Cinta Ayudia 11
A story by Ayudia
Part 11
Di tempat lain, saat tengah malam malah terjadi keributan kecil satu keluarga yang tinggal di sebuah rumah mewah. Seorang wanita paruh baya tengah menggedor pintu kamar putra sulungnya.
Sudah beberapa menit dia mengetuk pintu dan memanggil nama putranya, tapi tidak ada yang keluar ataupun menyahut dari kamar itu.
Tak hilang akal, dia menelpon langsung ke nomer kontak putranya. Dia tahu, putranya itu gila kerja dan ponselnya selalu standby dua puluh empat jam. Berjaga-jaga, alasannya.
Belum sampai nada sambung ketiga ternyata sudah diangkat, dan terdengar suara parau yang menandakan orang itu baru bangun dari tidurnya.
“Buka pintu kamarmu! Sekarang!!”
Ucap wanita itu dengan nada tinggi. Memmbuat putranya yang di seberang sana menjauhkan ponsel dari telinga, lalu berjalan gontai membuka pintu kamarnya.
“Ada apa sih, Mi?”
“Mami gedor-gedor pintu kamar sampe tetangga pada keluar dari rumahnya, kamu tetep nggak bangun-bangun! Nah ini, ditelpon langsung diangkat. Kamu anggap suara Mami yang dari tadi teriak-teriak itu apa?”
“Al kira tadi mimpi, Mam. Tadi Al mimpi, Mami ngomel-ngomel seperti biasa minta menantu,” ucap Alden, sambil menguap menahan kantuknya.
“Ada apa sih Mam? Malem-malem teriak?”
“Alice ngidam minta dibelikan sate Marangi. Kamu tolong belikan ya?”
“Ohh …. Whatt?!”
Mata ngantuk Al kini terbuka lebar, apalagi saat melihat jam dindingnya yang menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
“Nggak salah, Mam? Jam segini mana ada yang masih buka! Aku baru tidur sejam udah dibangunin. Ngantuk berat nih, Mam. Kalau ada apa-apa sama aku gimana?” tolak Alden.
“Makanya cuci muka dulu, atau mandi sekalian biar seger. Kalau bukan kamu siapa lagi yang mau beli? Pak Amir kan masih cuti, belum datang dari kampung. Mami nggak mau cucu pertama Mami nanti ileran.”
“Aku ngantuk banget, Mi. Kerjaanku banyak di kantor. Besok harus meeting pagi. Ini pula yang hamil nyusahin aja, ngidam kok malem-malem. Siang aja kek biar nggak repotin orang.”
“Hushhh ... ya udah kalau nggak mau, biar Mami aja yang pergi. Kamu jagain Alice, dia lagi makan di bawah.”
“E … ehhh.. Jangan Mami yang pergi. Ya udah, biar aku aja.”
Wanita itu tersenyum senang karena berhasil meluluhkan hati anaknya.
Dia tahu putranya tidak pernah mengijinkan dirinya pergi sendirian tanpa supir, apalagi tengah malam seperti ini.
Dia lalu turun menuju dapur menemani putrinya–Alice– yang tengah menikmati es krim. Dia tidak berani mengganggu dan melarang, selama itu memang keinginan calon cucunya.
Tak lama, Alden turun dari kamarnya setelah cuci muka dan berganti pakaian dengan celana bahan dan sweater tebalnya.
Bu Riana tersenyum melihat lelaki itu yang kian mirip dengan mendiang suaminya, ayah dari anak-anaknya.
Pletak ....
“Aduhhh!”
Alice meringis memegangi kening, yang sebelumnya dijentik oleh jemari Alden.
“Sakitlah, Bang!!”
Alice merengutkan wajah, dan mengerucutkan bibirnya.
“Kamu tuh, pulang ke Indonesia cuma nyusahin doang tau nggak! Kenapa nggak diajak suaminya sekalian, biar aku nggak jadi kacung terus?”
“Kan udah dibilang Ayang Matthew lagi urusin proyek besarnya. Nanti dia nyusul kok. Lagian kalau aku ngidam pas masih di Ausie malah repot, bisa-bisa anakku beneran ngences. Di sana mana ada wedang ronde, sekoteng, sate Maranggi, dan kawan-kawan,” balas Alice.
