Cinta Ayudia 39
A story by Wati Darma
Part 39
Alden berdiri terpaku menatap pusara kecil yang berada di hadapannya.
Kedua tangannya berada di saku celana. Sudah hampir setengah jam, dia hanya diam berdiri memandangi nisan dan pusara di depannya.
Raut wajahnya yang datar tidak bisa menggambarkan apa yang tengah hatinya rasakan.
Setelah perbincangannya dengan Kyle, lelaki itu memberikan secarik kertas berisi tempat pemakaman lalu melajukan mobilnya diantar sopirnya ke tempat ini.
Dan di sinilah dirinya sekarang, berdiri menatap bagian dari dirinya yang kembali hilang dari dunia.
Dua kali dirinya mengalami kehilangan, dua kali juga dia harus merelakannya tanpa melihat ataupun menggendong anaknya.
Kali ini perasaannya terasa lebih sakit daripada yang sebelumnya, karena dia tidak pernah tahu sama sekali mengenai kehadiran calon anaknya itu di dunia.
Yang dia tahu, bahwa putranya telah meninggal dunia. Sungguh tak terbayang bagaimana perasaannya kini.
Sedih, marah, kecewa, dan sesal menggelayuti hatinya. Tidak bisa membantu menjaganya selama dalam kandungan, mengelus perut tempat di mana anaknya berada, dan juga mendampingi putranya di sisa-sisa akhir napasnya di dunia.
“Maafkan aku, karena merahasiakan semua ini dari kamu.”
Suara seorang perempuan terdengar dari balik punggung Alden, tapi laki-laki itu bergeming. Tidak berniat membalas perkataan wanita itu, ataupun menoleh ke arah langkah kaki yang makin mendekat ke arahnya.
“Aku tidak menyesal tidak menggugurkan dia. Setidaknya anakku pernah berada di pelukanku walau beberapa jam saja.”
“Kamu sudah gila, merahasiakan hal sebesar itu dari aku!”
Bentak Alden dengan wajah memerah menahan emosi. Kini dia menoleh, menatap sosok yang melahirkan anaknya ke dunia.
“Jika aku mengatakannya lebih awal kepadamu, apakah kamu yakin tidak akan menggugurkan dia? Aku tahu, kamu akan memilih menyelamatkan aku. Tapi aku tidak akan pernah tega menghilangkan dia dari rahimku, walaupun nyawaku taruhannya!”
Balas Reihana lebih keras.
“Walaupun hanya sebentar, sungguh hati ini sangat bahagia saat mata itu menyapaku untuk pertama kali, mata coklat terang yang mirip denganmu. Mendekapnya dalam pelukanku, merasakan detak jantungnya di dadaku sampai akhir napasnya. Aku tidak pernah menyesal mengandung dan melahirkannya, Al. Aku hanya menyesal, kamu tidak ada di sana melihat dia dan berusaha lebih keras lagi untuk mencari kami,” isak Reihana.
Tubuh Alden meluruh. Dia berlutut di depan pusara putranya.
Air mata yang ditahannya sedari tadi kini mengalir deras di wajahnya.
Tangan di sakunya mengeluarkan secarik foto putranya, sesaat setelah dilahirkan. Foto yang diberikan oleh Kyle.
Hal yang paling dia inginkan di dunia, kini telah pergi jauh tanpa dia sadari.
Hanya bisa merutuki kebodohannya yang termakan api cemburu pada Reihana dan Kyle.
Jika saja ia melanjutkan pencarian dan meminta penjelasan pada kekasihnya itu, mungkin dia dapat mengetahui kehamilan Reihana lebih cepat.
“Apakah dia kesakitan?”
Tanya Alden masih menundukkan kepala sambil mengusap nisan di hadapannya, seolah mengelus lembut kepala putranya.
Reihana ikut duduk di samping makam putranya, masih memegang tongkatnya. Dia tersenyum dan menggeleng.
“Ia tidak tampak kesakitan. Dia hanya mengerjapkan mata bulatnya ke arahku lalu tertidur layaknya bayi yang sedang tidur. Dia anak yang baik,”
Ucapnya, sambil memutar kembali ingatannya ke kejadian tujuh tahun lalu.
“Benarkah? Wajahnya mirip denganku?” tanya Alden lirih.
“Hemm ... dia duplikat dirimu.”
Kedua anak manusia itu tak saling bicara, larut dalam tangisannya masing-masing.
Tangisan rindu juga sedih akan sosok yang berada di balik tanah di hadapan mereka.
Hanya bisa berdoa demi putra mereka yang kini berada di surga.
Dua kali mereka mengalami hal yang sama, kehilangan yang sama dan kini keduanya juga kembali menangis bersama.
🍀🍀🍀
Pak Amir, sopir Alden mendekati tuannya yang tengah berjongkok dan membisikkan sesuatu yang membuat pria itu terperanjat kaget.
Alden langsung berdiri dan menghapus air matanya.
“Kita segera pergi sekarang,” perintah Alden.
“Baik, Tuan Muda,”
Jawab Pak Amir sambil berjalan terlebih dahulu menuju parkiran, menyiapkan mobil mereka.
Alden beranjak pergi, tapi dia menghentikan langkah saat mengingat sesuatu.
“Apakah Ben anakku?” tanya Alden.
“Bukan,” jawab Reihana tegas.
Dia langsung berdiri dengan bertumpu pada tongkatnya.
“Dia adalah hadiah yang diberikan orang tuaku, yang mampu mengembalikan kewarasanku. Tenang saja, kamu pasti akan mendapatkan kembali anak yang wajahnya mirip denganmu bersama Ayu,” sambungnya.
Reihana membuang wajahnya dari tatapan selidik pria itu. Air matanya menetes saat pria itu melangkah menjauh pergi, meninggalkannya sendiri.
“Mommy kehilanganmu, kehilangan Daddymu,” isaknya lirih, sambil terus menangisi nasibnya yang berakhir seperti ini. Kehilangan cinta dan buah hatinya.
Alden melihat ponselnya yang berada dalam mode silent sejak dia datang ke tempat Reihana. Beberapa panggilan tak terjawab dari Ayu dan maminya terpampang di log panggilan. Dia pun mempercepat langkahnya.
Alden melihat mobil Reihana yang terparkir tidak jauh dari mobilnya, dan melihat Ben yang keluar dari mobil itu sambil menguap. Sepertinya baru bangun tidur.
“Cari Mommy, ya?”
Tanya Alden yang berjalan menghampiri bocah lelaki tampan itu.
Hatinya menghangat melihat senyuman lebar disertai lesung pipinya, refleks tangannya mengusap pelan rambut Ben.
Anakku jika masih hidup pasti sebaya dengannnya.
“Iya. Om ada di sini juga, ya?” tanya Ben polos.
“Iya, ada keluarga Om dikuburkan di sini. Mommy kamu ada tidak jauh dari sini,” jawab Alden.
“Oh, Ben ke sana dulu ya, Om,”
Ucap Ben sambil berlari kecil mencari Mommy-nya di dalam komplek pemakaman.
Alden langsung menaiki mobil dan duduk di belakang supir.
“Pak, tolong lakukan sesuatu untukku jika kita sampai di RS nanti, tapi rahasiakan dari siapa pun juga,” perintah Alden.
Kening Pak Amir sempat berkerut heran, tapid ia segera menyanggupi permintaan majikannya. “Baik, Tuan Muda.”
Alden pun mengambil dua helai tisu dari dashboard dan mengeluarkan benda yang terkepal di tangannya, menyimpan dan melipatnya rapih di dalam tissue tersebut lalu memberikannya pada Pak Amir.
🍀🍀🍀
Pak Robby dan Rania tampak berlari tergopoh-gopoh masuk ke RS Medika.
Mereka mengarah ke ruang operasi di mana Rangga tengah ditangani oleh Dokter. Sesampainya Rangga di IGD diantar oleh supir bu Riana Richardson, dokter langsung menyarankan untuk segera operasi.
Dan di sinilah Ayu berada, masih dalam dekapan calon mertuanya.
Bu Mirna duduk di dampingi Dessy sementara sopir dan pengawal bu Riana juga ada di sana untuk mencegah sesuatu terjadi seperti di restoran tadi.
“Bu, gimana keadaan Rangga? Apa yang telah terjadi? Sudah berapa lama operasinya?”
Tanya Rania pada ibunya, tapi bu Mirna tidak menjawabnya. Dia hanya diam, pandangan matanya kosong seolah jiwanya sedang berada di tempat lain.
“Operasinya sudah dari dua jam yang lalu, Kak. Dia mengalami benturan keras di kepalanya karena menjadi korban tabrak lari. Dia kehilangan banyak darah,”
Jelas Dessy yang duduk di samping Mirna.
“Kalian bertiga pergi bersama?” tanya Rania penuh selidik.
“Kami bertiga tidak sengaja bertemu di restoran, juga kebetulan bertemu dengan Ayu,”
Jawab Dessy sambil menunduk
Rania dan pak Robby langsung menoleh ke arah lain, dan menemukan Ayu yang duduk diam dalam pelukan bu Riana.
Pak Robby langsung mendekati mantan menantu kesayangannya.
Dia berlutut di depan Ayu yang juga duduk terdiam dengan tatapan kosong, terpaku pada sesuatu yang berada digenggaman tangannya.
Kedua tangan pak Robby merangkum wajah mantan menantunya yang terlihat kusut, pipi dan lehernya memerah, sudut bibirnya pecah, bekas cakaran terlihat di leher juga pipinya, rambutnya kusut tidak beraturan dan juga bercak darah di rok serta kedua tangannya.
“Apa yang terjadi denganmu, Nak? Siapa yang melakukan ini kepadamu?” tanya pak Robby lembut.
Hatinya berkedut miris melihat keadaan Ayu, anak perempuan dari sahabatnya yang telah ia anggap layaknya putrinya sendiri. Ayu hanya diam, tak mengindahkan pertanyaan mantan mertuanya itu.
Bu Riana-lah yang menjawab pertanyaan itu.
“Wanita barbar itulah pelakunya. Wanita yang penuh dengki dan dendam pada calon menantuku.”
Dia enggan menunjukkan tangannya kepada bu Mirna. Hanya memberikan kode melalui wajahnya, bahwa Mirna-lah pelakunya.
Pak Robby dan Rania terkejut, wajah mereka memucat dan berpandangan sebentar.
“Maafkan keluargaku, Nyonya Richardson,”
Ucap pak Robby sambil membungkukkan badan. Wajahnya memerah menahan malu juga amarah.
Rania duduk di samping Ayu.
“Kenapa lukamu tidak di obati? Ayo, kuantar ke petugas medis,” bujuknya.
Ayu tetap bergeming, rasa sakit yang menderanya lahir dan batin membuatnya lelah, tidak ingin berkata ataupun berbuat apa-apa.
Saat ini ia hanya ingin diam, sambil menunggu kabar Rangga.
“Dia tidak ingin beranjak ke mana-mana. Saya sudah membujuknya, tapi dia bersikeras ingin menunggu operasi adik kamu,” jelas bu Riana.
“Maafkan ibuku, Ayu. Inilah yang ditakutkan Rangga jika ia bersikeras menahanmu di sisinya. Ia tidak ingin kamu terluka lagi,”
Ucap mantan kakak iparnya itu.
Air mata menetes di mata Rania, juga Ayu. Mereka tahu, bahwa banyak yang pria itu korbankan demi melindungi Ayu.
Pak Robby berdiri di hadapan bu Mirna dengan kedua tangannya berada di pinggang.
“Apalagi yang kamu lakukan kini, Mirna? Apakah kamu tidak puas juga melihat anakmu menderita karena kelakuanmu? Membuatnya tersiksa karena dendammu terhadap wanita yang dicintainya? Dan kini ia meregang nyawa di sana! Bisakah kamu memberikan sedikit kebahagiaan untuknya jika ia berhasil melewati ini?!”
Bentak pak Robby pada wanita itu.
Bu Mirna mendongakkan kepalanya melihat ke arah pak Robby. Raut wajahnya datar tak terbaca.
🍀🍀🍀
Belum sempat dia menyanggah pertanyaan mantan suaminya, seorang wanita cantik mendekati pak Robby sambil menggandeng tangan Della.
“Mas Robby,” panggil wanita itu sambil menggandeng Della.
Pak Robby pun menoleh, segera mendekatinya dan mengobrol sejenak sambil mengambil alih Della.
“Terima kasih, Mia,” ucap pak Robby.
“Sama-sama, Mas. Kalau ada apa-apa hubungi aja aku,”
Kata Mia sambil tersenyum pada pak Robby juga Rania.
Mirna mengamati gerak gerik juga interaksi kedua orang itu dengan hati penuh amarah, belum lagi wanita itu tersenyum manis pada mantan suaminya yang juga membalasnya dengan manis.
“Jadi kamu menceraikan aku karena wanita itu? Kamu selingkuh di belakangku?”
Pekik Mirna histeris. Dia berdiri di hadapan pak Robby dengan wajah menantang.
“Jaga mulutmu, Mirna! Di sini ada anak dan cucumu, juga orang lain yang tak pantas mendengar aib rumah tangga kita!”
Desis Robby tajam.
Rania dan Ayu menarik Della ke arah mereka.
Rania mengeluarkan headset dan memasang video kartun kesukaan Della dengan nada paling keras di ponselnya.
“Dengar Bunda, ini bukan hal yang baik didengar oleh anak kecil. Kamu lihat video ini saja. Jangan berusaha mendengar pertengkaran Kakek dan Nenek,” ucapnya tegas.
Della yang tidak tahu apa-apa hanya mengangguk menuruti perkataan itu.
Sebenarnya wanita yang bernama Mia tadi adalah karyawan Rania, yang dimintai tolong hari ini untuk menjemput Della pulang sekolah, dan kebetulan wanita itu merupakan adik kelas pak Robby dulu, yang juga mengenalinya.
Bu Mirna tidak peduli dengan apa yang disampaikan suaminya, karena saat ini hatinya kesal, dan sakit hati melihat apa yang barusan terjadi antara mantan suaminya dan wanita itu.
“Ohh, jadi kamu mengakui bahwa itu aib kamu, hah?!”
Balas bu Mirna masih dengan suaranya yang meninggi.
“Aku tidak pernah selingkuh, Mirna! Aku tidak seperti kamu!”
Balas pak Robby tajam.
“Kamu balik menuduhku? Kapan aku sempat bermain di belakangmu jika aku terus berada di restoran dan di rumah mengurusi kalian?”
“Tiga puluh tahun, Mirna. Selama itu kamu menyelingkuhi aku, menomorduakan perasaanku. Kamu menyimpan nama lelaki lain di hati kamu, sedangkan aku yang jelas-jelas suami sahmu tidak pernah kamu beri hati. Pernahkah kamu memikirkan aku? Menerima aku sebagai suami tanpa keterpaksaan? Lelaki mana yang tahan selama tiga puluh tahun diduakan dengan pria lain yang telah mati?!” sentak pak Robby.
Raut wajah bu Mirna pucat. Tersentak dengan pernyataan mantan suaminya itu.
“Mungkin bagimu tidak mengapa menyimpan perasaan cinta untuk Hendri, walaupun ia sudah tiada. Aku yang hidup serumah denganmu, tidur seranjang denganmu, yang mencintaimu tulus sejak dulu, pernahkah kamu memikirkan perasaanku? Kamu bisa bayangkan bagaimana perasaanku yang selama tiga puluh tahun ini, hidup tanpa dianggap oleh istrinya sendiri? Aku tidak pernah tahu bagaimana perasaanmu kepadaku. Aku lelah, Mirna. Itulah mengapa aku menceraikanmu.”
Pak Robby terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Perasaan sedih dan kecewa yang dipendamnya selama berpuluh tahun kinid ia ungkapkan semua.
“Aku ingin di umurku yang makin menua, aku merasakan perhatian dari wanita yang mencintaiku tulus. Yang mau menempatkan aku sebagai satu-satunya pria yang dicintainya, saling menjaga dan menyayangi dengan tulus tanpa keterpaksaan. Hanya itu yang belum kucapai dalam hidupku.”
Pak Robby menghapus air mata yang sempat jatuh dari pelupuk matanya.
Dia masih ingin tegak berdiri dan menyampaikan semua kebenaran, agar wanita keras kepala di hadapannya itu tersadar akan kesalahannya.
“Aku mencintaimu, Mas. Aku juga menyayangi anak-anak kita,”
Ucap bu Mirna memelas
“Aku dan anak-anakmu tidak lagi percaya pada perkataanmu, Mirna. Jika kamu benar-benar mencintai dan peduli pada kami. Akankah kamu terus digelayuti dengan obsesimu pada Hendri dan juga sakit hatimu pada Yulia?” tanya pak Robby telak.
BU Mirna tersentak pada kenyataan yang menohok hatinya.
“Obsesimu pada Hendri, sakit hatimu pada Yulia, melahirkan dendam mendarah daging pada Ayu. Dan itu mengalahkan rasa cinta kamu kepada kami, keluargamu. Jika kamu betul-betul mencintai dan peduli pada kami, pasti kamu mengizinkan Rangga untuk hidup bersama dengan wanita yang dicintainya. Tapi apa kenyataannya? Kamu menggerogoti jiwa anakmu secara perlahan.”
“Tahukah kamu bahwa dia kesakitan mengetahui kenyataan mengenai ibunya? Ibu yang dihormati dan disayanginya. Dia juga kesakitan karena harus berpisah dari orang yang dicintainya. Dan itu bukan salah Ayu. Kamulah penyebab anakmu menderita selama ini. Kamulah yang membuat aku menyerah pada pernikahan kita, dan kamu juga yang membuat Rania dan Della terpisah dengan cara seperti ini!”
Tubuh bu Mirna melemas.
Dia jatuh terduduk di bangku ruang tunggu, air matanya jatuh terurai.
Tidak dapat menyangkal ataupun mengelak dari perkataan mantan suaminya itu, karena memang itu kenyataannya.
Hatinya dipenuhi obsesi cinta semu pada Henry, sakit hati dan dendam pada Yulia, juga anaknya.
Melupakan kenyataan bahwa ia memiliki pria sempurna di sampingnya yang mencintai tanpa cela, anak-anak cantik dan tampan yang menghormati dan menyayanginya.
Dan selama tiga puluh tahun, dia melewatkan itu semua. Sungguh menyedihkan.
Lorong ruang tunggu itu hening, hanya terdengar isakan tangis bu Mirna.
🍀🍀🍀
Ayu yang mendengar pertengkaran kedua mantan mertuanya juga hanya diam.
Ia menatap selembar foto yang berlumuran darah, foto yang sempat Rangga berikan sebelum ia pingsan.
Di selembar foto tersebut ada wajah pria yang begitu dikenalnya, yang sosoknya begitu ia rindukan tapi kini telah tiada.
Ya, yang berada digenggamannya adalah foto keluarga ayahnya.
Di sana ayahnya tampak berusia remaja. Di sebelahnya ada anak laki-laki yang memiliki wajah mirip ayahnya tapi dengan ukuran tubuh lebih kecil.
Mereka berdua diapit oleh kedua orang tua mereka, kakek dan nenek Ayu.
Air mata Ayu menetes kembali, melihat ke balik lembaran foto tersebut.
Di sana ada sebaris nama, lengkap beserta alamat juga nomor kontaknya.
‘Dia telah menemukannya. Menemukan keluarga ayahku. Inilah hadiah yang dia maksudkan itu,’ batin Ayu meringis sakit.
Tentu saja ia senang telah menemukan bagian keluarganya yang hilang, tapi hatinya kini digelayuti kesedihan, juga kekhawatiran mengingat Rangga tengah berjuang di atas meja operasi.
Tung ..
Lampu kamar operasi kini berubah hijau menandakan bahwa operasi telah selesai dilaksanakan. Semuanya berkumpul, menunggu pintu ruang operasi terbuka.
Seorang dokter paruh baya diikuti dengan dokter muda di belakangnya keluar dari ruang operasi. Mereka membuka masker yang menutupi separuh wajah mereka.
Ayu mendekati Kyle, yang menjadi salah satu dokter yang membedah Rangga.
Kyle dapat melihat wajah penuh harap dan tanya di mata Ayu.
Dia menghela napasnya berat, karena kali ini jawaban dari tanya itu bukanlah hal yang menyenangkan.
Kyle menggeleng pelan ke arah Ayu, yang langsung disambut dengan wajah pucat juga matanya yang membelalak disertai deraian air mata.
“Kami telah berusaha dengan sebaik mungkin. Maafkan keterbatasan kami yang tidak mampu menolong pasien. Ada yang lebih berkehendak atas dirinya,”
Ucap dokter paruh baya yang diketahui sebagai kepala penanggung jawab operasi itu.
Seketika tangisan dan pekikan histeris terdengar di lorong ruang itu, tapi Ayu langsung melesat masuk ke dalam ruang operasi, memastikan dengan mata kepalanya sendiri keadaan Mas-nya.
Di sana para suster tengah membereskan alat yang selesai digunakan.
Sosok yang dicintai Ayu itu terbaring di meja operasi dengan wajah pucat.
Ayu menciumi seluruh wajah Rangga, keningnya, kedua matanya, pipinya dan juga bibirnya yang masih terasa hangat di bibirnya.
“Mas, ini Ayu! Mas, bangun!”
Ayu terus mengguncangkan tubuh Rangga dengan air mata yang tak bisa berhenti mengalir.
“Jangan tinggalkan Ayu seperti ini! Jangan terus berkorban untuk Ayu! Bangun, Mas!” ucap Ayu.
Ia menggenggam tangan Rangga yang mulai mendingin.
“Jangan seperti ini, Mas,” isaknya lemah.
Air matanya berderai kencang menyadari kenyataan bahwa sosok itu tidak akan menjawab panggilannya lagi, sekarang dan seterusnya.
Tubuhnya melemas.
Ia berlutut di samping jasad Rangga masih dengan menggenggam tangannya dan menciuminya.
“Kamu jahat, Mas. Kamu memilih berjuang sendirian, tanpa mengajakku, memberitahuku tentang penderitaanmu. Kamu jahat, Mas Angga. Bangunlah, masnya Ayu, ayahnya Della.”
Aarghhh ....
Ayu tak sanggup lagi menahan kesedihannya.
Ia berteriak meneriakkan kesakitan yang hatinya alami sekarang.
Kesedihan dan kehilangan itu mencabik-cabik hatinya, meruntuhkan benteng kuat yang ia bangun selama ini.
“Aku rela jika aku tidak bisa memilikimu, bersama denganmu. Asalkan kamu baik-baik saja dan berada di bawah langit yang sama denganku” tangis Ayu.
‘Bukan seperti ini.’
Bersambung
No comments:
Post a Comment