Cinta Ayudia 10
A story by Ayudia
Part 10
Seharian ini Ayu menangis di kamar, enggan untuk melakukan apa pun.
Ia masih meratapi apa yang terjadi padanya hari ini. Sungguh dirinya tak rela, kebahagiannya bersama Rangga dan Della hanya beberapa hari saja bisa dinikmati. Walaupun semua itu hanyalah kebohongan seperti yang Rangga utarakan, tapi ia tidak ingin jika harus berakhir secepat ini.
Bodohnya Ayu, dirinya masih mencintai lelaki itu walaupun dia sudah menghinanya. Perasaan cinta pada lelaki yang pernah menjadi sahabatnya itu memanglah sangat besar, sampai hinaan yang tadi ia terima kini tengah coba ia lupakan. Mencoba dikubur dalam-dalam, dengan cara menggantikannya dengan kenangan-kenangan indah mereka berdua.
Ia sadar, Rangga sudah sangat tersakiti dengan kebohongan yang ia lakukan mengenai malam kelulusan itu. Dirinya tidak bisa membayangkan, jika dia mengetahui semua detail kebohongan yang terjadi di masa lalu.
Ia masih berharap Rangga akan memaafkannya setelah mengetahui semua kebenaran, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun waktu diputar kembali, sepertinya jalan itu tetap akan ia tempuh karena tidak punya pilihan lain lagi saat itu.
Suara gagang pintu yang diputar, menghentikan lamunannya.
“Bunda ...”
Suara dan langkah kecil itu, kini mendekati di mana Ayu berbaring dan memejamkan mata berpura-pura tidur. Ia tidak mau Della melihat bundanya yang tengah hancur.
Tangan kecil itu mengusap pelan pipinya, lalu mengecup kening Ayu berulang-ulang.
“Della sayang Bunda. Cepet sembuh ya Bunda, jangan sakit-sakitan terus. Della sedih Bun,” ucap Della polos, dengan matanya yang berkaca-kaca. Dia memeluk hangat tubuh Ayu dan terisak, seolah ikut merasakan kesedihan yang tengah dialami oleh bundanya.
“Della, Sayang. Ayo kita keluar. Biarkan Bunda istirahat, supaya cepat sembuh.”
Suara tegas milik bu Mirna itu, kini menjauh membawa langkah kecil itu keluar dari kamar Ayu. Wanita itu membuka matanya, dan kembali menangis dalam diam.
“Sampai kapan kamu akan menangis?”
Suara Rania terdengar dari balik punggung Ayu, tapi ia enggan menjawab.
Hanya mampu terisak menahan tangisnya. Della, Ayu memikirkan bagaimana nasib putrinya jika dia tahu pernikahan orangtuanya diambang kehancuran?
Anak itu tak bersalah. Hanya orang-orang dewasa nan egois itulah, yang membuat dirinya dan Della harus menerima semua kesakitan ini.
“Aku sudah katakan kepada Della, bahwa kamu tidak bisa ikut jalan-jalan bersama kami. Kamu tahu … dia sangat kecewa. Tapi saat aku katakan kamu sakit, Della langsung berdoa memohon kepada Tuhan supaya kamu cepat sembuh dan ayahnya mau merawat bundanya sampai sembuh,” ucap Rania.
“Dia sangat menyayangimu juga Rangga, jangan hancurkan kebahagiaannya dengan perpisahan kalian ya? Aku mohon bertahanlah demi Della. Aku akan mencoba membujuk Rangga, agar mau memaafkanmu,” lanjut Rania.
Air mata Ayu tambah deras mengalir. Ia hanya bisa menangis meraung-raung, karena tidak bisa mengatakan langsung apa yang ada di hatinya saat ini. Bagaimana mungkin dirinya bisa bertahan saat ini demi Della, jika Rangga saja menganggapnya tak lebih hanya seorang wanita jalang. Kenapa ia yang harus mengikuti semua keinginan orang-orang ini?
Sedangkan, ia tidak tahu apakah Rangga akan menerima semua penjelasannya nanti.
Jika akhirnya harus berpisah, ia tak masalah jika harus hidup berdua hanya dengan Della saja. Asal jangan suruh dirinya hidup dengan orang yang terus membenci dan menghinanya.
Seberapa besar cintanya pada Rangga, tidak akan bisa menghapuskan luka yang telah ia toreh pada hidup Rangga apalagi lelaki itu tidak punya perasaan apa pun padanya, hanya kasihan.
Ia sudah bertekad akan membeberkan semuanya saat Rangga pulang nanti. Apa pun keputusannya, ia akan lihat dari reaksi Rangga nanti malam.
🍀🍀🍀
Suara musik berdentum dan menghentak sampai ke daun telinga, tak jua dia hiraukan.