“Tapi bisakah ngidamnya di jam normal aja? Jangan tengah malam kayak gini. Aku capek, pulang kerja pengen istirahat, bukannya disuruh ngiderin Jakarta buat jadi kurir makanan kamu.”
“Ya maaf, Bang. Abisnya dedeknya yang minta gimana? Aku nggak bisa tidur kalau nggak keturutan.”
Alden mendengkus kesal tidak bisa berkata apa-apa lagi.
‘Persetan dengan mitos anak ngences, memangnya mereka nggak mikirin gimana kalau aku tiba-tiba ngantuk di tengah jalan dan terjadi sesuatu sama aku?’ pikir Alden.
Dia langsung mengambil kunci mobil dan berjalan keluar rumah, berdoa dalam hati supaya bisa menemukan makanan itu dengan cepat.
🍀🍀🍀
Ternyata doa Alden terkabul.
Hati senang membayangkan kasurnya yang kini telah terbayang-bayang di kepala, seolah-olah melambaikan tangan mengoda untuk secepatnya datang ke pelukan hangat kasur nan empuk. Mobilnya melaju di tengah jalanan lengang ibukota, hal yang jarang ditemui saat hari terang benderang.
Mata Alden menangkap gerakan mencurigakan, saat ia melihat di trotoar sisi kiri jalan. Seorang wanita tampak tengah berlari, lalu di belakangnya ada dua orang berpakaian hitam bertubuh gempal tampak ikut mengejar. Penampilan kedua pria itu tampak seperti preman.
Alden mengurangi laju mobilnya, melihat keadaan yang tampak tidak beres di hadapannya. Untuk apa seorang wanita berkeliaran tengah malam?
Apakah sedang terjadi tindak kejahatan?
Alden tidak mau gegabah mendekati bahaya. Dia memberhentikan mobilnya dan melihat keadaan, mana tau memang orang itu saling mengenal.
Saat keluar dari mobil, barulah dia mendengar suara wanita itu berteriak minta tolong, Alden langsung bergegas ke arah asal suara, di mana satu laki-laki bertubuh gempal memegang kedua tangan wanita itu dan satunya lagi sedang mengobrak-abrik isi tas milik wanita itu.
“Lepaskan dia!!” seru Alden.
Kedua preman itu tampak kaget, ada orang yang memergoki aksi mereka. Alden lebih terkejut saat melihat siapa wanita itu.
“Kamu ....” lirih Alden.
Tanpa pikir panjang Alden langsung menyerang preman itu, menghajarnya tanpa ampun.
Saat melihat tatapan takut dan terluka pada wanita itu, membuat hatinya merasakan emosi terhadap orang-orang yang berniat mencelakainya.
Saat preman bertubuh gempal lengah, Ayu menendang selangkangan pria itu dengan kuat sehingga cengkeramannya langsung terlepas. Ia langsung berlari dan bersembunyi.
Walaupun dulu Alden tidak menyelesaikan karatenya sampai tuntas, tapi dia masih mengingat bagaimana caranya berkelahi merobohkan lawan. Ditunjang dengan fisiknya yang tinggi besar dan gemar berolahraga, membuatnya mudah untuk mengalahkan kedua preman-preman itu dan membuat mereka lari tunggang langgang.
🍀🍀🍀
Alden memunguti isi tas yang berceceran, dan berjalan menuju arah wanita itu berada. Wanita itu berjongkok di sudut dekat pohon, menekuk lututnya sambil menangis terisak.
“Sstt ... its okey. Mereka udah pergi, nggak akan gangguin kamu lagi. Ini tas kamu,”
Ucap Alden pelan, sambil mengulurkan tas milik wanita itu.
Ragu-ragu, wanita itu menatap Alden dengan sorot mata takut.
Tidak berani mengambil tasnya.
“Its me. Kamu ingat saya? Beberapa hari lalu saat kecelakaan? Aku dan sopirku yang mengantar ke rumah sakit dan mengantar kamu pulang ke rumah,” bujuk Alden lagi.
Perlahan isakan Ayu berkurang.
Ia mengingatnya, laki-laki yang telah menolongnya beberapa hari lalu kini kembali menolong dirinya.
Ia lalu mengangguk, dan menerima uluran tangan pria di hadapannya untuk berdiri.
“Syukurlah kalau kamu masih ingat saya. Kamu Ayu kan? Sedang apa malam-malam kamu di sini? Mari kuantar pulang.”
