Friday, August 14, 2020

Cinta Ayudia 36

Cinta Ayudia 36
A story by Wati Darma
Part 36

Sudah seminggu sejak kejadian di apartemen Rania waktu itu, Ayu memilih melanjutkan kembali hidupnya daripada berkutat terus dengan masa lalu. 
Lagipula ia pun sibuk menyiapkan persiapan pernikahannya. 
Ia dan Jessi sudah menyiapkan daftar tamu undangan untuk langkah awal. Sementara desain undangan sudah ia percayakan pada Mami Riana dan Alden.
Walaupun kini kesibukannya bertambah, ada yang masih mengganjal di hatinya mengenai satu hal, Aradella. Entah kenapa putri kecilnya kini sulit dihubungi.
Ia menghubungi ke ponsel milik putrinya, tapi sering tidak aktif. Pernah terdengar nada sambung, tapi Della tidak mengangkat panggilannya. 
Untungnya, pesan yang ia kirimkan selalu dibalas oleh putrinya, tapi itu masih belum mampu menghilangkan kerinduan di hati Ayu. Ia merindukan suaranya, celotehan pintar dari bibirnya, pelukannya juga tingkah usilnya.
Bunda kangen kamu, Nak.
Selama tujuh tahun lebih kehadiran Della di dunia ini, tak pernah dirinya merasa serindu ini pada gadis kecilnya itu. 
Hatinya gelisah memikirkan kemungkinan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada Della. Pikiran Ayu menjadi tidak tenang. 
Ingin ia menghubungi Rangga atau Rania, tapi hatinya merasa enggan. Ia teringat kembali perkataan Yogi juga Alden, agar menjauhi keluarga Aditya untuk sementara.
Selain itu, Ayu merasa harus berusaha lebih keras untuk menghilangkan pengaruh Rangga pada dirinya. Ia akui dirinya masih peduli pada Rangga. 
Hatinya ingin tahu kabar pria itu saat ini. Apakah kondisinya sudah lebih baik? 
Apakah ia masih bergelung dengan depresinya? 
Apakah ....
Ayu berusaha menekan semua perasaan dan kekhawatirannya, karena kini ia punya hati pria lain yang perlu dijaga. 
Hati seorang pria yang telah memberinya kepercayaan, untuk menemani calon suaminya itu seumur hidup. Pria yang mampu menjadikan dirinya ratu di kehidupannya.
Ayu tersentak kaget saat seseorang mengganggu lamunannya.
“Heii … bengong aja,” 
Tegur Sarah sambil duduk kembali di kursinya.
Ayu hanya tersenyum terkekeh. 
“Kan nggak ada tulisan 'dilarang melamun'. Jadi sah-sah aja, ‘kan kalau melamun.”
“Ngelamun jorok yaaa?” canda Sarah.
“Aishhh ... apaan sih! Nggak ada yaa,” elak Ayu.
“Beneran juga nggak apa-apa kok, hihihi ... bentar lagi kan jadi manten juga,” ledek Sarah.
“Apaan sih, enggak mikirin itu kok.”
“Iya deh ... nggak usah marah-marah calon manten. Nohh, calon mempelai pria nungguin di dalem. Alden nyuruh kamu ke ruangannya.”
“Ngapain?”
“Nggak tau. Cepet masuk sana, mungkin tentang persiapan pernikahan kalian,” 
Ucap Sarah sambil mengangkat bahunya.
🍀🍀🍀
Ayu pun beranjak dari kursi lalu berjalan masuk menuju ruangan Alden. 
Pria itu tengah duduk di kursi kebesarannya, sambil menatap serius laptop di hadapan. Ia mengetuk pintunya pelan, mengisyaratkan bahwa dirinya sudah berada di dalam ruangan tersebut sesuai yang diperintahkan.
Alden mengangkat wajahnya, lalu tersenyum dengan senyuman yang paling tampan pernah Ayu lihat. Senyum yang mampu melelehkan hati wanita yang melihatnya, termasuk Ayu. 
Entah kebaikan apa yang dilakukan orang tuanya dulu, sehingga ia bisa mendapatkan calon suami sesempurna Alden.
“Kemari, Sayang,” 
Perintah Alden, sambil menggerakkan tangan menyuruhnya mendekat.
