Cinta Ayudia 35
A story by Wati Darma
Part 35
Pagi sudah menunjukkan sinar hangat saat Ayu tiba di rumahnya.
Ia melihat mobil Audi hitam terparkir di halaman rumahnya.
Ayu menghela napasnya pelan, ia lupa jika pagi ini berjanji dengan Alden untuk pergi olahraga bersama ke taman kota.
Namunn, saat ini kondisi fisik dan batinnya terasa sangat lelah.
Rasanya hanya ingin merebahkan tubuh lalu tidur dengan lelap, mengistirahatkan sejenak hati dan pikirannya dari semua cerita yang terus terngiang di telinganya.
Cerita kelam masa lalu seseorang yang mengubah hidupnya.
Wangi aroma pandan dan gurih kelapa, menyerbu hidungnya saat Ayu dan Yogi membuka pintu rumah.
Di sana ada Alden dengan pakaian casualnya tengah duduk di sofa ruang tamu, bersama Jessi yang tengah memangku Chika.
Balita itu sedang asyik memainkan boneka di tangannya dan menggumam dengan perkataan yang tidak jelas, sambil disuapi nasi uduk oleh Jessi.
Perbincangan mereka terhenti saat melihat Ayu dan Yogi muncul di tengah mereka, terutama kondisi keduanya yang tidak bisa dibilang baik-baik saja.
Yogi dengan wajah ditekuk seakan menyimpan jutaan masalah di kepalanya, dan raut wajah Ayu yang lelah serta sembab di matanya juga kemerahan di hidungnya.
Ia terlalu banyak menangis.
Alden bangkit dari duduk, segera berdiri menghampiri Ayu dan memeluknya.
“Whats wrong, honey? Apa semua baik-baik saja?”
Tanya Alden khawatir.
Ayu tidak menjawabnya.
Ia hanya membalas pelukan laki-laki tampan di hadapannya, mencari sandaran dalam dirinya yang selalu meberikan perlindungan untuknya.
“Rangga kenapa, Ayu? Della gimana?”
Tanya Jessi, beranjak dari duduknya sambil menggendong Chika.
Yogi mengambil Chika dari gendongan istrinya lalu berkata,
“Mereka baik-baik saja. Mulai saat ini jangan sebutkan nama mereka di rumah ini lagi.”
“Kenapa? Apa yang terjadi?”
Tanya Jessi penasaran
“Al, bawa Ayu ke kamarnya untuk beristirahat. Dia sangat kelelahan. Kita bicarakan ini nanti saja, Jess. Aku juga lelah,”
Balas Yogi, sambil menggendong Chika ke kamarnya.
“Apakah kalian tidak sarapan dulu? Aku sudah buatkan nasi uduk untuk kita sarapan,”ajak Jessi
“Kamu mau sarapan dulu, Yang?”
Tanya Alden pelan, sambil mengelus rambut kekasihnya yang kemudian dijawab gelengan halus dari Ayu.
“Aku hanya ingin tidur,” ucap Ayu lirih.
“Sayang, buatkan saja Ayu susu hangat. Dia tidak akan mau makan dengan pikiran penuh seperti itu,”
Ucap Yogi dari dalam kamarnya.
Jessi dan Alden mengernyitkan dahi mendengar perkataan Yogi.
Hati mereka bertanya-tanya, mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi malam tadi.
Namun, kondisi Ayu saat ini tidak memungkinkan untuk bercerita.
Istirahat adalah hal yang dibutuhkannya sekarang.
Mungkin mereka akan mendapatkan jawabannya segera dari Yogi, setelah pria itu selesai membersihkan diri.
🍀🍀🍀
“Kamu ganti baju dan bersihkan diri, ya? Aku akan bawakan susu hangat untukmu,”
Ucap Alden sambil mengusap pelan rambut kekasihnya.
Ayu mengangguk lalu masuk ke kamarnya, menaruh tas dan membuka sweateryang membalut tubuhnya.
Ia masih terdiam tanpa suara.
Sekembalinya dari dapur, Alden duduk di tepi ranjang Ayu, menunggui kekasih hatinya yang tak kunjung keluar dari kamar mandi.
Hanya terdengar suara gemericik air di dalam sana.
Alden masih setia menunggu, sampai tak terasa susu yang dibawanya kini sudah berubah menjadi dingin dan Ayu belum juga keluar dari kamar mandi.
Ceklek.
Saat Alden ingin mengetuk pintu kamar mandi, ternyata Ayu sudah membuka pintunya terlebih dahulu.
Mata juga hidung kekasihnya terlihat memerah.
Ia menangis lagi.
“Aku kira kamu ketiduran di kamar mandi,”
Celetuk Alden, sambil mengambil susu di atas nakas.
“Sudah agak dingin. Mau tambah air panas?” tanyanya.
“Nggak apa-apa,”
Jawab Ayu sambil meraih gelasnya, lalu duduk di tepian ranjang dan meminum susunya sampai habis. Ia meletakkan kembali gelasnya di atas nakas.
Alden meraih dagu Ayu dan menatap ke dalam mata kekasihnya yang penuh kesedihan dan luka. Dia mendekatkan wajah dan mengecup mata Ayu yang telah memejamkan matanya.
Alden mencium lagi sebelah mata lainnya, mencoba meresap semua kesedihan dari matanya mengembalikan binar bahagianya.
“Aku tidak suka melihatmu menangis, Sayang. Hanya untuk hari ini kamu kuijinkan menangis, selebihnya tidak boleh. Karena akan ada aku yang selalu di sisimu, yang akan membahagiakan kamu,”
Ucap Alden, lalu mengecup bibir Ayu dengan cepat.
Ayu tersenyum.
Masih ada orang-orang baik yang dikirimkan Allah di sekelilingnya.
Menyayanginya dengan tulus, untuk mengganti semua kehilangannya.
Salah satunya adalah Alden, yang mencintainya tulus dan selalu memberikan perlindungan untuknya.
“Istirahatlah,” ucap Alden.
Wanita itu beranjak ke naik ke kasur, merebahkan tubuhnya untuk beristirahat.
Alden merapikan letak selimut Ayu. Tangannya tiba-tiba ditahan Ayu, saat dia akan beranjak dari duduknya.
“Maukah kamu menemaniku sampai aku tertidur?” tanya Ayu pelan.
Senyuman lebar tampak di wajah tampan Alden.
“Dengan senang hati, Sayang.”
Pria itu beranjak menaiki ranjang, lalu membaringkan tubuhnya di sebelah Ayu.
Menyusun tinggi bantal di belakang kepalanya, lalu menarik Ayu untuk tidur berbantalkan dadanya.
Sebelah tangannya menopang dan memeluk tubuh mungil itu, sebelah lagi dia gunakan untuk menggengam tangan Ayu yang berada di atas dadanya.
Hati Alden terasa amat bahagia bisa memeluk Ayu sedekat dan seintim ini, menyadari bahwa kekasihnya kini tak ragu lagi untuk menerima dirinya.
Menjadikan dirinya sebagai sandaran saat bersedih, dan memberikan kenyamanan serta perlindungan yang calon istrinya butuhkan.
Lamunan Alden tentang kebahagiaan yang akan menghampiri dirinya dan Ayu terhenti, ketika dia merasakan kaus yang dipakainya kini basah di sekitaran dadanya.
Wanitanya kembali menangis dalam diam.
“Ssst ... tidurlah, Sayang. Istirahatlah, nanti kita bicarakan lagi, ya?”
Ucap Alden sambil mengelus kembali punggung Ayu.
Dia pun merasakan pelukan Ayu yang makin mengerat ke dadanya, mencari perlindungan dan kenyamanan dari dirinya.
Bukan keinginan Ayu untuk menangisi itu semua, tapi matanya yang enggan berhenti meneteskan air mata.
Ia bersedih untuk orang tuanya yang telah meninggal, terutama ibunya yang begitu kuat mendampingi ayahnya dan tetap tegar walaupun banyak ujian dalam cinta mereka.
Ia menangis karena mengetahui bahwa ia hampir mempunyai saudara kandung.
Ia bersedih karena harus berpisah dari Della yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
Ia menangis akan pria yang rela mengorbankan cinta dan dirinya, demi menebus dosa orang tuanya. Pria yang tersiksa lahir batin karena cinta.
Ia kecewa dan marah, karena hati bu Mirna begitu awet tertutupi dendam dan sakit hati yang menjadi sumber penderitaan dan kehilangannya.
Ia sedih karena banyak hati yang terluka di sini.
Bukan hanya dirinya saja.
🍀🍀🍀
Senja sudah mulai menyapa, mata Ayu sudah mulai bosan untuk terpejam.
Perlahan kelopak matanya mulai bergerak untuk membuka.
Tubuhnya sudah terasa lebih baik dari sebelumnya.
Kini matanya menatap nyalang langit-langit kamar, menyusun kembali bayangan hari yang telah dilewatinya, dan kesedihan itu kembali menyergapnya.
Ayu menolak untuk bersedih lagi, karena semua itu sudah terjadi dan ia tidak dapat kembali memutar waktu.
Ia beranjak dari ranjangnya lalu berlalu ke kamar mandi, untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya.
Setelah itu, melangkah menuju ruang tamu di mana ada Alden, Jessi, dan Yogi tengah duduk di sana, sambil menemani Chika yang duduk di karpet sambil menyusun lego-nya.
Ayu lalu duduk di sebelah Alden, menyandarkan kepala pada bahu kanan calon suaminya.
Alden tersenyum menerima perlakuan calon istrinya itu.
Dia tahu, Ayu bukan tipe yang mudah nyaman dan terbuka dengan orang lain. Wanitanya itu biasa terlihat kuat dan mandiri dengan sikap pendiamnya.
Namun kali ini, dirinya merasa sangat bahagia karena kekasihnya mau menunjukkan sisi rapuh dan manja hanya kepada dirinya seorang.
Alden membuka lengannya dan menarik Ayu dalam dekapan, mengelus bahu wanitanya dengan lembut.
“Feeling better?” tanya Alden.
“Hmm,”
Gumam Ayu, sambil memainkan jemari Alden yang menggenggam tangannya.
“Biarkan aku membantumu mencari keluargamu,” ucap Alden
Tampak raut wajah Ayu berubah kaget.
Ia lalu mengalihkan pandangannya pada Yogi, karena hanya dia yang tahu apa yang telah terjadi malam tadi. Dan, Yogi pun menganggukkan kepalanya.
“Aku sudah menceritakan semuanya pada mereka. Alden akan menjadi suamimu, dan bertanggung jawab padamu untuk selamanya, maka ia harus mengetahui ini semua. Ia akan mampu melindungimu dari keluarga setan itu,” jelas Yogi.
“Iya, aku mengerti,” cicit Ayu.
Ia membenarkan perkataan Yogi, karena bagaimanapun Alden-lah yang akan menjadi teman hidupnya sampai akhir hayat.
Jessi beranjak dari duduknya lalu duduk di sebelah Ayu.
Dia memeluk tubuh sahabatnya yang sudah menjadi saudara perempuannya, walaupun darah yang mengalir dalam darah mereka tidak sama.
Jessi cukup terkejut, mendengar penuturan suaminya mengenai perbuatan bu Mirna yang sengaja menyakiti sang sahabat dan membuatnya menderita.
Ayu kembali terisak dalam pelukan Jessi, ia dengan cepat menghapus airmatanya.
“Aku sudah berjanji pada seseorang untuk tidak lagi menangisi hal yang tidak ingin aku ingat ini,”
Ucap Ayu, sambil menoleh ke arah Alden dan tersenyum manis kepadanya.
Tangan kiri Ayu menggengam tangan Alden, sedangkan tangan kanannya digenggam oleh Jessi, terasa hangat menguatkan hatinya.
“Baru kali ini, saat aku merasa terpuruk dan sedih, ada orang di sisiku yang peduli dan menyayangiku, menjadi tempatku bersandar sejenak karena lelah dan sakit yang kurasakan,” tambahnya.
“Aku tidak akan membiarkan seorang pun menyakitimu lagi. Itu janjiku padamu. Bersandarlah padaku kapan pun kau menginginkannya,”
Ucap Alden, sambil mengecup sayang pelipis Ayu.
“Kamu tidak sendirian, Ayu. Kita adalah keluarga, jangan segan untuk membaginya bersama kami,” tambah Jessi.
Ayu menganggukkan kepalanya dan tersenyum senang.
Karena di kelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya walaupun mereka tak memiliki tali persaudaraan tapi perlakuan mereka lebih dari seorang keluarga.
“Aku akan menyewa detektif terbaik untuk melacak keberadaan keluarga ayahmu. Mungkin nanti, aku butuh beberapa dokumen yang menyangkut ayah dan ibumu,” ujar Alden
“Aku doakan semoga secepatnya keluargamu bisa ditemukan, sehingga mereka bisa hadir di pernikahanmu nanti,” ucap Jessi tulus.
“Aamiin ....”
Suara mereka serempak mengaminkan doa harapan Jessi.
“Jangan sedih lagi ya, Ayu. Kamu punya kami yang akan mendukungmu. Kalau perlu kita balas dia lebih dari sakit dari ini,” ucap Yogi.
Walaupun Ayu mengenal Yogi hanya saat dia berpacaran lalu menikahi Jessi, tapi ia dapat merasakan aura tegas pria itu yang tulus membantu dan menyayangi dirinya—layaknya adik perempuannya. Yogi mempunyai dua adik perempuan yang masih sekolah, dan juga kuliah yang sebaya Ayu, jadi dia memang sudah menganggap wanita itu layaknya adiknya sendiri.
“Tidak perlu dibalas. Aku bersedih bukan karena perbuatan mantan ibu mertuaku. Aku sedih, memikirkan orang-orang yang terkena imbas dari balas dendam yang dilakukan olehnya. Banyak pihak terluka karena karena dia, dan mereka adalah orang-orang yang aku sayangi,” ucap Ayu.
“Semenjak aku bercerai dengan Mas Angga, sudah aku ikhlaskan bahwa itulah akhir dari cinta dan hubungan kami. Harusnya hanya aku dan Rangga yang merasakan rasa sedih itu. Harusnya dengan berakhirnya hubungan kami, berakhir juga semua masalah itu. Tapi tak kusangka, Mas Angga menahan sakitnya sendiri karena menyembunyikan fakta ini selama bertahun-tahun. Ia dengan traumanya, depresi karena perasaan bersalahnya yang berlebihan.”
“Aku bersedih karena Ayah Robby yang memilih untuk pergi dari sisi istrinya, karena merasa tak mampu menaklukan hati istrinya yang terus dibayangi cinta pada ayahku, juga dendam pada ibuku dan aku.”
“Aku bersedih akan nasib anakku, Della, dan Kak Rania yang akhirnya harus seperti ini. Kak Rania harus merasakan sakit, karena nama anaknya hanya terdaftar sebagai keponakannya dalam akta keluarga mereka. Ia kesulitan mencari pendamping yang mau menerima dirinya apa adanya, menerima masa lalunya, juga putrinya. Aku tahu ia ingin cepat menikah supaya bisa mendaftarkan Della sebagai anaknya dan mengakuinya secara hukum, tapi entah kapan ia akan dapatkan lelaki yang tulus mencintainya.”
“Mereka harus menanggung semua hasil perbuatan dari seorang bu Mirna Aditya. Mereka juga menderita dengan masalahnya masing-masing. Semoga mereka menemukan ketenangan hidup juga kebahagiaan, seperti yang aku rasakan sekarang.”
“Aku minta maaf Jess, karena kamu juga menjadi salah satu korbannya bahkan efeknya masih terasa sampai sekarang. Aku tak pernah tahu, jika kamu masih sering merasakan sakit pada lukamu jika menggendong Chika lebih lama.”
Jessi menggenggam tangan Ayu kembali.
“Tidak perlu minta maaf, ini hanya masalah kecil saja. Walaupun tidak bisa menggendong Chika lebih lama, tapi aku masih bisa merawat dan menjaga anakku. Luka ini terlalu kecil untuk menyurutkan hasrat untuk membesarkan anakku dengan tanganku sendiri,” balas Jessi.
“Kamu memang Ibu yang hebat, Jess.”
“Kamu yang lebih hebat, Sayang. Hatimu tidak mendendam pada mereka yang telah menyakiti kamu, malah kamu ikut memikirkan dan mendoakan mereka,” ucap Alden.
“Aku tidak hebat, Al. Kalau aku harus membalas dia, apa yang harus aku balas pada mantan ibu mertuaku itu? Tidak selamanya perbuatan jahat harus dibalas perbuatan serupa. Aku tidak mau mengotori hati dan tanganku, untuk terus memikirkan cara membalas perbuatannya. Ada yang lebih berhak membalas setiap perbuatan baik dan buruk manusia, dan itu bukan aku.”
“Lagipula, saat ini dia tidak mempunyai siapa-siapa di sisinya. Suami, anak, dan cucunya meninggalkannya karena perbuatannya. Itu sudah cukup sebagai hukuman untuknya. Sedangkan aku, sekarang dikelilingi oleh orang-orang yang baik dan tulus menyayangiku apa adanya. Keadaanku kini pun baik-baik saja, dapat bekerja dan mulai membangun mimpiku kembali.”
“Apa yang menimpa orang tuaku adalah ujian cinta mereka, dan aku bangga karena mereka dapat melewatinya bersama-sama. Mungkin saat ini mereka telah berkumpul kembali di sana, menungguku dan mendoakan kebahagiaanku.”
“Apa yang telah Tante Mirna lakukan sudah terjadi. Aku juga tidak bisa mengulang waktu untuk memperbaikinya. Aku hanya mampu mengubahnya saat ini, menjadi jalan menuju kebahagiaanku.”
Ayu tampak menghela napasnya.
”Hanya saja, berat untukku untuk melepaskan Della.”
Wajah Ayu kembali mendung saat mengingat putri kecilnya.
Apa yang harus dilakukannya?
Apa yang harus ia katakan?
Della terlalu kecil untuk mengerti masalah pelik ini.
“Kamu akan menikah dengan Alden, sedangkan Della tidak memiliki hubungan darah sama sekali denganmu. Apa kamu piker, si Mirna Aditya itu akan dengan mudahnya memberikan cucunya untuk kamu bawa masuk ke keluarga baru kalian? Kamu harus berpikir jernih, Ayu. Melihat apa yang telah diperbuatnya dulu, tak mungkin ia hanya berdiam diri saja membiarkan cucunya dimiliki oleh orang lain yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Ia pasti akan melakukan hal gila lain, untuk mencegah Della dibawa oleh kamu,” tegas Yogi.
Ayu tersentak saat mendengar perkataan Yogi yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Perkataannya benar.
“Yogi benar, Sayang. Untuk sementara ini sampai waktu pernikahan kita, sepertinya kita harus menjauh sementara dari keluarga itu. Demi keselamatanmu, juga Della. Aku sudah jatuh hati pada putri kecil itu semenjak pertemuan pertama, dan sudah menganggap dirinya sebagai anakku juga. Bahkan Mami juga Alice jatuh hati pada Della. Kita akan memikirkan langkah selanjutnya, untuk membawanya ke dalam keluarga kita. Aku akan membicarakannya dengan pengacaraku, apalagi namamu sudah tercantum sebagai ibunya. Percayalah, perpisahan ini hanya sementara. Kita akan membawanya kembali ke pelukan kita.”
Ayu mengangguk lalu meneteskan air matanya, memeluk kembali pria yang bersedia menjadi pelindungnya.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati, sedih karena harus berpisah dari putrinya yang telah ia rawat sejak masih bayi merah.
Ada juga rasa bahagia karena Alden mau melindungi dirinya juga Della, walaupun Della bukan anak kandungnya.
Harapan Ayu saat ini hanya satu.
Adalah agar bu Mirna tidak menghancurkan pernikahannya kali ini, juga tidak memisahkan dirinya bersama Della.
Semoga …
Bersambung
No comments:
Post a Comment