“Tidakk! Aku tidak mau pulang ke sana,”
Ucap Ayu ketakutan, dan mendekap tasnya erat. Ia bergerak mundur, takut kalau pria itu akan membawanya kembali pulang.
Alden menangkap sinar takut dan gelisah di mata wanita itu, saat dia mengatakan akan mengantarnya pulang. Dia mencurigai wanita itu kabur dari rumahnya.
‘Oh my god, ada apa dengan wajahnya? Siapa yang melakukannya? Apakah preman-preman tadi?’
Alden tersadar, saat lampu jalan kini memperlihatkan wajah Ayu yang tampak merah kebiruan di pipinya dan luka di sudut bibirnya.
Dia juga seperti melihat tanda merah sekilas di balik rambut panjangnya. Dan wanita itu, kini tidak memakai cincin pernikahan seperti yang dilihat beberapa hari lalu.
“Baiklah, aku tidak akan mengantarkanmu pulang. Jadi, kamu akan pergi ke mana? Biar kuantar saja dengan mobilku, untuk menghindari bahaya yang sama.”
Ayu tampak diam beberapa saat, berpikir untuk menerima ajakan pria baik di hadapannya. Namun, ia bingung akan pergi ke mana.
Jika ia pulang ke rumah lamanya, Jessi akan panik dengan keadaannya yang seperti ini. Apalagi sekarang ada mertuanya yang datang menginap, menjenguknya. Ia merasa tidak enak mengganggunya malam-malam begini.
“Aku … aku tak tahu harus ke mana,” lirih Ayu.
Alden menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung, harus ke mana mengantar Ayu.
Tidak mungkin dia berada di jalanan pada malam seperti ini, hotel pun bukan pilihan yang terbaik saat ini, apalagi membawanya ke rumahnya.
Hell no, maminya akan langsung mencincangnya karena membawa wanita yang ditemukan di jalanan.
“Baiklah, aku tahu tempat yang aman untuk kamu tinggal sementara. Mari ikut aku,”
Ajak Alden, sambil memegangi bahu Ayu yang masih bergetar ketakutan menuju mobilnya.
Hati Alden meringis melihat Ayu yang tampak ketakutan, saat tangannya akan menyentuh bahu wanita itu.
Dia akhirnya, mempersilakan wanita itu masuk ke dalam mobil lalu melajukan mobilnya cepat membelah kesunyian malam, agar Ayu dapat cepat beristirahat.
Sementara itu, Ayu masih dengan tatapan kosongnya memandangi keluar jendela. Dirinya benar-benar tidak menyangka akan mengalami cobaan sedahsyat hari ini, bertubi-tubi didera perasaan takut, terluka, sedih, dan kecewa.
Tidak lama kemudian, mobil Alden berada di sebuah basement gedung apartement.
Dia langsung bergegas keluar dari mobil, dan membukakan pintu penumpang.
Dilihatnya Ayu masih melamun, tak menyadari jika mereka telah sampai di tempat tujuan mereka. Tatapan kosongnya makin membuat Alden geram juga sedih.
Sebenarnya apa yang telah dialaminya, sampai ia tampak shock seperti ini?
“Ehem ... Kita telah sampai.”
Alden berdeham pelan, mencoba tidak mengagetkan Ayu yang kini sudah tersadar bahwa mobilnya telah berhenti.
“Ki-kita ada di mana?” tanya Ayu.
“Di apartemenku.”
Ayu membulatkan matanya mendengar jawaban Alden. Bagaimana mungkin ia menginap di tempat laki-laki yang tidak dikenali.
Seakan tahu isi pikiran Ayu, Alden kembali berkata,
“Tenang saja, aku tidak tinggal di sini. Aku tinggal di rumah orang tuaku beserta keluargaku. Apartemen ini milikku dan kosong sudah lama, mungkin agak sedikit berdebu. Tapi masih bisa digunakan untukmu beristirahat. Dan aku akan segera pulang, setelah memastikanmu aman di sini.”
Ayu menghela napas lega, karena apa yang dipikirkannya tidak terjadi.
Ia lalu keluar dari mobil, tapi tiba-tiba lututnya terasa lemas. Ia tidak sanggup lagi berdiri. Untungnya Alden dengan sigap menangkap tubuh Ayu, sebelum tubuh rapuh itu mencium lantai.
Dia pingsan
🍀🍀🍀
Ting nong ... ting nong ... ting nong.
Alden segera berlari menuju pintu apartemennya, menebak siapa yang datang dini hari seperti ini. Saat Ayu pingsan, Alden langsung membawa ke unit miliknya.
Bergegas menelpon temannya, dokter kenalannya, untuk datang kemari. Walaupun dirinya harus mendengar makian terlebih dahulu, karena mengganggu tidur temannya itu.
Dia juga membuka ponsel Ayu, dan mencari dial cepat nomor penting yang biasa dipakai wanita itu. Nomor pentingnya hanya terdiri dari dua nama, husband dan Jessi.
Alden ingat, bahwa tadi Ayu ketakutan dan tidak ingin diantarkan pulang ke rumahnya, tempat suaminya berada. Jadi, dia pun menekan opsi yang kedua.
Saat dia membukakan pintu, sepasang pria dan wanita berdiri dengan wajah cemas memandang dirinya. Yang wanita tampak lebih pucat wajahnya, mungkin dia yang bernama Jessi.
“Saya mencari Ayu. Tadi ada yang menelpon istri saya, katanya Ayu dalam keadaan tidak baik-baik saja,”
Ucap lelaki, yang sedari tadi memegangi bahu wanitanya.
“Oh iya, silahkan masuk dulu. Ayu sedang berada di kamar, diperiksa oleh dokter kenalan saya,” ujar Alden.
“Saya Alden,” sambungnya lagi.
“Saya Yogi dan ini istri saya Jessi, sahabat Ayu,”
Ucap Yogi sambil menerima uluran tangan Alden.
“A-apa yang terjadi dengan Ayu? Bagaimana dia bisa ada di sini?”
Tanya Jessi dengan raut wajah gugup dan gelisah, ingin segera bertemu dengan sahabat yang sudah seperti adik baginya.
Belum sempat Alden menjawab, pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita keluar dari kamar tersebut dan menghampiri Alden.
“Dia sedang tertidur, tubuhnya kelelahan dan mengalami dehidrasi tampaknya ia mengalami trauma dan shock akan sesuatu. Dia mengigau cukup keras, seolah-olah ketakutan akan sesuatu. Tidak ada luka terbuka, hanya ada luka lebam di pipi dan pergelangan tangannya, cukup oles salep yang aku resepkan saja. Kakinya juga sedikit membengkak, kulihat. Dilihat dari tanda-tanda merah di tubuhnya, sepertinya ia mengalami kekerasan seksual. Aku sarankan visum, jika kalian ingin melakukan tindakan hukum atas apa yang menimpanya,” jelas dokter itu.
Ketiga orang itu membelalakan mata, mendengar penjelasan dokter itu.
Jessi langsung berlari menuju kamar di mana Ayu berada. Naik ke ranjang dan berbaring di sebelah Ayu, sambil memeluknya.
Menangisi sahabatnya yang kini tengah menderita sendiri. Menciumi kening Ayu, dan mengusap wajah cantik yang kini tampak lebam, pelan-pelan. Menahan isakannya agar tidak membangunkan Ayu.
Sementara itu di ruang tengah, Alden menceritakan semuanya pada Yogi. Mengenai kejadiannya dengan para preman, dan tentang sikap Ayu yang menolak diantar pulang.
“Aku tidak tahu luka dan lebam itu dari mana berasal. Aku tidak berani bertanya, karena ia tampak sangat ketakutan. Aku cuma berpikir ia harus berada di tempat aman. Jadi, aku membawanya ke sini. Apartemen ini sudah lama kosong, karena aku tinggal bersama orangtuaku. Jadi, kalian bisa gunakan apartemen ini'
“Terima kasih banyak atas bantuannya, Alden.”
“Tidak masalah. Aku harus segera pulang, karena ibuku sudah menelpon sejak tadi. Jika terjadi apa-apa. tolong hubungi aku.”
“Baiklah.”
Alden lalu berjalan menuju pintu keluar.
Tadinya dia ingin menjenguk Ayu sekali lagi sebelum pulang, tapi diurungkan niatnya itu.
Saat ini yang terbaik untuknya, adalah bersama dengan orang terdekatnya.
Bukan dirinya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment