Cinta Ayudia 12
A story by Ayudia
Part 12
Flash back ..
Lima tahun lalu ..
Suasana SMU Dwiwarna saat ini ramai oleh murid kelas tiga yang datang melihat hasil pengumuman UMPTN.
Setelah pengumuman kelulusan SMA, yang paling ditunggu selanjutnya adalah pengumuman penerimaan mahasiswa baru di universitas negeri terkemuka di negeri ini.
Pihak sekolah khusus mendata dan mengumumkan siswa-siswanya yang lolos ujian masuk Perrguruan Tinggi Negeri.
Jessi memilih tidak melanjutkan kuliahnya. Dia memilih ambil kursus keterampilan komputer saja, tapi hari ini dia datang untuk menemani sahabatnya–Ayu dan Rangga–melihat hasil pengumumannya.
Saat ini mereka tengah duduk di pinggir lapangan menunggu Rangga membawa kabar berita untuk mereka.
“Ayuuu!! Jessi!!”
Ayu dan Jessi menoleh ke asal suara, di mana Rangga tengah berlari menuju ke arahnya.
Di belakangnya, ada Dessi yang berjalan mengikuti. Dengan langkah besarnya, dia bergerak menuju tempat kedua sahabatnya. Menarik Ayu berdiri lalu memeluk dan mengangkat tubuh mungilnya, kemudian dia memutar tubuh mereka berdua.
“Anggggaaa … Leppasiiinn!!”
teriak Ayu, sambil memukul bahu Rangga. Ia dapat melihat kalau dirinya jadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya.
Teman-teman mereka tidak aneh, dengan hubungan absurd Rangga dengan Ayu juga Jessi. Selalu saja ada tingkah mereka bertiga yang memancing keributan di sekolah ini.
Rangga yang tampan, adalah salah satu siswa pintar di sekolah ini yang memacari primadona sekolah Dessi Anandari.
Ayu adalah sahabat Rangga, selain bertetangga dan satu sekolah sejak SMP, mereka juga teman sejak kecil. Ayu juga murid terpandai di sekolah itu. Banyak yang mengira dia adalah anak SMP gedung sebelah yang nyasar ke gedung SMA, karena wajahnya yang baby face disertai postur tubuh yang imut dan kecil.
Yang terakhir adalah Jessi, yang lebih cuek dan galak. Dia disegani oleh teman-temannya karena kemampuan fisik yang luar biasa. Dia kapten tim basket putri di sekolah ini, dan sering mengikuti kejuaraan nasional.
Mereka terbiasa melihat Rangga yang selalu mengekori ke mana Jessi dan Ayu pergi, dan mengganggu para lelaki yang ingin mendekati sahabatnya.
Namun Rangga dan Ayu, terlihat memiliki kedekatan lebih jika dibandingkan dengan Jessi. Teman-temannya memang menganggap Rangga dan Ayu seperti kakak beradik yang manis, tak pernah malu lelaki itu mengusili Ayu di depan umum, menggendong, merangkul bahunya dengan santai, padahal banyak teman wanitanya yang lain menatap dingin pada Ayu.
Banyak yang menyangka mereka berpacaran, tapi gosip itu patah saat Rangga 'menembak' Dessi di lapangan sekolah yang akhirnya ditegur guru BK.
“Kalau lo nggak nurunin gue, gue nggak mau nemenin lo pergi nanti sore,” ancam Ayu.
Rangga pun mencebikkan bibirnya lalu menurunkan Ayu.
“Iya-iya, nggak bisa liat orang seneng. Gue kan cuma berbagi kebahagiaan karena gue lolos seleksi,” rajuk Rangga.
“Seneng sih seneng, tapi nggak usah gitu juga kali. Kayak gue anak kecil aja,” balas Ayu.
“Loh, emang kecil kan?! Iya nggak Jess.”
“Ayu nggak kecil, cuma kurang tinggi,” timpal Jessi cuek.
“Tuhhh kann!” seru Rangga.
“Iiihhhh!!” Ayu memasang ekspresi cemberut.
Sedangkan Rangga, Jessi, dan Dessi tertawa puas.
“Ayu ....”
Sapa seorang remaja pria tinggi berkacamata, yang cukup manis.
“Eh, Dika.”
“Kamu katanya keterima di UI ya? Selamat ya.”
Dika mengulurkan tangannya yang disambut dengan manis oleh Ayu.
“Aku juga keterima di sana. Kayaknya kita bakal sering ketemu lagi nanti.”
“Beneran?! Selamat juga buat kamu. Aku seneng ada yang aku kenal nanti di sana.”
Rangga terkikik geli, saat mendengar panggilan 'aku-kamu' dari bibir Ayu dan Dika.
Dia pun menarik Ayu, lalu melingkarkan tangan di bahu gadis itu.
“Dia masih kecil, belum boleh pacaran,” ucapnya tegas.
“Apaan sih, Ga. Orang cuma ngucapin selamet aja kok,” ketus Ayu.
“Walaupun gue nanti nggak satu kampus sama kalian, jangan sampe elo macem-macem sama Ayu, ya,” tegur Rangga pada Dika.
“Tenang aja, Ga. Aku akan menggantikan kamu, menjaga dan melindunginya,”
Ucap Dika sungguh-sungguh sambil menatap ke wajah Ayu.
Sementara, gadis itu tertunduk malu di tatap se-intens itu oleh lawan jenis yang termasuk good looking diantara para pria di sekolah ini, plusnya dia pintar dan kalem tidak pecicilan seperti Rangga.
Wajah merona Ayu tak luput dari pandangan kedua sahabatnya, tapi Jessi kemudian tersenyum miring saat melihat perubahan di wajah Rangga yang mendengkus kesal melihat interaksi mereka berdua.
Lelaki itu menarik Ayu yang masih dalam rangkulannya, lalu menarik tangan Dessi di sebelahnya seraya berkata, “Ayo pulang!”
Ayu melepaskan rangkulan Rangga di bahunya, lalu melambaikan tangan pada Dika seraya pamit. Ia pun berjalan bersama Jessi di belakang Rangga dan Dessi.
“Ayu, nanti sore ke rumah ya? Gue nganter Dessi dulu!” seru Rangga.
“Hmmm ...,” balas Ayu malas.
“Yu, elo nggak bilang ke Rangga kalau Dika ngajak elo jadi pasangannya di prom night nanti?” tanya Jessi sambil berbisik.
“Ssst … elo nggak usah ngomong apa-apa sama dia. Rese dia mah, biar aja dia tau pas hari H,” balas Ayu.
Jessi kembali tersenyum membayangkan bagaimana wajah Rangga nanti, jika melihat Ayu datang bersama pria yang selama ini mengejar-ngejarnya.
Dia sebenarnya menangkap sinyal perasaan Ayu terhadap Rangga, sejak lama. Sedangkan tingkah Rangga yang terlalu over protected terhadap Ayu, membuatnya curiga jika tingkah tak wajarnya itu hanyalah alasan dibalik perasaann yang sesungguhnya.
🍀🍀🍀
Ayu melangkahkan kakinya ke dalam rumah Rangga.
Ia sudah berjanji akan ke rumahnya sore ini, untuk pergi bersama-sama ke Mall mencari setelan jas untuk pesta prom nightakhir pekan ini.
Sekolah mereka akan merayakan pesta kelulusan bagi siswa kelas tiga yang tahun ini lulus 100%. Ayu melangkahkan kakinya ke dalam rumah Rangga yang telah terbuka pintunya.
“Assalamualaikum.!” seru Ayu.
Tidak ada jawaban. Ayu mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah tapi tidak ada orang.
Tiba-tiba terdengar teriakan histeris dari kamar atas.
Ayu lalu berlari cepat ke arah asal suara, dan melihat Tante Mirna, yang sedang menangis berusaha menenangkan kakaknya Rangga, Rania.
“Biar saja kubunuh janin ini, Ibu. Aku tidak menginginkannya!!”
Teriak Rania, sambil memukul-mukul perutnya.
Bu Mirna menahan tangan Rania, sementara Ayu masih berusaha mencerna apa yang terjadi.
“Kak Rania hamil?!” pikirnya.
Ayu lalu menghampiri bu Mirna, membantunya memegangi tangan Rania. Bu Mirna memeluk Rania erat berusaha menenangkan putri kesayangannya.
“Tenangkan dirimu, Sayang. Kita cari jalan keluarnya bersama-sama.”
Rania masih menangis dalam pelukan ibunya.
Ayu keluar dari kamar, lalu turun untuk mengambilkan air minum untuk Rania. Saat ia kembali ke kamar, keadaan Rania sudah lebih baik, walaupun dia masih terisak-isak. Ayu menyodorkan air minum yang langsung diteguk sampai habis oleh Rania.
Kamar itu hening seketika, hanya terdengar helaan nafas panjang dari Rania.
Diapun berkata,
“Aku sebenarnya tidak ingin membunuh janin ini, Bu. Tapi sekarang aku tidak bisa memiliki dan merawatnya. Jerih payahku selama ini mulai menunjukkan hasil. Sudah beberapa agensi menawarkan tawaran iklan dan sinetron untukku, Bu. Aku ingin menikmati karirku dulu dan kemudian mencoba menjadi aktris seperti cita-citaku. Ibu tahu ‘kan betapa aku sangat memimpikan ini semua. Sekarang aku sudah punya nama di dunia model. Anak ini hanya akan menjadi aib bagiku, karena lelaki bangsat itupun tidak mau mengakuinya. Aku tidak mau namaku tercoreng hanya karena anak di luar nikah”
Ayu masih terdiam, tak tahu apa yang harus ia katakan.
“Ayahmu pun pasti tidak akan mengijinkanmu kembali ke dunia entertain, jika tahu kamu hamil. Sebaiknya saat kehamilanmu makin besar, mengungsi ke luar kota saja sampai waktunya melahirkan tiba.”
“Lalu bayinya gimana, Bu? Tidak mungkin aku membawa pulang bayi ini setelah lama menghilang. Ayah pasti curiga. Apa berikan ke panti asuhan saja?” tanya Rania.
Bu Mirna kembali berpikir.
“Dari pada diberikan ke panti asuhan lebih baik dia tidak usah dilahirkan sekalian, Rania. Tapi, tak mungkin Ibu tega membunuh ataupun menelantarkan cucu keturunanku.”
Ruangan itu kembali hening, mereka bertiga berpikir keras mencoba mencari solusi. Rania lalu memusatkan pandangannya pada Ayu, lalu berkata
“Ayu, bukankah kamu menyukai adikku Rangga? Menikahlah dengan dia secepatnya, jadikan anakku sebagai anakmu.”
Ayu memelototkan matanya, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan Rania barusan. Ide yang gila!
“T-tappi ... Kak .... tapi ... tak mungkin. Ayu mau kuliah. Ibu sudah memberikan izin.”
Bu Mirna yang ikut terkejut atas perkataan Rania, mengerti maksud dari ide gila itu.
Dia lalu beralih memegang kedua tangan Ayu, lalu memohon kepada gadis itu.
“Ayu, Tante sudah menganggapmu sebagai anak Tante sendiri. Kamu anak yang cantik, baik, dan pintar. Tante tak keberatan kamu menjadi menantu Tante. Dan Tante yakin kamu bisa merawat bayi ini dengan baik, memberikan kasih sayang seperti ibu kandungnya. Kamu bisa kuliah jika anak ini sudah lahir.”
Jantung Ayu berdebar kencang.
“T-tapi ... tapi Tante, Rangga tidak menyukai Ayu.”
Mirna mengelus lembut rambut Ayu, membujuk rayu gadis itu.
“Masalah Rangga biar Tante yang urus, dan jangan ceritakan hal ini kepadanya. Walaupun kalian tidak saling mencintai, hidup serumah, setiap hari bertemu pasti akan tumbuh juga rasa cinta di hati kalian berdua. Tante akan bantu kamu mendapatkan Rangga.”
Ayu tidak berkata-kata lagi, pikirannya sibuk berpikir tentang tawaran itu.
Memang benar dirinya menyukai Rangga, tapi apakah pria itu tidak akan marah dengan kebohongan ini?
Mungkin jika Rangga sudah menerima dan mencintainya, dia tidak akan marah atas kebohongan yang dia lakukan bersama Kak Rania dan Tante Mirna.