“Ada apa, Pak? Apakah ada laporanku yang salah?” 
Tanya Ayu cemas.
Ia tampak heran melihat Alden menyuruhnya untuk mendekati meja kerjanya, sedangkan pria itu masih tampak duduk diam memandangi laptop. 
Khawatir ada masalah serius terkait laporan yang dikerjakan tadi, maka ia pun bergegas menuju meja Alden, mendekati kursi kebesarannya. Ia terkejut saat melihat tampilan di laptop calon suaminya itu.
“Putriku ...,” ucapnya lirih.
Walaupun suara yang dihasilkan dari tenggorokannya lemah karena tertahan menahan tangis haru, tapi panggilan itu dapat didengar jelas oleh Alden maupun Della. 
Mereka sedang ber-video call tanpa sepengetahuannya.
Sementara di seberang layar sana tampak Della tersenyum, lalu meneteskan air matanya. 
Kali ini, hati gadis kecil itu merasa sangat gembira mendengar lagi panggilan itu untuk dirinya.
“Bunda ....”
“Hai, putri cantik Bunda, kok nangis? Kamu nggak apa-apa? Kamu sakit, Sayang?” 
Tanya Ayu khawatir.
Ia menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya supaya tidak terjatuh. 
Tidak ingin Della melihat kesedihannya dan mengetahui masalahnya. Sementara, Della menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan bundanya.
“Terus kenapa nangis, Cantik? Hmm ... cerita sama Bunda,” bujuk Ayu.
Alden menarik Ayu untuk duduk di pangkuannya. 
Ayu menurut dan tidak merasa risih sama sekali, karena kali ini pikirannya terlalu bahagia bisa bertatap muka dengan putrinya yang dirindukannya selama beberapa hari ini.
“Della sehat, Bunda. Della nangis karena kangen sama Bunda.”
“Sama, Bunda juga kangen sama Della.”
“Daddy juga kangen banget sama putri kecil Daddy,” 
Sela Alden dari samping tubuh Ayu. Dia memeluk tubuh mungil Ayu dari belakang, ikut berbincang bersama ibu dan anak yang tengah melepas rindu.
“Bunda sering telpon Della tapi nggak diangkat, kalau SMS pasti dibalas. Ponsel Della sering nggak aktif juga. Kenapa?”
“Eh, i-itu Della nggak tau Bunda telpon. Kayaknya ponselnya di silent, jadi Della nggak tau.”
Della tampak gugup menjawab pertanyaan bundanya, dan Ayu tahu gelagat itu, anaknya  tengah berbohong.
Tapi kenapa?
“Apa semua baik-baik saja? Bunda tahu ada yang kamu sembunyikan dari Bunda. Della sakit ataupun bohong, Bunda selalu tahu. Bunda adalah ibu yang merawat dan membesarkan kamu, Nak. Jadi, jangan coba berbohong karena Bunda nggak suka,” ucap Ayu tegas.
Bukannya menjawab pertanyaan Ayu, kini Della tengah menangis di sana. 
Sepertinya ponselnya terjatuh, karena kini layar di laptop Alden menampilkan gambar Della yang berbaring di atas kasurnya, menangis sambil tertelungkup.
Ayu dan Alden berpandangan melihat reaksi Della. 
“Kenapa Della, Al?” tanya Ayu bingung. 
Air mata yang ditahannya sejak tadi, kini mengalir terjatuh ke pipinya.
“Ssst, jangan menangis, Sayang. Kamu harus kuat untuk Della,” 
Ucap Alden, sambil menghapus air mata di wajah calon istrinya. 
“Sepertinya ada sesuatu terjadi yang menyebabkan dia seperti itu. Bicaralah pelan-pelan dengannya, bujuk dia untuk bercerita,” lanjutnya.
Ayu mengambil tisu dan menghapus sisa-sisa air matanya, lalu memanggil kembali putrinya yang masih menangis sedih di sana. 
“Della, Sayang ... kamu kenapa, Cantik? Cerita sama Bunda. Kamu kan tahu Bunda siap mendengarkan semua curhatan kamu.”
Della masih bergeming.
“Della ada masalah sama siapa? Di sekolah, ya? Atau ada sesuatu terjadi sama Ayah?” 
Tanya Ayu lagi.
Della masih juga tak menjawab, hanya terdengar isakannya saja.
“Della mau Bunda jemput, Sayang? Bobok sama Bunda?” tawar Ayu.
Mendengar penawaran Ayu, putri kecilnya langsung bangun dan meraih kembali ponselnya.
“Jangan, Della mau sama Ayah,” tolak Della.
Hati Ayu mendadak nyeri mendengar penolakan putrinya. Baru kali ini ia melihat tatapan putrinya tidak seperti biasanya. 
“Kamu kenapa, Nak? Katanya kangen sama Bunda, tapi kok nggak mau ketemu?” tanyanya lagi.
Della menggelengkan kepalanya. 
“Kalau Della ikut Bunda, nanti Bunda jadi susah,” jawab Della.
“Susah kenapa, Sayang?” 
Tanya Ayu lagi, kali ini hatinya tengah tidak menentu. 
Ada sebersit ketakutan dalam hatinya. Tanpa sadar, ia menggenggam erat tangan Alden yang melingkari pinggangnya.
“Della nggak mau Bunda sakit karena Della, menangis karena Della, dan juga susah karena Della,” lirih Della
“Apa maksudnya itu, Cantik? Siapa yang bilang kamu nyusahin? Kamu anak paling baik dan pintar, nggak pernah nyusahin Bunda.”
“Della ikut Ayah aja, ya, Bun, pergi jauh? Biar nggak nyusahin Bunda lagi,” 
Ucap Della lirih sambil menangis terisak kembali.
Air mata Ayu mengalir kembali. Anaknya ingin meninggalkan dirinya. Tapi kenapa?
“Ke-kenapa, Sayang? Kenapa kamu mau ninggalin Bunda? Kamu nggak sayang, nggak kasian sama Bunda? Kamu nggak mau dateng di pernikahan Bunda?” 
Tanya Ayu beruntun.
Alden mengeratkan genggaman tangannya pada tangan calon istrinya itu. 
Dia dapat merasakan tubuh Ayu yang bergetar menahan tangisan , masih berusaha tidak tampak rapuh di depan putrinya.
“Della sayang Bunda, tapi Della nggak mau Bunda nanti dijahatin terus sama Nenek. Bunda harus bahagia sama Daddy.”
Akhirnya apa yang ditakutkan Ayu kini terjadi. Della sudah tahu mengenai dirinya yang bukan ibu kandungnya.
“Della sayang Bunda,” cicit Della. 
“Della nggak mau Bunda dijahatin terus sama Nenek. Della senang jadi anak Bunda. Bunda terbaik sedunia.” 
Air mata Della mengalir deras, begitupun dengan Ayu yang kini merasakan sesak dadanya.
Sesak menghimpitnya, terasa sakit menusuk hatinya karena gagal merahasiakan semua itu sampai usia Della layak untuk mengetahuinya. Bukan di usia yang masih kecil seperti ini. Sementara Alden memejamkan mata dan menghela pelan napasnya. Dia merasa sangat sedih untuk dua orang di hadapannya.
“Bunda the best.” 
Della mencoba tersenyum sambil memberikan dua jempolnya untuk Ayu, tapi air mata masih mengalir di pipi chubbynya.
“Apa yang Della ketahui? Cerita sama Bunda,” 
ucap Ayu. Ia berusaha menahan tangisannya lagi, dan kembali menanyai putrinya.
Della menunduk mendengar pertanyaan Ayu. 
“Waktu itu Della menguping, Bun. Om Yogi benar, Della cuma nyusahin Bunda. Padahal Bunda bukan ibu kandung Della.”
Tubuh Ayu melemas. 
Alden pun menarik tubuhnya ke dalam pelukan, memberikannya sandaran dan kekuatan yang dibutuhkan calon istrinya itu.
“Kamu harus kuat di depan Della, Sayang. Jangan sampai apa yang dia dengar malam itu ,membuatnya bersedih,” 
Bisik Alden pada Ayu.
Wanita itu pun mengangguk mengerti.
“Della sedih karena Bunda bukan ibu kandung Della?” 
Tanya Ayu hati-hati, sementara itu Della mengangguk sambil menangis dalam diam.
