Cinta Ayudia 37
A story by Wati Darma
Part 37
“Kamu nggak dijemput Alden?”
tanya Jessi kepada Ayu yang tengah membereskan isi tasnya, bersiap untuk pergi.
“Enggak. Tadi pagi Al bilang mau ketemu sama Mbak Hana. Nanti dia nyusul kalau urusannya udah selesai. Bentar lagi Mami Riana jemput aku sama supirnya, kok. Kita berangkat duluan ke butik,” jawab Ayu.
“Hana? Reihana mantan tunangan Alden?”
“Iya.”
“Kok kamu ijinkan dia ketemu sama mantannya sih? Kamu nggak takut Al balikan lagi sama cewek itu? CLBK mungkin,”
Tanya Jessi skeptis.
Ayu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Jessi yang penuh kekhawatiran.
“Alden tidak akan seperti itu. Dia adalah orang yang menghormati komitmen dan bertanggungjawab. Dan aku yakin dia tidak akan semudah itu berpaling, kecuali ....”
“Kecuali apa?” selidik Jessi
“Sudahlah, nggak usah dibahas lagi. Mereka hanya menyelesaikan urusan mereka yang belum selesai. Aku yakin, dia nggak akan macam-macam di belakangku. Aku mempercayainya sebagaimana dia mempercayaiku. Dia saja mengijinkan aku untuk bertemu Rangga siang ini,” jelas Ayu
“Kamu akan bertemu Rangga? Ada apa?”
“Iya, kemarin dia mengirimkan pesan padaku. Dia bilang ada yang ingin disampaikan sebelum berangkat kembali ke Sangatta Kaltim. Lagipula, aku pun ingin bertemu dengannya, membicarakan mengenai Della.”
“Oooh ... berarti dia nggak akan datang ke nikahan kamu, dong?”
Gumam Jessi.
“Hmm, sepertinya tidak.”
Ponsel Ayu berdenting, tanda pesan masuk ke dalam ponselnya. Ia membaca pesan tersebut, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas dengan terburu-buru.
“Mami udah nyampe. Aku pergi ya Jess,” pamitnya.
“Iya, hati-hati. Salam sama Bu Riana. Maaf hari ini aku nggak bisa nemenin kalian. Chika kalau lagi sakit gini, rewel banget.”
“Iya, nggak apa-apa. Santai aja, ntar ku sampein sama Mami ya.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Ayu melangkah keluar rumah dan berjalan menuju mobil Mercy hitam milik keluarga Richardson, yang sudah terparkir di depan rumahnya.
Kaca mobil penumpang diturunkan dan ia dapat melihat ibunya Alden tersenyum kepadanya. Ayu pun membalas senyuman itu dengan senyumannya yang paling manis, walaupun sebenarnya hari ini ia merasa gelisah tak menentu.
Ia sendiri pun tidak tahu penyebabnya apa.
Apakah ini ada hubungannya dengan Alden?
Hatinya tidak ingin menduga-duga.
Takut dengan kekhawatirannya yang mungkin akan terjadi.
Ia hanya pasrah dan berdoa agar tidak ada sesuatu yang buruk menjelang hari pernikahannya.
๐๐๐
“Tunggu sebentar ya Tuan, saya sudah telpon Bu Hana. Beliau sedang menuju ke sini bersama putranya. Sekitar lima belas menit lagi sampai,”
Ucap seorang wanita muda yang merupakan salah satu karyawan galeri seni ini.
“Baiklah, saya akan menunggu di sini saja.”
Wanita itu pun menurunkan secangkir kopi dan setoples kue dari nampan yang dipegangnya, lalu meninggalkan Alden sendirian di lobby utama galeri.
Sebenarnya Alden tidak ingin lagi bertemu dengan wanita yang pernah menghancurkan hatinya itu, tapi setelah pertemuannya dengan Kyle di salah satu cafรฉ— selepas pertemuannya dengan klien— hatinya jadi tidak menentu.
Apalagi kekasihnya, Ayu, juga mendesaknya untuk menemui Reihana dan menyelesaikan masa lalu yang belum selesai.
Saat itu Alden berpapasan dengan Kyle, ketika ia akan meninggalkan cafรฉ, tapi tangan pria itu mencekal dan menahannya.
“Apa yang kamu lakukan?”
Geram Alden sambil menepis tangan Kyle
“Apa kau tidak ingin tahu bagaimana keadaan Rei selama delapan tahun ini? Apa yang menyebabkan dia pergi, dan kenapa dia sekarang seperti itu?”
“Itu bukan urusanku. Saat dia memutuskan pergi saat menjelang pernikahan kami, maka saat itu juga dia pergi selamanya dari kehidupanku. Lagipula, bukannya sudah ada kamu bersamanya? Untuk apa dia mencariku lagi? Maaf saja, aku tidak tertarik pada wanita murahan seperti itu.”
“Jaga bicaramu! Kamu tidak tahu apa-apa, makanya kau bisa berkata kasar seperti itu padanya.”
“Apa yang aku tidak tahu, huh? Kenyataan kalau kalian pergi bersama ke luar negeri? Aku tahu sedari dulu kau menyukai Rei, tapi tidak kusangka kamu menusukku dari belakang dan membawanya serta bersamamu.”
Kyle tersentak kaget mengetahui Alden tahu kepergiannya bersama Reihana, delapan tahun lalu ke Jerman.
“Itu tidak seperti yang kamu pikirkan, Al. Dia mengorbankan semuanya demi kamu dan anakmu!”
“Anakku? Apa kamu yakin itu anakku bukan anakmu?” sindir Alden.
“Kurang ajar!”
Kyle maju merangsek dan menarik kemeja Alden kuat berusaha menghajarnya, tapi dihalangi oleh karyawan dan keamanan dari pihak cafรฉ tersebut.
Alden berdecih mengingat kembali perkataan Kyle di kafe waktu itu.
Tidak mungkin Reihana hamil, jika rahimnya saja tidak mampu untuk mengandung lagi.
Mengingat hal itu wajah Alden kembali murung.
Dulu, ia dan Reihana pernah sangat berbahagia saat kekasihnya itu diketahui hamil anaknya. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Saat mereka tengah berbahagia dan menyiapkan pernikahan, musibah pun terjadi. Bayinya tidak pernah terlahir ke dunia.
Malam setelah acara makan malam kedua keluarga yang tengah membicarakan persiapan pernikahan putra-putri mereka, kecelakaan maut menimpa.
Alden menyesal, malam itu menolak perintah ayahnya untuk membawa supir keluarga mereka mengantar Reihana pulang. Ia bersikeras mengantarnya sendiri, padahal waktu itu ia juga kelelahan.
Euforia father soon to be, membuatnya protektif pada calon istri juga janinnya. Tak disangka, bahwa ia-lah yang menjadi penyebab kecelakaan maut itu.
Tak perlu diceritakan bagaimana kronologisnya, yang pasti saat kantuk dan lelah mendera membuatnya tak fokus melihat ke depan dan sulit mengendalikan laju kendaraan, saat mobil dari arah berlawanan melaju kencang ke arahnya.
Yang ia lihat saat itu adalah, Reihana yang meringis kesakitan sambil memegangi perutnya karena mengalami benturan keras dari sisi badan mobil.
Hanya dalam semalam semua kebahagiaannya sirna. Janinnya tidak dapat bertahan, pernikahannya juga ditunda karena kondisi Reihana yang depresi pasca kehilangan bayinya, ditambah kabar bahwa rahimnya juga mengalami kerusakan akibat benturan yang dialami.
Alden tidak pernah sama sekali berniat meninggalkan wanita yang dicintainya itu, walaupun mereka akan sulit mempunyai keturunan.
Rasa cintanya sudah tumbuh sejak kecil mereka tumbuh bersama. Baginya, hanya Reihana saja di sisinya sudah cukup.
Dokter pun mengatakan mereka masih bisa memiliki keturunan, walaupun harus dengan ekstra perawatan.
Namun, ia menelan kecewa saat mengetahui wanitanya pergi saat mereka merencanakan kembali pernikahan, tepat dua tahun setelah kecelakaan itu.
Bukannya Alden tidak mencari Reihana, tapi ia terlanjur sakit hati saat mengetahui bahwa kekasihnya itu pergi ke luar negeri bersama sahabatnya, yang ia ketahui juga mencintai Reihana. Walaupun waktu keberangkatan mereka berbeda, tapi ia yakin bahwa Reihana memang pergi bersama Kyle.
Sejak itu ia menghentikan pencarian, tidak berminat untuk mengetahui alasan dibalik kepergiannya.
Ia kecewa.
๐๐๐
Saat ini, ia berada di sini mencoba menekan egonya, mengikuti saran Ayu untuk berdamai dengan masa lalu, bukan untuk kembali dengan Reihana.
Karena, kali ini hatinya telah mantap untuk memilih Ayu sebagai pelabuhan terakhirnya.
Ia akui, bahwa sering dilanda ketakutan berlebih bahwa Ayu akan meninggalkannya juga seperti Reihana. Itu yang membuatnya terlalu berlebihan cemburu pada calon istrinya itu.
Bayang-bayang masa lalu yang masih menghantuinya, membuat kekasihnya itu tak nyaman karena merasa disamakan dengan Reihana. walaupun Alden tahu mereka memang berbeda, tapi tetap saja ego lebih besar daripada cintanya.
Pandangan Alden menyusuri lukisan-lukisan yang terpajang di galeri seni milik Reihana, yang juga terdapat beberapa gerabah, keramik buatan tangan.
Ia tahu Reihana sangat senang melukis, bakatnya itu sudah terlihat sejak sekolah taman kanak-kanak. Hasil goresan tangannya tidak tampak sebagai goresan anak-anak biasa.
Ia tidak menyangka, impiannya untuk mempunyai galeri seni tempat memamerkan karya-karyanya kini sudah terkabul.
Langkah Alden terhenti pada salah satu spot menonjol diantara lukisan lainnya, hanya sebuah potret hitam putih rapih yang menampilkan wajah seorang bayi tengah tersenyum.
Hatinya berdebar kencang memandangi lukisan itu.
Ia mengarahkan kepalanya mendekat, dan membaca note yang tertera di pojok lukisan. Wajahnya memucat.
Richardson Junior ?!
“Tidak mungkin. Ini bohong,”
Gumam Alden, menggelengkan kepala berusaha menyangkal apa yang tengah berkecamuk di pikirannya.
“Itu kenyataannya, Kak”
Ucap seorang wanita dari balik punggung Alden.
Reihana.
“Ben, ke studio sama Bang Yana dan Kak Odi ya? Mommy perlu bicara berdua dengan Om Alden,” titah Reihana pada Ben.
“Baik, Mommy. Hai, Om Alden”
Ucap Ben sambil tersenyum pada Alden.
Pria itu tampak terpana melihat senyuman Ben yang membuat wajahnya tampak sangat tampan, disertai lesung pipinya.
“Apa Ayu melihat lukisan ini? Apa kamu kembali hanya untuk menghalangi pernikahanku dengan Ayu? Mengatakan yang tidak-tidak tentang aku?” tuduh Alden.
“Dia tidak sengaja menemukan lukisan ini. Dan demi Tuhan, apa pun yang ada di pikiranmu itu semua tidak benar,” elak Reihana.
“Ckck ... bagaimana aku tidak curiga, kamu kembali di saat aku sudah menemukan kebahagiaanku, merasakan kembali cinta dalam hidupku. Dan yang pasti, dia jauh lebih baik daripada kamu.”
Reihana menggenggam erat pegangan kursi rodanya, menahan perasaan yang ingin meledak dalam dirinya.
Dia tahu, dirinya tidak akan pernah siap berhadapan empat mata dengan Alden. Pria yang dicintainya sampai saat ini, pria yang menjadi ayah dari anak-anaknya.
Dia menyadari kesalahannya delapan tahun lalu tidak bisa dimaafkan, karena keegoisannya akhirnya dia kehilangan Alden juga anak mereka.
“Pergilah, Kak. Percuma kita bicara, jika hatimu penuh dengan prasangka akan diriku. Kamu tidak akan mempercayai apa yang akan kusampaikan padamu. Aku mengaku salah, semuanya kesalahanku dan egoku. Maafkan aku,” ucapnya.
Kini mata indahnya berlinang air mata.
“Aku harap, setelah ini tidak ada lagi dendam dan sakit hati diantara kita. Aku sudah mengakui kesalahanku.”
Wanita itu menghela napasnya sekejap,
“Selamat atas pernikahanmu dengan Ayu. Dia wanita yang baik. Aku lega Kakak telah menemukan kebahagiaan yang Kakak cari,” tambah Reihana.
Wanita itu menekan tombol kemudi yang berada di kursi roda, berlalu meninggalkan Alden sendirian menuju ruangannya.
Reihana menganggap sia-sia jika bicara dengan Alden dalam keadaan emosi seperti ini. Sejak dulu, dia memang seperti itu, memendam semua masalah dan rasa sedihnya sendiri.
Alden mengacak-acak rambutnya kasar. Harusnya ia senang bahwa Reihana sudah mennggakui kesalahannya, meminta maaf padanya.
Namun, entah kenapa hatinya tidak rela hanya mendengar itu saja darinya.
Bagaimanapun, hatinya merasa pilu saat melihat wanita yang pernah bertahun-tahun mendampinginya, kini duduk lemah di kursi roda dengan mata berurai.
“Aaarghh!” geram Alden kesal.
“Sudah kuduga dia terlalu lemah jika bertemu dengan kamu.”
Suara seseorang muncul dari balik tubuh Alden.
Ia memutar tubuh, dan melihat pria yang pernah menjadi sahabatnya kini berdiri di depannya sambil membawa sebuah map berisikan kertas-kertas.
“Mau apa kau ke sini? Mau membela kekasihmu?” tanya Alden sinis.
Kyle memejamkan mata, menarik napasnya dalam dan mengembuskannya pelan.
Dia berpikir bahwa, saat ini bukanlah waktu yang tepat menanggapi semua kecurigaan berlebih Alden terhadapnya.
Ada hal yang lebih penting dari itu.
Dia membuka mapnya dan menyodorkannya pada Alden.
“Bayi di lukisan itu adalah nyata, dan ini data-datanya,” ucap Kyle.
“Untuk apa aku harus mengetahuinya?” tepis Alden.
“Kamu tidak akan rugi membacanya. Hanya lima menit, maka pertanyaanmu mengenai delapan tahun lalu akan terjawab tanpa mendengarnya dari Rei.”
Alden terdiam.
Tampak ragu menerima kertas-kertas itu, tapi ia akhirnya menerimanya dan mulai membaca satu persatu lembaran itu.
Kertas berlogo rumah sakit internasional yang berada di Jerman itu, menampilkan riwayat medis seseorang yang tidak bertahan selama enam jam saja.
Alden dapat merasakan sakit dan sedih di hati, setelah selesai membaca semuanya, jantungnya serasa berhenti berdetak.
“Di-dia anakku?”
Tanya Alden pelan, pelupuk matanya memanas karena kemungkinan terbesar adalah jawabannya iya.
Kyle tidak menjawabnya, karena dia tahu Alden sudah mengetahui jawabannya.
Dari waktu kepergian Reihana sampai melahirkan, baik Kyle dan Alden dapat menebak bahwa Reihana mengandung anak Alden saat wanita itu pergi dari sisinya.
“Menurutmu, apa yang akan dilakukan seorang Reihana jika mengetahui dirinya kembali hamil?” tanya Kyle.
Tentu saja dia akan bahagia, bisik hati Alden.
“Dan apa responnya jika dokter kandungannya waktu itu menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya, karena janinnya dapat membahayakan ibunya? Kamu tahu ‘kan bagaimana kondisi rahimnya setelah keguguran anaknya yang pertama kali?”
“Haahh?”
Alden tak dapat menjawab pertanyaan itu, begitupun dengan pertanyaan Kyle selanjutnya yang makin membuka matanya akan apa yang dilakukan Reihana delapan tahun lalu.
“Dan siapa yang akan kamu pilih antara bayimu dan Reihana?” tanya Kyle
“A-apa maksudnya itu?”
“Reihana terlalu mengenal baik dirimu Al. Ia sangat tahu kamu mencintai dirinya lebih dari apa pun. Ia tahu kamu akan memilih tidak punya anak sama sekali daripada membahayakan dirinya, tapi ia juga tahu jauh dalam lubuk hatimu, seorang bayi yang mirip denganmu atau dirinya adalah hadiah terbesar dan terindah yang kamu ingin dapatkan darinya. Maka, ia pun memilih jalan itu,” jelas Kyle.