Hati dan pikiran Ayu pun saling beradu. Ia menggelengkan kepala menolak pemikiran itu.
Ia tidak seegois itu memaksakan cintanya untuk Rangga. Ia tidak mungkin membiarkan Rangga menderita berpisah dengan orang yang dicintainya, lagipula ia masih ingin meraih cita-citanya. “Ayu tidak bisa, Tante,” tolak Ayu.
Saat bu Mirna hendak membujuk kembali, terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar.
Pintu kamar Rania terbuka. Rangga menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
“Ada di sini semua rupanya,” ujar Rangga.
“ Aku liat sepatu kamu ada di depan. Kita pergi sekarang Yu, Jessi udah nunggu tuh,” lanjutnya lagi.
Ayu mengangguk dan menjawab, “I- iya.”
“Kalian mau ke mana?” tanya Mirna.
“Mau jalan ke Mall, mau cari jas buat nanti prom night,” jawab Rangga.
“Kapan prom nightnya, Ga?”
Tanya bu Mirna penuh selidik.
“Malem minggu di Hotel Melati. Ehh … Kakak abis nangis ya?!”
“Biasalah Ga, broken heart lagi.”
Bu Mirna membantu menjawabnya sambil melirik ke arah putrinya dengan tatapan penuh arti. Dia tersenyum lebar, seakan ada ide baru muncul di kepalanya.
“Ya udah, pergi sana. Jangan malam-malam pulangnya,” ucapnya.
Rangga pun menarik tangan Ayu keluar dari kamar kakaknya.
Saat pintu kembali tertutup, bu Mirna dan Rania kembali melanjutkan perbincangan mereka.
“Harapan kita hanya ada di Ayu, Bu. Bagaimana cara meyakinkannya?” gumam Rania.
“Ada caranya, Sayang. Ibu yang akan melakukannya. Kamu tenang saja,”
Ucap bu Mirna, sambil menyeringai dan mengusap perut datar Rania yang berisi calon cucunya.
🍀🍀🍀
Hari ini Rangga kencan dengan Dessi di salah satu Mall. Mereka berencana untuk nonton di bioskop dan makan malam, tangan mereka saling menggengam layaknya remaja umumnya yang sedang pacaran.
“Aku ke toilet dulu ya Ga, kamu antri tiket dulu gih,” ujar Dessi.
“Oke.”
Rangga pun mengantri di barisan penjual loket.
“Beneran kamu nggak takut nonton horor?”
Rangga mendengar suara laki-laki yang dikenalnya berasal dari antrian di sebelahnya, tak lama suara perempuan juga terdengar.
“Nggak apa-apa. Kan nanti di dalem banyak juga yang ketakutan sama kayak aku,”
Jawab perempuan itu. Dan tak lama terdengar suara derai tawa dari pasangan di sampingnya.
“Tapi nanti kalau kamu takut, boleh kok ngumpet di bahu aku,” ucap pria itu lagi.
‘Cuihhh!!’ desis Rangga dalam hati.
Dia pun mengeluarkan ponsel, dan mengirim pesan singkat kepada orang yang saat itu berada di dekatnya, tapi tidak menyadari keberadaannya.
Elo di mana?
Main
Di mana?
Mall
Sama siapa?
Dika
Kalian kencan?
Ya
Kapan pacarannya?
Bukan urusan lo
Rangga meremas ponselnya kuat, tidak suka dengan jawaban-jawaban Ayu.
Gadis itu memang tidak membohonginya tapi entah kenapa, rasanya hatinya tidak tenang saat tahu gadis itu kencan dengan seorang lelaki.
Biasanya Ayu akan memberitahu dengan siapa saja ia akan pergi, tapi entah sudah beberapa waktu ini gadis itu tidak pernah mengatakan apa-apa lagi ataupun curhat mengenai para lelaki yang mendekatinya.
Dia tidak suka.
Rangga pun berjalan mendekati pasangan itu. Tangannya otomatis menarik lengan Ayu, keluar dari barisan antrian.
“Dika, elo ngantri aja dulu. Gue pinjem Ayu sebentar, ya!” seru Rangga.
Ayu dan Dika tampak kaget melihat kehadiran Rangga yang tiba-tiba berada dekat mereka, dan kini menarik Ayu menjauh dari barisan antrian.
“Angga, apaan sih?!”
Ayu berusaha melepaskan cekalan tangan, yang menggenggam erat pergelangan tangannya.
“Kenapa elo kencan nggak bilang-bilang gue? Terus kenapa pake pakaian kayak gitu?”
Rangga memindai penampilan Ayu saat ini yang memakai dress tanpa lengan motif shabby dusty pink selutut dipadu dengan cardigan ¾.
Rambut panjangnya digerai dengan ujung ikal, membuat penampilannya tampak cantik walaupun hanya dipoles bedak dan lipgloss pink muda.
Manis.
“Lepasin, Ga,”
Ucap Ayu, sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari cekalan tangan Rangga.
“Enggak! Kenapa elo nggak bilang sama gue mau pergi sama dia?”
“Dika yang muncul sendiri ke rumah, dan Ibu udah ngijinin gue pergi sama dia. Jadi, buat apa gue harus bilang sama lo?”
Rahang Rangga tampak mengeras menahan emosi.
Dia merasa tidak suka, jika dirinya sudah tidak penting lagi di kehidupan gadis itu.
“Elo nggak pantes pake baju kayak gini, pake dandan segala, emangnya elo mau ngegoda Dika ya?”sindir Rangga.
Ayu tampak membulatkan mata, tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut sahabatnya.
“Angga! Lo keterlaluan,”
Desis Ayu dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Rangga terhenyak. Dia tak bermaksud melukai hati Ayu, tapi gadis itu melesat pergi dengan air mata berurai.
“Ayu, aku udah beli tiketnya.”
Dika berlari mengejar Ayu, yang kemudian disusul oleh Rangga. Dia menarik lengan Dika ke belakang.
“Dika, biar Ayu gue yang kejar. Elo nonton aja berdua sama Dessi ya? Sayang kan tiketnya udah dibeli. Mubazir,”
Ucap Rangga, sambil berlalu meninggalkan Dika yang masih melongo dengan memegangi dua tiket yang telah dibelinya.
🍀🍀🍀
Ayu tak peduli dengan orang di sekeliling yang menatapnya keheranan, karena melihat dirinya yang berlari dengan bersimbah airmata.
Ia berlari menuju luar mall menjauh dari lobi utama. Hatinya tak terima dengan perkataan Rangga yang melampaui batas, dan menyinggung hatinya.
Saat ini ia hanya ingin membuka hatinya kembali untuk orang lain, dan tidak terpaku terus menerus dengan Rangga yang tidak akan mungkin menoleh ke dirinya.
Ia sadar, bahwa lelaki yang dicintainya itu telah bahagia dengan pilihannya dan dirinya memilih untuk berbahagia dengan caranya sendiri, termasuk mengurangi intensitas kedekatan mereka berdua.
Rangga sebenarnya mengajaknya untuk mendaftar di universitas yang sama dengan dirinya di Yogya, tapi Ayu menolaknya. Ia beralasan tidak ingin jauh dari ibunya.
Namun sebenarnya, ia hanya ingin sedikit demi sedikit lepas dari bayangan Rangga, karena ia tahu suatu saat ini ia harus melepas laki-laki itu secara utuh.
Langkah Ayu terhenti, saat ada sepasang tangan menghentikan dan menariknya dalam pelukan tubuh tinggi pria itu.
Air mata Ayu semakin deras, ia berontak saat mencium wangi maskulin yang dikenalnya itu.
“Maaf ... maafin gue Ayu,”
Lirih Rangga, sambil terus mendekap erat Ayu yang terus menggeliat di dalam pelukannya.
“Elo jahat Ga ...,”
Balas Ayu, sambil terus mencoba lepas dari pelukan Rangga.
“Iya, gue tau gue jahat. Maafin gue,”
Ucap Rangga, sambil mengecupi puncak kepala Ayu yang masih menangis tersedu dalam pelukannya.
“Gue nggak ngegoda dia, Ga.”
“Gue tahu, maafin gue.”
“Dia yang tiba-tiba datang ke rumah, dan minta ijin sama Ibu. Bukan gue yang mau.”
“Iya, maafin gue.”
Lama keduanya terdiam sambil berpelukan.
Tangisan Ayu pun sudah berhenti, dan pelukan Rangga sudah mengendur tidak seerat sebelumnya.
Dia kemudian melepaskan pelukan, memegang kedua bahu Ayu dan melihat ke kedua mata yang kini sembab. Ibu jarinya mengusap sisa air mata yang masih tersisa di sudut mata gadis itu.
“Gue terlalu emosi ngeliat elo berdua dengan Dika. Lo nggak ada kabarin gue bakal pergi sama dia, padahal biasanya siapa aja cowok yang ngedeketin, elo pasti cerita sama gue. Gue khawatir sama elo, gue nggak mau ada cowok brengsek yang manfaatin kepolosan elo demi nafsu mereka. Gue nggak mau elo disakitin sama cowok, Ayu.”
Tapi kamu nyakitin hati aku dengan bersikap kayak gini, makin susah aku lepas dari hati kamu.
Ayu masih terdiam tidak menanggapi perkataan Rangga
Drrt ... drrt ...
Ponsel di saku Ayu bergetar menyela pembicaraan mereka berdua.
Jessi Calling ....
“Hallo, Jess.”
“...”
“Appaa?!”
“...”
“Tapi elo nggak apa-apa?”
“....”
“I-iya, gue nyusul ke sana sekarang.”
Raut wajah Ayu berubah pucat, setelah menerima telpon dari Jessi.
Ia terburu-buru melangkah meninggalkan Rangga di belakangnya.
“Ay … ada apa? Elo mau ke mana? Jessi kenapa?”
“Jessi sama Ibu di rumah sakit, Ga. Gue harus kesana,”
Ucap Ayu sambil berusaha memberhentikan taksi yang lewat di depannya, tapi dengan cepat Rangga menarik tangan Ayu untuk mengikutinya.
“Lepas, Ga. Gue harus cepet-cepet kesana.”
“Lebih cepet kalo elo naik motor gue, Ay.”
“Kenapa nggak bilang lo bawa motor?”
“Lo main lari aja sih! Ayok, cepetan gue temenin ke sana.”
🍀🍀🍀
Ayu dan Rangga tiba di rumah sakit tempat Jessi dan ibunya dirawat.
Gadis itu segera berlari ke arah perawat jaga, menanyakan keberadaan Jessi dan ibunya.
“Suster, pasien lakalantas atas nama Jessi dan Ibu Yulia ada di mana ya?”
Tanya Ayu, dengan wajah pucat dan raut wajah cemas.
Rangga tak pernah lepas menggenggam tangan Ayu yang basah dan dingin, karena gugup juga cemas. Setelah suster tersebut mencek data pasien, dia pun memberitahu Ayu tentang keberadaan orang yang ia cari.
“Nona Jessi dan Nyonya Yulia saat ini masih berada di ICU.”
“Baik. Terima kasih, Suster.”
“Jangan panik Ayu, mereka pasti sudah mendapat penanganan Dokter,” ucap Rangga.
Ayu hanya mengangguk, lalu bergegas ke ruangan tempat di mana ibunya berada. Tangan Rangga tak pernah lepas menggenggam tangannya. Saat di ruangan ICU, ia melihat orang tua Rangga berada di luar ruangan sedang berbicara dengan dokter.
“Om, Tante !” seru Ayu.
“Ayah sama Ibu kok di sini?” tanya Rangga.
“Ayu, syukurlah kamu sudah disini. Om sama Tante tadi melintasi tempat kejadian. Om kenal dengan motor tua ayahmu. Jadi, Om turun dan tidak menduga ibu dan temanmu yang menjadi korbannya. Dokter ini menunggumu sedari tadi,”
Ucap pak Robby, sambil mengenalkan Ayu pada dokter yang menangani ibunya.
“Sa-saya putrinya. Bagaimana kondisi Ibu dan teman saya?”
“Teman anda hanya mengalami pergeseran tulang, mungkin butuh operasi kecil pasang pen di bahunya. Sedangkan Ibu anda yang duduk di belakang motor, terpelanting cukup jauh sehingga dia mengalami gegar otak dan pendarahan pada lukanya. Untungnya, Nyonya ini mempunyai golongan darah yang sama dengan Ibu anda, jadi dia dapat melewati masa kritisnya,” ucap Dokter Zainal, sambil menunjuk kepada bu Mirna.
“Alhamdulilah. Terima kasih, Tante,”
Ucap Ayu kepada bu Mirna yang kini berada di sampingnya dan merangkul bahunya.
“Tapi, ada kabar buruk lainnya. Apakah Ibu anda tidak pernah mengeluh mengenai kesehatannya akhir-akhir ini?” tanya Dokter Zainal.
“Ti-tidak, Dok. Biasanya ia hanya mengeluh lelah dan pusing karena capek saja, saya yang sering memijitinya dan Ibu bilang sudah lebih baik.”
“Begini, entah Ibu anda sudah sadari atau belum tapi saya sampaikan bahwa ada tumor yang bersarang di kepalanya. Dan benturan tadi memperparah keadaannya. Harus segera dilakukan tindakan operasi.”
Tubuh Ayu limbung mendengar penjelasan dokter.
Rangga sigap menangkap tubuh Ayu dan merangkul bahunya untuk menguatkan. Air mata Ayu kembali mengalir menerima berita itu.
Bagaimana bisa ibunya menderita penyakit seperti itu?
Bagaimana ia sebagai putrinya, tidak mengetahui jika ibunya sedang sakit parah?
Apa yang harus dilakukannya?
“Langkah apa yang harus kami tempuh, Dok?”
Tanya pak Robby mewakili Ayu yang masih tampak shock.
“Ibu Yulia harus segera dioperasi untuk mengangkat tumornya, tapi ada resikonya dibalik operasi tersebut. Itu yang ingin kami sampaikan di sini pada keluarganya. Nyawa Ibu Yulia bisa di selamatkan tapi kemungkinan dia akan lumpuh, pembuluh darah di otaknya terganggu karena kecelakaan tersebut.”
“Tidak ...” Tubuh Ayu meluruh ke lantai.
Rangga lalu meraih tubuh Ayu, dan membawanya ke pelukann untuk menenangkannya.
“Sst ... tenanglah Ayu. Ibu masih bisa selamat. Kita akan rawat Ibu sama-sama, ya?”
Bisik Rangga di telinga Ayu.
Gadis itu hanya mengeratkan pelukannya di dada Rangga, sambil terus menangis. Apa pun akan ia lakukan, yang penting ibunya bisa selamat dan berkumpul kembali dengannya.
“Lakukanlah, Dok. Yang penting pasien bisa selamat,” ucap pak Robby.
“Baiklah. Sekarang, Nona bisa mengurus administrasinya dulu. Jika sudah selesai bisa kembali kemari,” ucap Dokter Zainal.
“Ayu, mari Om temani mengurus admninstrasinya,” ucap pak Robby.
“Pergilah dengan Ayah dan Ibu. Gue mau ke ruangan Jessi, ya. Gue tunggu di sana,”
Ucap Rangga ,sambil menghapus jejak air mata di wajah Ayu dengan jarinya.
Ayu hanya mengangguk sambil terisak, mencoba tegar dan berpikir jernih demi ibunya.
Tingkah laku dua remaja yang saling menyayangi itu ditangkap juga oleh pak Robby dan bu Mirna.
Mereka berdua tersenyum, tapi senyum mereka berdua memiliki makna yang berbeda. Bu Mirna mendekati dan merangkul bahu Ayu, menemaninya pergi mengurusi administrasi untuk pengobatan Yulia dan Jessi.
“Ayu, biar Om yang tanggung biaya operasi Ibu dan temanmu,” ucap pak Robby, yang disambut delikan tajam dari bu Mirna dan tatapan kaget Ayu.
“Tidak usah, Om. Ayu akan gunakan uang kuliah Ayu saja untuk pengobatan Ibu,” tolak Ayu.
“Jumlah uang itu hanya cukup untuk kuliahmu, Ayu. Om tahu jumlahnya pas-pasan dengan biaya pengobatan ibumu. Kamu harus lanjutkan kuliahmu seperti keinginan mendiang Henri, sahabatku.”
“Tidak apa-apa, Om. Ayu bisa menunda kuliahnya tahun depan. Ayu mungkin akan bekerja saja dulu.”
Tiba-tiba suster menyela pembicaraan mereka.
“Jumlah yang harus disetor untuk deposit operasi Nyonya Yulia dan Nona Jessi sekitar delapan puluh juta, Pak.”
Ayu terkejut dengan jumlah yang disebutkan petugas itu.
Dia enggan berhutang pada keluarga Rangga. Mereka sudah banyak membantu keluarganya, tapi uang yang kini ia pegang untuk biaya kuliahnya hanya sekitar lima puluh juta saja. Darimana ia akan mendapatkan sisanya?
“Bisakah saya bayar lima puluh juta dulu?”
Tanya Ayu ragu, sambil memberikan kartu debit miliknya berisi uang yang telah dikumpulkan ayahnya dahulu. Raut wajah petugas itu berubah masam, dan menggelengkan kepalanya pelan.
“Sisanya saya yang bayar,”
Ucap pak Robby, sambil menyodorkan juga kartu debit miliknya.
“Pak, itu uang yang mana? Jangan pakai uang kuliah Rangga ya,” seru bu Mirna, seolah tidak rela suaminya memberikan uang dalam jumlah banyak untuk gadis di sebelahnya.
“Om, nggak usah! Biar sisanya saya yang usahakan sendiri.”
“Kapan Ayu? Ibumu butuh tindakan secepatnya. Kamu bisa membayarnya, jika kamu sudah bekerja nanti,”
Ucap pak Robby sambil mengelus puncak kepala putri sahabatnya, itu lalu berjalan menuju kasir mengurus sisa pembayaran operasi ibu Ayu dan Jessi.
Mirna memanfaatkan kesempatan itu untuk membujuk Ayu, dan memuluskan rencananya bersama Rania.
Dia menggenggam tangan Ayu seraya berkata,
“Ayu, kamu lihat betapa Om kamu sangat menyayangimu seperti putrinya sendiri, tak segan memberikan uang banyak untuk kamu, untuk keluargamu. Terima saja tawaran Tante untuk menjadi istri Rangga. Dan menjadi ibu untuk anak yang dikandung Rania. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan biaya perawatan dan pengobatan ibu dan temanmu yang yatim piatu itu. Penyakit tumor itu membutuhkan perawatan lagi setelah operasi, kamu akan butuh lebih banyak biaya lagi nantinya. Om kamu dan Rania bisa menanggung semua biayanya.”
Ayu menggigit bibir bawahnya, bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.
Ia tahu selain biaya operasi, dirinya juga membutuhkan biaya lanjutan untuk ibunya karena penyakit itu bukanlah penyakit yang biasa. Harus menjalani serangkaian perawatan, dan observasi kembali apakah tumor itu sudah hilang selamanya atau kembali lagi.
Hati kecilnya menolak tawaran Tante Mirna, tapi ia sangat membutuhkan uang untuk kesembuhan ibu juga sahabatnya yang sudah seperti saudara untuknya.
“Tante lihat Rangga sangat menyayangi kamu. Tak sulit merubahnya untuk jatuh cinta padamu. Kamu hanya perlu menikahinya, pura-pura hamil anaknya. Toh, nanti Rangga bulan depan sudah berangkat ke Yogya untuk mengurus kuliahnya. Ia tidak akan curiga apa-apa kepadamu. Tante dan Rania yang akan mengurusnya.”
“Apakah Rangga mau menikahiku? Bagaimana caranya agar ia yakin itu anaknya?”
“Kamu tidak perlu pikirkan apa-apa. Itu urusan Tante dan Rania. Yang penting kamu bersedia untuk menikah dengan Rangga. Mau kan?”
Ayu tidak mampu lagi berpikir jernih, dan bertanya lebih jauh mengenai apa rencana Mirna dan Rania terhadap dirinya.
Yang dipikirkannya hanya dua orang yang disayanginya, sangat membutuhkan dirinya sekarang. Mau tak mau, ia pun menganggukkan kepalanya pelan sambil menunduk.
Ia tahu ini salah, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Flash back off.
Bersambung
No comments:
Post a Comment