Celotehan wanita yang berada di sampingnya pun dia abaikan. Matanya tertuju pada gelas minuman di hadapannya –entah sudah yang keberapa, dia tidak tahu– dengan tangan yang bergerak melingkari bibir gelas tak beraturan. Sama seperti dengan isi pikirannya yang berantak, berhamburan.
Isi kepala Rangga masih dipenuhi dengan kejadian tadi pagi, yang membuat pikirannya seharian ini tidak bisa dia kendalikan. Pekerjaannya terganggu, sampai ia harus digantikan temannya untuk presentasi dengan klien karena tak mampu fokus pada pembicaraan bisnis mereka.
Jika saja tadi pagi dia tidak kembali ke rumah karena ingin mengambil berkas yang tertinggal di kamar, mungkin saat ini masih tidak tahu bahwa wanita itu telah menipunya selama ini.
Tiba-tiba bibir Rangga menyeringai sinis, mengingat wajah penuh air mata itu mengakui perbuatan yang telah menjebak dirinya lima tahun yang lalu.
Dia sebenarnya tidak ingin percaya akan kenyataan ini, berharap tadi Ayu akan menyangkalnya. Dirinya mengenal Ayu sejak kecil, tahu persis bagaimana perangai gadis itu. Rasanya tidak mungkin hanya karena Ayu mencintai dirinya, maka gadis itu berani menjebak dia dengan hal yang menjijikan seperti itu.
Bukankah Ayu tahu, bahwa sejak dulu dirinya sudah berpacaran dengan Dessi?
Jadi, kenapa dia melakukan hal bodoh seperti itu sampai mengorbankan masa depan dan cita-citanya?
Rangga menggaruk kepalanya yang tidak gatal, frustasi dengan keadaannya saat ini.
Harusnya, dia tidak sakit hati sesakit ini toh mereka berdua tidak saling mencintai dan juga sama-sama menderita. Dia sadari kini hati kecilnya telah merasakan perasaan halus yang tumbuh untuk istrinya itu.
Namun kini, gagal berkembang karena kebohongan dan pengkhianatan kepercayaannya. Mungkin jika dirinya belum menaruh perasaan kepada Ayu, rasanya tidak akan sesakit ini. Hari-hari indah bersama Della dan Ayu belakangan ini, kembali terbayang di kepalanya.
Dia masih ingin mengulang hal itu, merasakan kebahagiaan itu lebih lama. Namun, hatinya sudah terlanjur sakit.
Sebuah tangan berjemari lentik menjauhkan gelas minuman dari hadapan Rangga.
Wanita itu melingkarkan tangannya di leher Rangga, lalu berbisik di telinga kekasihnya dengan nada menggoda.
“Ada cara lain untuk menghilangkan stress selain alkohol dan rokok yang akan merusak kesehatanmu,”
Ucap Dessi manja di telinga Rangga, lalu mencium telinga kekasihnya.
Rangga mengernyitkan dahi, mengetahui kekasihnya kini beraksi bak wanita penggoda. Dia memang bersama Dessi sejak pulang kantor tadi, dilanjutkan dengan makan malam bersama. Wanita itu mengajak dirinya pergi ke diskotik untuk bersenang-senang, di penghujung weekday ini.
Tempat hiburan malam dia kenal semenjak kembali bersama Dessi. Namun, untuk minuman dia baru mencobanya. Berharap, efeknya bisa membuat dirinya lupa akan permasalahan yang sedang di hadapinya sekarang. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah, untuk membayar minumannya dan Dessi.
Rangga menarik napas lega saat berada di luar gedung diskotik, aroma lebih segar dan telinganya lebih damai. Tubuhnya masih digelayuti erat oleh kekasihnya.
Dirinya masih bisa mengemudikan mobil, walaupun beberapa gelas minuman keras telah ditengguknya. Kembali tangan halus itu bergerak menyentuh pahanya, dan tubuh sintal itu mendekat saat dirinya sudah duduk di balik kemudi.
“Kenapa kamu hari ini pendiam sekali, Sayang? Hmm,” bisik Dessi manja.
“Aku tau cara mudah untuk melepaskan stress di kepalamu itu, Syang. Dan itu saaaangatt menyenangkan,”
Bujuk Dessi lagi, sambil tangannya membelai halus dada Rangga.
Pria yang sedang tidak bisa berpikir jernih itu, hanya diam saat kekasihnya kini bertindak agresif kepadanya. Kepada tubuhnya. Kepada wajah juga bibirnya.
Menggoda dan membelai dengan lihai melalui bibir, lidah dan tangannya. Orang tak akan curiga, dan bisa melihat apa yang tengah terjadi di salah satu mobil yang berada di parkiran itu.
Rangga hanya memejamkan mata, menikmati kenikmatan yang tengah ditawarkan Dessi kepadanya. Tanpa sadar, dirinya melenguh nikmat dan menyebutkan sebuah nama yang membuat Dessi kemudian mengangkat wajahnya.
“Ahhh … Ayyyy!”
Wajah wanita itu tampak terkejut,
“Siapa dia?!” pekik Dessi.
Rangga tetap memejamkan mata, lalu menaikkan reseleting celana dan merapikan pakaiannya. Dirinya tak menampik jika menikmati permainan Dessi.
Namun yang dikepalanya saat itu, hanya Ayu. Teringat pada malam mereka pertama kali intim, dan memadu kasih dengan cara mereka sendiri. Ya, dia mengakui membayangkan bahwa Ayu-lah yang sedang berada di sini menggodanya.
“Siapa dia, Rangga?! Kamu selingkuh di belakangku, hah!!”pekiknya lagi.
Pria itu sedang tak ingin bertengkar, karena emosi dan gairah yang sudah berada di ubun-ubun kepalanya.
Dia membuka seatbelt Dessi, dan membuka otomatis kunci mobilnya.
“Keluarlah. Aku sedang tak ingin menjadikanmu sasaran kemarahanku.”
Suara itu terdengar tajam dan tegas.
Dessi menganga tak percaya dirinya ditolak begitu saja oleh Rangga setelah permainan panas yang dia lakukan untuk menyulut gairah kekasihnya. Supaya dia mau menyentuh, dan bisa memilikinya malam ini, nyatanya pria itu masih sekeras batu.
Ciuman panasnya tidak berarti apa-apa walaupun pria itu membalasnya. Bahkan saat dirinya merendahkan diri untuk memancing gairah kelaki-lakiannya, malah nama lain yang disebutkan kekasihnya.
Dessi melirik ke arah pakaiannya yang masih lengkap dan rapi, tak sedikitpun pria itu sentuh. Tertawa berdecak, mengasihani diri sendiri yang tak mampu menggoda kekasihnya sendiri.
“Keluar!”
Sentak Rangga, membuyarkan lamunan Dessi.
Wanita itu menghentak pintu dan menutupnya kembali dengan kuat.
“Brengsek!!” umpatnya.
Amarah juga air mata tampak jelas di wajahnya, saat mobil itu melaju pergi meninggalkannya sendiri. Harusnya dia tahu bahwa dirinya akan terhina seperti ini.
Apalagi sejak dulu, Rangga memang tidak pernah bertingkah melampaui batas saat menyentuhnya. Sebatas ciuman panas yang pernah mereka lakukan.
Mereka pernah tidur bersama, benar-benar tidur dalam artian sebenarnya, karena waktu itu dirinya sakit dan Rangga dengan sabar merawat dan menemaninya.
Jauh-jauh datang dari Yogja ke Jakarta demi dirinya. Harusnya Dessi bangga dan bahagia memiliki kekasih seperti Rangga, tapi dirinya menginginkan lebih. Dia ingin memiliki dan mengikat pria itu hanya untuknya, apa pun caranya.
🍀🍀🍀
Malam cukup larut saat Rangga tiba di rumahnya, tapi dia tidak turun dari mobilnya, masih duduk terdiam di dalam sana. Tangannya mencengkeram erat setir kemudi, buku-buku tangannya memutih menahan kesal.
Kesal karena saat ingin melepaskan amarah dan beban bersama Dessi, dia malah terbayang wajah memerah istrinya yang bergairah dan mendesahkan namanya seperti waktu itu.
Kesal kepada dirinya sendiri, kenapa harus wanita yang ia tengah ia benci itu yang terus muncul di kepalanya. Bayang-bayang kebahagiaan mereka beberapa hari kemarin, terus terlintas di kepalanya silih berganti dengan rekaman masa lalu.
Juga pagi tadi. Kekesalan yang lain kini dia rasakan, karena gairah yang belum surut menuntut pelepasan pada wanita yang sejak tadi mengganggu di kepalanya. Ya, tubuhnya kini hanya menginginkan Ayu.
Munafik kau, Rangga!
Rangga turun dari mobil lalu melangkah masuk ke dalam rumah, bergegas menuju ke kamarnya. Dia menemukan istrinya yang tersentak kaget melihat kedatangannya.
Hati Rangga terenyuh, saat melihat Ayu yang duduk bersandar di kepala ranjang sambil mendekap selimutnya.
Wajah cantik itu kini tampak kuyu dan sendu, lelehan air mata yang telah mengering dan kantung mata tebalnya menunjukkan bahwa istrinya hari ini telah banyak menangis karena masalah mereka.
Ayu turun dari ranjang, dan langsung memeluk tubuh suaminya yang masih mematung di hadapan. Air mata kembali mengalir di pipinya.
“Maaf ... maafkan aku, Mas. Aku akan menceritakan semuanya. Terserah apa yang akan Mas lakukan setelahnya, tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku,”
Ucap Ayu, sambil mengeratkan pelukannya di tubuh suaminya.