Alden hanya terdiam mendengar semua penjelasan sahabatnya.
“Ia memilih pergi meninggalkanmu, demi kamu juga bayimu. Ia memilih untuk membiarkan janin itu bertumbuh di rahimnya, walaupun ia tahu nyawa adalah taruhannya. Ia pergi jauh membawa janinnya, merawatnya walaupun kondisinya sendiri tidak bisa dibilang baik. Semua itu ia lakukan demi kamu, Alden” tambahnya.
“Memang benar aku pergi ke Jerman di hari yang bersamaan dengannya, tapi aku benar-benar tidak tahu bahwa saat itu ia pergi ke Jerman juga. Kami bertemu beberapa bulan setelah kedatangan kami di Jerman, di RS tempat aku menjadi dokter residen. Saat itu, ia dia datang dengan ambulan dengan keadaan siap melahirkan.”
“Di sana aku melihatnya, dengan napas yang melemah berusaha bertahan. Operasinya lancar, tapi bayi itu tidak pernah bisa bertahan juga kondisi Reihana yang makin melemah. Ia koma setelah berhasil melahirkan anaknya. Ia sempat memeluk bayinya sebentar dalam keadaan setengah sadar, memeluk dan mengecupnya sampai akhirnya ia menutup mata, dan terbangun setelah bertahun-tahun kemudian.”
“Dan kau bisa bayangkan apa yang terjadi padanya setelah bangun dari tidur panjang, tapi anak yang dikiranya telah ia bawa dengan selamat ke dunia ternyata tidak ada? Dia depresi hebat, sempat mendapatkan perawatan dari psikiater karena depresinya itu. Ia tertekan karena kehilangan bayinya, kehilangan rahimnya, juga kehilanganmu, karena ia menganggap kamu tidak akan memaafkannya karena telah menghilangkan bayi kalian.”
Alden benar-benar berdiri kaku di tempatnya, mendengar semua penjelasan Kyle.
“Anakku pernah ada dunia ini?” gumamnya.
Air mata yang tertahan itu kini mengalir deras.
Ia memegang foto bayinya yang sempat diabadikan Kyle, juga foto saat Reihana memeluk bayinya dalam keadaan tidak sadar.
Wajah mungil itu benar-benar mirip dirinya, wajah yang sama seperti pada album keluarga yang sering maminya perlihatkan.
Tubuhnya meluruh ke lantai, hatinya sakit, hatinya kecewa, dan sedih teramat sangat karena baru mengetahui keberadaan anaknya, saat dia sudah tidak ada di dunia.
Anak yang sangat ia inginkan, yang memiliki wajah sama dengannya.
Richardson Junior-nya.
๐๐๐
Sementara itu di tempat lain, Ayu tengah membasuh wajahnya dengan air keran di sebuah toilet restoran.
Semakin lama rasa gelisah di hatinya semakin menjadi, tapi ia belum menemukan penyebab keresahan hatinya.
Alden belum datang juga, sedangkan Rangga masih belum menemuinya.
Mereka telah berjanji untuk bertemu di restoran ini, sebelum pergi kembali ke butik.
Tadi, ia dan Mami Riana telah melihat beberapa gaun yang disodorkan oleh perancangnya. Ia juga telah mencobanya.
Namun, karena hatinya pun sedang tidak menentu, jadi ia memutuskan untuk memilihnya nanti saja bersama Alden, sambil menemaninya fitting Tuksedo miliknya.
Dan di sinilah ia dan calon mertuanya menunggu kedatangan Alden, juga Rangga.
Saat Ayu keluar dari toilet, tubuhnya terhempas ke dinding karena seseorang mendorongnya kuat.
Plakk ....
Belum hilang kekagetannya, kini sebuah tamparan mengenai pipi.
Ia meringis merasakan panas dan perih di pipi, lalu tarikan di rambut panjangnya membuat wajahnya mendongak, melihat dengan jelas siapa pelaku itu.
Sambil meringis kesakitan, mata Ayu membelalak melihat wanita yang sedang dihindarinya sedang tersenyum melihatnya.
Mantan ibu mertuanya.
“Apa kabar, anak sial?”
Ucapnya tanpa dosa sambil tersenyum sinis.
Bersambung
No comments:
Post a Comment