menghabiskan es krimnya.
Anak itu tidak peduli mengenai Daddynya, di dunianya hanya ada Mommynya juga Kyle. Bisa saja Alden perlahan meMasuki dunia putranya, memperkenalkan diri sebagai Daddynya, sedikit demi sedikit mengambil perhatian dan hatinya, tapi sekarang semua tergantung pria itu.
Mau atau tidak.
Alden mengeluarkan sapu tangan nya, ia menarik bahu Ben dan mengangkat dagu putranya,
“Biar Dad- eh Om bersihkan ini” ucap Alden sambil mengelap sudut-sudut bibir Ben yang terdapat sisa es krimnya.
Alden tersenyum melihat mata Ben yang terus menatap lekat wajahnya, ia merasakan perasaan hangat dan bahagia saat menyentuh tangan kecil itu sambil membersihkan sela-sela jarinya. Dan kemudian menggenggam tangan kecilnya ke dalam kungkungan tangan besarnya, entah kenapa rasanya matanya mulai memanas, ia ingin menangis dan memeluk putranya dan memanggilnya, anakku.
Meminta maaf pada putranya.
“Kau memang tumbuh dengan baik, Nak” ucap Alden menahan emosinya dan mengusap lembut rambut Ben.
Alden memeluk Ben erat dan menepuk-nepuk punggungnya pelan, semua perasaan berkecamuk di dalam dirinya. cepat-cepat ia menghapus airmata yang tergenang di sudut matanya.
Inikah rasanya tidak diinginkan? Inikah rasanya mencintai tapi tidak dapat memiliki. Ini sangat menyesakkan Tuhan, sangat sakit!
“Good Boy! Mommy mu pasti bangga dengan kamu, Ben. Jadilah anak yang kuat supaya selalu bisa menjaga dan melindungi Mommy mu.” Ucap Alden lembut.
“Pasti, Om” balas Ben sambil tersenyum lebar.
“Beennnn..Ben !!”
Alden dan Ben menoleh ke asal suara, dimana suara cempreng khas AraDella
Cantika Aditya kini terdengar berisik di telinga mereka. Gadis kecil itu datang bersama Rania di belakangnya, Della langsung merangsek memeluk Ben.
“Hei, mentang-mentang Ben lebih tampan dari Daddy, kamu lupa untuk memeluk ku?” goda Alden kepada Della.
Gadis kecil itu tersenyum malu dan beralih memeluk Alden dan menghadiahinya kecupan di pipinya.
“Sorry Daddy, I miss him so much” balasnya Lo
“Oh astaga, bukankah kalian baru saja berpisah tadi sepulang sekolah dan kamu sudah sangat merindukan nya? Ckk… lalu bagaimana dengan Daddy yang beberapa hari ini tidak melihat mu?” ucap Alden.
Della menundukkan kepalanya sambil tersenyum malu-malu yang membuat Alden dan Rania tertawa tergelak karena tingkah menggeMaskan keduanya.
“Ya sudah, pergilah ke tempat bermain itu. Tidak boleh jauh-jauh, harus selalu dalam pengawasan Bunda ya” ucap Rania yang kini duduk di sebelah Alden.
“Baik, Bunda” jawab Della sambil menarik tangan Ben ke salah satu sudut rumah sakit yang menyediakan tempat bermain untuk anak-anak.
Alden dan Rania duduk bersebelahan menikmati angin semilir senja yang mulai datang, mereka sama-sama terdiam hanyut dalam buaian angin.
“Bagaimana kabar Rangga, kabarnya dia sudah sadar?” tanya Alden, memecah kebisuan antara mereka berdua.
“Alhamdulilah, dia sudar sadar. Dia Masih sering tertidur efek dari obatnya”
“Apakah dia tahu bahwa besok Ayu akan menikah?”
“Dia sudah tahu”
“Apa reaksinya?”
“Memangnya reaksi seperti apa yang kamu harapkan? Depresi, kecewa? Lalu menghalangi pernikahan mu, membawa dan merebut Ayu?” tanya Rania sarkas.
“Adikku bukan orang seperti itu. Ia akan membiarkan Ayu bahagia dengan pilihannya. Baginya, kebahagiaan Ayu adalah segalanya walaupun ia bukanlah bagian dari kebahagiaan itu. Dia mengorbankan segalanya hanya untuk Ayu, kamu pasti tahu itu” tambah Rania.
“Aku hanya berdoa bahwa Ayu yakin dengan pilihannya, ia berhak untuk bahagia setelah semua yang dialaminya” gumam Rania.
Deg
Walaupun pengharapan itu diucapkan pelan oleh Rania tapi Alden dapat mendengarnya dengan jelas, perkataan Rania menyentil hatinya kuat.
Benarkah Ayu bahagia?
“Ketahuilah Al, keegoisan mungkin bisa menyenangkan dan memuaskan hatimu tapi belum tentu dengan orang di sekelilingmu. Dan saat sesal itu datang, semuanya telah terlambat.” Ucap Rania.
“Tidak pernah aku merasa sebersalah ini akan keputusan yang kuambil delapan tahun lalu. Akulah yang menyebabkan Ibuku menjalankan rencana-rencananya untuk makin membuat hidup Ayu menderita, juga menyakiti hati semua orang.”
“Jika saja aku menerima bayiku saat itu, aku mungkin tidak akan pernah merasakan sakit dan kecewanya saat Della memanggil oranglain sebagai Bundanya. Harusnya aku yang lebih disayang oleh Della, harusnya aku yang menjadi tumpuan anakku saat bersedih dan harusnya namaku yang tertera di sana sebagai Ibu kandungnya” mata Rania berkaca-kaca mengeluarkan apa yang ia pendam selama ini.
Rasanya Alden kembali ditampar di tempat yang sama, apa yang dirasakan Rania sama seperti yang dialaminya sekarang. Hatinya sedih juga menyesal karena bukan dirinya yang kini berdiri mendampingi putranya. Putranya tumbuh di tangan pria lain dan lebih nyaman bersamanya dan tidak memedulikan mengenai siapa Daddynya.
Dan mungkin bukan namanya yang tertera di sana sebagai Ayah kandungnya. “Jika saja aku menerima dengan ikhlas kehadiran nya sebagai anakku dan tidak memberikan nya kepada orang lain, mungkin saat ini aku sudah hidup bahagia berdua dengan Della sebagai Ibu dan anak sesungguhnya. Dan aku juga tidak menyebabkan penderitaan besar untuk adikku juga wanita yang di cintainya.” “Mereka berdua saling mencintai, aku tahu itu sejak dulu. Tapi peristiwa-peristiwa itu membuat mereka berpisah, mereka tidak bersalah. AKU YANG BERSALAH !!” Rania menangis kencang, menyalurkan kesedihan dan penyesalan terdalamnya. Alden merapat dan memegang bahu wanita itu yang bergetar kuat karena tangisannya. Kedua tangan Rania menutup wajahnya, berusaha menahan suara isakan nya terdengar lebih keras lagi.
“Karena keegoisanku, semuanya terluka. Karena aku, obsesi Ibuku semakin menjadi.
Karena aku, Della selamanya tidak akan pernah tertulis menjadi anak kandungku. Karena aku, keluargaku hancur. Karena aku, orangtuku bercerai. Karena aku, adikku harus merelakan wanita yang dicintainya pergi dari sisinya. Karena Aku, Ayu harus banyak mengalami kesedihan. Nyatanya kebebasan dan karir yang aku inginkan kini tak berarti dalam hidupku, tidak bisa menolongku keluar dari Masalah-Masalah ini.
Semua itu karena, Ego”
“Dan kini aku ingin menebus kesalahanku, tetap tegar menemani adikku dan Ayahku, merawat Ibuku dan bertanggungjawab atas keegoisanku di Masa lalu.” “Jangan sampai kamu menyesal seperti aku, Alden. Akibat dari keegoisanmu mungkin tidak akan berakibat kepada kehidupanmu sekarang, tapi bertahun-tahun setelahnya.”
Alden tidak berkata apa-apa, ia hanya terus mendekap Rania yang Masih menangis tersedu dalam dekapan nya. Semua cerita Rania seolah menjadi palu besar yang menyadarkan isi kepalanya agar bisa berpikir ulang akan keputusan nya, jangan sampai karena keegoisan nya akan menyakiti dan membuat oranglain menderita.
***
Lily termangu melihat wajah pengantin di hadapan nya, mempelai pengantin yang begitu cantik dan anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya namun mata sang pengantin itu tidak memiliki sorot kehidupan.
Ayu hanya memandangi cermin di hadapan nya dengan tatapan kosong, pakaian dan riasan pengantinnya sekarang seolah mengingatkan dirinya bahwa ini memang bukan mimpi. Hari ini ia akan kembali menikah untuk yang kedua kalinya, tapi bukan bahagia yang ia rasakan. Rasanya persis sama seperti 8 tahun lalu. Ia tertekan, tersiksa dengan hatinya yang Masih tak terima dengan ini semua, sementara logikanya menginginkan hal lain.
Kenapa dengan hatinya? Bukankah ia sudah mencoba untuk mengikhlaskan semuanya dan memilih jalan ini? tapi kenapa dadanya ini terasa semakin sesak, ingin rasanya ia memberhentikan waktu dan memberikan kesempatan dirinya untuk bernapas
“Ayu, mari kita pergi. Ini sudah saatnya.” Ucap Lily memegang bahu Ayu.
“Ayu gak kuat, tante” Tiba-tiba Ayu menangis tergugu di hadapan Lily.
“Oh, anakku”
Lily membawa Ayu ke dalam dekapannya, hatinya ikut merasakan sedih yang keponakan cantiknya rasakan.
“Jika Ayu meninggalkannya maka aku akan menjadi wanita kedua yang meninggalkan dia di hari pernikahannya, tapi saat Ayu mencoba mengikhlaskan dan menerimanya, hati ini tetap merasa tidak senang. Hati Ayu sakit, tante” isak Ayu.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Kami akan selalu mendukung keputusanmu, Nak. Tugas kami adalah meMastikan bahwa kamu hidup dengan baik dan bahagia.” “Ayu tidak tahu” ucapnya sambil menghapus airmatanya, Lily mengambil tisu dan merapikan kembali make up Ayu.
Ayu menggenggam tangan Tante Lily dan memintanya untuk segera membawanya pergi sebelum ia berubah pikiran lagi, tubuhnya terasa melayang, jiwanya terasa hampa.
Langkah Kakinya hanya mengikuti kemana mereka akan membawanya, Jiwanya pasrah mengikuti kemana takdir akan membawanya, ia menerima apa yang akan menjadi jalan hidupnya. Ia serahkan semuanya pada yang Maha Berkehendak dan Maha Membolak-balikan hati.
Lily merangkul bahu keponakannya dengan sayang, mencoba memberinya kekuatan agar terus bertahan untuk beberapa jam ke depan.
Mobil keluarga Wijaya pun akhirnya meluncur, membawa Hendrawan, Agus Wijaya, Lily dan Ayu menuju tempat diadakannya akad nikah. Acara ini hanya dihadiri keluarga inti saja. Ayu Masih bergeming saat mobil itu berhenti dan Hendrawan membuka pintu penumpang.
Ayu tidak berminat melihat dimana dirinya kini, ia tidak berminat dengan segala kemewahan yang akan ia lihat di depan matanya. Ia hanya ingin cepat-cepat melalui prosesi ini dan cepat pulang ke rumah.
Ayu menggandeng lengan Hendrawan dengan erat, wajahnya Masih menunduk, bersandar pada bahu Pamannya seolah mencari sandaran dan tumpuan jika tiba-tiba ia tak sanggup lagi berdiri menghadapi ini semua, di belakang sana Lily mendorong kursi roda Agus Wijaya.
Ting…
Pintu lif berdenting, terbuka dan menyentak Ayu dari lamunannya kembali ke dunia nyata, matanya melihat ke sekeliling ruangan. Dahinya berkerut keheranan, karena tidak mengenali tempat ini. Hanya lorong kosong dengan beberapa pintu menuju ke ruangan-ruangan yang tersebar di lorong ini. Ia mengira akad nikahnya akan dilakukan di hotel ataupun rumah kediaman Richardson, tapi hanya lorong sepi yang ia temui.
Apa ini di kantor KUA? Tanyanya dalam hati
“Kita dimana, Paman? Ini di KUA ya, kok sepi?” tanya Ayu heran
“Loh, tadi kamu turun dari mobil gak liat kita ada dimana?” tanya Hendrawan sambil tersenyum. Ayu menggigit bibir bawahnya gugup dan menggeleng.
“Bengong aja sih daritadi, coba kalau kamu liat tadi kita ada dimana. Kamu bisa menebak apa yang akan terjadi” sahut Lily.
“Ehh” Ayu mengernyit tak mengerti dengan perkataan Paman dan Tantenya,
“Ayo, yang lain sudah berkumpul dan menunggu kita” ajak Hendrawan sambil kembali mengajak Ayu melangkah menuju salah satu ruangan. Hendrawan tak berhenti tersenyum melihat keponakan cantiknya yang tampak kebingungan.
Ayu terkesima melihat ruangan itu, hanya ruangan sederhana yang di sulap sementara dengan hiasan sederhana untuk akad nikahnya. Dan yang membuatnya kaget, semua orang telah hadir di sana sambil tersenyum hangat kepadanya, seolah mengucapkan selamat akan pernikahan nya yang kedua ini. Mami Riana, Della, Kak Rania, Ayah Robby, Jessi, Yogi, Chika, Sarah, Alicia, Baby K dan Matthew.
“Kamu cantik sekali hari ini” ucap Alden sambil mengedipkan matanya, menggoda sang pengantin.
Belum hilang kekagetan Ayu, kini Alden berdiri di sebelahnya membawa tangannya kedalam rangkulan pria itu sambil tersenyum. Pria itu tampak tampan dengan balutan jasnya, eh jas.
“Kemana kemeja hem batik pasangan yang sudah mereka pilih sebelumnya?” Pikir Ayu.
Belum sempat Ayu bertanya, Alden sudah mendudukannya di depan penghulu yang sudah menantinya, Hendrawan sudah duduk di sebelah Penghulu bersiap mewakili Hendri untuk menikahkan keponakannya.
Ayu menundukkan wajahnya, jantungnya berdebar kencang menghadapi peristiwa penting dalam hidupnya. Ia tidak berani mengangkat wajahnya dan melihat prosesi
itu.
Saat mempelai pria duduk di sampingnya, ia memejamkan matanya erat, keringat dingin mengalir di dahinya, ketakutan melanda dirinya karena akhirnya menikah dengan seorang pria yang belum ia cintai, sementara hatinya Masih memanggilmanggil nama lain agar menyelamatkannya dan membawanya keluar dari sini.
Entah kenapa hati dan kepalanya terus menyebutkan satu nama, bahkan kini indera penciumannya di penuhi oleh aroma tubuhnya. Pikirannya menerawang membayangkan Mas Angga-nya akan menghentikan pernikahan ini dan juga membawanya lari dari situasi ini.
“Kita mulai ya, bapak dan Ibu” ucap Pak Penghulu setelah memastikan semuanya telah datang.
Iapun mulai menjalankan prosesi ijab Kabul yang dilaksanakan penuh dengan kesederhanaan itu. Semua perkataan dan khutbah nikah yang keluar dari Penghulu di depan nya seolah terpental dari telinga Ayu, ia tidak tahu apa yang telah terjadi, pikirannya kacau. Ia mengkeraskan hatinya agar tidak larut dan tumbang di tengah acara.
Ia tersentak saat sebuah tangan dingin menggenggam tangannya yang saling meremas kuat.
Oh, bahkan kini matanya ikut menipunya, ia seolah melihat jari jemari panjang Rangga menggenggam tangannya.
Apakah kini telinganya juga berMasalah? Kenapa suara Mas Angga yang di dengarnya sekarang.
Ia menoleh bersamaan dengan pria itu yang mengucapkan lantang kalimat sakral itu sambil menggenggam tangannya. Seolah mencari kekuatan dari dirinya.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Ayudia Permata Binti Henri Heryawan Wijaya dengan Maskawin tersebut dibayar tunai.”
“Sah ?” tanya penghulu
“Sahh” balas para tamu
“Alhamdulilah” terdengar helaan nafas gembira para tamu.
Ayu Masih mematung menatap pria itu, pria yang mempersuntingnya menjadi istrinya, pria yang kini sah menjadi suaminya. Airmata Ayu menetes, tidak peduli dengan prosesi yang Masih berjalan, sebelah tangannnya terangkat pelan ingin menyentuh wajah suaminya.
Jika ini memang halusinasinya saja karena terlalu banyak berharap, maka ia meminta agar bisa melihat bayangan Mas Angga-nya untuk beberapa saat lagi.
Pria di hadapannya kini tersenyum dan meletakkan telapak tangan Ayu pada wajahnya,
“Hai pengantin cantikku” sapanya.
Ayu Masih tak mampu berkata-kata, tangan nya mengusap-usap lembut wajah suaminya.
Bahkan suara dan senyuman itu tampak sama, apakah ini mimpi atau nyata.? “Maafkan aku, pernikahan kita kembali harus dilaksanakan di rumah sakit. Aku belum boleh terlalu banyak bergerak” Ucap Rangga dengan wajah tak enak.
“Kamu nyata? Kita menikah, kamu suamiku?”tanya Ayu masih mencoba menyadarkan diri apakah yang dilihatnya Benar nyata atau tidak.
Rangga mengusap airmata Ayu yang Masih saja mengalir dari wajah cantiknya. “Iya, aku adalah suamimu dan kamu adalah istriku. Apa kamu senang, istriku?” tanya Rangga.
Ayu mengangguk kuat, tersenyum lebar kali ini tangis bahagia yang mengaliri wajahnya. Ia tak mampu berkata-kata karena perasaan yang membuncah di hatinya, saking bahagianya. Semuanya nyata, bukan khayalannya.
Rangga merangkum wajah Ayu dengan kedua tangan nya, mendekatkan bibirnya untuk mengecup kening Ayu, istrinya.
“Aku mencintaimu, selalu. Jika dulu aku tidak pernah membalas perkataan cintamu, maka sekarang kamu akan mendengarnya setiap saat, setiap hari selama nafasku
Masih berhembus.” Ucap Rangga, yang membuat hati Ayu menghangat dan bahagia.
“Dengan senang hati aku akan menunggu dan menagih janji itu setiap hari” balas Ayu tersenyum lebar.
Ayu teringat sesuatu, ia menolehkan wajahnya mencari seseorang yang telah memberikan kebahagiaan ini kepada dirinya. Disana ia melihat Alden tersenyum dan lagi-lagi mengedipkan matanya sambil tersenyum ke arahnya. Seolah mengatakan kepadanya bahwa ia baik-baik saja.
“Alden hanya berkata, bahwa ia tidak ingin ada penyesalan. Ia tidak mau mengaku bahwa ia sudah kalah dari aku” bisik Rangga.
Ayu menepuk lengan Rangga pelan, “Jangan meledeknya, harusnya Mas berterimakasih kepadanya”
“Aaww.. ini Masih sakit sayang” ucap Rangga sambil meringis.
“Oh.. oh.. maaf” balas Ayu khawatir, ia lupa bahwa suaminya kini Masih terduduk di kursi roda. Perban Masih membebat keningnya namun tertutupi oleh kopiahnya, luka dan memar menghiasi lengannya.
“Ckk… Terimalah hukuman dari pria patah hati ini. Ku doakan supaya kamu lambat sembuh, sehingga kalian tidak bisa bermesraan sampai berbulan-bulan kemudian” ejek Alden yang kini berada di tengah mereka berdua.
“Dasar sinting !!” ucap Rania sambil menoyor kepala Alden pelan.
“Hei, tidak sopan” gerutu Alden
“Kamu mendoakan dia lambat sembuh, berarti kamu mau menambah pekerjaanku untuk merawat bayi besar itu juga Della” Sungut Rania.
“Loh kan dia sekarang udah punya istri” balas Alden lagi.
“Ayu kan Masih kerja juga kuliah, berarti aku yang Masih akan merawat dia”
Ayu dan Rangga saling berpandangan juga mengernyit heran melihat pertengkaran dua orang di hadapannya. Sejak kapan mereka menjadi dekat ?
Sesulit apapun jalannya, cinta akan menemukan cara menuju sang pemilik hati, belahan jiwanya.
Love will find the way
The end
No comments:
Post a Comment