Entah raib kemana, rasa iba yang tadi menghampirinya saat melihat wajah sedih Ayu.
Kini dirinya terbakar panas akan amarah dan gairah bersamaan, saat Ayu memeluknya erat. Dia melepaskan pelukan, memegang kedua bahu mungil itu kuat-kuat, lalu mencium bibir Ayu dengan kasar.
Wanita itu melepaskan diri dari ciuman kasar suaminya.
“Mas, jangan seperti ini. Kita selesaikan dulu masalah kita.”
“Tidak ada masalah di antara kita, Ayu. Kamu sudah memutuskan menjadi wanita murahan dengan menjebakku, dan kini kamu harus rasakan bagaimana rasanya menjadi pelacurku. Budakku,” desis Rangga.
Belum hilang keterkejutan atas kata-kata Rangga, suaminya itu mendorong tubuh Ayu ke dinding, mencengkeram kedua tangannya di atas kepala. Mencoba mencium Ayu, yang terus menggelengkan kepala menghindari bibir suaminya.
Rangga tak berhenti di situ. Dia menciumi wajah, rahang, leher dan dada Ayu, mencium, menggigit, dan menghisapnya kasar. Pandangan Rangga sudah menggelap.
Pikirannya tidak bisa berpikir jernih, dan telinganya seolah tuli terhadap rintihan dan isakan Ayu yang memohon padanya.
Wanita itu berusaha berontak melepaskan diri, tapi tenaganya kalah dengan Rangga yang kini memegang tengkuk lehernya dan kembali menciuminya kasar.
Ayu tetap mengatupkan bibir, tidak mau merespon ciuman kasar Rangga yang menyakiti dirinya. Geram dengan penolakan sang istri, pria itu lalu menggigit bibir Ayu yang membuatnya terpekik kaget dan dimanfaatkan Rangga untuk melancarkan serangannya pada mulut Ayu. Tak berhenti di situ, kini tangannya kembali beralih meremas dadanya, menarik dan merobek baju piyama Ayu.
Srettt ....
Air mata Ayu mengalir.
Hatinya sakit, tak sanggup diperlakukan seperti ini lagi. Dengan sisa tenaga terakhirnya, ia balas menggigit bibir Rangga sampai berdarah.
“Aarghhh!! Dasar wanita murahan!!”
Plakkk.
Rangga menampar pipi Ayu kuat, sampai istrinya itu terhuyung menabrak meja rias di belakangnya. Terdengar suara benda berjatuhan dari mejanya.
Rangga menatap tak percaya tangannya yang berdenyut panas, karena telah menampar istrinya. Wanita itu menatapnya tajam, terlihat sudut bibirnya pecah dan mengeluarkan darah karena kerasnya tamparan sang suami.
Hati Rangga sakit melihat pemandangan itu.
Begitupun dengan Ayu, yang tidak menyangka suaminya akan memperlakukannya benar-benar seperti wanita jalang.
Tok ... tokk ... tok.
“Bundaaa … Bunda … Ayaah ... Buka pintunya, Bunda. Della mimpi jelek. Della mau tidur sama Bunda dan Ayah.”
Terdengar suara rengekan Della, memecah keheningan antara mereka yang masih shock atas apa yang terjadi saat ini.
“Bun … Bunda ... ini Della, Bun. Ayahhh ... Ayah.”
Ayu buru-buru mengambil bath robe, dan menutupi dadanya yang terekspos bebas karena ulah sang suami.
Menghapus darah di sudut bibir, lalu membuka pintu kamar untuk menenangkan putrinya.
“Iya, Sayang. Bunda di sini. Mimpi buruk, ya?”
Ayu menghampiri putrinya, berjongkok dan menyejajarkan diri dengan Della.
“Della mimpi Bunda pergi jauh. Della takut, Bunda. Della mau tidur sama Ayah dan Bunda.”
“Ya, udah. Bunda temenin Della tidur, yah. Ayah lagi kecapekan baru pulang. Kita bobok berdua aja ya.”
“Bun, kenapa pipi Bunda merah? Bibirnya berdarah. Kok bengkak lagi?”
“Eh … Bunda tadi tidak hati menabrak pintu kamar mandi, Sayang. Besok juga sembuh kok.”
Ayu lalu menggendong Della, dan menutup pintu kamar menuju kamar putrinya.
Ia bersyukur putrinya menyelamatkan dirinya pada saat yang tepat. Ia tidak tahu apa yang akan suaminya lakukan, jika ia masih berada di kamar itu.
Kini hatinya mantap untuk mengambil langkah selanjutnya.
Hidupnya terlalu berharga untuk dikorbankan menjadi budak orang-orang di rumah ini.
Ia harus pergi dari sini.
Segera ...
Bersambung
No comments:
Post a Comment