“Walaupun Bunda bukan ibu kandung Della, tapi bukan berarti Bunda tidak sayang Della. Baik ibu kandung atau bukan, kasih sayang Bunda buat Della itu tulus. Bukannya Della bilang Bunda yang terbaik?”
Isakan Della terhenti. Ia terdiam mendengar penuturan Ayu.
“Bunda yang terbaik, bukan?” 
Tanya Ayu lagi, dan langsung dijawab anggukan semangat oleh Della.
“Jadi istilah ibu kandung atau bukan, itu tak ada artinya. Selamanya, Della anak Bunda dan Bunda adalah bundanya Della. Kasih sayang Bunda tidak akan berkurang, bahkan akan selalu bertambah untuk Della,” jelas Ayu.
Della mengusap sisa air matanya dengan punggung tangannya. Hatinya merasa lebih baik.
“Om bilang, Della sumber masalah. Apa artinya itu Bunda? Apa Della yang bikin Nenek jahat sama Bunda? Apa Della yang bikin Ayah dan Bunda pisah? Apa itu yang bikin Bunda Rania tidak mau mengakui Della?” tanya Della polos.
Hati Ayu dan Alden mencelus mendengar pertanyaan Della. Sungguh kata-kata itu tidak pantas dipertanyakan oleh anak umur tujuh tahun.
“Ingatkan aku untuk menyumpal bibir cerewet Yogi dengan cabe, ya, Yang,” 
Ucap Alden sebal pada Ayu.
Ayu menarik napasnya sebentar, berusaha menyusun kata-kata yang mudah dimengerti Della dan meluruskan semua prasangka buruk putrinya itu.
“Della belum waktunya mengerti masalah orang dewasa. Percaya sama Bunda, apa yang dikatakan Om Yogi bukan yang sebenarnya. Masalah Nenek dan Bunda, tidak ada hubungannya dengan Della. Percaya sama Bunda, kan?” 
Tanya Ayu, yang dijawab dengan anggukan Della.
“Masalah Bunda dengan Nenek dan Ayah adalah masalah orang dewasa, dan itu tidak ada hubungannya dengan Della. Kami berpisah bukan karena kamu, Sayang. Itu karena masalah kami sendiri,” jelas Ayu.
“Bunda Rania sayang banget sama Della, Della tau itu, ‘kan? Della selalu tampak bahagia kalo Bunda Rania pulang ke rumah, kalian selalu menghabiskan waktu berdua bahkan tanpa mengajak Bunda. Bunda aja sampai iri. Della sayang sama Bunda Rania, ‘kan?”
“Sayang, Bun,” gumam Della.
“Seperti yang tadi Bunda bilang, ibu kandung atau bukan, itu hanya sebutan. Tapi kasih sayanglah yang harus Della rasakan ketulusannya. Bunda dan Bunda Rania sama-sama sayang Della. Jadi, jangan pernah sesali dan sedih tentang itu, ya. Karena kami berdua adalah bundanya Della. Mengerti, Sayang?”
“Della ngerti Bunda,” jawab Della.
“Anak Bunda pintar. Masih sedih?” tanya Ayu.
Della pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. 
Syukurlah senyum itu kembali walaupun mata sembab putrinya tidak bisa dia sembunyikan.
“Ayah dan Bunda Rania tahu tentang ini?” tanya Ayu lagi.
“Enggak, Bun,” jawab Della pelan.
Hati Ayu kembali terenyuh. 
Putri kecilnya telah menahan kesedihan selama berhari-hari, tanpa menceritakannya pada Rangga ataupun Rania. 
Sepertinya Ayu harus memberitahu mereka secepatnya, agar tidak terulang kembali di kemudian hari.
“Bunda sayang Della, Daddy Al juga. Siapa pun Della, kami sayang Della tulus. Oma Riana, dan aunty Alice juga sayang Della, mereka bilang kangen sama Della. Nanti kamu harus datang di nikahnya Bunda, ya?”
“Iya, Bun. Nanti Della bilang dulu sama Ayah dan Bunda Rania.”
“Ya udah, Della istirahat ya, Sayang. Apa pun yang terjadi, hubungi Bunda, ya, Sayang.”
“Iya, Bunda. Della mau bobok, ngantuk.”
“Sleep tight ya anak Daddy. Love you lil' princess.” 
Alden  memberikan kecupan jauh pada Della.
“Love you too Bunda, Daddy Al,” balas Della.
🍀🍀🍀
Tak lama layar laptop di hadapan Alden dan Ayu kini tampak gelap dan kosong. 
Della sudah memutuskan panggilan videonya. 
Ayu mendesah lega dan menyandarkan kepalanya di bahu Alden. 
Ia masih terduduk di pangkuan calon suaminya. Wangi tubuh Alden kini sudah ia hafal, aroma kayu-kayuan yang menenangkan.
“Aku nggak nyangka dia akan mengetahuinya secepat ini. Dia masih terlalu kecil untuk terlibat kerumitan ini,” 
Gumam Ayu, sambil memainkan dasi Alden yang kini tampak menarik di matanya.
“Dia akan tumbuh menjadi anak yang kuat. Dia tidak akan mudah menyerah akan keadaan. Aku yakin itu, karenad ia berguru pada bundanya yang hebat,” 
Ucap Alden sambil mengelus punggung kekasihnya pelan dan menepuk-nepuknya.
Keduanya lalu terdiam, tenggelam dalam pemikiran mereka masing-masing, menikmati kedekatan dan kenyamanan yang tercipta antara keduanya. 
Tiba-tiba Ayu teringat akan sesuatu dan berdiri dari pangkuan Alden.
“Oh iya, kapan kamu akan menemui Mbak Reihana? Aku tahu alamat studio galeri seninya,” ucap Ayu.
Alden mendesah kesal, karena kembali diingatkan hal itu. 
“Kamu ini merusak suasana aja sih, Yang,” 
Ucap Alden, sambil mendudukkan kembali Ayu ke pangkuannya.
“Bukan gitu, Al. Aku Cuma nggak kepengen ada yang mengganjal lagi di hubungan kita. Kamu perlu bicara empat mata dengan Mbak Hana. Ada yang tidak kamu ketahui mengenai dia. Jangan sampai kamu menyesal nantinya.”
Alden menatap ke dalam mata Ayu lalu berkata, 
“Apa yang kamu ketahui?” selidiknya.
“Aku nggak tahu apa-apa. Aku kenal dengannya hanya karena dia adalah ibunya Ben, teman Della. Yang aku tahu dia punya anak selain Ben, tapi sudah meninggal. Dan itu bukan anak Kyle.”
“Kamu beranggapan dia adalah anakku? Mirip pun tidak!” sinis Alden.
“Aku tidak bilang dia anakmu, Al. Aku cuma ingin kamu tahu cerita sesungguhnya. Mungkin itu bisa menyembuhkan sakit hatimu kepadanya. Apa salahnya bertemu. Jangan sampai seperti aku juga Rangga, saling menyimpan rahasia selama bertahun-tahun sehingga semuanya hancur seperti ini.”
Alden kembali menghela napasnya, 
“Nanti akan kupikirkan kembali. Sekarang aku cuma pengen menikmati saat ini berdua dengan kamu,” 
Ucap Alden sambil mengecup kening Ayu lama, lalu berpindah ke kedua mata Ayu yang sembab, turun ke pipi, hidung, dan berakhir di bibir pink kemerahan Ayu.
Sebuah kecupan kilat, sentuhan intim pertama mereka. 
Semburat merah di pipi Ayu yang kini menunduk diam, merupakan pemandangan indah untuk seorang Alden Richardson.
Alden tidak ingin gegabah memaksa Ayu menerima setiap sentuhan fisiknya. 
Dia sadar betul apa yang pernah terjadi pada Ayu dahulu, dan dia tahu kekasihnya itu menghindari bersentuhan dengan lawan jenis karena traumanya.
Kejadian di rumah Ayu beberapa waktu lalu, menjadi sinyal baik dalam hubungan mereka bahwa Ayu sudah memberikan kepercayaan kepada dirinya untuk terlibat masuk dalam kehidupannya, menyentuhnya, menjaga dan melindunginya.
“Aku mencintaimu ....” 
ucapnya, sambil menarik bahu Ayu untuk kembali dalam dekapan.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER